PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KEJURUAN BERBASIS POTENSI DAERAH DAN SUMBERDAYA ALAM DALAM MENDUKUNG CONTINUING VOCATIONAL EDUCATION

dokumen-dokumen yang mirip
SEMINAR NASIONAL SMK BERBASIS POTENSI UNGGULAN DAERAH DAN KEBUTUHAN MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA MENGELIMINASI CITRA SEKOLAH SECOND CHOICE

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

ISU-ISU PENDIDIKAN DIY Oleh Dr. Rochmat Wahab, MA

Pendidikan Vokasi Bercirikan Keunggulan Lokal Oleh: Istanto W. Djatmiko Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. wilayah tanah air Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN. 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. pihak. Pendidikan seperti magnet yang sangat kuat karena dapat menarik berbagai

BAB I PENDAHULUAN. aspirasi masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah, maka wewenang pusat

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang

I. PENDAHULUAN. Menghadapi dan memasuki persaingan dunia kerja sekarang ini diperlukan SDM

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI. 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. diupayakan dan dikembangkan seiring dengan perkembangan jaman.

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

Rencana Strategis (RENSTRA)

BAB I PENDAHULUAN. potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013

otonomi daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 memberikan peluang bagi Pemerintah Daerah selaku pengelola

BAB I PENDAHULUAN. tujuan organisasi. Demikian halnya dengan sumber daya manusia dalam suatu

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 23 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN

ANALISIS KEBIJAKAN PENAMBAHAN SEKOLAH MENENGAH NEGERI BARU DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. sebagai dampak globalisasi memaksa organisasi pemerintah untuk

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KUANTITAS PROPORSI SMK : SMA

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan dalam era global menuntut berbagai perubahan pendidikan yang

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. besar dan kecil mempunyai berbagai keragaman. Keragaman itu menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-undang

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan di. meningkatkan produktivitas kreativitas, kualitas, dan efisiensi kerja.

I. PENDAHULUAN. tenaga kerja sebagai sumber daya manusianya. Standar dan kualitas tenaga. di pasar nasional, regional, maupun internasional.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

PEMERINTAH KOTA BANDUNG KECAMATAN BANDUNG KULON

BAB V FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN

DAFTAR ISI. Halaman Judul Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi dan informasi dituntut kemampuan ilmu. pengetahuan dan teknologi yang memadai. Untuk menuju pada kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

PERAN SERTA BANK INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) *) Oleh : Andang Setyobudi, SE **)

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB II PROGRAM KERJA. Dinas Tenaga Kerja merupakan instansi teknis yang melaksanakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan

Terwujudnya Masyarakat Tenaga Kerja Kabupaten Bandung yang Mandiri, Produktif, Profesional dan Berdaya Saing

PELUANG DAN TANTANGAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH DAN PENERAPAN MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH

BAB 1 PENDAHULUAN PEDOMAN PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT EDISI X 1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi persaingan antar negara di dunia melalui industrialisasi dan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti

ABSTRAK DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... iii UCAPAN TERIMAKASIH... vii DAFTAR ISI... xii DARTAR TABEL... xix DAFTAR GAMBAR...

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya.

I. PENDAHULUAN yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis. Adanya

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

PEMERINTAH KOTA BANDUNG KECAMATAN BANDUNG KULON

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Perubahan yang terjadi dengan cepat dalam segala aspek kehidupan. sebagai dampak globalisasi memaksa organisasi pemerintah untuk

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

RINGKASAN DOKUMEN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KABUPATEN PASURUAN TAHUN

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

Transkripsi:

