PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BPS PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA, FEBRUARI 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,09 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI PAPUA BARAT FEBRUARI 2008

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2008 SEBESAR 6,04 PERSEN

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2009

PENDAHULUAN Latar Belakang

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015

BERITA RESMI STATISTIK

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DKI JAKARTA AGUSTUS 2017

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DIY PADA FEBRUARI 2011 SEBESAR 5,47 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI DIY PADA AGUSTUS 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,97 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

PENDAHULUAN Latar belakang Dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun drastis.

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

MANAJEMEN KEUANGAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA PEREMPUAN BURUH PABRIK DI KABUPATEN BOGOR

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2013

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAMBI AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2011


KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU AGUSTUS 2016

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Utara Agustus 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PAPUA FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2012

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017

DEPUTI PERLINDUNGAN PEREMPUAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK RI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BERITA RESMI STATISTIK

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA UTARA FEBRUARI 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan dalam bidang ketenagakerjaan merupakan bagian dari usaha

BPS PROVINSI DKI JAKARTA

KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DALAM KETENAGAKERJAAN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2008

KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2014 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,16 PERSEN

Ketenagakerjaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PAPUA FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG FEBRUARI 2017

KONTRIBUSI EKONOMI PEREMPUAN. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc

KEADAAN KETENAGAKERJAAN INDONESIA AGUSTUS 2009

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH FEBRUARI 2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015

BADAN PUSAT STATISTIK PROPINSI KEPRI

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROV SUMSEL FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR AGUSTUS 2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2010

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2011

KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2010

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN AGUSTUS 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2017 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 2,84 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2011

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI RIAU PADA AGUSTUS 2012 SEBESAR 4,30 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

BERITA RESMI STATISTIK

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2014

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 1,5 juta orang. Pada Maret 2009, jumlah penduduk miskin sebesar 32,5 juta orang, sedangkan pada Maret 2010 sebesar 31 juta orang. Jumlah penduduk miskin di Perkotaan lebih kecil dibanding Perdesaan. Jumlah penduduk miskin di Perkotaan pada Maret 2010 sebesar 11,2 juta orang. Sedangkan daerah perdesaan pada Maret 2010 mencapai 19,9 juta orang. Kemiskinan dapat tercermin dari rendahnya partisipasi penduduk yang bekerja, khususnya perempuan. Berdasarkan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan jauh lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Meskipun demikian, dilihat dari jumlah angkatan kerja selama periode 2006-2008 peningkatan jumlah angkatan kerja perempuan jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Jumlah angkatan kerja perempuan pada tahun 2006 mencapai 38,6 juta orang dan meningkat hingga 42,8 juta orang pada tahun 2008, namun pada tahun yang sama angkatan kerja laki-laki hanya meningkat dari 67,7 juta orang menjadi 69,1 juta orang. Menurut data BPS (2010), persentase penduduk usia 15 Tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan utama di sektor industri pada Tahun 2009-2010 menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Namun terjadi peningkatan jumlah perempuan yang bekerja yaitu sebesar 71 478 jiwa. BPS (2011), keadaan ketenagakerjaan di Jawa Barat pada Februari 2011 ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk yang bekerja. Pada bulan Februari 2011, jumlah angkatan kerja mencapai 20 155 494 jiwa meningkat 941 134 jiwa dibandingkan Februari 2010. Penduduk yang bekerja bertambah sebanyak 990 236 jiwa dibandingkan Februari 2011. Dalam satu tahun terakhir, peningkatan jumlah penduduk yang bekerja didominasi oleh penduduk perempuan. Penduduk perempuan yang bekerja bertambah sebanyak 574 353 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki yang bekerja bertambah sebanyak 415 883 jiwa. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2009 tercatat sebesar 4 453 927 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 2 258 789 jiwa dan jumlah

