HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

LAUNCHING RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI (RAN-PG) TAHUN

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013)

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan.

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN


TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

2

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D.

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG

SURVEI NASIONAL LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN 2016

BAB IV HASIL PENELITIAN

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

BAB II DESKRIPSI DAN PROFIL PENDERITA DIABETES

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017

KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

BERITA RESMI STATISTIK

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

PENDAHULUAN Latar Belakang

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015

Transkripsi:

21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Berikut disajikan keragaan statistik variabel sosial ekonomi pada tabel 5. Tabel 5 Keragaan statistik variabel sosial ekonomi wilayah kabupaten/kota Wilayah Perdesaan Proporsi Ibu lulus wajar (%) Pengeluaran rumah tangga perkapita (Rp/bln) PDRB Perkapita (Rp/thn) Tingkat Kemiskinan (%) Rata-rata 46.5 242,000 9,311,770 20.4 Standar deviasi 15.5 57,634 6,133,094 7.8 Perkotaan Total Rata-rata 72.9 372,000 16,600,000 16.6 Standar deviasi 13.0 87,606 12,050,409 5.4 Rata-rata 52.8 272,679 11,056,070 16.5 Standar deviasi 18.7 86,288 8,530,416 4.1 t=-15.423 t=-17.226 t=-7.992 t=11.161 Uji Statistik p=0.025* p=0.000* p=0.000* p=0.000* Keterangan: *berbeda nyata pada α=0.05 Proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) sembilan tahun adalah persentase ibu balita disuatu wilayah yang telah menuntaskan pendidikan minimal SMP atau sederajat. Secara nasional, rata-rata proporsi ibu yang lulus wajib belajar 9 tahun adalah 52.8 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan adalah sebesar 46.5 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan yaitu sebesar 72.9 persen. Berdasarkan uji statistik, proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan berbeda dengan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan (t=-15.423, p=0.025). Pengeluaran rumah tangga perkapita adalah rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita yang terdiri atas pengeluaran pangan dan nonpangan di suatu wilayah. Berdasarkan penelitian yang disajikan pada tabel 4, rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita nasional adalah 273 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perkotaan adalah 372 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan yaitu 242 ribu rupiah/bulan. Berdasarkan uji statistik, terdapat perbedaan antara

22 pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan dengan di perkotaan (t=- 17.226, p=0.000). PDRB perkapita adalah pendapatan rata-rata tiap individu di suatu wilayah yang merupakan hasil bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun wilayah tersebut. Rata-rata PDRB perkapita Indonesia adalah sebesar 11.1 rupiah/tahun. Wilayah di perdesaan memiliki rata-rata PDRB perkapita yang lebih rendah dibandingkan angka nasional, yaitu 9.3 juta rupiah/tahun. Sementara itu rata-rata PDRB perkapita wilayah perkotaan adalah 16.6 juta rupiah/tahun. Berdasarkan uji statistik, PDRB perkapita wilayah perdesaan berbeda dengan PDRB perkapita wilayah perkotaan (t=-7.992, p=0.000). Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin yang terdapat di suatu wilayah. Tingkat kemiskinan di Indonesia adalah sebesar 16.5 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding wilayah perkotaan. Tingkat kemiskinan wilayah perdesaan sebesar 20.4 persen, lebih tinggi dari nasional. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan wilayah miskin. Tingkat kemiskinan di perkotaan yaitu sebesar 16.6 persen. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori miskin. Berdasarkan uji statistik, tingkat kemiskinan wilayah perdesaan berbeda dengan tingkat kemiskinan wilayah perkotaan (t=11.161, p=0.000). Gambaran Umum Status Gizi Balita di Indonesia Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 merupakan salah satu wujud pengejawantahan dari 4 grand strategy Departemen Kesehatan, yaitu berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence-based melalui pengumpulan data dasar dan indikator kesehatan. Indikator yang dihasilkan berupa antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum, merepresentasikan gambaran wilayah nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Salah satu data dasar yang dihimpun dalam Riskesdas 2007 adalah data status gizi balita. Penilaian status gizi balita yang dilaksanakan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 meliputi penilaian status gizi menurut indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Penelitian ini hanya menganalisis status gizi balita yang diukur melalui indikator BB/U.