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KEJURUAN BERBASIS POTENSI DAERAH DAN SUMBERDAYA ALAM DALAM MENDUKUNG CONTINUING VOCATIONAL EDUCATION Wagiran Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta wagiran@uny.ac.id Disampaikan dalam Seminar Internasional Aptekindo, Undiksa 29 April-2 Mei 2010 ABSTRAK Kebijakan reproporsi SMA-SMK dari 70: 30 menjadi 70:30 merupakan salahsatu upaya pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional dalam mengatasi permasalahan pengangguran melalui pemberdayaan SMK. Namun demikian aspek yang harus dicermati adalah reproporsi tersebut bukan hanya pada aspek jumlah, namun yang lebih penting adalah aspek relevansi. Dalam konteks otonomi daerah, setiap daerah dituntut untuk mampu menentukan berapa jumlah SMK yang harus didirikan di tempatnya serta bidang apasaja yang harus dibuka. Pengembangan SMK berbasis potensi daerah penting dilakukan guna mewujudkan pendidikan yang mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi daerah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan diversifikasi lapangan kerja bagi lulusan. Kata Kunci: reproporsi, SMA, SMK, otonomi daerah Pendahuluan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah salah satu jenis satuan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah (UU No. 20/2003). Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, terbukti bahwa SMK memiliki peran strategis dalam pendidikan ketenagakerjaan. Posisi strategis tersebut tampak dalam berbagai aspek berikut: 1. SMK merupakan bagian integral dari sektor ekonomi yang turut berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Oleh karenanya SMK perlu dikembangkan baik secara kuantitas maupun kualitas. 2. Kualitas SMK merefleksikan kualitas tenaga kerja Indonesia yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan daya saing sumberdaya manusia Indonesia. 3. SMK berperan dalam mengurangi indeks pengangguran dalam lingkup lokal maupun nasional. Salahsatu kebijakan nasional yang tertuang dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional adalah reproporsionalisasi SMU-SMK. Hal ini tampak tegas dalam salah satu isi sambutan Menteri Pendidikan Nasional dalam Upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2007 sebagai berikut: Selain itu, dalam upaya mendorong keluaran pendidikan kita dan lebih relevan dengan tuntutan kebutuhan angkatan kerja, pemerintah telah berupaya untuk mengubah komposisi rasio jumlah sekolah umum dan kejuruan dari 30:70 menjadi 70:30 sampai tahun 2015, dan rasio pada akhir tahun 2006 telah mencapai 35:65. 1

Dalam lingkup operasional, komitmen pelaksanaan kebijakan tersebut dapat kita lihat dari Rencana Strategis Direktorat Pembinaan SMK yang mentargetkan pada tahun 2010 proporsi antara SMA dan SMK telah mencapai 50: 50. Berbagai upaya dilakukan diantaranya dengan memfasilitasi pendirian SMK-SMK baru, pendirian SMK Kecil, maupun diversifikasi jurusan dan program studi yang ada di SMK. Dalam era otonomi daerah, kebijakan merubah proporsi SMA dengan SMK tentu akan mendorong dan bahkan menuntut setiap Daerah Kabupaten atau Kota untuk menata dan memenuhi kesesuaian jumlah tersebut. Oleh karenanya menjadi tugas daerah untuk merancang, mengkoordinasi, menyelenggarakan, dan mengevaluasi kesesuaian proporsi sekolah kejuruan dan sekolah umum tersebut. Makalah ini membahas dan mengkritisi kebijakan tersebut terutama menyangkut pola implementasi di daerah dalam era otonomi. Dengan memperhatikan karakteristik masing-masing diharapkan daerah dalam hal ini Kabupaten/Kota tidak melakukan kesalahan baik dalam hal menentukan jumlah, jenis, jurusan, program keahlian, pengelolaan, pembiayaan, pengendalian mutu hingga evaluasinya. Hal ini mengingat untuk membangun suatu SMK diperlukan sumberdaya dan sumberdana yang tidak sedikit, bahkan beberapa kali lipatnya dibandingkan untuk mendirikan SMA. Salahsatu aspek yang penting diperhatikan adalah bagaimana keberadaan SMK tersebut mampu mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, mengoptimalkan potensi daerah serta meningkatkan peluang kerja lulusan. Pendirian SMK dalam Konteks Otonomi Daerah Istilah desentralisasi pendidikan telah menjadi wacana publik, khususnya bagi mereka yang peduli pada upaya peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Istilah tersebut muncul dalam paket undang-undang tentang pemerintahan daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan, termasuk bidang pendidikan. Bray, 1984 (dalam Bambang, 2006) menjelaskan bahwa dalam desentralisasi pendidikan, suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima penyerahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pendidikan, termasuk pemanfaatan fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dalam pembiayaan. Jadi, isu terpenting dari desentralisasi pendidikan adalah penyelenggaraan pendidikan, dalam hal ini sekolah memperoleh kewenangan atau otoritas mengelola sekolahnya. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 11 menetapkan bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu bidang pemerintah yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Tujuan penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih bermutu, relevan, dan merata kepada masyarakat setempat. Selain itu, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 50 ayat (5) menetapkan bahwa Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam hal ini adalah melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan peyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah Perubahan paradigma pengelolaan pendidikan pada era desentralisasi ini membawa konsekuensi terhadap sistem kelembagaan yang ada. Hal ini terkait dengan ketentuan ayat (1) pasal 8 undang-undang Nomor 22 tahun1999 yang menyatakan bahwa kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serata sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan. 2

