BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

BAB III METODE PENELITIAN

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

ADI FEBRIADI. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. II/1999 seluas ha yang meliputi ,30 ha kawasan perairan dan

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Identifikasi Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

Kondisi Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kampung Bugis, Bintan Utara.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

JENIS SEDIMEN PERMUKAAN DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PULAU GILI LABAK KABUPATEN SUMENEP

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

BAB VII POLA ADAPTASI NELAYAN

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

2.2. Struktur Komunitas

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

3. METODOLOGI PENELITAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Sejarah dan Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Desa Botutonuo berawal dari nama satu dusun yang berasal dari desa

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kegiatan Pariwisata Kegiatan pariwisata di Pulau Karimunjawa sangat tinggi. Bisa dilihat dari kunjungan wisatawan yang mengunjungi Pulau Karimunjawa dari setiap tahunnya (Lampiran 6). Dilihat dari data statistik Pengunjung Taman Nasional Karimunjawa dari tahun 2004 2012 dapat disimpulkan terdapat tiga kategori penilaian yaitu penelitian dan pendidikan, rekreasi dan lain-lain. Kategori penelitian dan pendidikan memiliki nilai yang tidak stabil dari setiap tahunnya. Kategori rekreasi memiliki nilai yang stabil dan meningkat terus menerus di setiap tahunnya. Sedangkan untuk kategori lain-lain memiliki nilai yang tidak stabil juga di setiap tahunnya sama seperti kategori penelitian dan pendidikan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis kegiatan pengunjung atau wisatawan yang mengunjungi Pulau Karimunjawa yaitu untuk berwisata atau rekreasi. Dalam hasil penelitian dari setiap stasiun yaitu Pulau Taka Malang, Pulau Sintok, dan Pulau Cemara Kecil bisa disimpulkan bahwa dari ketiga pulau tersebut belum terjadi kerusakan tumbuhan lamun di lokasi pariwisata maupun lokasi non pariwisata. Identifikasi terhadap wisatawan Pulau Karimunjawa dilakukan terutama pada hari Sabtu dan Minggu. Hal ini dilakukan karena waktu tersebut merupakan puncak kunjungan. Saat sabtu pagi wisatawan banyak yang berdatangan dari berbagai kota. Wawancara dilakukan terhadap 20 orang wisatawan yang terdiri dari 15 laki-laki dan 5 perempuan (Lampiran 7). 50% pengunjung berasal dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya, dan lainnya 50% berasal dari kota Jakarta dan sekitarnya. Hasil tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata wisatawan melakukan aktivitas mulai pukul 06.00 09.00 WIB untuk mencari sarapan, berjalan-jalan, dan bersepeda santai. Aktivitas wisatawan akan memuncak mulai pukul 10.00 15.00 WIB, aktivitas yang dilakukan yaitu menyewa kapal nelayan untuk melakukan kegiatan air, seperti snorkling, bersantai di pinggir pantai. Untuk pukul 16.00 21.00 WIB adalah waktu untuk wisatawan beristirahat, namun ada juga

Persen Wisatawan (%) yang menggunakan waktu itu untuk berjalan-jalan disekitar Karimunjawa untuk makan malam, membeli souvenir, dan berkumpul bersama rekan-rekan. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan responden wisatawan, aktivitas digolongkan menjadi tiga jenis yaitu, melakukan olahraga air, bersantai di pinggir pantai, dan memancing (Gambar 3). Olahraga air yang dimaksud yaitu meliputi snorkling, banana boat, dan berenang. Dan dilihat dari data Gambar 3 bisa disimpulkan bahwa Olahraga air merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan wisatawan di Pulau Karimunjawa. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Olahraga air Duduk dan bersantai memancing Jenis Kegiatan Gambar 3. Grafik Kegiatan Wisatawan Pulau Karimunjawa Dilihat dari Gambar 3, kegiatan wisatawan yang paling banyak dilakukan wisatawan di Pulau Karimunjawa adalah olahraga air, dengan nilai 85%. Olahraga air yang dilakukan wisatawan yaitu diantara lain adalah berenang, snorkling, banana boats dan diving. Karena dengan olahraga air wisatawan bisa melihat keindahan dari setiap pulau yang menjadi daya tarik di Pulau Karimunjawa. Karimunjawa memiliki wisata yang menarik dan juga banyak, diantaranya yaitu wisata Legon Lele di Karimunjawa, Kolam Hiu di Pulau Menjangan Besar, Traking Hutan Mangrove di Desa Kemojan, Pantai Batu Karang Pengantin di dukuh Karang lawang desa Kemojan di Pulau Kemojan, Pantai Ujung Gelam,

