Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii

dokumen-dokumen yang mirip
Laporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Maluku. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sulawesi Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sumatera Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Barat. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Timur. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua)

Laporan Hasil SSP 2003 Nusa Tenggara Timur. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Sumatera Utara. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Riau. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 DKI Jakarta. iii. iii

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

1 Universitas Kristen Maranatha

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah

SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2007

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

BAB I PENDAHULUAN. yang mengakomodasi kesehatan seksual, setiap negara diharuskan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

BAB I PENDAHULUAN. seksual disebut infeksi menular seksual (IMS). Menurut World Health Organitation

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

OLEH A A ISTRI YULAN PERMATASARI ( ) KADEK ENA SSPS ( ) WAYLON EDGAR LOPEZ ( )

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 [ Waria ]

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2007

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penduduk Indonesia tahun , BPS, BAPPENAS, UNFPA, 2005).

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

RINGKASAN SDKI 2007 PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

Transkripsi:

iii iii

Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci i iii v vii 1. Pendahuluan 1 Latar Belakang 1 Survei Surveilans Perilaku 1 Sasaran Survei 2 Metode Survei 2 Sketsa Lokasi 4 2. Karakteristik Sosial dan Demografi 5 Struktur Umur 5 Status Perkawinan 5 Tingkat Pendidikan 6 Daerah Asal 6 Mobilitas 7 Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 7 Lama Bekerja 7 Tarif 8 Rata-rata Pendapatan 8 3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS 11 Pernah Mendengar HIV/AIDS 11 Pengetahuan mengenai HIV/AIDS 11 Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 12 Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 12 Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS 16 i i

4. Persepsi Berisiko 17 Merasa Berisiko 17 Perasaan Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko 17 Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan 18 5. Pola Perilaku Berisiko 21 Penggunaan Kondom 21 Antara Pengetahuan dan Perilaku 22 Seks Anal dan Narkoba 23 6. IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan 25 Infeksi Menular Seksual (IMS) 25 Jenis Keluhan IMS 26 Tempat Berobat 26 7. Kesimpulan dan Saran 29 Pengetahuan dan Persepsi Berisiko 29 Perilaku Berisiko dan Kondom 29 Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan 30 Usulan Tindakan 30 ii ii

Daftar Gambar Gambar Judul Gambar 2.1 Struktur Umur Responden 2.2 Tingkat Pendidikan Responden 2.3 Propinsi Asal Responden 2.4 Umur WPS Pertama Kali Berhubungan Seks 2.5 Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir 3.1 Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS 3.2 Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS 3.3 Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 3.4 Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS 3.5 Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 4.1 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS 4.2 WPS yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya 4.3 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan 5.1 Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial 5.2 Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir 5.3 Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir 5.4 Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik 6.1 Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS 6.2 Jenis Keluhan IMS 6.3 Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan saat Mengalami Gejala IMS tersebut 6.4 Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan iii iii

iv iv

Tabel Indikator Kunci Indikator WPS Langsung WPS Tidak Langsung 1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS 89,7 90,4 2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks 3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir 4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam setahun terakhir 5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam seminggu terakhir 6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir 7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS 83,0 77,2 - - - - 4,1 1,8 88,4 39,9 55,8 25,4 8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik 0,0 0,5 9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir 10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir 15,4 11,7 56,4 65,2 v v

vi vi

1 Pendahuluan Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi pernapasan. Melihat kecenderungannya, maka bukan tidak mungkin penyakit ini nantinya akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia. Secara nasional prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mungkin masih tergolong rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Namun demikian, perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik. Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, dan upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku, antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba. Meskipun prevalensi HIV/AIDS di Indonesia masih tergolong rendah, namun perkembangannya sudah mengkhawatirkan Survei Surveilans Perilaku Survei Surveilans Perilaku (SSP) adalah suatu proses sistimatik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisis, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk pemantauan perilaku responden dalam masalah kesehatan, dalam hal ini perilaku berisiko terhadap tertular HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari Surveilans generasi kedua. Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, respon masyarakat terhadap pencegahan HIV, menentukan kelompok populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program. Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik akan memberikan informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS 1

hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan perilaku penduduk berisiko. Manfaat surveilans perilaku sebagai sistem peringatan dini dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko. Surveilans generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih efektif. Sasaran Survei Sasaran survei adalah masyarakat yang diduga berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS, yaitu WPS Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti penjaja seks komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wanita penjaja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karaoke/ diskotek/café/restoran, dan hotel/motel/cottage (wanita penjaja seks tidak langsung). Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2003 di Indonesia termasuk di Kota Jayapura di Propinsi Papua yang dilaksanakan bulan Januari-Februari 2003 difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks, dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung. Definisi (batasan) mengenai penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP 2002 adalah sebagai berikut: Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial., adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu, misalnya di salon, panti pijat. Metode Survei Besar sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masyarakat yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan 2

diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Perhitungan dengan menggunakan metode cluster survey menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200-400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Di dalam rancangan sampel ditentukan target sampel lokasi sebanyak 13 lokasi WPS langsung dan 20 lokasi WP tidak langsung, namun dalam kenyataannya di lapangan jumlah lokasi sebanyak itu tidak dapat dipenuhi, karena jumlah lokasi yang tersedia memang kurang. Realisasi sampel lokasi dan responden untuk setiap sasaran survei di Kota Jayapura dicantumkan dalam tabel berikut ini. Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Kota Jayapura Kota Lokasi Responden Lokasi Responden Kota Jayapura 5 253 10 197 Cakupan wilayah SSP di Propinsi Papua adalah Kota Jayapura, dengan sasaran survei adalah WPS langsung dan WPS tidak langsung. Untuk WPS langsung dicakup pula lokalisasi Tanjung Elmo, yang terletak di Jalan Raya Sentani. Lokasi ini ditentukan setelah mendapatkan masukan dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Propinsi Papua dan Dinas Kesehatan setempat, dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks di Propinsi Papua, sekaligus merupakan daerah sasaran dari Survei Serologi HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Dengan dipilihnya Kota Jayapura, maka di daerah tersebut diharapkan dapat dikembangkan Surveilans Generasi Kedua. Perkiraan populasi WPS langsung dan WPS tidak langsung diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari lembaga pemerintah daerah setempat. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara sistim putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi. Pemilihan acak (random sampling) digunakan untuk pemilihan sampel. Karena jumlah lokasi hasil listing WPS lebih kecil dari target yang ditentukan maka pemilihan sampel dilakukan secara acak, langsung pemilihan responden (tanpa melalui pemilihan lokasi). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin. Metode acak dilakukan pada pemilihan sampel 3

4

2 Karakteristik Sosial dan Demografi Struktur Umur Struktur umur WPS untuk Kota Jayapura menunjukkan bahwa rata-rata umur WPS langsung lebih tua dibanding WPS tidak langsung. Rata-rata usia WPS langsung 30,3 tahun sedangkan WPS tidak langsung 26,6 tahun atau di antara mereka terdapat perbedaan rata-rata umur sebesar 4 tahun. Sekitar 43 persen WPS langsung berada pada kelompok usia di bawah 30 tahun, dan sekitar 75 persen WPS tidak langsung juga mengelompok pada usia 30 tahun ke bawah. Umur WPS langsung lebih tua dibanding WPS tidak langsung Gambar 2.1. Struktur Umur Responden 12 28 34 11 15 5 17 21 29 28 0 20 40 60 80 100 Persen Kurang dari 20 tahun 20-24 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun 35 tahun atau lebih Status Perkawinan Sebagian besar (78,1 persen) WPS langsung berstatus cerai dan sekitar 14,3 persen berstatus belum kawin, sementara yang berstatus kawin hanya sedikit (7,6 persen). Sedangkan pada kelompok WPS tidak langsung, 48 persen berstatus cerai, hampir 35 persen menyatakan belum kawin dan sekitar 17 persen menyatakan berstatus kawin. Sebagian besar WPS langsung berstatus cerai 5

Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan WPS pada umumnya rendah Sebagian besar WPS berpendidikan rendah (tamat SD ke bawah). WPS yang berpendidikan rendah sangat dominan pada kelompok WPS langsung, yaitu sekitar 78 persen berpendidikan tamat SD ke bawah, sementara yang berpendidikan SLTP hanya sekitar 18 persen. WPS tidak langsung lebih banyak yang berpendidikan lebih tinggi dibanding dengan WPS langsung. WPS tidak langsung yang berpendidikan SLTA ke atas 23,9 persen, sementara WPS langsung yang berpendidikan SLTA ke atas hanya sekitar 4 persen. Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden 10 29 37 24 33 45 18 4 0 20 40 60 80 100 Persen Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA atau lebih tinggi Daerah Asal Sebagian besar WPS berasal dari propinsi Jawa Timur Sekitar 83 persen WPS langsung di Kota Jayapura berasal dari Propinsi Jawa Timur. WPS langsung yang berasal dari penduduk setempat hanya 9 persen, dan sisanya sebesar 8 persen berasal dari propinsi lain. Sedangkan WPS tidak langsung yang bukan penduduk setempat berasal dari Jawa Timur (43 persen) dan Sulawesi Utara (37 persen). 6

Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden 8 43 2 37 10 9 83 3 1 4 0 20 40 60 80 100 Persen Papua Jawa Timur Jawa Tengah Sulawesi Utara Lainnya Mobilitas Mobilitas penjaja seks ternyata cukup tinggi, yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Sekitar 22 persen WPS langsung menyatakan pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain. Sementara sekitar 26 persen WPS tidak langsung mengaku pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain. Ini menunjukkan bahwa mobilitas WPS, khususnya WPS tidak langsung di Jayapura cukup tinggi. Sekitar seperempat WPS pernah kerja di daerah lain Umur Pertama Kali Berhubungan Seks Rata-rata usia saat pertama kali berhubungan seks baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung ternyata masih sangat muda yaitu 16,7 tahun untuk WPS langsung dan 17,6 tahun untuk WPS tidak langsung. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang yaitu 28,7 tahun, maka dapat dikatakan bahwa para WPS yang beroperasi di Kota Jayapura telah melakukan hubungan seks rata-rata selama sekitar 10 tahun (Gambar 2.4.). Usia WPS ketika pertama kali berhubungan seks, masih sangat muda Lama Bekerja Bagi penjaja seks, lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui. Semakin lama sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV. Terdapat perbedaan yang cukup tinggi dalam lama menjual seks antara WPS langsung dan tidak langsung. Secara rata-rata WPS langsung sudah menjalani pekerjaannya selama 43 bulan atau 3,5 tahun sedangkan WPS tidak langsung baru menjalaninya selama 24 bulan atau 2 tahun. Masa kerja WPS langsung satu setengah tahun lebih lama dibanding WPS tidak langsung 7

Faktor lain yang mempengaruhi risiko penularan HIV pada WPS adalah jumlah pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu (seminggu terakhir) pada WPS langsung adalah 4 sampai 5 orang dan WPS tidak langsung adalah 1 sampai 2 orang. Ini berarti pelanggan WPS langsung 2 kali lebih banyak dibanding WPS tidak langsung. Gambar 2.4. Umur WPS Pertama Kali Berhubungan Seks 50 40 Persen 30 20 17 18 10 0 Tarif Tarif WPS tidak langsung empat kali lebih mahal dari WPS langsung Hasil SSP ternyata menunjukkan bahwa rata-rata uang yang diterima oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima WPS langsung. Hal ini tercermin dari rata-rata besarnya uang yang diterima pada hubungan seks yang terakhir, yaitu sebesar Rp 125 ribu oleh WPS langsung dan Rp 491 ribu oleh WPS tidak langsung. Pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya mereka yang mempunyai cukup uang, dan di beberapa daerah lain mereka rata-rata berpendidikan relatif tinggi dan mempunyai pengetahuan serta kesadaran untuk membeli seks dengan cara yang sehat. Namun di Kota Jayapura tidak demikian, proporsi WPS tidak langsung yang menggunakan kondom selama seminggu terakhir masih lebih kecil daripada WPS langsung seperti ditunjukkan pada Bab 5. Rata-rata Pendapatan Terdapat perbedaan pendapatan yang tajam antara WPS langsung dan WPS tidak langsung, dan antara WPS dengan rata-rata upah karyawan lainnya Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dan besarnya uang yang diterima maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan ratarata WPS langsung dan WPS tidak langsung. Rata-rata pendapatan WPS langsung dalam seminggu adalah sekitar Rp 512 ribu atau Rp 1,5 juta sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung adalah sekitar Rp 884 ribu seminggu atau Rp 2,7 juta sebulan (dengan asumsi rata-rata hari kerja sebanyak 3 minggu dalam sebulan). 8

Besarnya pendapatan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum yang diterima buruh/karyawan yang bekerja di Propinsi Papua, yaitu sebesar Rp 530 ribu per bulan (BPS, 2003. Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002 ). Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir 491 125 0 100 200 300 400 500 600 Ribuan Rp Dibandingkan dengan pendapatan (upah) rata-rata karyawan sebulan dari hasil Susenas 2002 untuk Kota Jayapura, yaitu sebesar Rp 1,1 juta per bulan (BPS, diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002), maka rata-rata penghasilan kotor seorang WPS, terutama WPS tidak langsung memang jauh lebih besar. 9

10

3 Pengetahuan tentang HIV/AIDS Pernah Mendengar HIV/AIDS Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian mengetahui cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui setiap orang terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS. Sebagian besar WPS pernah mendengar HIV/AIDS Hasil SSP menunjukkan bahwa sekitar 90 persen dari setiap kelompok berisiko baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung, pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS 90 90 0 20 40 60 80 100 Persen Pengetahuan mengenai HIV/AIDS Meskipun persentase yang menyatakan pernah mendengar tentang HIV/AIDS besar, namun sebagian dari WPS tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang penyakit tersebut. Pada kelompok WPS langsung, yaitu sekitar 49 persen dapat secara cermat memberikan informasi lebih detail tentang HIV/AIDS yaitu penyakit kelamin, atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan (56,1 persen). Di kalangan WPS langsung ada sekitar 9 persen yang menyatakan tidak mengetahui HIV/AIDS meskipun pernah mendengarnya. Sedangkan di kalangan WPS tidak langsung yang mengaku tidak mengetahui HIV/AIDS meskipun pernah mendengarnya tercatat 5 persen. Pernah mendengar tidak berarti mengetahui apa itu HIV/AIDS 11