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang ada, pemerintah daerah diberi otonomi atau keleluasaan untuk membuat perencanaan, pengelolaan, sampai evaluasi serata pembiayaan program pendidikan ayang akan diterapkan di daerah masing-masing. Kondisi yang demikian ini, menciptakan warna tersendiri pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, termasuk juga antara satu pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya. Struktur organisasi yang ada selama ini yang menggambarkanhubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang hierarki sudah tidak sesuai lagi karena kewenangan dalam pengelola pendidikan telah diserahkan kepada pemerintah daerah. Strategi pemberdayaan pendidikan sesuai jiwa desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat dari indikator sebagai berikut: (1) tersedianya lembaga pendidikan yang semakin bervariasi di daerah, yang diikat secara nasional dengan visi dan mis! pendidikan nasional,(2) jumlah lembaga pendidikan yang semakin efisien, (3) lembaga pendidikan yang didukung oleh organisasi yang efektif dan efisien dalam manajemennya, (4) mutu dan ragam prasarana dan sarana lembaga pendidikan yang makin baik dan mampu mendukung iklim dan proses pembelajaran di sekolah, (5) tingkat kemandirian lembaga satuan pendidikan yang makin tinggi dalam merencanakan, melaksanakan, dan memintakan masukan dad masyarakat serta stakeholder. Pemanfaatan potensi daerah sebagai basis pengembangan, pemerataan, dan perluasan pendidikan harus dilihat dari tiga aspek utama, yaitu: (1) potensi geografis yang meliputi kekayaan alam, letak wilayah, dan. sumber daya buatan, (2) faktor kultural, kepercayaan nilai-nilai moral, dan norma yang menentukan kepribadian masyarakatnya, (3) kondisi sosial, ekonomi, dan tingkat kemajuan masyarakainya. Ketiga aspek ini ada pada setiap kawasan dan kadang-kadang memperlihatkan kesamaan, tetapi sangat sering terjadi perbedaan atau variasi. Pembukaan dan perluasan pendidikan memerlukan adanya iklim yang mendukung, adanya sumber tempat praktek atau pelatiihan, dan suasana penerimaan dan pemanfaatan oleh masyarakat. Oleh sebab, itu setiap upaya mendirikan sarana atau lembaga pendidikan perlu disesuaikan dengan kondisi kawasan yang ada, sehingga tidak terkesan mubazir. Mungkin lembaga pendidikan bersifat umum bisa sama seluruh Indanesia, tetapi yang bersifat khusus harus disesuaikan dengan kondisi kawasan dengan mempertimbangkan tiga aspek pendukung di atas. Dalam konteks pengembangan pendidikan kejuruan, Daerah memiliki kewenangan menentukan kebijakan pengembangan program pendidikan SMK yang sesuai dengan konteks daerah. Program pendidikan SMK dapat diarahkan untuk menghasilkan tenaga kerja atau sumber daya manusia (SDM) yang lebih produktif dan mampu mendayagunakan potensi perekonomian daerah, mampu memperbesar perputaran perekonomian, sehingga dalam jangka panjang akan meningkatkan kemandirian daerah. Program pendidikan SMK berorientasi pada upaya mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang tertentu, karena itu pembukaan programnya harus didasari oleh alasan yang sangat khusus (justifikasi). Justifikasi dibukanya satu program pendidikan SMK ditentukan oleh adanya kebutuhan nyata yang dirasakan di lapangan berupa tenaga yang perlu dididik di SMK. Tegasnya dapat dinyatakan bahwa sekolah kejuruan sebenarnya tidak layak ada jika di lapangan tidak dibutuhkan tenaga yang akan dididik di sekolah tersebut. Faktor yang mempertemukan program pendidikan SMK dengan pengembangan perekonomian daerah adalah faktor produktivitas tenaga kerja. SMK mengemban misi mempersiapkan lulusannya dengan keterampilan dan kecakapan tertentu agar menjadi tenaga kerja yang lebih tinggi produktivitasnya. Sementara itu, daerah berkepentingan dan berusaha untuk memperoleh tenaga kerja dengan produktivitas tinggi (lulusan SMK) yang diperlukan untuk mengembangkan dan mendayagunakan potensi perekonomian daerah. 3