23 Tabel 6 Proporsi status gizi balita menurut indikator BB/U Wilayah Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Gizi Baik (%) Gizi Lebih (%) Perdesaan 6.4 14.0 75.7 3.9 Perkotaan 4.2 11.7 79.3 4.9 Total 5.4 13.0 77.2 4.3 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2007 Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5.4 persen. Prevalensi gizi buruk di perdesaan sebesar 6.4 persen lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yaitu sebesar 4.2 persen. Sementara itu, prevalensi nasional gizi kurang pada balita adalah 13 persen. Sama halnya dengan prevalensi gizi buruk, prevalensi gizi kurang di perdesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan. Prevalensi gizi kurang di perdesaan adalah sebesar 14 persen dan di perkotaan sebesar 11.7 persen. Dengan demikian, prevalensi nasional untuk gizi buruk dan gizi kurang adalah 18.4 persen. Bila dibandingkan dengan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5 persen, maka secara nasional target tersebut sudah terlampaui. Namun apabila data prevalensi dilihat terpisah antara wilayah perdesaan dan perkotaan, maka target MDGs tersebut baru dapat dicapai oleh wilayah perkotaan dengan prevalensi gabungan gizi kurang dan gizi buruk sebesar 16.9 persen. Sementara itu, wilayah perdesaan memiliki prevalensi sebesar 20.4 persen sehingga belum dapat mencapai target MDGs. Sebanyak 216 kabupaten/kota di Indonesia belum dapat mencapai target MDGs. Proporsi balita dengan status gizi baik secara nasional adalah 77.2 persen (perdesaan=75.7% dan perkotaan=79.3%). Gianyar dan Tabanan merupakan dua Kabupaten dengan proporsi balita dengan status gizi baik terbesar yaitu masing-masing sebesar 90 persen dan 90.6 persen. Dengan demikian sebanyak 9 dari 10 balita di kabupaten tersebut memiliki status gizi baik. Secara keseluruhan, baik di perdesaan, perkotaan maupun nasional, gizi lebih tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya tidak melebihi 5 persen. Namun secara wilayah kabupaten/kota, terdapat sebanyak 142 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi gizi lebih melampaui 5 persen. Dengan demikian di kabupaten/kota tersebut gizi lebih menjadi masalah kesehatan masyarakat.

24 Masalah Kurang Gizi, Gizi Lebih dan Gizi Ganda Masalah kurang gizi (undernutrition) adalah masalah yang dialami suatu wilayah apabila belum dapat mencapai target MDGs untuk prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sebesar 18.5 persen. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 51.7 persen wilayah kabupaten/kota Indonesia mengalami masalah kurang gizi. Sebanyak 60.7 persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah kurang gizi dengan tipe wilayah (x 2 = 0.981, p=0.000). Masalah kurang gizi sering terjadi sejak bayi masih dalam kandungan, balita, remaja, dan akan terus berlanjut terutama pada remaja putri dan wanita dewasa. Anak-anak yang kurang gizi akan tertinggal pertumbuhan fisik, mental dan intelektualnya. Gangguan pertumbuhan ini akan mengakibatkan tingginya angka kematian anak, berkurangnya potensi belajar dan daya tahan tubuh terhadap penyakit serta berkurangnya produktifitas kerja (Soekirman 2000). Tabel 7 Sebaran wilayah kabupaten/kota menurut masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda n % n % n % Perdesaan (n=318) Tidak ada 125 39.3 215 67.6 269 84.6 Ada 193 60.7 103 32.4 49 15.4 Perkotaan (n=100) Tidak ada 77 77.0 61 61.0 93 93.0 Ada 23 23.0 39 39.0 7 7.0 Total (n=418) Tidak ada 202 48.3 276 66.0 362 86.6 Ada 216 51.7 142 34.0 56 13.4 Uji statistik (x 2 = 0.981, p=0.000*) (x 2 = 0.254, p=0.182) (x 2 = 0.671, p=0.003*) Keterangan: *keterkaitan nyata pada α=0.05 Berdasarkan kategori ambang batas masalah gizi Departemen Kesehatan tahun 2000, sebanyak 34.0 persen wilayah kabupaten/kota di Indonesia memiliki masalah gizi lebih (overnutrition) yaitu dengan prevalensi gizi lebih melebihi 5 persen. Terdapat sebanyak 32.4 persen wilayah perdesaan yang mengalami masalah gizi lebih. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah gizi lebih adalah sebanyak 39.0 persen. Berdasarkan uji statistik, tidak terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi lebih dengan tipe wilayah (x 2 = 0.254, p=0.182). Fenomena gizi lebih merupakan ancaman yang serius karena terjadi di berbagai strata ekonomi, pendidikan, desa-kota, dan lain sebagainya. Menurut Menteri Kesehatan RI, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah kurang

