BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN KECUKUPANNYA TERHADAP JUMLAH PENDUDUK DI KOTA BEKASI FEBRIANA WIDIASTUTI A

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Rencana Tata Ruang Wilayah. pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Hal tersebut telah digariskan dalam

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... 1 Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tujuan... 5

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Ponorogo. Dirthasia G. Putri

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006).

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Permukiman

HUTAN DIKLAT RUMPIN SEBAGAI SALAH SATU RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN BOGOR

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS DAN SINTESIS

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai

II. TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN (Jurnal) Oleh KIKI HIDAYAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MERAUKE

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hutan kota (urban forest) menurut Fakuara (1987) adalah

ANALISIS MENGENAI TAMAN MENTENG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 60 TAHUN TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN RUANG TERBUKA HIJAU

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Studi Peran & Efektifitas RTH Publik di Kota Karanganyar Isnaeny Adhi Nurmasari I BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

EVALUASI KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOMPLEKS PERUMAHAN BUMI PERMATA SUDIANG KOTA MAKASSAR

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

OPTIMALISASI PEMANFAATAN TAMAN KOTA OLEH MASYARAKAT KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA CIMAHI TAHUN

Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang

Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara

I. PENDAHULUAN. Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik

ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

BAB I PENDAHULUAN. Fristiawati, 2015 PENGEMBANGAN TAMAN RA. KARTINI SEBAGAI RUANG REKREASI PUBLIK DI KOTA CIMAHI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

BUPATI BANGKA TENGAH

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang berkaitan dengan penduduk, aktivitas, dan penggunaan lahan. Perencanaan kota yang selama ini menitikberatkan pada aspek fisik semata dirasakan kurang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Sinulingga, 2005). Lebih lanjut Sinulingga (2005) menyatakan bahwa perkembangan kota yang cepat menuntut adanya pengaturan pemanfaatan ruang perkotaan yang mempertimbangkan sifat lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial budaya. Ruang adalah wadah semua interaksi sistem sosial (kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumberdaya alam dan buatan) berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan, kepentingan dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif. Berdasarkan pada UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruangdan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Penataan ruang adalah usaha untuk merencanakan jumlah penggunaan lahan guna keperluan tertentu dan pada tempat yang tepat. Rencana tata ruang pada hakikatnya mengatur pemanfaatan dan letak elemen-elemen ruang kota, yaitu pusat pelayanan, industri, pemukiman dan ruang terbuka hijau (RTH) serta jaringan jalan untuk mencapai tujuan perencanaan kota. Tujuan dari perencanaan

6 tata ruang kota anatara lain penyediaan ruang yang cukup untuk setiap jenis penggunaan secara efisien untuk kenyamanan bagi lingkungan kegiatan manusia kota (Sinulingga, 2005). Perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan dan kawasankawasan yang secara alami rentan terhadap bencana. Kawasan-kawasan inilah yang seharusnya dikembangkan menjadi ruang terbuka hijau. Agar keberadaan RTH di perkotaan dapat berfungsi secara efektif baik secara ekologis maupun planologis. Pengembangan RTH tersebut sebaiknya dilakukan secara berhirarki dan terpadu dengan sistem struktur ruang yang ada di perkotaan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Brown dan Jacobson dalam Leitmann (1999) menyatakan bahwa perlindungan sistem lingkungan di perkotaan dapat dilakukan dengan mengalokasikan kawasan lindung. Kota dapat meningkatkan kualitas manusia dan lingkungan alam melalui konservasi sumberdaya maupun tingginya standar kualitas lingkungan. Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang alami merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu kota berkaitan dengan penanggulangan masalah lingkungan. RTH dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga kota yaitu: sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, paru-paru kota, sumber air tanah, mencegah erosi, keindahan, dan kehidupan satwa, menciptakan iklim, serta sebagai sumber pendidikan. Correa (1988) dalam Utami (2011), dalam penelitiannya menyatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial dapat dikelompokkan unsur utama yaitu: ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi, daerah untuk bergaul/sosialisasi dengan tetangga, daerah tempat pertemuan warga, dan daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat. Keberadaan RTH sebagai ruang dengan fungsi ekologis menjadikan RTH sebagai salah satu fungsi lahan yang sering kali dikorbankan dalam membangun dan mengembangkan sebuah kota. RTH yang semakin berkurang akan