Pantai Barakuda dan Pantai Nirwana. Dampak yang ditimbulkan dari ketiga jenis kegiatan tersebut yaitu olahraga air misalnya snorkling dengan menginjak lamun, aktivitas pariwisata dengan membuang limbah domestik diperairan yang mengakibatkan menurunnya aktivitas fotosintesis dan menghambat pertumbuhan lamun. Sarana dan prasarana yang ditawarkan di Pulau Karimunjawa ini juga menjadi daya tarik tersendiri. Perkembangan wilayah sangat ditentukan oleh potensi yang dimilikinya dan sangat didukung oleh sarana dan prasarana sebagai penunjang pengelolaan potensi pariwisata. Penginapan yang disediakan untuk wisatawan berbentuk rumah warga yang dikosongkan dan beberapa rumah sudah dirancang khusus dan difasilitasi dengan pendingin ruangan karena Pulau Karimunjawa tidak terdapat hotel, sementara itu kebutuhan air bersih di Pulau Karimunjawa mudah didapat. Tempat makan banyak tersedia di sekitar penginapan maupun dermaga Pulau Karimunjawa. Tempat makan banyak tersedia di sekitar tempat wisata ini juga menjadi salah satu daya tarik wisatawan karena menyediakan makanan dan minuman yang diperuntukkan bagi wisatawan yang lelah sehabis melakukan aktivitas di sekitar pulau. Dengan adanya tempat makan disekitar Pulau Karimunjawa mengakibatkan pembuangan limbah terhadap laut meningkat sehingga membuat pemandangan kurang menarik dan mengakibatkan pencemaran di daerah pesisir. Padahal keindahan dan kelestarian alam merupakan faktor utama yang diperlukan dalam pengembangan kawasan pariwisata. 4.1.1 Pengetahuan Wisatawan terhadap Lamun Keindahan kawasan Pulau Karimunjawa dapat menunjang dalam pengembangan daerah sekitar. Dari sekian banyak pengunjung ternyata ekosistem lamun (seagrass) ini merupakan tumbuhan yang kurang dikenal. Dari hasil wawancara dengan wisatawan Pulau Karimunjawa, 90% menjawab tidak mengetahui lamun, sementara 10% menjawab mengetahui. Hal ini disebabkan karena ekosistem lamun sering diartikan sebagai ekosistem yang kurang memberi manfaat. Padahal fungsi dari padang lamun tidak kalah pentingnya dengan

ekosistem lain. Pengetahuan wisatawan terhadap lamun masih sangat rendah, ini akan berdampak negatif terhadap pelestarian lamun. Berdasarkan hasil survei terhadap wisatawan bahwa pengetahuan tentang lamun dan lingkungannya masih sangat kurang dibandingkan dengan mangrove dan terumbu karang. Di Indonesia setelah tahun 2000, perhatian pada lamun mulai berkembang, seiring dengan mulai berkembangnya pengetahuan tentang padang lamun. Kurangnya pemahaman ekologis tentang pentingnya ekosistem lamun, menyebabkan ekosistem yang potensial ini terabaikan. Hal ini bukan saja terjadi pada wisatawan tetapi juga kalangan akademisi. Menurut Bengen (2001), peneliti yang menaruh perhatian pada ekosistem lamun masih sedikit padahal lestarinya kawasan pesisir bergantung pada pengelolaan yang sinergis, apalagi tumbuhan lamun merupakan produsen primer. Dengan adanya kriteria kondisi lamun, diharapkan kerusakan ekosistem lamun dapat terkontrol keberadaannya dan tidak terlupakan. Perhatian masyarakat dirasakan perlu karena masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian lingkungan, oleh karena itu persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam pesisir. Selain itu juga perlu dilakukannya sosialisasi kepada masyarakat atau wisatawan tentang manfaat lamun bagi kesehatan lingkungan maupun perikanan. 4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Kepulauan Karimunjawa Semenjak ditetapkannya Kawasan Kepulauan Karimunjawa menjadi Taman Nasional tanggal 29 Februari 1988, kawasan daratan dan lautan Kepulauan Karimunjawa difungsikan berdasarkan zonasi dan dimanfaatkan untuk menunjang konservasi alam, pariwisata, penelitian, serta pendidikan. Bahkan menurut Budiharjo (1998) Karimunjawa berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata yang handal di Jawa Tengah. Pengembangan ekowisata di Taman Nasional Karimunjawa adalah suatu upaya positif dalam rangka pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Itu yang menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi Pulau Karimunjawa. Keindahan perairan yang menjadi daya tarik dan ditunjang dengan adanya tempat lokasi wisata seperti

berenang dengan hiu di Pulau Menjangan Besar. Lamun tidak termasuk daya tarik wisatawan tetapi lamun memiliki banyak manfaat yang menjadikan suatu lokasi perairan salah satunya daerah pariwisata menjadi lokasi yang memiliki daya tarik wisatawan yang tinggi. Salah satunya dengan banyaknya ikan-ikan kecil yang berenang disekitaran tumbuhnya lamun. Wisatawan akan sering berenang maupun snorkling melihat keindahan ikan-ikan, lamun juga membuat ombak menjadi tenang, hal ini sangat dicari oleh wisatawan karena wisatawan menyukai perairan yang tenang untuk melakukan kegiatan air yang salah satunya yaitu snorkling. Taman Nasional Karimunjawa terdiri atas duapuluh tujuh pulau besar maupun kecil. Pulau Karimunjawa merupakan pulau terbesar serta menjadi pulau utama di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Berdasarkan Surat keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 79/IV/Set-3/2005 tentang Revisi Zonasi/Mintakat Taman Nasional Karimunjawa menetapkan Pulau Karimunjawa seluas 4.301,5 Ha ini, memiliki fungsi di daratan sebagai zona inti perlindungan pada hutan tropis dataran rendah dan hutan mangrove, zona permukiman, zona rehabilitasi di sebelah barat Pulau Karimunjawa, dan zona budidaya. Fungsi perairan di sekitar Pulau Karimunjawa adalah sebagai zona inti pada perairan Tanjung Bomang dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Aktivitas daratan maupun perairan cukup tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Kepulauan Karimunjawa. Perairan Karimunjawa dilalui kapal-kapal penduduk yang pergi dan pulang dari mencari ikan maupun kedatangan kapalkapal penumpang ke Taman Nasional Karimunjawa. Kegiatan ekowisata dan fasilitas penunjang juga banyak disediakan di pulau ini, seperti perdagangan dan jasa, tempat penginapan, transportasi, perkantoran dan pendidikan, sehingga aktivitas yang dilakukan bukan hanya aktivitas ekoturis melainkan juga aktivitas masyarakat lokal dan pendatang. Pengembangan ekowisata telah memberikan dampak langsung kepada ekoturis, yaitu berupa hiburan dan pengetahuan, sedangkan dampak langsung bagi alam adalah perolehan dana yang sebagian dapat difungsikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam secara swadaya. Peningkatan kesejahteraan masyarakat juga terjadi seiring meningkatnya jumlah ekoturis yang datang. Hal ini merupakan dampak positif bagi perekonomian

