BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PEMALSUAN FAKTUR PAJAK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RESUME SANKSI PERPAJAKAN SANKSI BUNGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

BAB II BAHAN RUJUKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di negara Indonesia pajak sangatlah penting untuk menambah

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

BAB II KAJIAN TEORI. Masalah pajak adalah masalah negara dan setiap orang yang hidup dalam suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk kesejahteraan rakyat. Pajak merupakan salah satu penerimaan terbesar negara perlu terus

Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh. untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Pengertian Pajak Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, SH Waluyo

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ekonomi K-13 PERPAJAKAN K e l a s A. PENGERTIAN PAJAK Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI PERPAJAKAN DI INDONESIA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAN KETENTUAN MENGENAI SANKSI PERPAJAKAN DI INDONESIA

BAB II BAHAN RUJUKAN

Ekonomi dan Bisnis Akuntansi

Dasar-dasar Perpajakan. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi

Perpajakan I. Modul ke: 01FEB. Pengantar Perpajakan. Fakultas. Dra. Muti ah, M.Si. Program Studi AKUNTANSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 62/PJ/2013 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 ketentuan Umum dan Tata

BAB II BAHAN RUJUKAN

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain:

PERPAJAKAN (SEBUAH PENGANTAR) Disampaikan oleh: Rr. Indah Mustikawati, M.Si., Ak.

Perpajakan. Aryo Prasetyo, S.Kom., MMSI Vokasi Akuntansi UI, STIE Dewantara, IBI K-57. (Sesi 1)

PENGGOLONGAN PAJAK, JENIS PAJAK, TARIF PAJAK, DAN SANKSI DALAM PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. ini pemungutnya dilaksakan oleh Pemerintah Pusat khususnya Depertemen

BAB II PENAGIHAN PAJAK

BAB II BAHAN RUJUKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

PENUNJUKAN BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PAJAK NEGARA BAB I

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut Soemitro, S.H (1990) dalam Resmi (2013) adalah

BAB II BAHAN RUJUKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dasar-dasar Studi Kasus Perpajakan

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak?

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

Tabel 1: Sanksi Administrasi Berupa Denda, Bentuk pengenaan Denda, dan Besarnya Denda

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus dan

BAB II PENGATURAN PEMILIKAN NPWP BAGI WANITA KAWIN BEKERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI

Ketentuan Pidana dan Penyidikan. Landasan Hukum: Pasal 38 s/ d Pasal 44B UU KUP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam setiap tahun pajak. merupakan sumber penghasilan yang besar bagi pemerintah.

BAB VI KETENTUAN UMUM TATA CARA PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI

PENGANTAR PERPAJAKAN. Pengantar Pajak

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan

Sama seperti pajak, namun terdapat imbalan (kontra-prestasi) secara langsung yang dapat dirasakan oleh pembayar retribusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262]

BAB II LANDASAN TEORI. bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB I PENDAHULUAN. yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak selain dari pada harga pokoknya

BAB III PEMALSUAN FAKTUR PAJAK

PERPAJAKAN PENGANTAR PERPAJAKAN. Riaty Handayani, SE., M.Ak. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi Manajemen.

BAB II LANDASAN TEORI. sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing ahli pada saat merumuskan. Definisi pajak menurut para ahli sebagai berikut:

Hukum Pajak. Kewajiban Perpajakan (Pertemuan #9) Semester Genap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. memenuhi pembangunan nasional secara merata, yang dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. mungkin hidup tanpa adanya masyarakat. Negara adalah masyarakat yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:

Transkripsi:

BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PEMALSUAN FAKTUR PAJAK A. Ruang Lingkup Hukum Pajak Pajak dilihat dari segi hukum, menurut Rochmat Soemitro, didefinisikan sebagai perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang memenuhi syarat yang ditentukan dalam undangundang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. 1 Dari pandangan tersebut, dapat dilihat beberapa hal di dalamnya yaitu: 1. Bahwa pajak merupakan sebuah perikatan; 2. Perikatan itu mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat subjek dan syarat objek; 3. Syarat itu ditentukan dalam undang-undang; 4. Kewajiban itu adalah untuk membayar sejumlah uang kepada negara; 5. Pembayaran tersebut dapat dipaksakan; 6. Pembayaran tersebut tanpa kontraprestasi langsung; 7. Digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. 1 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, Eresco, Bandung, 1992, hlm. 51

