BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

dokumen-dokumen yang mirip
2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR...

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang ditujukan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

2015 PENGARUH PENERAPAN STRATEGI COMPETING THEORIES TERHADAP KETERAMPILAN ARGUMENTASI SISWA SMA PADA MATERI ELASTISITAS

BAB I PENDAHULUAN. bahasan fisika kelas VII B semester ganjil di salah satu SMPN di Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tests of Normality

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK

BAB I PENDAHULUAN. Bumi berputar pada porosnya dengan kecepatan yang konstan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Wulan Sari, 2014 Pengaruh Model Cooperative Learning Tipe Stad Terhadap Kemampuan Analisis Siswa

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pembelajaran fisika

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hermansyah, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (Syah, 2008). Pendidikan formal

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan observasi di SMP Pelita Bangsa Bandar Lampung, pada proses

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dwi Ratnaningdyah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran fisika di tingkat SMA diajarkan sebagai mata pelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembenahan di segala bidang termasuk bidang pendidikan. Hal ini juga dilakukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Evi Khabibah Lestari, 2015

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

I. PENDAHULUAN. diperoleh pengetahuan, keterampilan serta terwujudnya sikap dan tingkah laku

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jum at, tanggal 25 November

PENGARUH MODEL DISCOVERY LEARNING TERHADAP PRESTASI BELAJAR FISIKA SISWA KELAS X SMAN 02 BATU

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Daftar Isi. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian B. Definisi Operasional C. Partisipan...

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUA N A.

2015 PEMBELAJARAN IPA TERPADU TIPE WEBBED TEMA TEKANAN UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. eksperimen 1 yang menggunakan pembelajaran guided inquiry melalui tahap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah dalam

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTION (PBI) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk pemikir yang jauh lebih baik dari makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desy Mulyani, 2013

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. siswa (membaca, menulis, ceramah dan mengerjakan soal). Menurut Komala

BAB I PENDAHULUAN. Pelajaran Fisika merupakan salah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Deden Rahmat Hidayat,2014

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum yang berlaku di jenjang sekolah menengah adalah kurikulum

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian mengenai penerapan model pembelajaran Discovery-

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Informasi dari berbagai media massa, baik media cetak atau elektronika sering dikemukakan bahwa mutu

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya yang berlangsung sepanjang hayat. Oleh karena itu maka setiap manusia

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DENGAN MODEL INKUIRI TERBIMBING PADA SISWA KELAS X PMIA 3 DI SMAN 3 BANJARMASIN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tentang gejala-gejala alam yang didasarkan pada hasil percobaan dan

Puspa Handaru Rachmadhani, Muhardjito, Dwi Haryoto Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemahaman konsep sangat penting dimiliki oleh siswa SMP. Di dalam Permendikbud nomor 64 tahun 2013 telah disebutkan bahwa siswa memahami konsep berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata yang membuat belajar menjadi bermakna (Mendikbud, 2013), sehingga penting. Selain itu, Anderson & Krathwohl (2010) mengemukakan bahwa dengan memahami konsep, siswa akan memiliki kemampuan mendasar untuk mentransfer pengetahuan yang biasa ditekankan di sekolah-sekolah. Yang terpenting lagi yaitu bahwa pemahaman konsep menjadi bekal bagi mereka untuk menggunakan apa yang telah dipelajari atau mengaplikasikan pengetahuan guna mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan masalah (Anderson & Krathwohl, 2010, hlm. 116). Pemahaman konsep merupakan kemampuan membangun makna dari pesan-pesan pembelajaran yang ada, baik yang diucapkan, ditulis, ataupun yang digambar oleh guru (Bloom dalam Hamalik, 2007, hlm. 78; Makmun, 2009, hlm. 167; Makmun, 2009, hlm. 187; Anderson & Krathwohl, 2010, hlm. 100). Pemahaman konsep termasuk ke dalam dimensi proses kognitif tingkat kedua (C2) dan memiliki empat dimensi pengetahuan, yaitu pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif (Anderson & Krathwohl, 2010, hlm. 40). Pemahaman konsep terdiri atas menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan (Anderson & Krathwohl, 2010). Fasilitas untuk melatihkan pemahaman konsep dapat dikatakan optimal apabila proses kognitif yang dialami oleh siswa diperoleh melalui proses pengetahuan yang sesuai (Anderson & Krathwohl, 2010). Berdasarkan hasil observasi terhadap proses pembelajaran di dalam kelas pada materi suhu dan kalor, ditemukan bahwa fasilitas untuk melatihkan pemahaman konsep belum optimal. Fasilitas untuk melatihkan pemahaman konsep yang dimaksudkan di sini adalah berupa proses dari berbagai dimensi pengetahuan yang merupakan cara bagi siswa untuk memperoleh pengetahuan