warga setempat, tetapi memiliki dampak negatif terhadap lingkungan perairan Karimunjawa salah satunya ekosistem lamun. Apalagi saat ini Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Jepara sedang gencar-gencarnya mempromosikan wisata Karimunjawa yang tidak hanya ditujukan untuk skala nasional melainkan juga internasional. Mata pencaharian masyarakat tidak hanya bergantung dari melaut atau menjadi buruh tani, melainkan juga berpotensi untuk dikembangkan dalam menyediakan tempat penginapan (homestay), menjual souvenir, memandu wisata, sertamenyewakan perahu. Beragamnya aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun ekoturis juga memberikan dampak yang merugikan terhadap kelestarian lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan oleh faktor alam maupun manusia terjadi di Pulau Karimunjawa sebelah barat, utara, maupun selatan. 4.2.1 Lingkungan Fisik Perairan Parameter fisik dan kimiawi suatu perairan memegang peranan penting bagi kehidupan lamun (Heminge dan Duarte 2000). Berdasarkan hasil penelitian di perairan Pulau Sintok, Pulau Taka Malang, dan Pulau Cemara Kecil yang dilakukan pada bulan April 2013, diperoleh nilai-nilai parameter fisik yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Parameter Fisik Parameter Taka Malang Sintok Cemara Kecil Suhu ( 0 ) 28 29 28,3 Transparansi (%) 100 100 100 Tekstur Substrat Pasir Pasir Pasir Kedalaman (m) 0,65 1 0,8 a. Suhu Suhu di Pulau Taka Malang, Pulau Cemara Kecil dan Sintok berkisar antara 28 0 29 0 C, kisaran suhu tersebut masih menunjang kehidupan lamun untuk tumbuh yaitu 28 0 C 30 0 C (Nybakken 1988). Data tersebut menunjukkan bahwa kisaran di ketiga pulau ini berada pada kisaran optimal bagi lamun untuk tumbuh.

b. Transparansi Kecerahan adalah ukuran transparasi perairan yang diamati secara visual dengan alat secchi disk. Nilai kecerahan juga dipengaruhi oleh kekeruhan air, padatan tersuspensi dan waktu pengamatan (Effendi 2003). Nilai kecerahan yang didapat di ketiga pulau ini menunjukkan bahwa dasar perairan dan lamun dapat dilihat dari atas permukaan perairan. Kondisi perairan di lokasi penelitian yang dangkal merupakan salah satu faktor yang membuat nilai kecerahan perairan tersebut menjadi 100%. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi lamun karena proses fotosintesis dapat berlangsung secara optimal (Putri 2004). c. Substrat Berdasarkan hasil analisis di laboratorium diketahui bahwa kandungan substrat didominasi oleh pasir dengan sedikit berlumpur, bercampur pecahan karang yang telah mati. Lamun termasuk jenis tumbuhan laut yang mampu tumbuh pada semua tipe substrat, mulai dari lumpur hingga substrat keras seperti batuan maupun karang (Dahuri dkk. 1996).Sehingga tipe substrat yang terdapat pada setiap stasiun merupakan tipe substrat yang cocok untuk tumbuhnya lamun. d. Kedalaman Kedalaman perairan di Pulau Sintok, Pulau Cemara Kecil, dan Pulau Taka Malang berkisar antara 0,8m 1,2m. Hal ini dapat mendukung lamun untuk tumbuh karena syarat utama lamun untuk hidup adalah perairan dangkal. Lamun dapat tumbuh pada zona intertidal bawah dan subtidal atas, hingga mencapai kedalaman 30 meter. Pada zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang di dominasi oleh Halophilla ovalis, Cymodocea rotundata, dan Halodule pinifolia. Sedangkan pada Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Kerapatan dan pertumbuhan lamun, dapat dipengaruhi oleh kedalaman perairan. Perbedaan kedalaman antar stasiun dapat disebabkan oleh perbedaan kontur dari dasar perairan. Selain itu, perbedaan kedalaman dapat juga akibat perbedaan waktu pengukuran yaitu saat air surut ataupun mulai pasang.