Dilihat dari peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah pajak sebagai definisi yuridis formal dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan definisi wajib pajak menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Hukum Pajak yang disebut juga hukum Fiskal, menurut Santoso Brotodiharjo, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak. 2 Secara umum hukum pajak dibedakan menjadi dua, yakni hukum pajak material dan hukum pajak formal. Hukum pajak material memuat norma-norma yang menerangkan: 3 2 Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Op.cit, hlm.1 3 Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, CV Andi, Yogyakarta, 2008, hlm. 54

1. Keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenai pajak (objek pajak) atau disebut juga tatbestand; 2. Siapa saja yang harus dikenai pajak (subjek pajak/wajib pajak); 3. Berapa besarnya pajak. 4. Peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, dendadenda; 5. Peraturan-peraturan yang memuat hukuman-hukuman terhadap ketentuan perpajakan; 6. Peraturan-peraturan tentang tata cara pembebasan dan pengembalian pajak; 7. Peraturan-peraturan tentang hak mendahului dari fiscus. Hukum pajak formal adalah serangkain norma yang mengatur cara menerapkan hukum pajak material menjadi suatu kenyataan. Hukum pajak formal antara lain mengatur: 4 1. Pendaftaran objek pajak dan wajib pajak; 2. Pemungutan pajak; 3. Penyetoran pajak; 4. Pengajuan pajak; 5. Permohonan pajak; 6. Permohonan pengurangan dan penundaan pembayaran, dan lain sebagainya. 4 Ibid.hlm 55

Dalam bidang perpajakan, dikenal adanya beberapa asas yang menjadi pokok dasar yaitu asas pelaksanaan pemungutan pajak, di mana dibicarakan mengenai bagaimana agar pelaksanaan pemungutan pajak itu dapat berjalan dengan baik, adil, lancar, tidak mengganggu kepentingan masyarakat, sekaligus membawa hasil yang baik bagi negara. Asas tersebut meliputi antara lain: 1. Asas Yuridis Menurut asas ini, hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun warganya. Mengenai pajak di negara hukum, segala sesuatunya harus ditetapkan dalam undang-undang, dengan kata lain hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni fiscus dan wajib pajak. 5 2. Asas Ekonomis Pajak selain mempunyai fungsi budgeter juga berfungsi mengatur, digunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian maka, politik pemungutan pajaknya harus: 6 a. Diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan. 5 Ibid, hlm. 42 6 Arief Soerojo, Diklat Teknis Substantif Dasar Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuanagan Republik Indonesia, Jakarta, 2010,Op.Cit.hlm. 32

b. Diusahakan, supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalamusahanya menuju ke bahagiaan dan jangan sampai merugikan kepentingan umum. 3. Asas Finansial Sesuai fungsi pajak yang terpenting adalah fungsi budgeter, yakni memasukan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Sehubungan dengan itu, agar hasil pemungutan pajak besar, maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya, untuk itu pemerintah harus memperhitungkan efesiensi pengeluaran untuk penetapan pajak dan sebagainya. 7 Pajak sebagai sebuah realita yang ada di masyarakat mempunyai fungsi tertentu. Pada umumnya dikenal adanya dua fungsi utama pajak, yakni fungsi budgeter (anggaran) dan fungsi regulerend (mengatur). Seiiring perkembangannya, fungsi pajak tersebut dapat dikembangkan dan ditambah dua fungsi lagi, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi. Maksud dari keempat fungsi tersebut antara lain: 8 1. Fungsi Budgeter Fungsi ini terletak di sektor publik, yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang berlaku, yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah. 7 Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak,Op.Cit, hlm. 44 8 Wirawan Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2010, hlm. 12