25 gizi terutama yang kronis dan akut, disisi lain juga harus segera menanggulangi masalah gizi lebih yang sampai saat ini merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif. Meskipun prevalensi gizi lebih sudah mengkhawatirkan, tapi keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan belum banyak disadari masyarakat (BPPSDMK 2011). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sebanyak 56 kabupaten/kota atau 13.4 persen wilayah di Indonesia mengalami masalah gizi ganda. Rincian data kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda disajikan dalam lampiran 3. Wilayah perdesaan yang memiliki masalah gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen dari keseluruhan wilayah perdesaan. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya memiliki gizi ganda. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi ganda dengan tipe wilayah (x 2 = 0.671, p=0.003). Hasil penelitian menunjukkan Sebagian besar wilayah perdesaan (45.3%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah gizi lebih. Akan tetapi sebagian besar wilayah perkotaan (45.0%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah kurang gizi dan juga tidak memiliki masalah gizi lebih. Tabel 8 menyajikan sebaran wilayah dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda tersebar di 22 propinsi di Indonesia. Propinsi dengan proporsi wilayah kabupaten/kota terbanyak yang memiliki masalah gizi ganda adalah Propinsi Jambi. Sebanyak 4 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Jambi memiliki masalah gizi ganda. Selain itu, Propinsi Jambi tidak memiliki kabupaten/kota yang terbebas dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih secara bersamaan. Propinsi Jawa Barat, Bali, Lampung, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah merupakan propinsi yang tidak memiliki wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta memiliki proporsi tertinggi wilayah kabupaten/kota yang bebas dari masalah kurang gizi serta masalah gizi lebih secara bersamaan. Lebih dari separuh kabupaten/kota di propinsi tersebut bebas dari kedua masalah tersebut secara bersamaan. Wilayah kabupaten/kota lain yang tidak tidak tercantum dalam tabel merupakan daerah yang tidak memiliki masalah gizi ganda namun memiliki salah satu diantara masalah kurang gizi atau masalah gizi lebih.

26 Tabel 8 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih menurut Riskesdas 2007 No Propinsi Total Jumlah Kabupaten/kota Bebas masalah Masalah gizi ganda kurang gizi dan masalah gizi lebih n % n % 1 NAD 21 7 33.3 4 19 2 Sumatera Utara 25 3 12 5 20 3 Sumatera Barat 19 2 10.5 9 47.4 4 Riau 11 2 18.2 3 27.3 5 Jambi 10 4 40 - - 6 Sumatera Selatan 14 4 28.6 3 21.4 7 Bengkulu 9 1 11.1 1 11.1 8 Lampung 10 - - 6 60 9 Bangka Belitung 6 2 33.3 2 33.3 10 Kepulauan Riau 6 1 16.7 2 33.3 11 DKI Jakarta 5 - - - - 12 Jawa Barat 25 - - 18 72 13 Jawa Tengah 35 - - 20 57.1 14 DI Yogyakarta 5 - - 3 60 15 Jawa Timur 37 1 12.5 15 40.5 16 Banten 6 - - 3 50 17 Bali 9 - - 6 66.7 18 NTB 8 1 8.3 2 25 19 NTT 15 - - - - 20 Kalimantan Barat 12 2 5.4 1 8.3 21 Kalimantan Tengah 11 3 21.4 - - 22 Kalimantan Selatan 13 1 7.7 2 15.4 23 Kalimantan Timur 12 3 25 4 33.3 24 Sulawesi Utara 3 - - - - 25 Sulawesi Tengah 10 1 10 - - 26 Sulawesi Selatan 23 7 30.4 - - 27 Sulawesi Tenggara 9 2 22.2 1 11.1 28 Gorontalo 5 1 20 - - 29 Sulawesi Barat 3 - - - - 30 Maluku 7 2 28.6 - - 31 Maluku Utara 8 - - 1 12.5 32 Papua Barat 9 1 11.1 1 11.1 33 Papua 17 5 29.4 4 23.5 Indonesia 418 56 13.4 116 27.8