4.2.2 Lingkungan Kimiawi Perairan Tabel 6. Parameter Kimiawi Parameter Taka Malang Sintok Cemara Kecil ph 7,51 7,6 7,9 Salinitas (ppt) 30 30 30 DO (ppm) 7,6 7,8 7,7 a. Derajat Keasaman Menurut Nyabakken (1992), umumnya ph air laut tidak menunjukkan perubahan yang cukup besar dan biasanya stabil karena adanya sistem karbonat dalam air laut, sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai perairan yang memiliki kondisi ph sekitar 7 8,5. Lamun dapat tumbuh optimal jika berada dalam kisaran ph antara 7,5 8,5. Berdasarkan penelitian ph di ketiga pulau antara 7,5 7,9 berarti ph di ketiga pulau masih berada dalam batas normal bagi lamun tumbuh.jika tidak terjadinya perubahan ph yang besar disebabkan karena adanya siklus karbonat dalam air laut. b. Oksigen Terlarut Menurut Salmin (2005) perairan yang baik dan tidak tercemar berada di atas 5 ppm. Oksigen terlarut (DO) yang diukur pada setiap stasiun penelitian menunjukkan nilai antara 7,5 7,8 ppm. Kondisi perairan di ketiga lokasi penelitian yang menunjukkan bahwa keadaan perairan tersebut masih dalam kondisi normal dan memungkinkan bagi lamun untuk dapat tumbuh dengan baik. c. Salinitas Kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10-40 ppt dan nilai optimumnya adalah 35 ppt. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi bergantung jenis dan umur. Lamun yang tua dapat mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Salinitas juga berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas (Kiswara 1997). Dilihat dari hasil parameter fisik dan kimiawi bisa disimpulkan bahwa parameter fisik dan kimiawi perairan masih baik dan menunjang untuk tumbuhnya

lamun, dan kondisi perairan fisik maupun kimiawi di Pulau Taka Malang (lokasi pariwisata) dan Pulau Sintok maupun Pulau Cemara Kecil (non pariwisata) belum menimbulkan tanda-tanda pencemaran yang signifikan akibat dari kegiatan pariwisata. 4.3 Struktur Komunitas Lamun di Kepulauan Karimunjawa Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Pulau Taka Malang, Pulau Sintok, dan Pulau Cemara Kecil, ditemukan empat jenis spesies lamun. Untuk di Pulau Taka Malang (non pariwisata) ditemukan tiga jenis lamun, yaitu Thalassia hemprichii, Halophilla ovalis, dan Enhalus acoroides. Di Pulau Sintok (pariwisata) terdapat juga tiga jenis lamun yang ditemukan yaitu Cymodocea rotundata, Halophilla ovalis, dan Thalassia hemprichii. Sementara itu di Pulau Cemara Kecil (pariwisata) hanya menemukan satu jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii. Tumbuhan lamun yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 4. Cymodocea rotundata Enhalus acoroides Halophilla ovalis Thalassia hemprichii Gambar 4. Jenis Lamun Yang Ditemukan

Thalassia hemprichii merupakan spesies yang paling banyak ditemukan di Kepulauan Karimunjawa. Ciri-ciri jenis tersebut menurut Susetiono (2004) yakni, daun lurus sampai sedikit melengkung, tepi daun tidak menonjol, panjang daun mencapai 20 cm, lebar mencapai 1 cm, seludang daun tampak nyata dan keras dengan panjang 3-6 cm, rimpang keras, menjalar, dan ruas-ruas rimpang mempunyai seludang. Sering ditemukan dan dapat tumbuh hingga kedalaman 25 meter, sering di jumpai pada substrat berpasir. Cymodocea rotundata merupakan spesies lamun yang juga ditemukan di perairan Kepulauan Karimunjawa. Kebanyakan spesies ini ditemukan terutama di daerah subtidal dengan kedalaman 3-6 m. Lamun ini dapat tumbuh di berbagai substrat, dari substrat berlumpur sampai substrat yang keras. Ciri-ciri morfologi Cymodocearotundata yaitu tepi daun bergerigi, akar tiap nodus banyak dan bercabang, tulang daun sejajar, satu tegakan terdiri dari 2-3 helai daun (Moriaty 1989). Enhalus acoroides memiliki panjang daun yang mencapai 2,5 m. Daun berwarna hijau tua ini kuat dan tidak mudah terkoyak oleh gelombang laut. Tumbuh pada substrat berlumpur dan perairan keruh, dapat membentuk jenis tunggal atau bahkan mendominasi komunitas padang lamun. Halophilla ovalis dapat hidup di zona pasang surut sampai kedalaman 20 m. Umum dijumpai pada substrat berlumpur, merupakan jenis yang dominan di daerah intertidal. Memiliki ciri morfologi tiap nodus terdiri dari 2 tegakan, mempunyai akar tunggal di setiap nodus, tulang daun menyirip. 4.3.1 KepadatanJenis Lamun Kepadatan jenis lamun adalah banyaknya jumlah individu atau tegakan suatu jenis lamun pada suatu luasan tertentu. Hasil perhitungan lamun secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 8-10. Kepadatan total lamun yang diperoleh pada setiap stasiun yang dilihat pada Gambar 5.