7 berimplikasi pada suhu kota yang semakin meningkat. Menurut Saputro (2010), suhu udara rata-rata lebih tinggi pada area terbuka dari pada area rumput dan naungan. Hal ini karena pada area terbuka terkena radiasi matahari secara langsung. Radiasi matahari langsung akan segera memanaskan permukaan perkerasan dan selanjutnya memanaskan suhu udara di atasnya. Peningkatan suhu udara pada area yang ternaungi lebih rendah karena kemampuan tajuk pohon yang efektif dalam penyerapan panas dan mengurangi pemantulan. Saputro (2010), dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa area parkir pada bangunan-bangunan perkantoran dan perbelanjaan dengan area hijau yang minim kurang efektif dalam menurunkan suhu udara di sekitarnya. Selain itu, semakin besar persentase perkerasan terhadap luasan total menyebabkan suhu udara semakin meningkat, begitu sebaliknya. Pola pemanfaatan ruang terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan budidaya. Kawasan lindung yang dimaksud adalah kawasan yang berfungsi konservasi serta kawasan budidaya yang dapat berfungsi lindung bagi ekologi kota, termasuk di dalamnya adalah lahan pertanian, taman kota, sempadan sungai, jalur hijau jalan, taman pulau jalan, jalur hijau rel kereta api, jalur hijau bawah tegangan tinggi, dan RTH kota non-pertanian lainnya. Sedangkan kawasan budidaya mencakup kawasan perumahan, kawasan pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, industri dan pergudangan, pariwisata dan rekreasi, serta pertahanan dan keamanan (Putri, 2010). Menurut Putri (2010), tingginya proporsi lahan terbangun dalam kawasan dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan (run-off) dan berkurangnya debit air yang diresap oleh tanah. Perkembangan kawasan budidaya kota dapat mengakibatkan penyempitan saluran drainase. Hal ini menyebabkan frekuensi dan peluang kejadian banjir yang tinggi pada musim hujan. 2.2. Ruang Terbuka Hijau Menurut Pasal 1 butir 31 UUPR No 26 tahun 2007, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas

8 Pertanian IPB (2005) dalam makalah lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60 menyatakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), dalam konteks pemanfaatan, pengertian ruang terbuka hijau kota mempunyai lingkup lebih luas dari sekedar pengisian hijau tumbuh-tumbuhan. Konsep RTH mencakup pula pengertian dalam bentuk pemanfaatan ruang terbuka bagi kegiatan masyarakat. Lebih lanjut, sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, dinyatakan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal/kawasan maupun dalam bentuk memanjang/jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan dengan pengisian hijau tanaman. 2.3. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), ruang terbuka hijau kota dapat diklasifikasikan baik dalam tata letak maupun fungsinya. Berdasarkan letaknya, ruang terbuka hijau kota bisa berwujud ruang terbuka kawasan pantai (coastal open spaces), dataran banjir sungai (river flood plain), ruang terbuka pengamanan jalan bebas hambatan (greenways), dan ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan bandar udara. Hasni (2009) mengatakan, klasifikasi Ruang Terbuka Hijau dapat dibagi menjadi: (a) kawasan hijau pertamanan kota, (b) kawasan hijau hutan kota, (c) kawasan hijau rekreasi kota, (d) kawasan hijau kegiatan olahraga, (e) kawasan hijau pemakaman, (f) kawasan hijau pertanian, (g) kawasan hijau jalur hijau, (h) kawasan hijau pekarangan. Bentuk RTH di perkotaan menurut Dahlan (1992) adalah sebagai berikut:

9 a. Jalur hijau: pohon peneduh jalan raya, jalur hijau dibawah kawat listrik tegangan tinggi, jalur hijau di tepi jalan kereta api, jalur hijau di tepi sungai. Jalur ini dapat dikembangkan di dalam kota atau di luar kota sebagai RTH guna memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan. b. Taman kota: taman dapat diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata sedemikian rupa untuk mendapatkan komposisi yang indah c. Kebun dan halaman: jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman biasanya jenis yang menghasilkan buah serta yang tidak diharapkan buahnya. d. Kebun raya, hutan raya, dan kebun binatang: kebun raya. Hutan raya, dan kebun bunatang, dapat dimasukkan dalam salah satu bentuk RTH. Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, daerah lain, maupun luar negeri. e. Hutan lindung: daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan abrasi air laut, sebaiknya dijadikan hutan lindung. f. Kuburan dan taman makam pahlawan: tempat pemakaman biasanya banyak ditanam pepohonan. Dalam makalah lokakarya pengembangan sistem RTH di perkotaan dalam rangkaian acara hari bakti Pekerjaan Umum ke 60, Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB (2005) menyatakan bahwa berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasikan menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertanaman kota, lapangan olah raga, pemakaman). Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya, RTH diklasifikasikan menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear). Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasikan menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan pendidikan, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olahraga, alamiah.