27 Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 9, Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah yang memiliki proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun lebih rendah dari rata-rata nasional atau kurang dari 52.8 persen. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah dengan pengeluaran rumah tangga perkapita yang lebih rendah dari rata-rata nasional, atau kurang dari 273 ribu rupiah/bulan. Masalah gizi ganda juga lebih banyak terjadi di wilayah kabupaten/kota dengan PDRB perkapita wilayah yang lebih rendah dibanding PDRB perkapita nasional. Sebanyak 33 kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda memiliki PDRB perkapita kurang dari 11.1 juta rupiah/tahun. Tabel 9 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda menurut karakteristik sosial ekonomi wilayah Jumlah kabupaten/kota Karakteristik sosial ekonomi Diatas Dibawah rata-rata nasional rata-rata nasional Total Proporsi ibu lulus wajar 22 34 56 Pengeluaran rumah tangga perkapita 22 34 56 PDRB perkapita 23 33 56 Tingkat kemiskinan 31 25 56 Dengan demikian, masalah gizi ganda terjadi di wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan rata-rata nasional maupun sebaliknya. Akan tetapi daerah dengan karakteristik sosial ekonomi wilayah yang lebih rendah dari karakteristik sosial ekonomi nasional memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami masalah gizi ganda. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan proporsi ibu lulus wajar, pengeluaran rumah tangga, dan PDRB sangat diperlukan. Selain itu harus pula dilakukan upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Secara keseluruhan, karakteristik sosial ekonomi wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda lebih baik dibandingkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda. Tabel 10 menyajikan karakteristik sosial ekonomi di wilayah yang memiliki gizi ganda dan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda. Rata-rata proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun di wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 53.7 persen sedangkan di wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 47.2 persen. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 274 ribu rupiah/bulan sementara wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 267

28 ribu rupiah/bulan. Rata-rata PDRB perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda sebesar 11.1 juta rupiah/tahun sedangkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 10.8 juta rupiah/tahun. Tingkat kemiskinan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 18.0 persen sementara tingkat kemiskinan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 20.5 persen. Tabel 10 Rata-rata variabel sosial ekonomi wilayah menurut masalah gizi ganda Masalah gizi ganda Proporsi Ibu lulus Wajar (%) Pengeluaran rumah tangga perkapita (rupiah) PDRB Perkapita (rupiah) Tingkat Kemiskinan (%) Ada 47.2 267,092 10,846,000 20.5 Tidak ada 53.7 273,544 11,088,000 18.0 Total 52.8 272,679 11,056,070 16.5 Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Masalah Kurang Gizi, Masalah Gizi Lebih, dan Masalah Gizi Ganda Proporsi Ibu Lulus Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun Berdasarkan hasil penelitian, proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=-0.233, p=0.000) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.172, p=0.093). Nilai r yang negatif menunjukkan adanya hubungan kebalikan antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah kurang gizi. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Tabel 11 Hubungan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r p Perdesaan -0.233** 0.000 0.031 0.551-0.084 0.164 Perkotaan -0.172 0.093 0.293** 0.001-0.022 0.841 Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mahgoub (2006) di Bostwana, Afrika menunjukkan hubungan yang kuat antara kenaikan tingkat pendidikan ibu dengan penurunan angka kurang gizi pada anak-anak. Tidak terdapatnya hubungan nyata proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun di perkotaan diduga karena ibu di wilayah perkotaan lebih mudah mengakses media-media yang memberikan edukasi terkait kesehatan dan gizi sehingga ibu yang memiliki pendidikan pada tingkat yang lebih rendah pun dapat memiliki pengetahuan