Kepadatan (individu/m2) 600 500 400 300 200 100 Taka Malang Sintok Cemara Kecil 0 TH HO EA TH HO CR TH Jenis Lamun Gambar 5. Grafik Kepadatan Total Lamun Keterangan : TH :Thalassia hemprichii HO : Halophila ovalis EA : Enhalus acoroides CR : Cymodocea rotundata Pulau Taka Malang memiliki pemanfaatan sebagai zona inti, sehingga tidak ada kegiatan pariwisata di stasiun Taka Malang. Sedangkan stasiun Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil memiliki pemanfaatan sebagai zona pariwisata, sehingga terdapat kegiatan pariwisata di ke dua lokasi stasiun tersebut, sehingga memungkinkan terdapat buangan limbah dari kegiatan pariwisata. Spesies lamun yang memiliki kepadatan tertinggi di lokasi non pariwisata yaitu stasiun Pulau Taka Malang adalah Enhalus acoroides dengan nilai kepadatan 127,75 individu/m2 (Gambar 5). Sedangkan kepadatan tertinggi di lokasi pariwisata Pulau Sintok adalah Cymodocea rotundata dengan nilai kepadatan 495,87 individu/m2 dan Pulau Cemara Kecil hanya ditemukan satu spesies lamun yaitu Thalassia hemprichii dengan total kepadatan sebesar 533,33individu/m2. Kepadatan Thalssia hemprichii di Pulau Cemara Kecil tinggi karena hanya ditemukan satu jenis spesies lamun saja di lokasi Pulau Cemara Kecil. Faktor yang menyebabkan Enhalus acoroides mempunyai penutupan yang paling tinggi di Pulau Taka Malang dikarenakan lamun jenis ini memiliki daun yang lebih besar dan lebar dari pada jenis lamun lainnya. Dengan daun yang lebih

lebar sehingga banyak wilayah yang dapat ditutupi oleh satu tegakan saja.faktor yang menyebabkan Enhalus acoroides mempunyai kepadatan paling tinggi adalah tumbuhan ini mempunyai sistem perakaran yang kuat dan dengan rimpang terbenam di dalam pasir. Dengan sistem perakaran yang demikian Enhalus acoroides dapat lebih bertahan hidup ketika terkena gangguan dari luar seperti aktifitas manusia dan faktor lingkungan lainnya. Cymodocea rotundata memiliki kepadatan tertinggi di Pulau Sintok dikarenakan kecocokan dalam kondisi perairan di Pulau Sintok. Selain kecocokan dalam kondisi perairannya, kesesuaian substrat juga mempengaruhi tumbuhnya Cymodocea rotundata. Pulau Sintok memiliki kondisi substrat pasir berlumpur sedangkan Thalassia hemprichii memiliki kecocokan dengan kondisi substrat berpasir. Sehingga Cymodocea rotundata memiliki pertumbuhan yang baik di Pulau Sintok dibandingkan dengan Thalassia hemprichii. Keberadaan spesies Thalassia hemprichii terlihat cukup padat untuk masing-masing stasiun baik yang salah satunya Pulau Cemara Kecil (Gambar 5). Menurut Yulianda (2002), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu jenis lamun dapat tumbuh subur di suatu perairan, antara lain ialah kesesuaian substrat dan kondisi lingkungan perairan. Jenis Thalassia hemprichii memiliki sifat sebagai penahan ombak, sehingga jenis ini sangat cocok sekali dengan keadaan Pulau Cemara Kecil sebagai lokasi pariwisata dan pilihan kunjungan wisatawan dengan tingkat nilai yang tinggi, dengan keadaan perairan yang tenang itu wisatawan bisa melakukan kegiatan air seperti snorkling dan berenang. Jenis lamun Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata merupakan dua jenis lamun yang ditemukan secara meluas di perairan Indonesia. Jenis tersebut tumbuh pada substrat pasir dan patahan karang mati, terbuka saat surut, jauh dari pantai dan selalu digenangi air. Menurut Hutomo et al. (1988) bahwa Thalassia hemprichii adalah jenis lamun yang paling dominan dan luas sebarannya. Jenis ini ditemukan hampir diseluruh perairan Indonesia, tumbuh pada jenis substrat mulai dari pasir lumpur, pasir berukuran sedang dan kasar sampai pecahan-pecahan karang. Sedangkan Cymodocea rotundata merupakan salah satu jenis dominan di intertidal (Hutomo 1997).

Berdasarkan tipe substrat di lokasi penelitian ini yaitu pasir berwarna keputihan bertekstur halus, sedikit berlumpur, bercampur pecahan karang yang telah mati, maka tipe substrat ini menjadi indikator kuat sebagai tempat tumbuh lamun jenis Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. Tipe substrat ini juga membantu membentuk perakaran yang kuat bagi kedua jenis lamun tersebut. Kedua jenis lamun tersebut dianggap memiliki toleransi untuk hidup dan berkembang di Pulau Taka Malang, Sintok dan Cemara Kecil, selain itu untuk stasiun-stasiun tersebut keadaan perairannya cukup baik dan penetrasi cahaya matahari mencapai dasar perairan sehingga fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Untuk jenis Halophilla ovalis tidak hanya ditemukan didaerah substrat pasir dan umumnya tipe tunggal, tetapi juga ditemukan campuran bersama jenis Thalassia hemprichii. Halophilla ovalis dapat tumbuh di lokasi karena secara morfologi anatomi jenis akar ini halus seperti rambut tetapi sangat kuat untuk beradaptasi dengan mengaitkan akar ke dalam substrat (Larkum et al. 1989). Menurut (Bengen 2001) Halophilla ovalis yang berdaun kecil-kecil memiliki penyebaran yang hampir sama dengan Enhalus acoroides, namun keberadaannya hanya terbatas pada bagian pinggir pantai yang paling dangkal, sehingga bila ada proses kekeruhan, sebagian penetrasi cahaya masih dapat mencapai dasar perairan sehingga tetap memberikan kesempatan bagi lamun jenis ini untuk tumbuh dan berfotosintesis. Jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides memiliki kepadatan tertinggi untuk lokasi Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil, karena di stasiunstasiun tersebut merupakan daerah subtidal yang dangkal, disamping itu memiliki toleransi tertinggi untuk berkembang. Beberapa faktor yang menyebabkan jenis lamun yang ditemukan berbedabeda untuk setiap stasiun yaitu, kecocokan substrat pada setiap jenis lamun, dan kondisi lingkungan perairan.