10 2.4. Fungsi dan Manfaat Ruang terbuka Hijau Pada dasarnya RTH dimaksudkan untuk menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan terbangun diperkotaan, seperti peningkatan temperatur udara, penurunan tingkat peresapan air dan kelembaban udara, polusi dan lain sebagainya. Vegetasi memiliki peranan sangat besar dalam kehidupan. Peranan penghijauan kota sangat tergantung pada vegetasi yang ditanam. Dari berbagai peranan vegetasi dan manfaat vegetasi, maka manfaat dan fungsi penghijauan atau ruang terbuka hijau (RTH), adalah (Amir dalam Hendrawan, 2003): a. Paru-paru kota: tanaman sebagai elemen hijau pada pertumbuhannya menghasilkan zat asam (O 2 ) yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernapasan. b. Pengatur lingkungan (mikro): vegetasi akan menimbulkan lingkungan setempat menjadi sejuk, nyaman, dan segar. c. Pencipta lingkungan hidup: penghijauan dapat menciptakan ruang bagi makhluk hidup di alam yang memungkinkan terjadinya interaksi secara alamiah. d. Penyeimbang alam (edapis): merupakan pembentukan tempat hidup alami bagi satwa yang hidup disekitarnya. e. Oro-hidrologi: pengendalian untuk penyediaan air tanah dan pencegahan erosi. f. Perlindungan bagi kondisi fisik alami sekitarnya: seperti angin kencang, terik matahari, gas, atau debu. g. Mengurangi polusi udara: vegetasi dapat menyerap polutan tertentu. h. Vegetasi dapat menyaring debu dengan tajuk dan kerimbunan dedaunannya. i. Mengurangi polusi air: vegetasi dapat membantu membersihkan air. j. Mengurangi polusi suara (kebisingan): vegetasi dapat menyerap suara. k. Keindahan (estetika): unsur-unsur penghijauan yang direncanakan dengan baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kota. l. Kesehatan: warna dan karakter tumbuhan dapat digunakan untuk terapi mata dan jiwa.

11 m. Nilai pendidikan: komunitas vegetasi yang ditanam dengan keanekaragaman jenis dan karakter akan memberikan nilai ilmiah sehingga sangat bermanfaat untuk pendidikan, seperti hutan kota adalah laboratoriium alam. n. Rekreasi dan pendidikan: jalur hijau dengan aneka vegetasi mengandung nilai-nilai ilmiah. o. Sosial, politik, dan ekonomi: tumbuhan mempunyai nilai sosial yang tinggi. p. Penghijauan perkotaan: menjadi indikator atau petunjuk bagi lingkungan, kemungkinan ada hal-hal yang membahayakan yang terjadi atas pertumbuhan dan perkembangan kota. Menurut Hasni (2009), RTH memiliki berbagai fungsi seperti edaphis, orologis, hidrologis, klimatologis, higienis, edukatif, estetis, dan sosial ekonomis. Fungsi tersebut dapat dipenuhi oleh semua jenis RTH yang ada di perkotaan, dengan pengertian sebagai berikut: a. Fungsi edaphis yaitu sebagai tempat hidup satwa dan jasad renik lainnya, dapat dipenuhi dengan penanaman pohon yang sesuai. b. Fungsi hidro-orologis adalah perlindungan terhadap kelestarian tanah dan air. c. Fungsi klimatologis adalah terciptanya iklim mikro sebagai efek dari proses fotosintesis dan respirasi tanaman. d. Fungsi protektif: melindungi dari gangguan angin, bunyi, dan terik matahari melalui kerapatan dan kerindangan pohon perdu dan semak. e. Fungsi higienis adalah kemampuan RTH untuk mereduksi polutan baik di udara maupun di air. f. Fungsi edukatif adalah RTH bisa menjadi sumber pengetahuan masyarakat tentang berbagai hal, misalnya macam dan jenis vegetasi, asal muasalnya, nama ilmiahnya, manfaat serta khasiatnya. g. Fungsi estetis adalah kemampuan RTH untuk menyumbangkan keindahan pada lingkungan sekitarnya, baik melalui keindahan warna, bentuk, kombinasi tekstur, bau-bauan ataupun bunyi dari satwa liar yang menghuninya.

12 h. Fungsi sosial ekonomis adalah RTH sebagai tempat berbagai kegiatan sosial dan tidak menutup kemungkinan memiliki nilai ekonomi seperti pedagang tanaman hias atau pedagang musiman seperti di lapangan Gasibu di Bandung pada hari Minggu pagi. Dalam penelitian Sancho (2005), disebutkan bahwa konsep alun-alun sebagai ruang terbuka hijau yaitu ruang terbuka berupa taman kota yang selain memiliki fungsi ekologi dan estetika juga berfungsi sebagai kawasan rekreasi dan sosialisasi, tempat dimana orang dapat merasakan suasana aman dan damai melalui suasana indah yang ditimbulkan. Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu subsistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006): 1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberikan jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara, pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan, dan penahan angin. 2. Fungsi sosial, ekonomi (produktif), dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal. RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian. 3. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah, dan berdaun indah, serta menjadi bagian dari usaha pertanian dan kehutanan. 4. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro. Peningkatan penutupan vegetasi akan memberikan pengaruh secara signifikan terhadap penurunan suhu udara dalam taman dan sekitarnya apabila pada taman tersebut terisi vegetasi yang rapat dan padat. Pada taman dengan penutupan vegetasi yang minim tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan suhu udara. Oleh karena itu, efektifitas taman menurunkan suhu udara bergantung kepada dominasi elemen vegetasi yang ada pada taman dan sekitarnya. Semakin