Fungsi SMK dalam mempersiapkan kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan untuk mengembangkan perekonomian daerah mencakup dua dimensi: (1) dimensi kuantitatif, yaitu yang berkaitan dengan fungsi program pendidikan SMK dalam memasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang ada di daerah, dan (2) dimensi kualitatif, yaitu menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga kerja terdidik, terlatih dan terampil yang akan menjadi sumber penggerak (driving force) pengembangan perekonomian daerah. SMK sebagai penyedia tenaga kerja terdidik dan terampil tidak hanya harus memenuhi kebutuhan secara kuantitatif, yang juga penting untuk diperhatikan adalah jenisjenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri dan dunia usaha yang ada di daerah. Dalam kaitan dengan fungsi sebagai penyedia tenaga kerja SMK harus mampu menghasilkan tenaga cakap dan terampil, dengan asumsi bahwa lapangan kerja yang membutuhkan jenis kecakapan dan keterampilan tersebut juga telah tersedia. Fungsi SMK sebagai penghasil tenaga penggerak (driving force) perekonomian daerah mengharuskan agar SMK mampu membuka cakrawala pemikiran lebih luas bagi tenaga kerja lulusan SMK, menghasilkan tenaga yang dapat mengembangkan potensinya dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini sangat penting terutama dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian lulusan SMK tidak hanya bergantung pada lapangan kerja yang ada, akan tetapi mampu mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial, dan mendayagunakan segenap potensi ekonomi yang ada. Permasalahannya adalah ; pertama, bagaimana SMK harus dikembangkan agar benar-benar dapat menjalankan fungsi sebagai penyedia tenaga terampil yang dapat diandalkan sebagai pelaku dan pendukung pembangunan ekonomi daerah. Kedua, dalam bidang apa SMK dikembangkan agar dapat dicapai efisiensi di dalam penyediaan tenaga kerja, sehingga karenanya SMK memperoleh justifikasi eksistensi kuat dari masyarakat setempat. Menyangkut permasalahan pertama, SMK dapat dikembangkan menggunakan pendekatan antisipatif dan responsif. Pendekatan ini menuntut bahwa pengembangan SMK pada satu sisi harus memperhatikan kebutuhan akan tenaga kerja dalam jangka panjang sementara pada sisi yang lain juga harus tanggap terhadap perubahan yang terjadi dan kebutuhan akan tenaga kerja di lingkungan sekitarnya. Dalam konteks daerah, maka upaya mengembangkan SMK agar dapat berperan dalam usaha pembangunan perekonomian didasarkan pada dua hal: (1) karakteristik dan prospek perkembangan perekonomian daerah, (2) profil atau karakteristik tenaga kerja di daerah. Dengan demikian permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah bagaimanakah karakteristik perekonomian suatu daerah dan bagaimanakah prospek pengembangannya. Bagaimanakah karakteristik atau profil tenaga kerja yang ada, dan bagaimanakah prospek dan arah pengembangannya. Jenis keterampilan apakah yang sebaiknya dikembangkan tenaga kerja agar dapat mendukung pengembangan perekonomian daerah. Sedangkan berkaitan dengan masalah kedua, pengembangan dapat dilakukan terutama dalam bidang manajemen penyelenggaraan SMK, sumberdaya manusia (SDM), program pendidikan, dan pendanaan, sehingga dapat diajukan pertanyaan: bagaimanakah manajemen SMK di daerah dalam era otonomi, bagaimana pengembangan sumberdaya SMK terutama sumberdaya manusia dan fasilitas di daerah, bagaimana pengembangan program pendidikan SMK, dan bagaimana pendanaan SMK utamanya mengenai jumlah, alokasi, dan sumbernya. 4