Gambar 3.2. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS 70 64 Persen 60 50 40 30 20 10 49 56 9 41 5 Mengatakan AIDS adalah penyakit kelamin Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS 0 Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS Sekitar setengah dari seluruh responden tahu cara tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan responden ternyata sekitar 55 persen WPS mengetahui cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dengan kata lain pengetahuan WPS langsung maupun WPS tidak langsung relatif sama. Sekitar 23 persen kelompok sasaran menyatakan tidak tahu, dan sisanya sekitar 22 persen memberi jawaban yang salah (lihat Gambar 3.3). Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS Pemahaman responden tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dapat menuntun untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar tidak tertular virus mematikan tersebut. Namun kenyataannya, perilaku seseorang tidak selalu sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan teoritis dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku, maka dalam SSP dilakukan dua tahap pertanyaan, yaitu i) meminta responden untuk menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui probing (dengan menyebutkan jenisjenis cara pencegahan HIV). Ada 4 cara untuk menghindar dari terjangkit HIV yang umum dikenal yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik bersama, dan hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi 12

HIV, serta tidak punya pasangan lain. Keempat cara tersebut ditanyakan dalam dua tahapan seperti sistim bertanya di atas. Dari keempat cara yang benar tersebut yang paling banyak diungkapkan secara spontan oleh kalangan WPS adalah menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini diungkapkan oleh WPS langsung (82 persen) dan WPS tidak langsung (71 persen). Ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung menjawab cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini bukan berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuk dirinya. Pengetahuan tentang menghindari tertular HIV/AIDS tampaknya terkait erat dengan kebiasaan Penelusuran lebih jauh melalui probing telah menjadikan persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase terutama terjadi untuk kategori jawaban Menghindari penggunaan jarum suntik bersama, yang naik dari 19 persen dari jawaban spontan menjadi 68 persen ketika dilakukan probing pada WPS langsung. Ini merupakan hal yang menarik, karena angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun kaum perempuan tersebut secara teoritis mempunyai pengetahuan, namun kenyataannya sedikit di antara mereka yang mempertimbangkannya sebagai cara perlindungan (Lihat Gambar 3.4). Gambar 3.3. Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 55 25 55 21 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Persen Tes darah Tidak tahu 13

Gambar 3.4. Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS Tidak melakukan hubungan seks Menggunakan kondom saat berhubungan seks Menghindari penggunaan jarum suntik bersama Berhubungan seks hanya dengan satu pasangan 100 80 60 40 37 44 83 82 77 71 68 62 41 48 20 0 6 21 19 22 4 9 WPS-L WPS-TL WPS-L WPS-TL WPS-L WPS-TL Persen WPS-L WPS-TL Setelah diprobing Jaw aban Spontan Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja Menarik untuk dicatat bahwa lebih banyak WPS langsung dibandingkan WPS tidak langsung yang secara spontan menyatakan bahwa menggunakan kondom saat berhubungan seks merupakan salah satu cara mencegah tertular HIV. Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata tidak sedikit yang kurang paham tentang penyakit tersebut. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (14,5 persen) dan WPS tidak langsung (8,9 persen). Pemahaman yang rendah juga tercermin dari banyaknya responden yang memberi jawaban tidak tahu, yaitu mencapai 38,3 persen pada WPS langsung dan 44,4 persen untuk WPS tidak langsung. Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan HIV/AIDS Pemahaman salah atau miskonsepsi terlihat dari besarnya proporsi jawaban kelompok berisiko terhadap cara pencegahan yang salah seperti minum obat sebelum berhubungan seks, menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi. Miskonsepsi ini terlihat lebih besar pada kalangan WPS langsung. 14

Minum obat sebelum berhubungan seks merupakan cara yang diyakini dapat mencegah HIV/AIDS oleh sebagian besar WPS, baik WPS langsung (54,9 persen), maupun WPS tidak langsung (48,2 persen). Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya TIDAK dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat dengan mudah membuat obat tersebut menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berpikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau menggunakan preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Namun pada akhirnya, kondomlah satu satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Angka-angka persentase pada Gambar 3.5 mencerminkan apa-apa yang dipercaya orang tentang cara pencegahan HIV/AIDS, padahal secara prinsip salah. Miskonsepsi terhadap beberapa cara pencegahan HIV/ AIDS sangatlah berbahaya Gambar 3.5. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS Makan makanan yang bergizi 18 33 Tidak menggunakan secara bersama alat makan 15 19 Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain 28 31 Minum obat sebelum berhubungan seks 48 55 0 20 40 60 80 100 Persen 15

