STATUS KEKAYAAN NEGARA PADA BUMN

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENYERTAAN MODAL NEGARA (PMN)

2016, No Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar N

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA

PENYERTAAN MODAL NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

Pengaturan dan Permasalahan Tata Kelola Badan Usaha Milik Negara Oleh: Febry Liany * Naskah diterima: 13 Oktober 2015; disetujui: 13 Oktober 2015

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari kekayan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu pelaku

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH *

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

-2- salah satu penyumbang bagi penerimaan Daerah, baik dalam bentuk pajak, dividen, maupun hasil Privatisasi. BUMD merupakan badan usaha yang seluruh

PIDATO MENTERI KEUANGAN PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI POKOK-POKOK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 17/PMK.05/2007 TENTANG

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Strategi Pengelolaan BUMN Di Masa Mendatang

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah

BAB 21 PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku ekonomi

BAB 21 PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0076

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR : 27 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 18 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

BAB II LANDASAN TEORI. BUMN menurut undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 bab I pasal 1 adalah badan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perpustakaan LAFAI

BAB 21 PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN HUKUM TERKAIT PENGATURAN BUMD

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 21 PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Sistem Ekonomi Indonesia

HIBAH BARANG MILIK NEGARA/DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RechtsVinding Online

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAJIAN PENDALAMAN. Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka economy recovery, pemerintah Indonesia dan International

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA

BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2005 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG

Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISA TERHADAP OPINI DISCLAIMER BPK-RI ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT (LKPP) TAHUN 2007

BERKEMBANG WACANA HAPUS IZIN DPR BAGI BUMN UNTUK GO PUBLIC

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG TIM KONSULTASI PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 11 TAHUN 2004 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 56 TAHUN 2015 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 511/KMK.06/2002 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN

BAB I PENDAHULUAN. Konsep good governance memiliki arti yang luas dan sering dipahami

PENDIRIAN PERUSAHAAN DAERAH PUSAT PERGUDANGAN KOTA PEDARINGAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN APBN TA 2004

7 Idem, Penjelasan umum alinea 9

BAB I PENDAHULUAN. bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat yang dianut hampir

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

STATUS KEKAYAAN NEGARA PADA BUMN BAGIAN ANALISA APBN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI 2 0 0 7

STATUS KEKAYAAN NEGARA PADA BUMN Abstraksi Kinerja BUMN dalam dua tahun terakhir tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, termasuk BUMN yang memiliki tugas pelayanan publik (Public Service Obligation = PSO). Hal tersebut disayangkan karena dikhawatirkan semakin menjadi justifikasi untuk melanjutkan privatisasi yang sedang gencar dilakukan saat ini. Terlepas dari berbagai kelemahan dalam optimalisasi peran BUMN sebagai agent of growth, ada beberapa masalah penting yang harus segera diselesaikan, antara lain penetapan status bantuan modal pemerintah pada BUMN. Temuan BPK atas LKPP tahun 2005 menyebutkan bahwa terdapat Rp 35,6 triliun kekayaan negara di BUMN yang belum ditetapkan statusnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa terdapat kekayaan negara yang tidak berstatus sehingga pada akhirnya membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekayaan negara. Paper ini bertujuan untuk mengetahui mengapa pada tahun anggaran 2005 masih banyak bantuan pemerintah untuk BUMN yang belum jelas statusnya hingga tahun anggaran berakhir, dan apakah implikasi atau akibat dari keterlambatan penetapan status tersebut. Paper ini menyimpulkan bahwa dalam Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN maupun Peraturan pemerintah No. 44 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas tidak diatur jangka waktu toleransi bagi Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah atas bantuan yang diberikannya kepada BUMN. Akibatnya banyak bantuan pemerintah pada BUMN yang menjadi tidak jelas statusnya. Hal tersebut berimplikasi pada tidak tercatatnya bantuan pemerintah sebagai ekuitas dan akhirnya tidak tercatat juga sebagai penyertaan modal negara. Penggunaan bantuan pemerintah kepada BUMN yang tidak jelas statusnya tersebut sangat rawan dengan penyalahgunaan dan manipulasi dana. Lebih jauh, ketidakjelasan ini dapat menyebabkan hilangnya kekayaan negara. 1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BUMN dituntut dapat meningkatkan kualitas produk dan layanannya untuk melaksanakan fungsi layanan masyarakat. Meski demikian tidak seharusnya dianggap sebuah kewajaran bila banyak BUMN yang mengalami kerugian dan harus selalu dibantu dengan dana APBN. Kinerja BUMN yang terus merosot termasuk BUMN yang memiliki tugas pelayanan publik (Public Service Obligation = PSO) sangat disayangkan karena dikhawatirkan semakin menjadi justifikasi untuk melanjutkan privatisasi yang sedang gencar dilakukan saat ini. Memang, bila dilihat dalam dua tahun terakhir ini, kinerja sejumlah BUMN tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Berikut kinerja BUMN disajikan dalam tabel. Tabel 1. Kinerja BUMN Tahun 2004 2005 (non financial) Jml Tenaga Jml Keuntungan Kerugian Tahun Kerja BUMN (triliun Rp) (triliun Rp) (orang) 2004 158 733.200 44.155 5.353 2005 139 705.946 42.349 6.622 Sumber : Harian Suara Karya, 16 Desember 2006 Kerugian BUMN pada tahun 2004 berasal dari 31 BUMN sedangkan kerugian pada periode tahun 2005 berasal dari 35 BUMN. Dengan alasan kontribusi dividen BUMN terhadap pendapatan negara yang semakin menurun, pemerintah berniat akan melangsingkan jumlah BUMN menjadi hanya 25 BUMN pada tahun 2015 melalui penggabungan (merger) maupun dijual (privatisasi). Langkah yang diambil pemerintah tersebut sebenarnya tidak terlepas dari ukuran kinerja yang digunakan untuk menilai efisiensi kerja BUMN. Ukuran 2