2 (Anderson & Krathwohl, 2010). Contohnya, baik pada bagian awal maupun pada bagian akhir pembelajaran tentang kalor yang melatihkan aspek mencontohkan, siswa tidak diberi contoh secara faktual yang menunjukkan bahwa sewaktu menguap zat memerlukan kalor. Dalam arti kata, siswa mencontohkan dengan cara mengetahui bahwa hal-hal yang disampaikan merupakan contoh dari penguapan zat. Padahal proses kognitif mencontohkan itu seharusnya diperoleh siswa melalui proses pengetahuan faktual. Contoh lainnya, dalam melatihkan aspek menyimpulkan, siswa tidak mengalami kesimpulan melalui dimensi pengetahuan yang seharusnya mengenai penguapan yang dapat terjadi pada suhu sembarang. Dalam arti kata, siswa menyimpulkan dengan mengetahui bahwa halhal yang disampaikan adalah kesimpulan dari penguapan zat. Padahal, proses kognitif menyimpulkan itu seharusnya diperoleh siswa melalui proses pengetahuan konseptual (pada bagian proses menggeneralisasi). Begitupula dengan aspek yang lainnya. Ini berdampak pada hasil tes kemampuan kognitif siswa pada materi suhu dan kalor di dalam kelas tersebut yaitu ditemukan 49% siswa memiliki nilai di bawah 65.38 (lebih kecil dari KKM). Dampak dari masalah di atas diperkuat dengan temuan berdasarkan hasil angket tentang tanggapan siswa terhadap fisika, yaitu terdapat beberapa kendala yang dialami oleh siswa. Hasil angket menunjukkan 52.86% siswa sulit memahami konsep-konsep fisika dan 44.29% siswa menyatakan bahwa konsepkonsep fisika tidak bertahan lama dalam ingatan mereka. Hasil angket tanggapan siswa diperkuat dengan hasil wawancara penulis dengan salah seorang guru fisika pada salah satu SMP di Bandung. Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa siswa kebanyakan sulit dalam dua proses kognitif, yaitu menyimpulkan dan menjelaskan. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama melaksanakan praktek mengajar pada salah satu SMP di Bandung, diketahui bahwa siswa-siswa SMP yang pada umumnya berusia 11 tahun ke atas memang sulit dalam memahami konsep. Menurut Piaget (dalam Dahar, 1989), siswa yang berusia 11 tahun ke atas berada pada tingkat perkembangan intelektual operasional formal. Menurut Flavel (dalam Dahar, 1989), siswa yang berada pada tingkat perkembangan ini ditandai dengan munculnya kemampuan berpikir adolesensi (hipotesis-deduktif), berpikir