Meskipun program penyuntikan massal sudah dihentikan oleh Depkes, persentase WPS yang memperoleh suntikan pencegahan IMS dan HIV masih tinggi Dari SSP juga diperoleh informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satu temuan yang mencengangkan adalah tingginya proporsi penjaja seks, terutama WPS langsung di Jayapura yang secara reguler memperoleh suntikan untuk mencegah IMS atau HIV (54,2 persen WPS langsung dan 27,9 persen WPS tidak langsung). Sudah lama Departemen Kesehatan tidak melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila petugas kesehatan masih memberikan suntikan, ini adalah di luar program Departemen Kesehatan. Bila penyuntikan-penyuntikan tersebut dilaksanakan di luar kontrol tenaga kesehatan maka bahaya lain dapat muncul, yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali) tetapi untuk banyak orang atau berkali-kali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media yang efektif untuk penyebaran penyakit lainnya seperti hepatitis. 16

4 Persepsi Berisiko Merasa Berisiko Informasi mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS merupakan informasi yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Meskipun berada dalam lingkungan dan berperilaku berisiko tinggi ternyata tidak semua kelompok sasaran merasa bahwa dirinya berisiko. Pemahaman tentang risiko terhadap IMS atau HIV/AIDS pada WPS tidak langsung lebih besar dibandingkan pada kelompok WPS langsung. Pada kelompok WPS tidak langsung sebanyak 38,9 persen merasa berisiko tertular HIV/AIDS, sedangkan di antara WPS langsung sedikit lebih rendah yaitu sekitar 36,1 persen. Hampir 40 persen WPS tidak langsung merasa berisiko, sementara WPS langsung sedikit lebih rendah Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS 39 36 25 36 47 17 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Persen Merasa Berisiko Tidak Merasa Tidak Tahu Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Pada umumnya lebih dari setengah dari WPS langsung (67,9 persen) dan WPS tidak langsung (51,6 persen) yang merasa tidak berisiko memberikan alasan bahwa mereka selalu menggunakan kondom (pemahaman yang benar). Tetapi diantara WPS tidak langsung banyak juga yang berkeyakinan bahwa pelanggannya bersih (20,3 persen), ini membuat ia merasa tidak berisiko (pemahaman yang salah). WPS langsung umumnya lebih memahami risiko dan cara menghindarinya 17

Menariknya, persentase jawaban terhadap pemakaian yang benar lebih besar dibanding jawaban pemahaman yang salah. Data menunjukkan bahwa persentase mereka yang merasa berisiko dan berhubungan seks komersial menggunakan kondom (27,2 persen), lebih besar dari pada mereka yang punya pemahaman salah (tidak merasa berisiko karena yakin pasangannya bersih, 12,9 persen dan berobat lebih dahulu sebelum berhubungan seks 6,5 persen). Kelompok yang merasa tidak berisiko sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok WPS langsung. Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya 100 80 68 Persen 60 40 52 20 0 Karena selalu menggunakan kondom 20 8 8 Karena yakin pasangannya bersih Karena berobat terlebih dahulu 3 Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin merasa berisiko Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Hasil SSP Kota Jayapura telah menggambarkan dugaan tersebut, khususnya pada WPS langsung, yaitu antara mereka yang hanya tamat SD dan jenjang pendidikan yang di atasnya. Di antara WPS langsung yang tamat SD hanya sebanyak 32,0 persen yang menyatakan berisiko tertular HIV, sementara sebanyak 16,5 persen lainnya menyatakan tidak tahu, dan 51,5 persen tidak merasa berisiko. Di antara yang berpendidikan tamat SLTA ke atas lebih dari 44 persen merasa berisiko. Menarik untuk disampaikan bahwa di kalangan WPS langsung persentase yang merasa berisiko dengan pendidikan SD ke bawah pada umumnya lebih tinggi dibandingkan WPS tidak langsung. Hal ini terjadi juga pada mereka yang pernah melakukan hubungan seks secara komersial tanpa kondom dan merasa dirinya berisiko tertular HIV/AIDS. 18

Gambar 4.3. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan 100 80 Persen 60 40 40 32 38 50 44 45 27 20 12 0 Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA atau lebih tinggi Perlu dikaji lebih jauh mengapa terdapat perbedaan yang besar antara WPS langsung dan WPS tidak langsung dalam hal pemahaman mengenai risiko tertular HIV. Meskipun sama-sama tidak tamat SD, kesadaran mengenai risiko tertular HIV jauh lebih tinggi di kalangan WPS langsung dibandingkan WPS tidak langung. 19