kinerja yang digunakan hingga saat ini cenderung bersifat kapitalistik karena hanya sebatas pada ukuran keuangan. Penilaian kinerja dengan menggunakan ukuran keuangan dinilai missleading oleh berbagai kalangan, karena ukuran ini hanya mengandalkan laporan keuangan BUMN yang sangat mungkin direkayasa. Penggunaan ukuran kinerja yang bersifat kapitalistik ini juga bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang diusung oleh pasal 33 Undangundang Dasar 1945. Jika kita berpegang pada pasal tersebut, maka seharusnya penyelenggaraan perekonomian Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi ekonomi. Dengan demikian ukuran kinerja yang seharusnya digunakan dalam menilai kerja BUMN pun hendaknya lebih mengedepankan kepentingan rakyat dan tidak hanya melihat jumlah dividen yang disumbangkan BUMN kepada negara serta tidak sekedar membandingkan keuntungan dengan tingkat suku bunga bank. Ukuran kinerja BUMN juga harus mempertimbangkan tugas BUMN yang sebagian besar masih sebagai PSO. Dengan paradigma tersebut maka strategi peningkatan kinerja BUMN bisa dilakukan tidak harus dengan privatisasi tetapi juga dengan berbagai strategi lain. Meskipun pada akhirnya privatisasi menjadi pilihan, maka privatisasi tersebut harus dilakukan secara teliti. Privatisasi juga tidak dilakukan pada BUMN-BUMN yang mempunyai tugas sebagai PSO dan tidak bergerak pada sektor strategis. Terhadap BUMN-BUMN yang mempunyai fungsi PSO dan memiliki kepentingan nasional privatisasi harus menjadi pilihan akhir, karena BUMN-BUMN tersebut sangat dibutuhkan untuk memenuhi hak rakyat. Dengan kata lain, privatisasi semestinya tidak dinilai sebagai satusatunya jalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi BUMN. Apabila ini terjadi maka strategi privatisasi sangat mungkin merupakan sekedar turunan (derivatif) dari defisit anggaran atau sebagai upaya menambah APBN semata, bukan sebagai strategi pengembangan BUMN. 3