3 proporsional, dan berpikir kombinatorial. Dengan memanfaatkan ketiga kemampuan ini, seharusnya siswa telah memiliki kemampuan kognitif untuk memahami konsep. Untuk mengatasi masalah yang sudah dipaparkan tadi, proses pembelajaran yang biasanya adalah berupa proses kognitif yang diperoleh melalui penyampaian-penyampaian secara lisan, harus diperbaiki. Pembelajaran tersebut harus sesuai dengan standar proses Kurikulum 2013 yang tercantum dalam Permendikbud nomor 65 tahun 2013 (Mendikbud, 2013), bahwa untuk mencapai kemampuan kognitif memahami sebaiknya dilakukan dengan cara menerapkan proses inquiry. Dalam Permendikbud nomor 65 tahun 2013 (Mendikbud, 2013) tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah telah disebutkan bahwa pemerintah menghendaki pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach). Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah dipandang dapat memfasilitasi proses kognitif memahami. Penerapan proses inquiry ternyata sulit dilakukan. Siswa yang terbiasa belajar dengan menerima konsep atau tidak mengalami konsep melalui proses pengetahuan dari dimensi faktual maupun konseptual telah mengalami kesulitan dalam menghadapi beberapa pertanyaan menyelidik pada proses inquiry. Sehingga membuat guru terpaksa mengambil kendali pada kegiatan yang dihadapi oleh siswa. Siswa belum optimal dalam memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang mendasari proses inquiry. Untuk siswa SMP, tingkatan levels of inquiry yang mungkin dapat diterapkan adalah terbatas pada tingkatan inquiry lab. Sedangkan tingkatan sesudah itu (yaitu real world application dan hypothetical inquiry) membutuhkan intellectual sophistication yang lebih tinggi, yang dapat diterapkan pada jenjang SMA (Wenning, 2005). Selain itu, karakteristik siswa SMP yang berusia 11 tahun ke atas yaitu memiliki kemampuan intelektual pada tingkat operasional formal sulit diajak untuk melakukan real world application dan hypothetical inquiry yang membutuhkan kemampuan intelektual yang lebih tinggi. Wenning (2005) menawarkan sebuah hirarki mengajar yang dinamakan dengan levels of inquiry untuk diterapkan dalam pembelajaran sesuai dengan intellectual sophistication dan locus of control sebagai cara untuk membelajarkan

4 proses inquiry secara lebih efektif. Latar belakang munculnya levels of inquiry oleh Wenning adalah bahwa cara-cara inquiry berupa demonstration, lesson, dan lab yang sebelumnya tidak memiliki kerangka atau tampak tidak teratur dalam tubuh pengetahuan kemudian dikembangkan oleh Wenning (2005) agar dapat disatukan dan tampak teratur dalam sebuah kerangka/hirarki. Kerangka/hirarki dari tubuh pengetahuan yang dikembangkan tersebut dinamakan dengan levels of inquiry yang terdiri atas enam tingkatan (yaitu discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry lab, real world application, dan hypothetical inquiry). Kerangka/hirarki tersebut dikembangkan berdasarkan kadar kemampuan intellectual sophistication siswa dan locus of control di dalam kelas dengan tujuan agar proses inquiry dapat dilaksanakan secara efektif (Wenning, 2005). Semakin tinggi tingkatan levels of inquiry-nya, maka semakin meningkatlah kemampuan intellectual sophistication yang dibutuhkan dan semakin berkurang locus of control yang diberikan oleh guru dalam pembelajaran. Levels of inquiry membelajarkan proses inquiry dari tingkatan yang paling sederhana sampai pada tingkatan yang paling kompleks. Cara-cara inquiry dalam levels of inquiry dipandang dapat melatihkan pemahaman konsep (Wenning, 2005). Berdasarkan karakteristiknya, levels of inquiry sudah memfasilitasi untuk memahami bagaimana mengajarkan proses penyelidikan ilmiah (Wenning, 2005). Carin & Sund dalam Putra (2013, hlm. 61) mengemukakan bahwa siswa perlu difasilitasi pembelajaran yang dapat melatihkan siswa tentang cara-cara untuk melakukan sesuatu sehingga mereka secara aktif dapat mengkonstruksi/membangun konsep, prinsip, dan generalisasi melalui proses ilmiah. Dengan demikian, levels of inquiry dipandang penting dan memiliki nilai tambah dalam melatihkan siswa memahami konsep. Penerapan levels of inquiry yang sudah teruji masih jarang dilakukan di Indonesia. Siswa SMP di Indonesia tentu belum terbiasa belajar dengan levels of inquiry. Keterampilan-keterampilan yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa SMP di Indonesia masih dalam persentase 24.32% dari persentase maksimal intellectual sophistication dalam levels of inquiry. Berdasarkan data ini, siswa SMP yang keadaannya masih tahap awal dalam melakukan levels of inquiry