29 tentang kesehatan dan gizi sama baiknya dengan ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi darinya. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.293, p=0.001) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=0.031, p=0.551). Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Nurmiati mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang tinggi meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif tinggi sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga meningkat. Hubungan searah yang terjadi antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi lebih diduga karena peningkatan proporsi hanya seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi tanpa adanya peningkatan pengetahuan gizi. Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=-0.084, p=0.164) maupun di perkotaan (r=-0.022, p=0.841). Hal ini mengindikasikan bahwa ada atau tidaknya peningkatan proporsi ibu yang lulus wajar sembilan tahun tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan suatu wilayah baik di perdesaan maupun perkotaan untuk mengalami masalah gizi ganda. Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita Hasil uji korelasi Moment Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.215, p=0.042) tapi tidak di perdesaan (r=-0.066, p=0.271). Pengeluaran rumah tangga perkapita juga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.224, p=0.032) tapi tidak di perdesaan (r=0.076, p=0.228). Peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi dan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tabel 12 Hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r r Perdesaan -0.066 0.271 0.076 0.228 0.102 0.071 Perkotaan -0.215* 0.042 0.224* 0.032-0.075 0.523 Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05

30 Pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan salah satu indiaktor yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan masyarakat (Sugianti 2009). Masyarakat yang sejahtera akan memiliki akses terhadap pangan dan kesehatan lebih baik. Tidak terdapatnya hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi dan gizi lebih di perdesaan diduga karena masyarakat di wilayah perdesaan lebih bisa memenuhi kebutuhan pangannya dengan memanfaatkan sumberdaya yang mereka kelola sendiri seperti pangan hasil kebun atau pekarangan rumah. Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 12, tidak terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=0.102, p=0.071) maupun di perkotaan (r=-0.075, p=0.523). Adanya atau tidaknya peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita tidak berhubungan dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda di suatu wilayah perdesaan maupun perkotaan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita PDRB perkapita merupakan indikator makro yang secara agregat dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan (BPS 2009). Tabel 13 menyajikan hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi di perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.023, p=0.681) dan perkotaan (r=-0.155, p=0.132). PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.015, p=0.981) dan perkotaan (r=0.194, p=0.053). Tabel 13 Hubungan PDRB perkapita dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r p Perdesaan 0.023 0.681-0.015 0.981 0.072 0.243 Perkotaan -0.155 0.132 0.194 0.053-0.045 0.697 Hubungan nyata juga tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.072, p=0.243) dan perkotaan (r=-0.045, p=0.697). Dengan demikian, Ada atau tidaknya peningkatan PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda di wilayah perdesan maupun perkotaan.

31 Menurut Gama (2007), hasil pembangunan belum tentu dapat dinikmati oleh semua kalangan, seringkali hanya oleh kelompok minoritas. Angka kemiskinan justru meningkat karena semakin lebarnya kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, maupun masalah gizi ganda diduga karena PDRB perkapita tidak dapat benar-benar mencerminkan kesejahteraan masayarakat karena hasil pembangunan tersebut tidak terdistribusi secara merata pada seluruh masyarakat di wilayah tersebut. Selain itu, tidak adanya hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda diduga karena sebagian besar wilayah kabupaten/kota Indonesia memiliki nilai PDRB perkapita yang rendah. Penelitian Ulfani (2010) menunjukkan bahwa 72.1 persen kabupaten/kota di Indonesia memiliki PDRB perkapita yang rendah yaitu kurang dari 12.1 juta. Dengan demikian, karena sebagian besar wilayah memiliki PDRB yang rendah maka hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda menjadi tidak terlihat. Oleh karena itu, upaya pertumbuhan ekonomi perlu dioptimalkan dalam rangka meningkatkan PDRB perkapita. Tingkat Kemiskinan Kemiskinan berkaitan dengan pendapatan atau pengeluaran penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk pangan. Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik (Bappenas 2008). Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.163, p=0.001) tapi tidak di perkotaan (r=0.075, p=0.512). Adanya peningkatan tingkat kemiskinan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.063, p=0.267) maupun di perkotaan (r=-0.086, p=0.434). Tabel 14 Hubungan tingkat kemiskinan dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r P Perdesaan 0.163** 0.001-0.063 0.267 0.037 0.618 Perkotaan 0.075 0.512-0.086 0.434 0.083 0.442 Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01

