LSPR Creative Writing Competition Commemorating Kartini s Day Theme : Modern Indonesian Women (Wanita Indonesia Masa Kini) NAME : AGUSTINA P. LUTFITA NIM : 2012161161 CLASS : PR 16 2C TITLE : Perempuan Itu JAKARTA 2014
PEREMPUAN ITU Agustina P. Lutfita Berawal pada tahun 1998, kirisis moneter. Krisis ekonomi, krisis yang mencetak angka fantastik bagi pengangguran. Meyulap jutaan keluarga menjadi liar karena kelaparan. Tak terhitung banyaknya jiwa yang terganggu akibat berbagai tekanan. Kekacauan, kemiskinan, penjarahan. Bising oleh teriakan para demonstran. Perubahan yang memaksa banyak orang merasakan kehilangan. Bukan saja dari segi materi. Seperti aku dan ibu, beserta kedua saudaraku. Menelan pahitnya kehilangan seorang ayah. Dia tidak mati. Dia pergi atas ketidakmampuannya menanggung beban yang dianggapnya sangat berat. Dia kembali. Kembali ke Negara asalnya, Taiwan. Ya, pergi begitu saja. Tanpa ada pesan ataupun warisan. Vivin, begitu aku disapa. Anak pertama yang memiliki seorang adik perempuan dan laki-laki. Terlahir dari orang tua yang memiliki profesi sebagai wirausaha. Tragis memang, menyaksikan usaha yang telah mereka bangun bertahun-tahun runtuh seiring dengan datangnya krisis moneter. Aku terlalu kecil pada saat itu. Usiaku belum genap 15 tahun. Kata orang, masih terlalu hijau untuk memahami kondisi yang sesungguhnya. Yang aku lihat, rumah yang kami tempati tidak semegah sebelumnya. Yang aku tahu, ibu berubah menjadi mesin pencari uang sejak kepergian ayah. Menjadi satu-satunya pendidik bagi ketiga anaknya. Seringkali aku melihat raut wajahnya lusuh karena terlalu lelah menghadapi beban hidup. Sibuk, mencari celah untuk dapat membangun kembali usahanya di bidang mainan anak-anak. Waktu yang terus berjalan tidak serta-merta membuat kami semakin mudah menjalani hidup. Tapi, itulah ibu. Dalam kondisi terbataspun ia selalu berusaha agar anaknya 1
selalu dapat yang terbaik, bisa menjadi siswa dari sekolah favorit di wilayah kami berdomisili, Jakarta. Tidak jarang aku bertanya, Ibu apa tidak terlalu berat kalau aku harus masuk ke SMA favorit itu? Sambil mengelus kepalaku jawabnya, tidak ada yang berat kalau untuk urusan pendidikan bagi anak-anak ibu. Sanggahku lagi, padahal mungkin ibu tidak perlu sekeras ini untuk mencari uang jika kami tidak masuk ke sekolah dengan fasilitas super. Apapun akan ibu kerjakan, selagi halal. Kebahagiaan ibu adalah dapat melihat kalian mendapatkan pendidikan yang terbaik. Lingkungan dan fasilitas yang dapat menunjang kecerdasan serta bakat kalian. Jawabnya tegas. Padahal nyatanya biaya untuk makan kami esok baru bisa didapat jika ibu berjualan hari ini. Belum lagi aku bukan satu-satunya yang sedamg dibiayai pendidikannya oleh ibu. Adik perempuanku Vira juga masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Di sisi lain, si bungsu Vino yang mulai sibuk mempertanyakan keberadaan ayah. Tidak heran. Anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami sangat merindukan figur ayahnya. Ayahku kapan pulang? tanyanya sambil terbata dengan logat khas anak umur 4 tahun. 2