5 dipandang dapat belajar dengan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration. Materi pokok yang digunakan pada penelitian ini adalah pesawat sederhana. Materi tersebut dikembangkan dari Kompetensi Dasar 3.5, yaitu mendeskripsikan kegunaan pesawat sederhana dalam kehidupan sehari-hari dan hubungannya dengan kerja otot pada struktur rangka manusia. Gagasan penggunaan materi pesawat sederhana dalam menerapkan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration untuk meningkatkan pemahaman konsep dilandasi oleh beberapa contoh teoritis. Pertama, kata kerja operasional mendeskripsikan berdasarkan kompetensi dasar untuk materi ini termasuk ke dalam kategori memahami (Permendikbud Nomor 68, 2013). Kedua, mendeskripsikan dapat dijabarkan menjadi menunjukkan, mengurutkan, menulis ulang, menafsirkan, mendefinisikan, dll. sesuai dengan aspek-aspek memahami menurut Anderson (Mulyasa, 2006). Ketiga, salah satu contoh materi yang cocok dengan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration adalah gaya apung (Wenning, 2005). Materi pesawat sederhana yang di dalamnya terdapat konsep gaya, usaha, dan energi juga cocok dengan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration sebagaimana yang dicontohkan oleh Wenning dalam jurnalnya. Penelitian ini mensintesis RPP levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration yang telah teruji penerapannya pada materi pesawat sederhana siswa SMP. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis melaksanakan penelitian ini dengan judul: Penerapan Levels of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana Siswa SMP. B. Rumusan Masalah Penelitian Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration dapat meningkatkan pemahaman konsep pesawat sederhana siswa SMP?

6 Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka beberapa pertanyaan yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut. a. Bagaimanakah penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa pada setiap sub materi pesawat sederhana? b. Bagaimanakah penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration dapat meningkatkan profil pemahaman konsep pesawat sederhana siswa SMP? c. Bagaimanakah keterlaksanaan penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration untuk materi pesawat sederhana? C. Batasan Masalah Penelitian Batasan masalah penilitian ini adalah sebagai berikut. 1. Berdasarkan karakteristik siswa SMP, maka tingkatan levels of inquiry yang diterapkan dalam penelitian ini adalah interactive demonstration. 2. Aspek pemahaman konsep yang diteliti meliputi aspek menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. 3. Untuk melihat peningkatan pemahaman konsep dibatasi dengan mengukur peningkatan persentase skor pemahaman konsep. Keterbatasan ini kemudian dilengkapi dengan analisis berdasarkan hasil pengukuran effect size untuk melihat pengaruh penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration terhadap peningkatan pemahaman konsep siswa. D. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Memperoleh gambaran tentang penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada setiap sub materi pesawat sederhana.

7 2. Memperoleh gambaran tentang penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration untuk meningkatkan profil pemahaman konsep pesawat sederhana siswa SMP. 3. Memperoleh gambaran tentang keterlaksanaan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration untuk materi pesawat sederhana. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Dari segi teori, penelitian ini bermanfaat untuk memberi gambaran mengenai keterkaitan antara levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration dengan pemahaman konsep. 2. Dari segi kebijakan, penelitian ini bermanfaat untuk membahas perkembangan pendekatan pembelajaran di sekolah dalam melatihkan pemahaman konsep. 3. Dari segi praktik, penelitian ini bermanfaat untuk memberi alternatif sudut pandang atau solusi dalam memecahkan masalah terkait kurangnya fasilitas untuk memahami konsep. 4. Dari segi isu serta aksi sosial, penelitian ini bermanfaat untuk memberi informasi tentang cara-cara melatihkan pemahaman konsep melalui levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration. F. Defenisi Operasional a. Levels of Inquiry Pada Tingkat Interactive Demonstration Levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration merupakan sebuah cara inquiry untuk diterapkan pada siswa SMP di salah satu kota Bandung yang mengikuti langkah-langkah levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration menurut Sokoloff & Thornton dalam Wenning (2005). Untuk melihat keterlaksanaan penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration, digunakan format observasi berdasarkan RPP yang telah dirancang. Untuk melihat pengaruh penerapan levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration terhadap pemahaman konsep, diukur dengan menggunakan effect size. Dalam penelitian ini dilakukan dua macam pengukuran effect size, yaitu untuk melihat pengaruh levels of inquiry pada tingkat interactive