4.3.2 Persentase Penutupan Lamun Persentase penutupan lamun menggambarkan luasan daerah tertentu yang ditutupi oleh lamun dan bermanfaat untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun serta kemampuan lamun dalam memanfaatkan luasan yang ada (Hemming & Duarte 2000). Persentase penutupan lamun juga dapat digunakan untuk mengetahui kondisi komunitas lamun di suatu perairan (Yulianda 2002). Tabel 7. Penutupan Lamun Jenis Lamun Stasiun Taka Malang (NP) Kondisi P PR Rata-rata Thalassia hemprichii 5,59 0,145 0,50 Halophila ovalis 12,32 0,320 1,12 38,46 (Sedang) Enhalus acoroides 20,55 0,53 1,86 Jenis Lamun Stasiun Sintok (P) Kondisi P PR Rata-rata Thalassia hemprichii 7,2 0,11 0,65 Halophila ovalis 1,89 0,02 0,17 64,86 (Baik) Cymodocea rotundata 55,77 0,85 5,07 Jenis Lamun Stasiun Cemara Kecil (P) Kondisi P PR Rata-rata Thalassia hemprichii 43,18 1 3,92 43,18 (Sedang) Keterangan : P PR NP P : Penutupan : Penutupan Relatif : Non Pariwisata : Pariwisata Dilihat dari tabel 7 untuk rata-rata penutupan lamun disetiap stasiun, Pulau Taka Malang (zona non pariwisata) memiliki nilai rata-rata penutupan lamun sebesar 38,46% yang berarti di Pulau Taka Malang memiliki nilai penutupan lamun yang sedang karena memiliki nilai kisaran 25-49%. Sedangkan untuk lokasi pariwata seperti Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil memiliki rata-rata nilai penutupan masing-masing setiap stasiun yaitu sebesar 64,86% untuk Pulau

Sintok dan 43,18% untuk Pulau Cemara Kecil. Pulau Sintok memiliki nilai ratarata penutupan yang baik karena memiliki nilai penutupan lamun yang yang berkisar antara 50-75%. Sedangkan Pulau Cemara Kecil dikategorikan sedang karena memiliki nilai yang berkisar antara 25-49%. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ketiga pulau tersebut memiliki penutupan lamun yang baik, dan belum memiliki pengaruh yang berarti dari aktivitas pariwisata. 4.3.3 Keanekaragaman dan Keseragaman Jenis Lamun Keanekaragaman dan keseragaman adalah indeks yang digunakan untuk melihat kestabilan struktur komunitas lamun yang biasa disebut dengan indeks ekologi (Yulianda 2002). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data indeks keanekaragaman dan keseragaman di tiga pulau sebagai berikut. Tabel 8. Keanekaragaman, dan Keseragaman Jenis Lamun No. Taka Malang (NP) Sintok (P) Cemara Kecil (P) H E H E H E 1 0,264 0,166 0,255 0,160 0 0 Keterangan : H : Keanekaragaman E : Keseragaman NP : Non Pariwisata P : Pariwisata Hasil perhitungan berdasarkan indeks keanekaragaman shanon, jika nilai yang diperoleh mendekati 0 maka indeks dinyatakan rendah, dan apabila nilai mendekati 1 maka indeks dinyatakan tinggi (Krebs 1975). Pengukuran indeks keanekaragaman jenis bertujuan untuk mengetahui jumlah spesies diantara jumlah total individu dari seluruh spesies yang ada. Indeks keanekaragaman jenis yang terdapat di Pulau Taka Malang, Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil tersebut dapat bertambah apabila komunitas makin stabil, namun apabila terjadi gangguan maka indeks keanekaragaman jenis tersebut akan mengalami penurunan. Hal ini senada dengan pendapat Michael (1995), jumlah spesies dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies tampaknya bertambah bila komunitas makin stabil dan akan menurun apabila terdapat gangguan, dimana situasi lingkungan dalam keadaan tidak menyenangkan dan kondisi fisik lingkungan terus menerus terganggu.