Kembali kami membohonginya. Berulang kali. Ayah kerjanya jauh, supaya bisa beliin adik mainan baru yang banyak. Jawab ibu sambil menerbangkan mainan helikopter adik dengan tangannya yang mulai menghitam tersengat matahari karena rutinitas berjualan menumpang di depan toko orang. Rasa bersalah selalu menghampiri kami karena tidak memiliki keberanian yang cukup untuk mengatakan kenyataan yang sesungguhnya. Terlalu naïf memang. Tapi ya begitulah. Bagi kami itu merupakan cara terbaik untuk membebaskan anak sekecil Vino dari kenyataan hidup yang tidak selamanya indah. Aku butuh waktu. Terus merasa butuh. Ya, waktu. Waktu untuk dapat menerima. Waktu untuk dapat mengikhlaskan. Menerima, nyatanya hidupku tidak semudah kawan-kawanku di SMA favorit itu. Menghikhlaskan, apa yang tidak lagi dapat menjadi milikku. Bertanya pada Tuhan? Hampir di setiap doaku. Pertanyaan dengan kalimat yang sama. Kenapa harus aku Tuhan? Kenapa harus ibu serta kedua adikku? Kenapa harus kami? Kenapa bukan mereka? Kenapa bukan salah satu dari kawan-kawanku itu? 3
Pertanyaan yang selalu diawali dengan kata yang dapat menyatakan sebab. Iri rasanya. Dipaksa tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang dari usiaku yang sesungguhnya. Memikirkan masalah yang belum dialami kawan-kawan sebayaku. Setiap hari aku sibuk berfikir. Bertanya dalam hati. Atau bahkan berdialog secara diam-diam dengan Tuhan. Apa sebetulnya hikmah yang ingin Kau sampaikan di balik ujian ini? Gumamku dalam hati. Tidak seperti mengedipkan kelopak mata yang begitu cepat dapat aku temukan jawabannya. Tak tega rasanya melihat ibu mati-matian sibuk mencari nafkah untuk memperbaiki garis hidup keturunannya. Sedangkan aku, sibuk dengan berbagai pertanyaan dalam diriku sendiri. Mulai tumbuh semangatku untuk belajar lebih giat lagi. Belajar lebih keras. Meluangkan waktu lebih banyak untuk belajar. Hingga pada akhirnya aku mempercayai bahwa usaha dan doa berbanding lurus dengan hasil. Nilaikupun beranjak naik. Bahkan unggul dibanding kawan-kawanku yang hidupnya selalu aku anggap lebih bahagia. 4
Kamu dibebaskan dari pungutan iuaran selama 1 tahun ke depan. Ini merupakan penghargaan untuk salah satu murid berprestasi disini. Itu sepenggal kalimat yang dijelaskan oleh salah satu pegawai di ruangan Tata Usaha sekolahku. Pertama kalinya dalam sejarah hidupku. Pertama dan perlahan mengubah. Mengubah cara pandangku tentang berkat yang dititipkan Tuhan di setiap ujian untuk umatnya. Kini, akupun memahami hanya orang-orang yang dianggapnya kuat yang diberikan cobaan lebih dari yang lain. Akupun seketika mengubah doa dalam setiap interaksiku dengan Tuhan. Tidak lagi aku mau bertanya akan sebab. Tapi Tuhan, tolong berikan juga kekuatan lebihmu kepada aku berserta keluarga akan setiap ujian yang Engkau percayakan kepada kami untuk memikulnya. Seketika lenyap rasa sakit kehilangan orang terkasih yang sempat meninggalkan bekas mendalam di hatiku. Tidak ada lagi amarah. Dendam berkepanjanganpun telah usai. Semangat lebih, itulah yang ada. Semangat untuk membahagiakan ibu yang telah banyak berkorban dan kedua adikku yang masih sangat panjang jalan hidupnya. Pernah suatu ketika, tas yang selalu adik perempuanku kenakan tidak lagi dapat menopang buku-buku untuk dibawa ke sekolah. Ibu tidak ada dana lebih untuk memberikan Vira tas baru. Uangnya baru saja dipakai ke dokter si bungsu. Tidak habis akal, ibu menjahit kembali tas Vira yang sudah robek itu. Adik perempuanku itu sempat marah, malu katanya. 5
Aku ngga mau sekolah, sebelum ada tas baru. Sekolahnya bagus, kok tasku jelek? Vira sibuk membujuk ibu agar mau membelikannya tas baru. Bukan soal bagus atau jeleknya. Tapi soal untuk berani berbeda dari yang lainnya. Orang yang sukses selalu memakai cara berbeda. Terlalu biasa untuk menjadi sama dengan yang lainnya. Pakai dulu yang ini dan jangan pernah takut untuk menjadi sosok yang berbeda. Suaranya lirih sekaligus tegas menasihati adik perempuanku Itulah ibu, perempuan kuat dengan penuh kelembutan yang dapat mencuri hati anaknya. Waktu terus berjalan, akupun sudah di bangku kelas 3 SMA. Sibuk mempersiapkan