2. Fungsi Regulerend Fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. 3. Fungsi Demokrasi Pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. 4. Fungsi Redistribusi Fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini tdapat terlihat, misalnya dengan adanya tariff progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih sedikit. Fungsi pajak ketiga dan keempat tersebut sering kali disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi ketiga dan keempat bukan merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak. Seiiring perkembangan masyarakat yang modern, fungsi tersebut menjadi sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam rangka kemaslahatan manusia serta keseimbangan dalam mewujudkan hak dan kewajiban masyarakat. 9 Berkaitan dengan fungsi pajak tersebut, khususnya untuk fungsi budgeter, tampak jelas jika melihat data sebagaimana dimaksud pada pendahuluan, 9 Ibid, hlm. 13

di mana peran pajak sangat strategis dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir tampak didominasi oleh penerimaan pajak. Pajak dapat dipandang sebagai sebuah peralihan kekayaan dari satu pihak ke pihak yang lain, yakni dari rakyat selaku wajib pajak kepada pemerintah, maka dengan sendirinya tentu ada pihak yang melakukan pemungutan atau menerima peralihan kekayaan itu, dalam hal ini yang dimaksud adalah pemerintah. Melihat perkembangan dalam masyarakat pajak dapat dikelompokkan dalam tiga kriteria antara lain: 10 1. Menurut Sifatnya a. Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya PPh (Pajak Penghasilan). b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya PPn (Pajak Pertambahan Nilai). 2. Menurut Sasaran atau Objeknya a. Pajak subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya), setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul, 10 Ibid, hlm. 27

apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya PPh (Pajak Penghasilan). b. Pajak objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan atau melihat objeknya, baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya, barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui, misalnya PPn (Pajak Pertambahan Nilai). 3. Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak pusat adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak, misalnya PPh (Pajak Penghasilan), PPn (Pajak Pertambahan Nilai), Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya seharihari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah, misalnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, dan Pajak Reklame. Berdasarkan yang telah dijelaskan di atas, masih dimungkinkan adanya pajak kabupaten atau kota yang lain asalkan memenuhi syaratsyarat yang ditentukan oleh undang-undang seperti misalnya, sifatnya pajak dan bukan retribusi, objek pajaknya bukan menjadi objek pajak

propinsi, dan sebagainya. Guna memenuhi kepentingan bersama, diperlukan adanya sejumlah sarana dan prasarana serta dana yang diperoleh antara lain dari rakyat karena pajak diadakan guna memenuhi kebutuhan bersama, atau kepentingan umum. B. Aspek Hukum Pemalsuan Faktur Pajak Pajak sebagai realita yang ada di masyarakat, seiiring dengan perkembangannya dalam kehidupan sehari-hari, pelaksanaan sistem pemungutan pajak harus berjalan dengan baik, adil, lancar, sekaligus membawa hasil yang baik bagi kas negara. Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi empat antara lain: 11 1. Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemungut (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak terutang) oleh seseorang, dengan sistem ini masyarakat bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak. 2. Semiself assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menetukan besarnya pajak seseorang yang terutang. Sistem ini, setiap awal tahun pajak wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang untuk berjalan yang merupakan angsuran bagi wajib pajak yang harus disetor 11 Ibid hlm. 30

sendiri, kemudian pada akhir tahun pajak fiskus menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan oleh wajib pajak. 3. Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Sistem ini menjelaskan, wajib pajak yang aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali wajib pajak melanggar ketentuan yang berlaku. 4. Withholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkannya kepada fiskus. Pada sistem ini, fiskus dan wajib pajak tidak aktif. Fiskus hanya bertugas mengawasi saja pelaksanaan pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Tahun 1968 sampai dengan 1983, sistem perpajakan masih menggunakan sistem semiself assessment dan withholding dengan tata cara yang disebut MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang). Barulah tahun 1984 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem pemungutan pajak Indonesia, yaitu dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berjalan pada 1 Januari 1984. 12 Sistem self assessment secara jelas dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menegaskan bahwa, Pasal 12: (1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. (2) Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. Wajib pajak, sekalipun sudah melaksanakan kewajiban sesuai sistem self assessment, bukan berarti wajib pajak tidajk dimungkinkan lagi untuk dilakukan pemeriksaan. Artinya pemerintah beserta Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak apabila diketahui tidak benar dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan tentunya diketahui berdasarkan data yang diperoleh Direktorat Jenderal Pajak dari pihak ketiga. 13 12 Ibid hlm 31 13 Ibid. hlm 32