Bukan Sekedar Jumlah. Sebagai tindaklanjut kebijakan reproporsionalisasi SMA-SMK tersebut, setiap daerah harus siap menindaklanjuti dengan berbagai strategi. Selain aspek jumlah (proporsi), satu aspek penting yang tidak boleh dilupakan adalah RELEVANSI bidang atau program kejuruan yang akan dibuka dengan tuntutan dunia kerja dan potensi daerah masing-masing. Oleh karenanya setiap daerah dituntut mampu merencanakan jumlah dan jenis program kejuruan yang akan dikembangkan ke depan. Tanpa perencanaan tersebut mustahil didapatkan lulusan pendidikan kejuruan yang berkualitas dengan mutu yang memadai. Penelitian-penelitian tentang analisis kebutuhan program kejuruan yang diperlukan daerah dalam era otonomi, penting dilakukan guna mendapatkan gambaran obyektif dan data akurat sebagai bahan pertimbangan. Dengan kesesuaian program kejuruan dan karakteristik serta potensi daerah diharapkan mampu meningkatkan difersifikasi lapangan usaha bagi lulusan SMK yang dapat berdampak pada kemajuan daerah tersebut. Relevansi terkait erat dengan bidang kejuruan apa yang hendak dibuka. Sebagai bagian dari pengembangan sistem ekonomi beberapa faktor perlu pertimbangan dalam menentukan program studi yang akan dibuka di SMK. Beberapa faktor tersebut antara lain: pertumbuhan sektor ekonomi, kebijakan di bidang ekonomi, dan studi kebutuhan tenaga kerja. Dari gambaran pertumbuhan sektor-sektor ekonomi, pertumbuhan kebutuhan tenaga kerja serta prediksi jumlah siswa menurut pertumbuhan sektor ekonomi tersebut dapat dianalisis apakah SMK sudah mampu memenuhi kebutuhan bidang-bidang pekerjaan tersebut. Atau justru hanya berkutat pada beberapa bidang saja, sehingga pengangguran yang terjadi lebih diakibatkan oleh mismatch daripada ketersediaan lapangan kerja? Pertanyaan tersebut haruslah dijawab terlebih dahulu sebelum menentukan bidang apasaja yang akan dibuka SMK di daerah. Dari berbagai bidang keahlian yang direkomendasikan berdasarakan pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan tersebut, menjadi tugas daerah untuk menentukan bidang keahalian manasaja yang layak untuk dibuka sesuai potensi maupun karakteristik masing-masing. Jumlah dan Jenis Program Kejuruan Kebijakan otonomi daerah, otonomi dan desentralisasi pendidikan juga berdampak pada penyelenggaraan pendidikan ketenagakerjaan dalam hal ini pendidikan kejuruan di daerah. Oleh karenanya pertanyaan yang harus dijawab adalah berapa jumlah SMK yang harus dibangun dan bidang apasaja yang dibutuhkan. Secara prinsip, analisis kebutuhan program kejuruan yang dibutuhkan daerah didasarkan pada perkiraan kebutuhan tenaga kerja dalam periode tertentu, dengan mempertimbangkan karakteristik dan potensi daerah. Hal ini selaras dengan semangat otonomi daerah termasuk desentralisasi dalam bidang pendidikan yang menempatkan pendidikan sebagai salahsatu aspek dalam menumbuhkan perekonomian dan kemajuan daerah. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menentukan program kejuruan yang dibutuhkan daerah antara lain: (1) menentukan tipologi daerah, (2) menentukan persediaan tenaga kerja daerah, (3) memperhitungkan kebutuhan tenaga kerja, (4) memperhitungkan kebutuhan tenaga kerja daerah, (5) menentukan jumlah lembaga pendidikan berdasarkan bidang-bidang kejuruan. Langkah tersebut dapat ditampilkan dalam diagram pada Gambar 1. 5