Terlepas dari berbagai kelemahan dalam optimalisasi peran BUMN sebagai agent of growth, ada beberapa masalah penting yang harus segera diselesaikan, antara lain penetapan status bantuan modal pemerintah pada BUMN. Hal tersebut tidak dapat diabaikan karena menyangkut kekayaan negara. Saat ini, banyak bantuan pemerintah pada BUMN yang belum ditetapkan statusnya dengan jelas, seperti dilaporkan BPK pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005. Temuan BPK atas LKPP tahun 2005 menyebutkan bahwa terdapat Rp 35,6 triliun kekayaan negara di BUMN yang belum ditetapkan statusnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa terdapat kekayaan negara yang tidak berstatus sehingga pada akhirnya membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekayaan negara. Mengenai kekayaan BUMN yang dinilai sebagai kekayaan negara, sampai penulisan ini selesai, masih terjadi perdebatan sebagaimana dilampirkan dalam boks 1. BPK melaporkan bahwa kelambatan Departemen Keuangan dalam memproses penetapan atas status kekayaan negara pada BUMN-BUMN menjadi penyebab besarnya kekayaan negara yang tidak jelas statusnya. Dari fakta ini, sangat penting dipertanyakan efektivitas Departemen Keuangan dalam pengelolaan kekayaan negara pada BUMN. 1.2. Masalah Pada dasarnya bantuan yang diberikan pemerintah kepada BUMN adalah suatu konsekuensi logis dari kepemilikan negara pada badan tersebut. Namun hal itu tidak lantas menjadikan pemerintah lalai untuk menetapkan status hukum dari bantuan yang diberikannya. Kelambatan pemerintah dalam menetapkan status bantuannya pada BUMN adalah salah satu poin penyebab tidak diyakininya jumlah kekayaan negara pada neraca pemerintah pusat per 31 Desember 2005. Implikasi lebih jauh, adanya potensi terjadinya penyalahgunaan dana bantuan tersebut. 4

II. Seharusnya, untuk menciptakan iklim good corporate governance yang menuntut adanya transparansi dan kejelasan dalam hal keuangan termasuk kekayaan negara, maka temuan BPK atas ketidakjelasan status hukum dari bantuan yang diberikan pemerintah pada BUMN tidak boleh terjadi. Untuk itu diperlukan dukungan peraturan yang jelas. 1.3. Tujuan Paper ini dimaksudkan untuk melakukan analisis dalam rangka mengetahui (1) mengapa pada tahun anggaran 2005 masih banyak bantuan pemerintah untuk BUMN yang belum jelas statusnya hingga tahun anggaran berakhir, (2) apakah implikasi atau akibat dari keterlambatan penetapan status tersebut. 1.4. Metodologi Analisis Dalam penulisan paper ini, penyajian materi penulisan berpedoman kepada metode penelitian descriptive analysis yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang benar mengenai suatu obyek. LANDASAN TEORI 2.1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan 1. Kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuan pendiriannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum atau pun nilai kesusilaan. Maksud dan tujuan pendirian BUMN telah diatur dalam Undang-undang No.19 Tahun 2003, yaitu (1) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada 1 Undang-undang Republik Indonesia No.19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara 5

khususnya, (2) mengejar keuntungan, (3) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, (4) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, (5) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. 2.2. Penyertaan Modal Negara (PMN) Pada BUMN. Penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2005. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, penyertaan modal negara didefinisikan sebagai pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/ atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi. PMN pada BUMN dapat dilakukan pada keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan peran BUMN dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sumber penyertaan modal tersebut dapat berasal dari APBN, Kapitalisasi cadangan dan/ atau sumber lainnya (keuntungan revaluasi aset dan/ atau agio saham). Dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha BUMN, maka pemerintah dapat menambahkan penyertaan modal negara ke dalam suatu BUMN. Dan dengan tetap memperhatikan kepentingan BUMN yang bersangkutan serta dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan kreditor, maka pemerintah juga dapat melakukan pengurangan PMN pada BUMN. Pengurangan PMN tersebut dapat dilakukan dengan cara (1) menjual saham milik negara pada persero atau perseroan terbatas, (2) mengalihkan aset BUMN untuk penyertaan modal negara pada BUMN lain atau perseroan terbatas, pendirian BUMN baru, 6

atau dijadikan kekayaan negara yang tidak terpisahkan, (3) Memisahkan anak perusahaan BUMN menjadi BUMN baru dan (4) merestrukturisasi perusahaan. Setiap PMN atau penambahan PMN yang dananya berasal dari APBN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan PMN yang bersumber dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya ditetapkan dengan keputusan RUPS untuk persero dan perseroan terbatas serta keputusan menteri untuk perum. Dalam hal pengurangan PMN pada suatu BUMN juga ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 2.3. Tata Cara Penyertaan Modal negara pada BUMN Rencana penyertaan modal negara dapat dilakukan atas inisiatif menteri keuangan atau menteri teknis. Selanjutnya dilakukan pengkajian bersama yang dikoordinasikan oleh menteri keuangan. Pengkajian tersebut dapat mengikutsertakan menteri lain dan/ atau pimpinan instansi lain yang dianggap perlu atau pun menggunakan konsultan independen. Apabila hasil kajian tersebut menyatakan bahwa rencana penyertaan modal negara tersebut layak untuk dilakukan maka menteri keuangan menyampaikan usul penyertaan modal negara dimaksud kepada persiden untuk mendapatkan persetujuan. 2.4. Landasan Hukum yang Mengatur Penyertaan Modal negara pada BUMN Berikut adalah landasan hukum yang mengatur mengenai penyertaan modal negara pada BUMN. 7