Kepercayaan yang diberikan undang-undang kepada wajib pajak dengan sistem self assessment merupakan kepercayaan yang harus dijaga agar wajib pajak tidak terkena sanksi perpajakan yang cukup berat. Apabila wajib pajak melakukan kewajiban perpajakan sesuai undang-undang, maka dengan sendirinya akan meminimalisasi ketentuan sanksi yang mungkin akan memberatkan wajib pajak itu sendiri. Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih menerapkan self assessment sistem dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap wajib pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam undang-undang perpajakan yang berlaku. Sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan. Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan khususnya sanksi pidana, sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tindak pidana perpajakan yang terjadi karena kealpaan wajib pajak tidak hanya diatur dalam Pasal 38, tetapi juga diatur dalam Pasal 13A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa, wajib pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh wajib pajak dan wajib pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Ketentuan pidana dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa: Pasal 38 Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak

atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun. Kedua pasal tersebut mengatur unsur tindak pidana pajak yang sama, hanya saja tindak pidana yang diatur dalam Pasal 13A tidak dikenakan sanksi, bila wajib pajak baru pertama kali melakukannya. Undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan secara detail, tetapi hanya memberikan penjelasan bahwa pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Bagi wajib pajak yang melanggar pertama kali tidak dikenakan sanksi pidana, tetapi hanya wajib melunasi kekurangan pajak ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana kejahatan, ancaman pidananya lebih berat dari tindak pidana pelanggaran, yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (tahun) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau yang kurang dibayar. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seleuruh pidana penjara yang dijatuhkan, ancaman pidananya ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana tersebut. Hal ini tercantum dalam Pasal 39 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyatakan:

Pasal 39 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan palinsingkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. (3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha

Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. Tindak pidana perpajakan selanjutnya yaitu penggunaan faktur pajak. Maraknya penggunaan faktur pajak yang tidak benar oleh pelaku usaha, tampaknya telah memberikan inspirasi khusus pada pemerintah untuk menambahkan satu pasal khusus pemberian sanksi pidana bagi mereka yang dengan sengaja menerbitkan atau menggunakan faktur pajak yang tidak benar. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 39A Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja: a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Dalam hukum pidana, dikenal dua teori dari pengertian kesengajaan (dolus atau opzet), yaitu teori kehendak dan teori membayangkan. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Teori membayangkan menjelaskan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat mengharapkan, atau membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat. Dikatakan sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan tersebut. Tindakan pelaku dilakukan sesuai dengan bayangan yang telah dibuatnya terlebih dahulu. Berdasarkan ketentuan Pasal 38, 39 dan 39A, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terdapat 6 (enam) kelompok tindak pidana perpajakan, yaitu: 14 1. Tindak pidana berkaitan dengan pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP); 2. Tindak pidana berkaitan dengan pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT); 3. Tindak pidana berkaitan dengan penolakan pemeriksaan; 4. Tindak pidana berkaitan dengan kewajiban penyelenggaraan pembukuan pencatatan, dan dokumen lain yang palsu atau dipalsukan; 14 Ibid hlm. 159

5. Tindak pidana berkaitan dengan penyetoran pajak yang telah dipotong atau dipungut; 6. Tindak pidana berkaitan dengan penerbitan dan penggunaan faktur pajak, bukti pemungutan pajak dan bukti setoran pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Mengacu pada tujuan hukum pidana, lazimnya penerapan sanksi terhadap tindak pidana, termasuk tindak pidana perpajakan adalah bertujuan untuk memberi kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat. Penerapan sanksi pidana sebagai pemberian efek jera bagi pelakunya jelas menjadi tujuan untuk itu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Tujuan utama hukum pajak pada prinsipnya tidak sematamata bertujuan untuk memberikan sanksi pidana seperti halnya tindak pidana pada umunya, oleh karena itu tujuan hukum pajak adalah agar masyarakat memahami ketentuan undang-undang perpajakan dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara. 15 15 Ibid hlm. 181