20

5 Pola Perilaku Berisiko Penggunaan Kondom Responden yang selalu menggunakan kondom dalam seks komersial selama seminggu terakhir untuk WPS tidak langsung masih rendah, yaitu baru sekitar 25 persen, sedangkan pada WPS langsung ternyata lebih tinggi yaitu sekitar 56 persen. Fenomena lain yang tercermin dalam pola penggunaan kondom adalah bahwa hanya sebagian saja kelompok berisiko yang secara konsisten (selalu) menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks. Pada WPS langsung yang tingkat penggunaan kondomnya sudah tinggi, yaitu sebanyak 88,4 persen menyatakan menggunakan kondom pada seks komersial terakhir, tetapi di antara mereka tersebut hanya 55,8 persen yang selalu menggunakannya selama seminggu terakhir. WPS langsung lebih banyak pakai kondom pada seks komersial Gambar 5.1. Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial 100 88 80 Persen 60 40 56 40 25 20 0 Pakai kondom dalam seks komersial terakhir Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama seminggu terakhir Tidak digunakannya kondom tampaknya bukan karena ketidaktersediaan kondom di lokasi, karena dari hasil pengamatan petugas SSP diketahui bahwa kondom tersedia atau mudah diperoleh hampir di seluruh lokasi transaksi seks, yaitu di 93,3 persen di lokasi WPS langsung dan 61,4 persen di lokasi WPS tidak langsung. 21

Antara Pengetahuan dan Perilaku Pengetahuan dan perilaku WPS langsung relatif lebih konsisten dari pada WPS tidak langsung Data menunjukkan bahwa WPS tidak langsung, yang umumnya berusia lebih muda, lebih berpendidikan, dan mempunyai pelanggan lebih beruang ternyata lebih banyak yang tidak menggunakan kondom daripada WPS langsung. Di antara WPS tidak langsung yang tahu bahwa pakai kondom dapat mencegah tertular HIV, sekitar 55 persen ternyata tidak menggunakan kondom pada hubungan seks komersial terakhir, sedangkan di antara WPS langsung hanya 10 persen yang tidak menggunakannya. Tingginya persentase WPS tidak langsung yang tidak pernah menawarkan kondom kepada pelanggannya di satu sisi (25,2 persen) dan rendahnya persentase penggunaan kondom di kalangan WPS tidak langsung sangat menarik untuk disimak. Menurut pengakuan responden alasan tidak pakai kondom di kalangan WPS tidak langsung sekitar 21 persen karena pelanggan tidak mau. Gambar 5.2. Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir 100 Persen 80 60 40 20 7 10 25 55 Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak menaw arkan kepada pelanggan pada seks komersial terakhir Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak memakainya pada hubungan seks komersial terakhir 0 Lebarnya gap antara pengetahuan dan perilaku berisiko lebih disebabkan karena keengganan pelanggan (pria) untuk menggunakan kondom dalam seks komersial Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) yang dapat dikaji dari hasil SSP adalah dalam penggunaan kondom. Responden yang tidak menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya. Sangat menarik bahwa WPS menunjukkan jawaban yang tidak konsisten, yaitu sebagian besar (43,7 persen) karena kondom tidak tersedia. Padahal menurut pengamatan petugas SSP kondom tersedia/mudah diperoleh di 80 persen dari seluruh lokasi transaksi jasa seks. Alasan berikutnya pelanggan tidak menghendaki pakai kondom karena merasa kurang enak. 22

Tingginya persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena keengganan kaum laki-laki untuk menggunakannya memberikan indikasi bahwa penyuluhan (promosi) penggunaan kondom tidak cukup hanya berfokus pada WPS. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, dan mungkin telah meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku seks sehat, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak, pada umumnya tergantung pelanggan. Gambar 5.3. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir 100 Persen 80 60 40 46 43 20 18 21 17 7 7 5 0 Tidak ada/tidak tersedia Pelanggan tdk mau/terasa kurang enak Merasa bersih Lainnya Seks Anal dan Narkoba Seks komersial antara WPS dan pelanggan pria tentunya bukan satusatunya perilaku berisiko terhadap penularan HIV. Seks anal juga mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV, termasuk penularan melalui penggunaan bersama jarum suntik pada pecandu narkoba. Pengguna narkoba suntik (injecting drug users/idu) merupakan orang yang paling rentan terinfeksi HIV. Hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pengguna narkoba suntik telah terinfeksi virus penyebab AIDS (KPAN, Jakarta, 2002). ) Prevalensi mereka yang tertular HIV lebih tinggi di antara pengguna narkoba suntik ) Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2002. Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata (halaman 7) 23

Gambar 5.4. Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik 1,0 0,9 0,8 0,8 0,7 persen 0,6 0,5 0,4 0,5 0,5 Pernah menggunakan narkoba suntik Pasangan seks pernah menggunakan narkoba suntik 0,3 0,2 0,1 0,0 0 Hasil SSP untuk Kota Jayapura menunjukkan bahwa sekitar 0,5 persen WPS tidak langsung dan pasangannya pernah memakai narkoba suntik, seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4. Sementara itu, tidak ada WPS langsung yang menggunakan narkoba suntik, namun 0,8 persen pasangan seksnya menggunakan narkoba suntik. 24