Prospek Perekonomian Karakteristik Perekonomian Prospek sub Sektor Perekonomian Aktivitas sub sektor Perekonomian Jenis, Jumlah, dan Kualifikasi Jabatan Jenis, jumlah, dan Kualifikasi Kesempatan kerja tiap sub Sektor Jenis, Jumlah, dan Kualifikasi Jabatan Jenis, Jumlah, dan Kualifikasi Tenaga Kerja Program Pendidikan SMK yang Sudah Ada Program Pendidikan SMK yang Dibutuhkan Gambar 1. Diagram Alir Penentuan Program Pendidikan SMK yang Dibutuhkan Daerah Perkembangan teknologi komputer (PC) yang semakin pesat dan ditunjang dengan perkembangan perangkat lunak (software), telah membantu orang-orang dalam melaksanakan pekerjaannya. Berbagai perangkat lunak yang dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi maupun variabel yang lain. Pengembangan SMK Berbasis Potensi Daerah SMK bertujuan untuk mempersiapkan peserta didiknya untuk dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lowongan pekerjaan yang ada sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Tujuan demikian, membawa konsekuensi bahwa SMK dituntut mampu membekali lulusannya dengan seperangkat kompetensi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja. Oleh karena itu program pendidikan SMK lebih menitik-beratkan pada pengembangan kemampuan siswa untuk dapat melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Hal itu sejalan dengan konsep dasar pendidikan kejuruan yaitu menyiapkan tenaga teknisi tingkat menengah untuk bekerja di 6

industri dan mengisi kesempatan kerja baru yang terbuka seiring dengan perkembangan dunia industri. Namun demikian program pendidikan yang hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja untuk dapat bekerja di industri memiliki konsekuensi terutama mengenai efisiensi eksternalnya. Justifikasi keberadaan SMK dengan demikian ditentukan sepenuhnya oleh perkembangan dan kemampuan industri dalam menyerap lulusan yang dihasilkannya. Hal ini tentunya merupakan kelemahan, terlebih jika dikaitkan dengan perkembangan industri Indonesia belakangan ini. Seperti diketahui bahwa pada tahap awal pembangunan industri di Indonesia, prioritas diberikan pada pengembangan industri untuk substitusi impor (import-subtituting industrialization) dan jenis industri yang berorientasi ekspor (export-oriented industrialization). Realisasi kebijakan pengembangan kedua kelompok industri tersebut mampu menarik minat perusahaan multinasional (multinational enterprises) untuk melakukan penetrasi industri di Indonesia. Namun demikian banyak dari perusahaan multinasional itu adalah termasuk dalam kelompok perusahaan atau industri yang sangat mudah meninggalkan atau berpindah tempat (foot-loose industries) seperti industri elektronika, tekstil dan produk tekstil, sepatu, dan lain sebagainya. Jenis industri tersebut baik PMA (Penanaman Modal Asing) atau perusahaan modal patungan (joint venture) masuk beroperasi di Indonesia karena memanfaatkan keunggulan komparatif berupa tersedianya secara melimpah tenaga kerja yang bersedia dibayar murah. Aktivitas industrinya sendiri tidak memiliki akar yang kuat dan tidak mampu membentuk suatu industrial base, karena dalam operasinya tidak terkait dengan industri lokal. Kehadiran perusahaan multinasional demikian tidak mampu menjadi lokomotif penggerak yang merangsang tumbuh dan berkembangnya industri disekitarnya yang dapat bertindak sebagai pemasok dan membentuk jaringan industri hulu-hilir yang memiliki suatu keterkaitan produk. Meskipun skala usaha perusahaan multi-nasional sangat besar tetapi dalam penyerapan tenaga kerja lulusan SMK tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Selain tidak memerlukan tenaga kerja yang memiliki keterampilan teknis dan pendidikan tertentu seperti SMK, juga tidak mempunyai efek snowball dalam hal penyerapan tenaga kerja karena misi dan sifat industrinya tidak memiliki keterkaitan produk dengan industriindustri di sekitarnya. Kesempatan kerja yang banyak terbuka pada berbagai perusahaan multinasional yang beroperasi di sejumlah kawasan industri Indonesia adalah tenaga operator yang pada umumnya tidak perlu memiliki kecakapan dan keterampilan tertentu seperti yang dimiliki lulusan SMK. Hal ini tentunya merupakan tantangan tersendiri karena apabila lulusan SMK harus berebut kesempatan kerja sebagai tenaga operator dengan lulusan pendidikan setingkat lainnya akan menyebabkan rate of return lulusan SMK menjadi rendah sehingga akan dapat memperlemah justifikasi eksisitensi SMK. Untuk itu agar kepercayaan masyarakat yang tinggi pada SMK tetap dapat terpelihara, maka SMK harus menata kembali orientasi program pendidikannya, yaitu dengan menyelenggarakan program pendidikan yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, meskipun kebutuhan masyarakat sendiri akan program pendidikan kejuruan berkembang sejalan dengan perubahan politik, ekonomi, sosial budaya, di samping ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam rangka pendayagunaan potensi dan pengembangan ekonomi daerah keberadaan lembaga pendidikan khususnya SMK mempunyai fungsi dan peran sangat strategis. Namun demikian fungsi strategis tersebut belum tentu dapat dilaksanakan mengingat kebijakan pengembangan SMK selama ini hampir dapat dikatakan tidak 7