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka diketahui bahwa keanekaragaman di Pulau Taka Malang dan Pulau Cemara Kecil memiliki nilai rendah karena tingkat keanekaragamannya tidak ada yang mendekati nilai satu. Hal ini sesuai dengan pendapat (Odum 1975) yang menyatakan bahwa pada prinsipnya, nilai semakin tinggi berarti komunitas di perairan tersebut makin beragam dan tidak didominasi oleh satu atau lebih dari jenis yang ada. Sedangkan untuk ketiga lokasi tersebut memiliki nilai yang rendah yaitu jauh dari angka satu berarti komunitas di perairan tersebut tidak beragam dan didominasi oleh satu jenis lamun yang ditemukan. Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat nilai indeks keanekaragaman dari stasiun Pulau Sintok dapat dikategorikan keanekaragaman rendah. Nilai indeks keanekaragaman dengan kategori rendah ini berarti produktivitas rendah, kondisi ekosistem yang sedikit ditemukan.keanekaragaman Jenis Lamun di Pulau Taka Malang tidak jauh berbeda dengan keanekaragaman jenis lamun yang ada di Pulau Sintok, maka indeks keanekaragaman dinyatakan rendah. Rendahnya keanekaragaman yaitu akibat tutupan lamun tergolong rendah dan juga sedikitnya spesies lamun yang ditemukan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai rata-rata indeks keseragaman (E) di Pulau taka malang dan Pualau Sintok adalah kisaran 0,160 0,166 yang memiliki nilai yang rendah. Sedangkan untuk pulau Cemara kecil yang memiliki nilai indeks keseragaman nol maka perairan di Pulau Cemara kecil tidak dapat mendukung kehidupan organisme perairan.secara umum, berdasarkan data hasil perhitungan (Tabel 8), indeks keanekaragaman di ketiga pulau dapat dinyatakan rendah. Rendahnya keanekaragaman di ketiga pulau ini akibat persentase tutupan lamun yang tergolong rendah dan juga sedikitnya spesies lamun yang ditemukan. Untuk keanekaragaman dan keseragaman yang ada di Pulau Cemara Kecil bernilai nol dikarenakan di Pulau Cemara kecil hanya ditemukan satu spesies jenis lamun yaitu jenis Thalassia hemprichii. Karena hanya ditemukan satu jenis spesies lamun, maka tidak terdapat keanekaragaman dan keseragaman jenis lamun di Pulau Cemara Kecil.

Widodo (1997) menyatakan bahwa faktor utama yang memepengaruhi jumlah organisme, kenaekaragaman jenis antara lain adanya perusakan habitat alami seperti pengkonversian lahan, kegiatan pariwisata, pencemaran kimia dan organik, serta perubahan iklim. Sehingga bisa disimpulkan dengan rendahnya keanekaragaman dan keseragaman yang terjadi di lokasi Pulau Taka Malang (non pariwisata) dan Pulau Sintok maupun Pulau Cemara Kecil (pariwisata) yaitu dengan adanya dampak dari kegiatan pariwisata. 4.3.4 Frekuensi Jenis Lamun Frekuensi jenis lamun menunjukkan peluang banyaknya suatu jenis lamun yang ditentukan dalam titik sampel yang diamati. Berdasarkan data hasil penelitian, frekuensi jenis lamun yang diketahui memiliki nilai yang fluktuatif (Tabel 9). Tabel 9. Frekuensi Jenis Lamun Jenis Lamun Taka Malang (NP) Sintok (P) Cemara Kecil (P) F FR F FR F FR Thalasia 0,87 0,39 0,96 0,38 0,81 1 hemprichii Halophila 0,45 0,20 0,54 0,21 - - ovalis Enhalus 0,87 0,39 - - - - acoroides Cymodocea rotundata - - 1 0,39 - - Keterangan : F : Frekuensi FR : Frekuensi relative NP : Non Pariwisata P : Pariwisata Frekuensi jenis lamun di stasiun Pulau Taka Malang didominasi oleh Enhalus acoroidesdan Thalasia hemprichiidengan besar frekuensi 0,87%. Dilihat dari Tabel 8, frekuensi jenis lamun di Pulau Sintok menunjukkan lamun yang memiliki frekuensi jenis lamun yang besar, yaitu Thalasia hemprichii sebesar 0,96% dan Cymodocea rotundatasebesar 1%.Sementara itu frekuensi jenis lamun di Pulau Cemara Kecil yaitu Thalassia hemprichiisebesar 0,81%.

Jenis Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata memiliki nilai frekuensi yang besar dikarenakan Thalsia hemprichii dan Cymodocea rotundata berukuran tinggi dan besar yang mendominasi ruang untuk tumbuh dan menurunkan pertumbuhan Halophilla ovalis untuk tumbuh. Jenis Thalassia hemprichiimemiliki frekuensi yang besar dikarenakan di Pulau Cemara Kecil hanya terdapat satu jenis lamun, sehingga jenis Thalassia hemprichii mendominasi untuk di Pulau Cemara Kecil. Selain itu faktor yang menyebabkan suatu jenis lamun dapat tumbuh subur di suatu perairan, antara lain ialah kesesuaian substrat dan kondisi lingkungan perairan. Sehingga di Pulau cemara kecil hanya tumbuh satu jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii. 4.3.5 Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting (INP) menggambarkan peranan suatu spesies lamun terhadap spesies lainnya dalam suatu komunitas. INP ini ditemukan oleh frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan penutupan relatif masing-masing spesies lamun sehingga mempunyai hubungan berbanding lurus. Semakin tinggi nilai INP suatu jenis lamun terhadap jenis lainnya, semakin tinggi peranan jenis tersebut pada komunitas lamun (Fachrul 2007). Tabel 10. Rata-rata Indeks Nilai Penting Jenis INP TM (NP) Jenis INP S (P) Jenis INP CK (P) Lamun Lamun Lamun Thalassia 0,72 Thalassia 0,62 Thalassia 3 hemprichii hemprichii hemprichii Halophlila 0,53 Halophilla 0,30 ovalis ovalis Enhalus acoroides 1,74 Cymodocea rotundata 2,07 Keterangan : TM : Taka Malang, S : Sintok, CK : Cemara Kecil NP : Non Pariwisata P : Pariwisata Dilihat dari Tabel 10 dapat disimpulkan bahwa, spesies yang memiliki rata-tata indeks nilai penting tertinggi untuk di lokasi Pulau Taka Malang yaitu Enhalus acoroides dengan nilai 1,74. Untuk stasiun Pulau Sintok yang memiliki