berbagai ujian. Ibupun sibuk menyiapkan biaya untuk pendidikanku ke jenjang selanjutnya. Biaya untuk adik perempuanku yang mau lanjut SMA, serta di bungsu yang akan segera menjadi siswa SD. Tidak pernah berhenti biaya yang ibu keluarkan untuk kami. Semangat wirausahanya tetap menggelora. Ibupun dapat menyewa toko sendiri dan mulai melebarkan usahanya. Aku berusaha membaca peluang. Peluang dari kondisi yang kami alami. Hingga akhirnya aku berhasil lulus SMA dengan baik, bahkan mendapat beasiswa penuh di salah satu perguruan tinggi di Jakarta dengan jurusan Business Management. Jurusan yang aku ambilpun memiliki tujuan. Kelak, aku bisa membuat rencana usaha yang dapat merubah roda kehidupan keluargaku. 6
Bangga melihat ibu menangis karena terlalu bahagia. Kepuasan tersediri dapat menjadi role model bagi kedua adikku. Kami memang kurang. Kurang memang, tapi bukan berarti tidak dapat saling melengkapi, kan? Akupun resmi menjadi mahasiswi baru. Masih perlu menyesuaikan dengan kebiasaan baru di kampus. Aku berusaha aktif. Menyampingkan waktu beristirahat untuk belajar. Mengikuti berbagai organisasi. Bergaul untuk mencari channel. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Segala ilmu yang aku dapatkan aku coba aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sampai pada akhirnya, aku memberanikan diri untuk menawarkan proposal business planning kepada para sponsor. Tidak sendirian, bersama 3 kawanku lainnya. Nadya, Meta dan Erica. Kami memiliki rencana usaha pembuatan tas rajut dengan bahan dan SDM yang tentunya berasal dari Indonesia. Dengan brand MINE yang memiliki filosofi orang yang membelinya akan seutuhnya merasa memiliki product tersebut, tidak hanya dari segi produknya namun juga gaya dan selera dari si pemilik yang sesuai dengan produk yang kami jual. Penolakan? Tentu kami alami berkali-kali. Pengulangan pembuatan proposal tersebut membuat penyempurnaan pada usaha yang sedang kami susun. Akhirnya salah satu bank mau mensponsori kami. Dengan modal yang terbatas itulah. Pemasaran yang dilakukan dari mulut ke mulut dan media social tentunya. Membuat MINE mulai tidak asing namanya di telinga banyak orang. 7
Tentunya kondisi ekonomi keluargaku berangsur membaik. Bahkan tidak sekedar cukup. Melebihi apa yang ada di ekspektasiku. Semakin mengerti. Selalu ada hikmah di setiap cobaan. Sekalipun dalam kondisi terpuruk. Titik terendah dalam hidup. Bersyukur, titik terendah menjadikan kita hanya memiliki satu pilihan untuk naik ke atas, bukan? Ayah, tetap aku ingat sosoknya. Sosok yang telah pergi. Namun, mengajarkanku untuk tidak menjadi wanita yang sepenuhnya bergantung pada orang lain. Tak terkecuali pada pasanganku sendiri kelak. Ayah pula yang mengajarkan aku untuk memaafkan tanpa harus menerima kata permohonan maaf. Dan Ibu, sosok sederhana yang membuka pikiranku akan adanya kekuatan disetiap kelembutan seorang wanita. Menanamkan kemandirian di balik segala keterbatasan. Mengajarkan perjuangan disisa keputus-asaan. Perempuan tidak wajib berpendidikan tinggi, namun butuh. Pendidikan yang tinggi itu merupakan alat untuk menghancurkan segala mental blok yang membuat perempuan menjadi mahluk yang mau diperlakukan seperti keset. Perempuan haruslah mandiri. Tidak berarti tidak butuh laki-laki atau pendamping. Bisa menghasilkan sendiri. Menyandang profesi sebagai multitasking woman. Tidak juga harus disetarakan dengan lawan jenisnya. Modern, namun tidak melupakan kodrat. Bukan sekedar mengandung, melahirkan atau menyusui tapi juga mendidik dan menghasilkan pribadi-pribadi baru yang dapat membanggakan. TAMAT 8