Undang-undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Penyertaan modal negara adalah salah satu bentuk investasi yang dilakukan pemerintah untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial. Keterlambatan Departemen Keuangan dalam menetapkan status hukum atas bantuan pemerintah menyebabkan adanya kekayaan negara yang tidak tercatat dalam Laporan keuangan pemerintah Pusat di tahun 2005. Ketidakjelasan status kekayaan negara tersebut bertentangan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Oleh karena itu penyertaan modal pemerintah pada perusahaan negara perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 41 ayat (1) : Pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/ atau manfaat lainnya. Pasal 41 ayat (3) : Investasi sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah. Selain itu, penyertaan modal negara berarti ada aset negara yang dipindahtangankan. Untuk barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan yang disertakan sebagai PMN dan bernilai lebih dari seratus miliar rupiah terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan DPR. Sedangkan untuk yang bernilai antara sepuluh miliar rupiah sampai dengan seratus miliar rupiah perlu mendapat persetujuan Presiden. Setelah mendapatkan persetujuan, pemindahtangan aset negara sebagai PMN kepada BUMN baru dapat dilaksanakan. Pasal 46 ayat (1) huruf c : Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk : 8

c. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 46 ayat (2) : Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden. Undang-undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Perlu adanya kejelasan status hukum atas kekayaan negara yang disertakan dalam suatu BUMN diatur dalam Undang-undang No.19 tahun 2003. Dalam Undang-undang tersebut diamanatkan bahwa setiap penyertaan modal negara dalam BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, begitu pun bila terjadi perubahan penyertaan modal tersebut. Pasal 4 ayat (3) : Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 4 ayat (4) : Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 9

Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas Pada PP No.44 tahun 2005 juga diatur mengenai landasan hukum dari penyertaan modal pemerintah pada BUMN. Setiap penyertaan modal pemerintah pada BUMN yang sumber dananya berasal dari APBN ditetapkan dengan APBN, kecuali yang sumber dananya berasal dari kapitalisasi cadangan dan/ atau sumber lainnya. Pasal 3 : Setiap penyertaan modal negara atau penambahan penyertaan modal negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud.dalam pasal 2 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. III. ANALISIS 3.1. Status Bantuan Pemerintah Kepada BUMN Dalam LKPP Tahun 2005 Kekayaan Negara dalam bentuk pemberian bantuan pemerintah kepada BUMN yang belum jelas statusnya dinilai BPK sebagai suatu pelanggaran terhadap peraturan perundangan. BPK menilai adanya pelanggaran terhadap Undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara. Dari hasil audit BPK, kekayaan negara senilai Rp35,6 triliun di BUMN yang belum jelas statusnya tersebut terdapat di Perum BULOG senilai Rp492,57 miliar, PT. Angkasa Pura I senilai Rp 1,.99 triliun, PT. Angkasa Pura II senilai Rp 72.932 juta, Perum Prasarana Perikanan Samudera senilai 10

Rp47.037 juta, PT. PLN senilai Rp23,85 triliun dan Pertamina senilai Rp 9,14 triliun. Dalam laporan keuangannya, BUMN-BUMN tersebut melakukan pencatatan bantuan pemerintah secara berbeda-beda. PT. Angkasa Pura I dan II mencatat bantuan pemerintah tersebut tidak sebagai ekuitas sehingga tidak tercatat sebagai Penyertaan Modal Pemerintah. Perum Prasarana Perikanan Samudera, PT. PLN dan Pertamina mencatatnya sebagai bagian dari ekuitas, sehingga tercatat sebagai Penyertaan Modal Pemerintah. Khusus pada Pertamina, bantuan pemerintah tersebut merupakan kewajiban Pertamina kepada pemerintah yang direncanakan akan ditetapkan statusnya sebagai tambahan penyertaan modal pemerintah pada Pertamina. Namun peraturan pemerintah tentang penyertaan modal pemerintah kepada Pertamina sebesar Rp 9,14 triliun belum ditetapkan. Bantuan pemerintah yang belum jelas statusnya tersebut belum diungkapkan dalam Catatan LKPP Tahun 2005. 3.2. Analisis atas Peraturan yang Mengatur Penyertaan Modal Negara pada BUMN Peraturan-peraturan yang ada sehubungan dengan penyertaan modal, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun Peraturan Pemerintah dinilai memiliki beberapa kelemahan. 3.2.1. Tidak Diaturnya Jangka Waktu Penerbitan Aturan Hukum Mengenai Penyertaan Modal Negara Dalam pengaturan mengenai penyertaan modal negara, Undangundang No.19 tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap penyertaan modal negara yang berasal dari APBN dan setiap perubahan penyertaan modal negara baik penambahan maupun pengurangan modal ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 11