6 IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS) Dari kedua kelompok berisiko yang jadi responden, cukup banyak dari kalangan WPS langsung (15,4 persen) yang pernah mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir, sedangkan dari kalangan WPS tidak langsung terdapat 11,7 persen. Gambar 6.1. Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS 100 Persen 80 60 40 20 17 56 70 5 Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang selalu pakai kondom dalam seks komersial seminggu terakhir 0 Data di atas adalah dari apa yang dilaporkan oleh responden. Realitanya barangkali jauh lebih besar karena pada perempuan yang terkena IMS bisa saja tidak menunjukkan simptom atau gejala tertentu, sehingga mereka tidak menyadarinya, sementara sebagian lainnya mungkin tidak melaporkannya karena berbagai alasan. Infeksi tersebut mereka derita terutama akibat perilaku yang tidak sehat (tidak menggunakan kondom) dalam melakukan hubungan seks. Ini terbukti dari besarnya proporsi mereka yang terkena IMS karena tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial. Perilaku seks yang tidak sehat harus dibayar mahal dengan menderita infeksi menular seksual (IMS) 25

Di kalangan WPS tidak langsung yang terkena gejala IMS, sekitar 70 persen tidak memakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara dari kelompok WPS langsung hanya sekitar 17 persen. Proporsi WPS tidak langsung yang terkena IMS adalah yang tertinggi, dan ini barangkali refleksi dari perilaku seks sebagian besar WPS tidak langsung yang tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pelanggannya. Jenis Keluhan IMS Keputihan merupakan jenis IMS yang paling banyak diderita oleh kalangan WPS Secara umum, dari seluruh WPS yang mengalami gejala IMS keputihan disertai bau tidak sedap merupakan jenis IMS yang banyak dikeluhkan, terutama WPS langsung (92,3 persen). Di kalangan WPS tidak langsung, selain keputihan, banyak juga di antara mereka yang menderita luka/koreng di daerah alat kelamin (34,8 persen). Ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat luka pada alat kelamin, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya. Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS 100 92 83 80 Persen 60 40 35 Luka/koreng di daerah alat kelamin Benjolan di sekitar alat kelamin 20 13 5 9 Keputihan disertai dengan bau tak sedap 0 Petugas kesehatan masih merupakan pilihan utama responden untuk pengobatan keluhan IMS Tempat Berobat Lebih dari 38 persen WPS langsung dan 34,8 persen WPS tidak langsung mencoba mengobati sendiri ketika mereka merasakan simptom IMS. Jelas bahwa pengobatan sendiri tidak efisien, karena 72,6 persen dari responden yang mencoba mengobati dirinya sendiri akhirnya pergi ke tempat pelayanan kesehatan juga. 26

Gambar 6.3. Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan Saat Mengalami Gejala IMS tersebut 65 0 18 17 56 5 21 18 0 20 40 60 80 100 Persen Berobat ke petugas kesehatan Melakukan pengobatan sendiri dg antibiotik Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati Melakukan pengobatan sendiri dg jamu/obat lain Hasil SSP di Kota Jayapura menunjukkan bahwa petugas kesehatan masih merupakan tempat mencari pengobatan IMS yang dialami oleh dua kelompok sasaran. Preferensi permintaan tolong pada petugas kesehatan untuk mengobati IMS yang diderita ternyata berbeda antar kelompok sasaran. WPS langsung mempunyai pilihan tempat berobat yang beragam dan dominan di klinik lokalisasi (45,4 persen). Sementara itu, kalangan WPS tidak langsung (60,0 persen) sangat percaya pada dokter praktek. Klinik Lokalisasi adalah tempat pelayanan kesehatan yang lebih akrab bagi WPS langsung, tapi WPS tidak langsung lebih menyukai dokter praktek Gambar 6.4. Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan Persen 70 60 50 40 30 20 27 23 45 20 60 Rumah Sakit Puskesmas/Pustu Dokter Praktek Mantri/Bidan Klinik Yayasan Klinik Lokalisasi 10 0 0 5 0 7 7 0 6 27