bersentuhan dengan kebutuhan daerah. Untuk itu dalam hubungannya dengan upaya pengembangan perekonomian daerah, muncul permasalahan bagaimanakah SMK seharusnya dikembangkan sehingga dapat melaksanakan fungsi strategis mendukung upaya pengembangan ekonomi daerah. Studi Pengembangan Pendidikan Berbasis Potensi Daerah Pengembangan pendidikan berbasis potensi daerah selayaknya ditempuh dengan suatu studi yang mendalam dan sistematis sehingga akurasi perencanaan dapat terjamin dengan optimal. Pada kegiatan studi ini didasarkan 4 fokus utama, yaitu; (a) analisis potensi dan sumber daya (b) penyusunan beberapa konsep mengenai pembangunan pendidikan berbasis kawasan (daerah); (c) penyusunan program jangka pendek, menengah, panjang,; (d) perencanaan sumber daya manusia dan fasilitas penunjang. Untuk melahirkan suatu model atau master plan pendidikan berbasis potensi daerah dapat disajikan ruang lingkup kegiatan kajian pengembangan tersebut sebagai berikut: 1. Identifikasi seluruh infrastruktur yang ada baik infrastruktur pendidikan maupun ekonomi 2. Eksplorasi potensi sumberdaya yang dimiliki untuk peningkatan kualitas pendidikan seperti yang diharapkan 3. Pembuatan rencana pengembangan awal sistem pendidikan dalam kerangka pembaharuan pendidikan dengan memperhatikan visi yang diusulkan dan implementasinya di lapangan. 4. Analisis dan pembuatan rencana penguatan program pendidikan yang telah ada dan penciptaan serta pengembangan program pendidikan baru bahkan lembaga pendidikan baru sesuai potensi dan kebutuhan 5. Pembuatan rencana pembenahan dan pengembangan awal sistem pembelajaran di lembaga pendidikan 6. Penyiapan instrumen evaluasi keberhasilan sistem, proses, serta produk pendidikan yang bervisi sains, teknologi, lingkungan dan masyarakat 7. Pembuatan rencana pembenahan sistem manajemen pendidikan 8. Pembuatan rencana program-program peningkatan kualitas pendidik (guru/dosen) yang mampu mengimplementasikan sistem pendidikan bervisi sains, teknologi, lingkungan dan masyarakat. 9. Pembuatan rencana pembenahan dan pengembangan awal kurikulum pendidikan yang berbasis kompetensi 10. Pembuatan rencana pembenahan dan pengembangan awal sarana dan prasarana pendukung proses pembelajaran dan manajemen pendidikan dasar, menengah, kejuruan, pendidikan luar sekolah, dan pendidikan tinggi 11. Penyusunan kebijakan pendidikan berbasis kawasan dengan memperhatikan visi sains, teknologi, lingkungan dan masyarakat (Sumber : Tuloli; 2002) Melalui langkah-langkah tersebut diharapkan pendidikan mampu berperan secara optimal dalam upaya turut memajukan daerah. Pengembangan Pendidikan Berbasis Potensi Sumber Daya Alam Pendekatan (model) perencanaan tenaga kerja (PTK) yang digunakan selama ini - Manpower Requirement Approach (MRA) perlu dikoreksi mengingat perkembangan situasi dan kondisi bidang ketenagakerjaan, antara lain: (1) ada perubahan kondisi perekonomian (akibat krisis multi dimensi) ; (2) perubahan sistem pemerintahan (desentralisasi otonomi darah) ; (3) perubahan prioritas pembangunan yang ada di daerah kota/kabupaten ; dan (4) 8