Undang-undang tersebut dalam pelaksanaannya dijabarkan dengan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Peraturan Pemerintah tersebut juga mengamanatkan bahwa setiap penyertaan modal negara pada BUMN yang dananya berasal dari APBN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dari kedua peraturan tersebut jelas bahwa Peraturan Pemerintah sangat penting keberadaannya guna menetapkan status dari setiap bantuan yang diberikan pemerintah kepada BUMN sebagai penyertaan modal negara. Bantuan tersebut merupakan kekayaan negara, terutama yang bersumber dari APBN. Namun baik dalam Undang-undang No.19 Tahun 2003 maupun dalam Peraturan Pemerintah No.44 tahun 2005 tidak diatur mengenai jangka waktu toleransi penerbitan peraturan pemerintah yang menetapkan bantuan pemerintah kepada BUMN sebagai penyertaan modal negara. Ketiadaan pengaturan mengenai jangka waktu diterbitkannya Peraturan Pemerintah tersebut menjadikan tidak adanya kewajiban bagi Menteri Keuangan untuk sesegera mungkin menetapkan status atas bantuan pemerintah kepada BUMN, oleh karena itu wajar saja jika sampai dengan tahun anggaran 2005 berakhir masih terdapat bantuan pemerintah kepada BUMN senilai Rp 35, 6 triliun yang belum jelas statusnya. Dampak dari hal tersebut adalah tidak tercatatnya bantuan pemerintah sebagai ekuitas dan akhirnya tidak tercatat juga sebagai penyertaan modal negara. Hal ini terjadi pada kasus PT. Angkasa Pura I dan PT. Angkasa Pura II. 12

Bantuan pemerintah kepada BUMN telah diberikan dalam jumlah yang cukup besar. Namun penggunaan dana APBN kepada BUMN yang seharusnya menjadi kekayaan negara ternyata sangat rawan dengan penyalahgunaan dan manipulasi, baik untuk kepentingan pribadi pengguna maupun untuk kepentingan umum tetapi bukan pada pos yang direncanakan. Implikasi lebih jauh dari kelemahan peraturan adalah hilangnya kekayaan negara. Dikatakan hilang karena bantuan tersebut tidak tercatat sebagai penyertaan modal negara sehingga tidak menjadi kekayaan negara. 3.2.2. Kelemahan Teknis dalam Perundang-undangan yang Ada Permasalahan lain yang timbul dari peraturan yang mengatur penyertaan modal pemerintah adalah adanya ketidaktepatan dalam pemilihan kata sehingga menimbulkan makna yang berbeda. Seperti disebutkan sebelumnya, Undang-undang No. 19/ 2003 maupun dalam PP No.44/ 2005 mengamanatkan bahwa setiap penyertaan modal pemerintah kepada BUMN yang sumber dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hal tersebut tidak lazim karena peraturan pemerintah hanya bersifat mengatur, jadi kata ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tidak tepat karena seharusnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Walaupun secara substansi masih dapat dilaksanakan, namun penulisan tersebut dinilai menyalahi teknis peraturan perundangundangan. Dikhawatirkan kelemahan ini akan menghambat pelaksanaan peraturan tersebut. Selain kelemahan-kelemahan tersebut di atas, beberapa kalangan berpendapat bahwa cara pandang Undang-undang No.19 tahun 2003 terhadap BUMN yang cenderung bertentangan dengan pasal 33 Undang- 13