32 Tingkat kemiskinan juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.037, p=0.618) dan perkotaan (r=0.083, p=0.442). Dengan demikian, ada atau tidaknya peningkatan tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih dan gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi ganda terjadi baik di wilayah yang memiliki tingkat kemiskinan diatas angka nasional atau wilayah miskin maupun wilayah tidak miskin. Menurut Kimani-Murage et al. (2010), wilayah yang lebih maju menghadapi masalah gizi lebih. Namun saat ini wilayah miskin yang masih menghadapi masalah kurang gizi juga mulai menghadapi adanya masalah gizi lebih. Hal ini dikarenakan adanya transisi pola makan masyarakat. Hal ini diduga menjadikan kemiskinan tidak berhubungan dengan masalah gizi ganda. Menurut Hasan (2004), hubungan antar dua variabel atau derajat hubungan antarvariabel dapat diukur dengan koefisien korelasi (r). Pada koefisien korelasi yang bernilai 0.20 < r 0.40 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut lemah tapi pasti ada hubungan diantara kedua variabel tersebut. Sedangkan koefisein korelasi yang bernilai 0.40 < r 0.70 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut cukup kuat. Tabel 15 menyajikan hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi ganda. Tabel 15 Hubungan variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Variabel Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r p Perdesaan Proporsi ibu lulus wajar -0.233** 0.000 0.031 0.551-0.084 0.164 Pengeluaran rumah tangga perkapita -0.066 0.271 0.076 0.228 0.102 0.071 PDRB perkapita 0.023 0.681-0.015 0.981 0.072 0.243 Tingkat kemiskinan 0.163** 0.001-0.063 0.267 0.037 0.618 Perkotaan Proporsi ibu lulus wajar -0.172 0.093 0.293** 0.001-0.022 0.841 Pengeluaran rumah tangga perkapita -0.215* 0.042 0.224* 0.032-0.075 0.523 PDRB perkapita -0.155 0.132 0.194 0.053-0.045 0.697 Tingkat kemiskinan 0.075 0.512-0.086 0.434 0.083 0.442 Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05 ** berhubungan nyata pada α=0.01 Berdasarkan tabel diatas, terdapat hubungan antara beberapa variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Hubungan

33 yang terjadi merupakan hubungan yang lemah, hal ini diduga karena faktor sosial ekonomi bukan merupakan faktor penyebab langsung terhadap terjadinya masalah gizi melainkan penyebab dasar masalah gizi, baik masalah kurang gizi maupun masalah gizi lebih. Sebagaimana yang tertuang dalam kerangka pikir Unicef tentang masalah gizi. Menurut Unicef (1997) dalam WHO (2008), penyebab langsung terjadinya masalah gizi adalah asupan makanan dan penyakit infeksi sementara sosial ekonomi merupakan penyebab dasar. Kerangka pikir Unicef juga menunjukkan bahwa masalah gizi merupakan masalah yang disebabkan oleh berbagai penyebab yang sangat kompleks. Hubungan yang lemah antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi semakin menunjukkan masalah gizi sebagai masalah yang kompleks dan penanganannya tidak hanya dilakukan dengan menangani satu aspek saja, atau dalam hal ini variabel sosial ekonomi saja. Akan tetapi terdapatnya hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi mengindikasikan bahwa kondisi sosial ekonomi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia dengan status gizi yang baik. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun di perkotaan. Hal ini menguatkan hipotesis banyak peneliti yang menyatakan bahwa masalah gizi ganda merupakan masalah yang banyak dialami oleh negara-negara berkembang (Kimani-Murage et al. 2010). Kejadian masalah gizi ganda semakin meningkat di berbagai negara berkembang seiring dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Hal ini ditandai dengan adanya transisi masalah gizi, yaitu masih tingginya masalah kurang gizi dan makin meningkatnya masalah gizi lebih (FAO 2006).