adanya komitmen pemerintah untuk melaksanakan Decent Work secara berkesinambungan (www.nakertrans.co.id). Salahsatu pendekatan yang sesuai untuk diterapkan adalah pendekatan perencanaan tenaga kerja dengan berbasis pada pemberdayaan Sumber Daya Alam (SDA) di masingmasing lokasi kota/kabupaten dengan maksud untuk mendukung pembangunan daerah sesuai dengan potensi SDA dan komoditi unggulan daerah tersebut. Pendekatan SDA-SDM ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata mengenai kebutuhan tenaga keja dan dapat mempetemukan antara persediaan (supply) dan permintaan (demand) tenaga kerja secara nyata dengan tetap memperhatikan sistem dan mekanismeyang selama ini telah ada di masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dampak penting dari perkembangan model simulasi ini adalah makin disadari analisis sistem sangat penting untuk pendekatan masalah secara integral. Penelitian terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) mengenai Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkenaan dengan potensi daerah, akan lebih efisien karena jelas arah penelitian yang akan dilakukan. Kesimpulan dan Saran Perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pendidikan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, sudah saatnya menjadi perhatian utama masing-masing daerah. Dengan demikian perencanaan ketenagakerjaan maupun bidang-bidang kejuruan perlu memperhatikan karakteristik dan potensi daerah. Upaya ini pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, diversifikasi dan perluasan lapangan kerja, dan memajukan daerah melalui pendidikan. Model-model perencanaan tenaga kerja dan bidang-bidang kejuruan yang dilakukan saat ini perlu disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi bidang ketenagakejaan seperti: (1) ada perubahan kondisi perekonomian; (2) perubahan sistem pemerintahan (desentralisasi otonomi darah) ; (3) perubahan prioritas pembangunan yang ada di daerah kota/kabupaten ; dan (4) adanya komitmen pemerintah untuk melaksanakan Decent Work secara berkesinambungan. Oleh karenanya perlu dikembangkan model-model perencanaan tenaga kerja dan bidang-bidang kejuruan sesuai dengan karakteristik daerah. Daftar Pustaka Bambang Setiyo HP (2006) Studi Kebutuhan Program Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Daerah Kabupaten Purworejo. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. ------------, Pengembangan Pendidikan Berbasis Potensi Sumber Daya Alam. Diakses dari: www.nakertrans.co.id. Tanggal 20 Mei 2007 Modul Perencanaan Tenaga Kerja Daerah. Diakses dari: www.nakertrans.co.id. Tanggal 20 Mei 2007 Pusdati Depnaker. Diakses dari: www.nakertrans.co.id. Tanggal 20 Mei 2007 Road Map of Directorate of PSMK 2006-2010. Direktorat Pembinaan SMK Sambutan Menteri Pendidikan Nasional dalam Upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2007 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah 9