8 demonstration terhadap peningkatan pemahaman konsep pada setiap sub materi pesawat sederhana dan untuk melihat pengaruh levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration terhadap profil pemahaman konsep. b. Peningkatan Pemahaman Konsep Pemahaman konsep yaitu kemampuan siswa untuk mengkonstruksi pesanpesan pembelajaran dengan cara menjelaskan dan merangkum berbagai fakta, beragam peristiwa, dan banyak pengalaman menjadi sebuah definisi berdasarkan hasil berfikir abstrak sehingga menghasilkan produk pengetahuan berupa prinsip, hukum, dan teori. Untuk mengukur pemahaman konsep pada setiap sub materi pesawat sederhana siswa SMP, digunakan tes pemahaman konsep. Kemudian untuk melihat peningkatan persentase tes pemahaman konsep maka dilakukan dengan cara menghitung selisih skor posttest dengan skor pretest. c. Peningkatan Profil Pemahaman Konsep Profil pemahaman konsep yaitu gambaran khusus pemahaman konsep berdasarkan setiap aspeknya. Untuk mengukur profil pemahaman konsep, digunakan tes pemahaman konsep. Kemudian untuk melihat peningkatan persentase tes pemahaman konsep pada setiap aspeknya (maksudnya peningkatan profil pemahaman konsep) maka dilakukan dengan cara menghitung selisih skor posttest dengan skor pretest. Adapun aspek-aspek pemahaman konsep yang diukur adalah aspek menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan dalam dimensi pengetahuan faktual dan konseptual. G. Struktur Organisasi Skripsi Bab I merupakan bagian pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penelitian yang membahas tentang hal-hal yang mendasari pelaksanaan penelitian; rumusan masalah penelitian; batasan masalah penelitian yang meliputi batasan tingkatan dari levels of inquiry yang digunakan dalam penelitian, batasan aspekaspek pemahaman konsep yang diukur, dan batasan cara mengukur; tujuan penelitian; defenisi operasional berisi tentang penjelasan mengenai variabel-

9 variabel penelitian secara operasional; dan struktur organisasi skripsi. Bab II merupakan bagian kajian pustaka terhadap variabel-variabel penelitian yang telah dirumuskan dalam bentuk rumusan masalah pada Bab I yaitu levels of inquiry pada tingkat interactive demonstration dan pemahaman konsep. Selain membahas kedua variabel penelitian, hubungan antara kedua variabel penelitian juga dijelaskan dalam kajian pustaka ini. Bab III merupakan bab metode penelitian yang terdiri atas metode dan desain penelitian, partisipan, populasi dan sampel penelitian, instrumen penelitian dan pengembangannya, teknik pengumpulan data, prosedur penelitian, analisis uji coba instrumen penelitian, dan teknik pengolahan data. Bab IV merupakan bagian temuan penelitian dan pembahasan dari temuan penelitian tersebut dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian pada Bab I dan mengkaitkannya dengan kajian teori pada Bab II. Bab V merupakan bagian penutup yang terdiri atas simpulan berdasarkan temuan dan pembahasan penelitian, serta implikasi kepada dan rekomendasi untuk para pembuat kebijakan, para pengguna hasil penelitian bersangkutan, para peneliti berikutnya yang berminat untuk melakukan penelitian selanjutnya, dan pemecahan masalah di lapangan atau follow up dari hasil penelitian.