undang Dasar 1945 juga merupakan salah satu masalah dalam pengembangan BUMN. Undang-undang No.19 tahun 2003 lebih memandang BUMN sebagai entitas bisnis. Padahal dalam pasal 33 UUD 1945, keberadaan BUMN terutama didasarkan atas pengakuan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara. Jadi semestinya BUMN dalam tataran teori maupun pelaksanaannya harus benar-benar ditujukan untuk mewujudkan amanat pasal 33 UUD 1945. Oleh karenanya langkah yang diambil pemerintah dalam memecahkan masalah yang dihadapi BUMN tidak melulu pada pilihan privatisasi. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Keterlambatan pemerintah dalam menetapkan landasan hukum bagi bantuan yang diberikannya kepada BUMN disebabkan oleh lemahnya aturan-aturan yang mengatur penyertaan modal negara. Dalam Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN maupun Peraturan pemerintah No. 44 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas tidak diatur jangka waktu toleransi bagi Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah atas bantuan yang diberikannya kepada BUMN. Akibatnya banyak bantuan pemerintah pada BUMN yang menjadi tidak jelas statusnya. 2. Ketidakjelasan status bantuan pemerintah kepada BUMN sebagai kekayaan negara berimplikasi pada tidak tercatatnya bantuan pemerintah sebagai ekuitas dan akhirnya tidak tercatat juga sebagai penyertaan modal negara. Penggunaan bantuan pemerintah kepada BUMN yang tidak jelas statusnya tersebut sangat rawan dengan 14

penyalahgunaan dan manipulasi dana. Lebih jauh, ketidakjelasan ini dapat menyebabkan hilangnya kekayaan negara. 4.2. Saran Pemerintah perlu melakukan revisi atas Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN dan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, dengan menambahkan pengaturan mengenai jangka waktu penerbitan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai penyertaan modal negara pada suatu BUMN. 15

Kontroversi atas Fatwa Mahkamah Agung Pada tanggal 16 Agustus 2006, Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa dengan nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006. Fatwa tersebut dikeluarkan atas permintaan Menteri Keuangan sehubungan dengan adanya ketidaksesuaian pengaturan mengenai penyertaan kekayaan negara dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN. Fatwa tersebut dinilai memberi angin segar bagi rencana revisi atas PP No.14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/ Daerah. Fatwa MA tersebut menuai pro dan kontra. Pihak yang sependapat menyatakan bahwa fatwa MA tersebut memberi ruang gerak yang lebih luas dan dukungan positif bagi manajemen BUMN untuk lebih berani mengambil keputusan strategis dan inovatif dalam mengembangkan BUMN. Selama ini manajemen seringkali ragu untuk mengambil keputusan karena khawatir kerugian yang mungkin terjadi dinilai sebagai suatu tindak korupsi karena telah merugikan negara. Di sisi lain, pihak yang kontra dengan adanya fatwa MA tersebut menilai bahwa fatwa MA tidak dapat diterapkan di Indonesia dan tidak dapat dijadikan landasan hukum. Fatwa MA ini memang berimplikasi hukum terutama pada pemotongan kredit macet di bank-bank BUMN. Namun kelompok ini berkeyakinan bahwa pemisahan antara kekayaan negara dengan kekayaan pada perusahaan negara tidak dapat dibenarkan. Fatwa tersebut juga menghalangi usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, karena dengan keluarnya fatwa tersebut, UU tindak pidana korupsi dinilai tidak lagi efektif dalam melindungi kekayaan negara. Bila dicermati, ujung pangkal dari permasalahan ini adalah adanya perbedaan cara pandang dalam memperlakukan kekayaan negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN. Seharusnya fatwa MA ini tidak perlu dianggap sebagai masalah yang menakutkan karena harus disadari bahwa BUMN adalah juga sebuah entitas bisnis yang padanya berlaku perilaku pasar yang sangat dinamis. Disamping itu perlu adanya komitmen dari semua pihak untuk lebih mengembangkan BUMN. Disarikan dari berbagai sumber 16

Referensi Undang-undang Republik Indonesia No.19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-undang Republik Indonesia No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Peraturan Pemeritah Republik Indonesia No.44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta : Kanisisus, 1998. Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, Fatwa Mahkamah Agung No.WKMA/ Yud/ 20/ VIII/ 2006 mengenai Usulan Perubahan Peraturan Pemerintah Pemerintah No.14 Tahun 2005. Pradana, Rifky. BUMN, Punya Siapa?, 10 Oktober 2006. Suara Karya, Suntik BUMN Merugi Pemerintah Siapkan Rp 1,955 Triliun, 13 Desember 2006. 17

This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only. This page will not be added after purchasing Win2PDF.