2 penduduk perempuan sebesar 2 195 138 jiwa. Sedangkan hasil Sakernas 2009 menunjukkan bahwa total penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), sekitar dua per tiga penduduk Kabupaten Bogor termasuk angkatan kerja. Sementara itu, persentase penduduk laki-laki yang bekerja (usia 15 tahun ke atas) lebih besar dibandingkan perempuan yaitu 69,3 persen. Sedangkan persentase perempuan (usia 15 tahun ke atas) yang bekerja sebesar 30,7 persen. Bila dilihat dari lapangan usahanya, persentase laki-laki yang bekerja di sektor jasa lebih besar daripada perempuan. Perempuan lebih banyak bekerja di sektor manufaktur (BPS 2010). Pada dasarnya perempuan yang bekerja tetaplah seorang pengurus rumahtangga. Sajogyo (1981) menjelaskan bahwa peranan perempuan bersifat normatif dengan melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga sekaligus di bidang ekonomi rumah tangga. Posisi/status tersebut, perempuan tidak bisa dikesampingkan sebagai pencari nafkah (utama atau tambahan). Kebanyakan istri yang bekerja dikarenakan minimnya sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga sehingga membutuhkan tambahan sumberdaya lain untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan keluarga yang semakin berkembang. Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa berkembangnya kehidupan keluarga maka berkembang pula kebutuhan dan keinginan keluarga yang semakin hari semakin tak terbatas sedangkan sumberdaya yang dimiliki setiap keluarga terbatas. Bahkan kebutuhan dan keinginan tersebut selalu berubah dan cenderung bertambah banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu manajemen sumberdaya keluarga yang baik, khususnya sumberdaya keuangan keluarga. Deacon dan Firebaugh (1988) mengatakan bahwa manajemen keuangan keluarga yang optimal akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang maksimal. Tingkat kesejahteraan dapat diukur dari kepuasan subjektif yang dirasakan keluarga berdasarkan sumberdaya yang dimiliki keluarga. Sejalan dengan hasil penelitian terdahulu bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan keluarga subjektif (Firdaus 2008). Sedangkan Nurulfirdausi (2010), tidak terdapat hubungan yang nyata antara manajemen keuangan keluarga dengan tingkat kesejahteraan keluarga.

3 Perumusan Masalah Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2011 mengalami kenaikan dibandingkan Februari 2010. Penduduk yang bekerja pada Februari 2011 tercatat sebanyak 18 173 043 jiwa, bertambah 990 176 jiwa dibandingkan Februari 2010 yang tercatat sebanyak 17 182 807 jiwa. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan mengalami kenaikan sebanyak 472 598 jiwa atau meningkat sebesar 8,47 persen dibandingkan tahun sebelumnya (BPS 2011). Data Sakernas (2011) memperlihatkan bahwa tenaga kerja perempuan di kegiatan informal sedikit lebih banyak dibandingkan laki-laki, masing-masing yaitu 63,77 persen dan 64,02 persen. Perempuan yang bekerja tersebut tidak terlepas dari berbagai tindak ketidakadilan. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh buruh/pekerja perempuan terutama di bidang industri antara lain: 1. Terdapat perbedaan upah kerja perempuan dengan laki-laki. Berdasarkan Sakernas Tahun 2000-2004 bahwa rata-rata upah kerja yang diterima perempuan adalah 50 persen dari upah yang diterima laki-laki dan 70 persen untuk pekerjaan nonpertanian. Hal ini berarti, upah kerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Adapun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Kabupaten Bogor Tahun 2011 sebesar Rp 1 172 060,00 meningkat dibandingkan Tahun 2010 yaitu sebesar Rp 1 056 914,00. 2. Perempuan sangat sulit memperoleh promosi jabatan karena selalu ditempatkan di posisi yang lebih rendah dari laki-laki, yang tidak mensyaratkan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi. Perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerapihan, dan biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap hari selama bertahun-tahun. 3. Jam kerja yang lebih panjang, dan sulit mengakses berbagai kursus dan pelatihan. 4. Sebagian besar perusahaan hampir tidak memperhatikan masalah-masalah yang spesifik yang dialami buruh perempuan formal, seperti masalah cuti haid, cuti melahirkan, tunjangan untuk kehamilan dan menyusui, dan fasilitas tempat