13 jauh jarak dari taman, suhu udara cenderung semakin tinggi, dan sebaliknya (Harti, 2005). 2.5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006), Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian dari wilayah perkotaan yang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan. Pertimbangan umum penentuan luas RTH antara lain bahwa RTH antara kota dalam suatu hamparan kompak setidaknya mempunyai luas 0,25 hektar, sedangkan proporsi minimal adalah 10% dari wilayah perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 05/PRT/M/2008 Penyediaan RTH di wilayah perkotaan meliputi: 1. Penyediaan RTH berdasarkan Luas Wilayah a) Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut: ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat

14 meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. 2. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak terganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air. 3. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku seperti yang tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No Unit Lingkungan Tipe RTH Luas minimal/unit (m 2 ) Luas minimal/ kapita (m 2 ) 1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Lokasi Di tengah lingkungan RT Di pusat kegiatan 2 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 RW 3 30.000 jiwa Dikelompokan Taman 9.000 0,3 dengan sekolah/pusat kelurahan kelurahan 4 120.000 jiwa Dikelompokan Taman 24.000 0,2 dengan sekolah/pusat kecamatan kecamatan Pemakaman disesuaikan 1,2 Tersebar Di pusat 5 480.000 jiwa Taman kota 144.000 0,3 wilayah/kota Di dalam/kawasan Hutan kota disesuaikan 4,0 pinggiran Untuk fungsifungsi tertentu kebutuhan Disesuaikan disesuaikan 12,5 Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008

15 Dahlan dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa penetapan luasan RTH (termasuk didalamnya Taman Hutan) kota yang harus dibangun, ditetapkan sebagai berikut: a. Berdasarkan proporsi luas kota, RTH dinyatakan menurut perkiraan kasar (begitu saja mengikuti apa yang telah ada) diharapkan mencapai luasan 10%, 20%, 25%, 30%, 40%, 50%, dan bahkan ada yang menetapkan 60%, seperti kota Canberra, ibu kota Australia. b. Berdasarkan jumlah penduduk, luas RTH kota di beberapa negara ditentukan sebagai berikut : di Malaysia 1,9 m 2 per penduduk dan Jepang 5 m 2 per penduduk. Dewan Kota Lancashire, Inggris menetapkan 11,5 m 2, Amerika 60 m 2, Jakarta mengusulkan taman untuk bermain dan berolahraga 1,5 m 2 /penduduk. c. Berdasarkan isu-isu penting, Luas RTH yang harus disediakan sebuah kota yang kekurangan air bersih, ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan air. d. Berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen, RTH kota yang harus disediakan mengacu pada jumlah penduduk dan jumlah kendaraan bermotor serta jumlah industri. 2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Keterkaitannya Dengan Perubahan Penggunaan Lahan Fenomena peningkatan jumlah penduduk terus terjadi di sebagian besar negara di dunia. Pada kondisi normal (tidak terjadi bencana alam) pertumbuhan penduduk mengikuti pola eksponensial (kurva S). Pada awalnya pertumbuhan penduduk akan terjadi secara lamban dan semakin meningkat dengan sangat cepat secara eksponensial, yang pada akhirnya akan tercapai kondisi stabil (seimbang). Keseimbangan terjadi jika laju kelahiran sama dengan laju kematian (Enger dan Badly dalam Munibah et al., 2009). Peningkatan jumlah penduduk memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, infrastruktur dan jasa. Menurut Hartini et al. (2008), perkembangan suatu wilayah akan selalu diikuti dengan adanya pertambahan penduduk di wilayah tersebut.

16 Menurut Munibah et al. (2009) jumlah penduduk akan berpengaruh terhadap luas lahan permukiman dalam rangka pemenuhan kebutuhan tempat tinggal (termasuk jasa) dan berpengaruh terhadap luas lahan pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan. Pertumbuhan penduduk akan mempengaruhi pertambahan luas lahan permukiman. Verbist et al. (2004) dalam penelitiannya mengenai alih guna lahan pada lanskap agroforestri berbasis kopi di Sumatra menyebutkan bahwa faktor pendorong terjadinya alih guna lahan yang termasuk faktor eksternal adalah pertumbuhan alami penduduk, migrasi, hujan, dan harga pasar internasional.