rata-rata indeks nilai tertinggi yaitu Cymodecea rotundata dengan nilai 2,07. Sedangkan untuk rata-rata nilai indeks penting tertinggi untuk lokasi Pulau Cemara Kecil yaitu Thalassia hemprichii dengan nilai 3. Menurut Fachrul (2008) semakin tinggi nilai INP suatu jenis relatif terhadap jenis lainnya, semakin tinggi peranan jenis pada komunitas tersebut. Jenis Enhalus acoroides memiliki indeks nilai penting paling tinggi di Pulau Taka Malang karena lamun jenis ini paling dominan di perairan tersebut. Sedangkan untuk rata-rata indeks nilai penting terendah di Pulau Taka Malang yaitu spesies Halophilla ovalis dengan nilai 0,53. Untuk rata-rata indeks nilai penting terendah di lokasi Pulau Sintok yaitu spesies Halophilla ovalisdengan nilai 0,30. Rendahnya nilai indeks penting jenis Halophilla ovalis menunjukkan bahwa jenis Halophilla ovalis tidak dominan di perairan tersebut. Untuk di kedua pulau yaitu Taka Malang dan Sintok memiliki kesamaan untuk indeks nilai penting yang terendah terdapat di spesies Halophilla ovalis, ini disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan Halophilla ovalis yang rendah dan tumbuhannya yang kecil. Sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis lamun yang memiliki peranan penting di Pulau Karimunjawa khususnya di Pulau Taka Malang, Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil yaitu jenis lamun Thalassia hemprichii. 4.4 Pengelolaan Komunitas Lamun di Kepulauan Karimunjawa Potensi sumberdaya Kepulauan Karimunjawa adalah keanekaragaman jenis biota laut seperti biota karang (90 jenis), ikan karang (242 jenis), beberapa jenis udang dan lobster, penyu (2 jenis), rumput laut (10 genus), padang lamun (10 genus), vegetasi mangrove (11 jenis), dan berbagai biota laut lainnya serta didukung oleh kondisi airnya yang jernih, dikelilingi pulau-pulau besar dan kecil memberikan nilai tersendiri bagi keindahan alam Karimunjawa. Upaya untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya tersebut di atas, Pemerintah melalui Departemen Kehutanan pada tahun 1988 melakukan kebijakan dengan menetapkan Kepulauan Karimunjawa sebagai Taman Nasional Laut yang dituangkan ke dalam SK Menteri Kehutanan No. 161/Menhut-II/1988.

Sebagai Taman Nasional, maka bentuk pengelolaannya (pengaturan ruang) didasarkan pada sistem Zonasi, hal ini sesuai dengan UU. No 5 Tahun 1990. Sedangkan peraturan perundangan yang terbaru menggunakan UU. No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang didalamnya mengatur pengelolaan kawasan konservasi ekosistem. Indikasi kerusakan ekosistem dan sumber kawasan Taman Nasional Karimunjawa secara kuantitatif sangat jelas terlihat, dan dari tahun ke tahun kondisinya mengkhawatirkan. Berdasarkan atas kondisi dan permasalahan ini, kiranya untuk mengatasi konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang terjadi dan sebagai acuan untuk memadu rencana pengelolaan jangka panjang ke depan. Dari hasil yang didapat dari penelitian ini bahwa lokasi non pariwisata yaitu Pulau Taka Malang dengan lokasi pariwisata yaitu Pulau Sintok dan Pulau Cemara Kecil belum memiliki dampak yang membuat ekosistem lamun rusak dengan adanya kegiatan pariwisata. Tapi suatu saat dengan adanya kegiatan pariwisata yang terus meningkat akan mengakibatkan kerusakan ekosistem lamun. Padang lamun bukan menjadi objek yang dicari oleh wisatawan, tetapi lamun memiliki manfaat yang menunjang lokasi pariwisata salah satunya wisata air menjadi objek wisata yang dicari oleh wisatawan. Maka dari itu perlu adanya perlindungan dari wisatawan, masyarakat maupun pemerintah setempat. Dengan adanya perlindungan maka akan terjadinya dampak positif bagi wisatawan, masyarakat maupun pemerintah setempat. Dampak positif bagi wisatawan yaitu bisa menikmati keindahan perairan tanpa adanya gangguan akibat dampak negatif pariwisata. Untuk masyarakat setempat akan meningkatkan perekonomian dengan wisatawan yang datang, dan untuk pemerintah setempat yaitu bisa menjadikan daerah tersebut menjadi daerah pariwisata yang baik.