4 penitipan anak. Perusahaan tidak memberikan hak-hak tersebut di atas karena dianggap menganggu produktivitas kerja. Terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi pekerja perempuan. Kenyataannya, hak-hak perempuan dilindungi dalam Undang-Undang. Undang- Undang yang terkait dengan hak perempuan antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 terkait Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Partai Politik, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang lainnya. Namun perlindungan tersebut belum benar-benar dirasakan oleh perempuan yang bekerja. Pada dasarnya, perempuan yang bekerja mampu memberikan kontribusi ekonomi terhadap pendapatan keluarga baik utama (primary breadwinner) maupun tambahan (secondary breadwinner). Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan keluarga yang semakin tak terbatas. Seiring dengan kebutuhan dan keinginan keluarga yang tak terbatas membuat keluarga membutuhkan suatu manajemen yang optimal. Guhardja et al. (1992) menjelaskan konsep manajemen tidak dapat membuat sumberdaya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi cukup, akan tetapi manajemen dapat membantu menetapkan penggunaan sumberdaya yang terbatas menjadi optimal dalam pemanfaatannya. Di lain pihak, uang merupakan suatu sumberdaya dan sekaligus alat pengukur dari sumberdaya. Besarnya uang yang dimiliki oleh keluarga menunjukkan berapa banyak sumberdaya uang yang dimiliki keluarga. Di sisi lain, keberadaan sumberdaya uang dalam keluarga relatif terbatas sedangkan kebutuhan dan keinginan keluarga relatif tak terbatas. Sehingga agar pemanfaatan sumberdaya uang yang terbatas tersebut mencapai optimum diperlukan usaha manajemen keuangan yang baik dan efektif (Guhardja et al. 1992). Manajemen keuangan keluarga yang baik dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan mengevaluasi hasil yang telah diperoleh. Hal ini

5 dilakukan demi mencapai tujuan keluarga, yaitu kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga yang tinggi mencerminkan kepuasan yang dirasakan keluarga juga tinggi. Adapun kepuasan yang diukur berdasarkan kepuasan keuangan keluarga, fisik, dan lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan bagaimana buruh pabrik perempuan yang pada umumnya bekerja dalam sektor publik serta domestik keluarga untuk mengelola keuangan keluarganya sehari-hari, agar tetap terpenuhi segala kebutuhan hidup maupun kebutuhan mendesak sekalipun serta langkah-langkah apa saja yang dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengantisipasi permasalahan yang dihadapi keluarga. Mengingat keberadaan perempuan sangat penting dalam kehidupan keluarga. Maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kontribusi pendapatan buruh perempuan terhadap pendapatan keluarga? 2. Bagaimana penerapan manajemen keuangan keluarga? 3. Bagaimana tingkat kesejahteraan keluarga contoh? 4. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga, manajemen keuangan, kerjasama gender dalam manajemen keuangan, serta kesejahteraan keluarga? Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen keuangan dan kaitannya dengan kesejahteraan keluarga pada perempuan buruh pabrik di Kabupaten Bogor. Tujuan Khusus: 1. Mengetahui kontribusi pendapatan contoh terhadap pendapatan keluarga. 2. Mengetahui penerapan manajemen keuangan keluarga. 3. Mengetahui kesejahteraan keluarga subjektif.

6 4. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dan keluarga, manajemen keuangan keluarga, kerjasama gender dalam manajemen keuangan keluarga, dan kesejahteraan keluarga subjektif. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan sarana untuk mengembangkan diri dari ilmu yang telah didapatkan selama perkuliahan serta dapat memberikan tambahan pengetahuan/referensi bagi peneliti sendiri serta bagi penelitian selanjutnya terkait manajemen keuangan dan kesejahteraan keluarga. 2. Bagi para buruh perempuan dan keluarga, penelitian ini dapat memberi masukan mengenai cara pengelolaan keuangan keluarga yang efektif dan efisien sehingga tujuan keluarga dapat tercapai yaitu kesejahteraan keluarga. 3. Bagi pemerintah/pengusaha, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan suatu masukan mengenai gambaran manajemen keuangan yang dilakukan oleh keluarga perempuan buruh pabrik sehingga dapat dijadikan sebagai suatu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pemerintah, khususnya dibidang kesejahteraan keluarga. 4. Bagi perkembangan ilmu, penelitian ini bermanfaat untuk menambah referensi perkuliahan terkait mata ajaran di departemen ilmu keluarga dan konsumen seperti gender dan keluarga, manajemen sumberdaya keluarga, dan lainnya. 5. Bagi masyarakat khususnya keluarga, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran mengenai manajemen keuangan keluarga sehingga dapat dipilih jalan terbaik dalam mengelola keuangan keluarga yang terbatas serta mampu menyeimbangkan antara kebutuhan/keinginan dengan sumberdaya yang tersedia demi mencapai kesejahteraan keluarga. Selain itu, menambah pengetahuan masyarakat terkait manajemen keuangan keluarga.