28

7 Kesimpulan dan Saran Epidemi HIV telah berlangsung lebih dari 20 tahun dan telah merambah ke seluruh dunia. Kita telah belajar tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan HIV dan mengurangi dampaknya. Berbagai upaya ini biasanya dimulai dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye kepedulian pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Intervensi seperti ini di Kota Jayapura tampaknya memberikan hasil yang sangat berbeda antar kelompok responden. Lebih dari 81 persen WPS langsung pernah menghadiri pertemuan yang membahas pencegahan HIV/AIDS, sementara di kalangan WPS tidak langsung hanya 22,3 persen. Satu hal yang dapat kita pelajari adalah bahwa informasi itu sendiri tidaklah cukup. Mereka sebagai kelompok berisiko tinggi memerlukan motivasi, kepandaian/keterampilan dan pelayanan untuk menindaklanjuti informasi yang diterima. Data yang disajikan dalam laporan ini memberikan gambaran bahwa semua itu masih kurang dalam konteks Kota Jayapura. Hasil SSP di kota ini mengungkapkan adanya perilaku berisiko pada tingkat yang tinggi dan adanya ancaman yang kuat akan cepat meluasnya epidemi HIV. Temuan Kunci Pengetahuan dan Persepsi Risiko Banyak responden yang telah mendengar tentang AIDS, tetapi pengetahuan lebih rinci tentang bagaimana cara pencegahannya masih relatif rendah. Di antara responden ada yang mempunyai keyakinan bahwa pasangan bersih dapat melindungi atau mencegah dari tertular IMS, juga HIV. Keyakinan ini jelas membahayakan karena berangkat dari pemahaman yang salah tentang HIV/AIDS. Banyak responden yang tahu bagaimana HIV dapat ditularkan tetapi tidak merasa berisiko tertular penyakit tersebut, meskipun mereka melaporkan melakukan hubungan seks tanpa pelindung dengan banyak pasangan. Selain itu, terjadi ketidaksesuaian yang substansial pada responden yang merasa berisiko dengan perilaku berisiko yang mereka lakukan. Perilaku Berisiko dan Kondom Terlepas dari masih rendahnya tingkat penggunaan kondom, kondom pada kenyataannya relatif mudah didapat di tempat transaksi seks. 29

Alasan WPS tidak menggunakan kondom karena pelanggannya tidak suka atau tidak mau menggunakannya tercatat cukup besar. Proporsi responden yang menggunakan narkoba suntik memang kecil, namun aktivitas ini merupakan kegiatan yang sangat berisiko tinggi tertular HIV. Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan Perilaku berisiko tinggi mempunyai konsekuensi gejala yang dapat diukur dari tingginya persentase orang-orang yang melaporkan tertular IMS. Mayoritas responden yang pernah tertular IMS adalah WPS tidak langsung yang melaporkan tidak menggunakan kondom. Banyak responden mempunyai gejala IMS berusaha mengobati diri mereka sendiri terlebih dahulu. Bila upaya ini gagal baru mereka pergi ke tempat pelayanan kesehatan. Tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak digunakan oleh WPS tidak langsung adalah tempat praktek dokter, sementara WPS langsung lebih memilih klinik di lokalisasi. Usulan Tindakan Menjamin tersedianya akses terhadap informasi yang benar, rinci, dan relevan tentang HIV, dan bagaimana pencegahannya untuk kelompok masyarakat yang berisiko tinggi. Menyediakan informasi rinci tentang kondom bagi kaum lelaki, termasuk demonstrasi penggunaannya, dan pengorganisasian kampanye penggunaan kondom. Kalau perlu berikan insentif bagi kaum lelaki yang tidak pernah menggunakan kondom untuk mencobanya. Bekerjasama dengan pemilik rumah bordil, bar, dan panti pijat untuk menganjurkan para germo/mucikari/mami, dan berbagai pihak berpengaruh yang mempunyai kontak dengan pelanggan untuk menegosiasikan penggunaan kondom dan menyediakan kondom langsung bagi para pelanggan. Melaksanakan penelitian kualitatif untuk memahami secara lebih baik mengapa responden yang melaporkan berperilaku berisiko tidak merasa terancam oleh HIV dan IMS, dan menggunakan hasil penelitian tersebut untuk kampanye perlindungan di masa datang. Kampanye secara aktif untuk mengakhiri kepercayaan bahwa meminum obat dan cara lain yang keliru merupakan cara yang benar untuk melindungi diri dari IMS dan HIV. 30

Berupaya secara aktif untuk menghentikan praktek-praktek penyuntikan massal bagi pekerja seks. Mempertimbangkan sanksi hukumnya termasuk menutup atau membekukan izin praktek bagi orang-orang yang menyediakan jasa tersebut. Menjamin bahwa praktisi medis (termasuk dokter praktek) yang menyediakan pelayanan pengobatan IMS bagi kelompok berisiko tinggi telah mendapat pelatihan yang memadai tentang pengelolaan dan konseling pencegahan, serta mempunyai akses pada pelayanan jasa laboratorium yang berkualitas dan pasokan obat-obatan yang tepat. Bekerjasama dengan pekerja-pekerja di bidang industri seks dan yang terkait untuk merujuk skrining dan perawatan IMS kepada tenaga terlatih yang tepat. Mempertimbangkan untuk mengenalkan kartu sehat bagi WPS, yang mencatat kunjungan skrining dan riwayat perlakuan pengobatan yang pernah dialami. Melakukan penilaian secara rinci mengenai penggunaan narkoba suntik dan kaitannya dengan seks komersial, dan memulai program pengurangannya bila diperlukan. 31