BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pre-Lay Survey

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER PADA SURVEI PRA-PEMASANGAN PIPA BAWAH LAUT

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

BAB I PENDAHULUAN I. I.1

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES)

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA

Jurnal Geodesi Undip Januari2014

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 DATA DAN METODA

Sonar merupakan singkatan dari Sound, Navigation, and Ranging. Sonar digunakan untuk mengetahui penjalaran suara di dalam air.

Bab III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB 2 TEORI DASAR Maksud dan tujuan pelaksanaan survei lokasi Maksud dan tujuan utama dari pelaksanaan survei lokasi bagi anjungan minyak lepas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 2 TEORI DASAR. 2.1 Pekerjaan Survei Hidrografi

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA

STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN (STUDI KASUS : BALIKPAPAN PLATFORM)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Gambar Garis Jalur Rencana Pipa

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

3. METODOLOGI PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 PENGOLAHAN DATA SURVEI PRA-PEMASANGAN PIPA BAWAH LAUT (PRE-ENGINEERING ROUTE SURVEY)

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

Analisis Geohazard untuk Dasar Laut dan Bawah Permukaan Bumi

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 2 DASAR TEORI 2.1. Pengertian Dan Sejarah ROV

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah.

PENGUKURAN LOW WATER SPRING (LWS) DAN HIGH WATER SPRING (HWS) LAUT DENGAN METODE BATHIMETRIC DAN METODE ADMIRALTY

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah :

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15

BAB 1 ENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN SURVEI

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

III HASIL DAN DISKUSI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER, SIDE SCAN SONAR, DAN SUB-BOTTOM PROFILER UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum Seperti yang telah dijelaskan dalam Latar Belakang, pipa bawah laut diperlukan untuk keperluan pendistribusian minyak dan gas. Untuk kegiatan pemasangan pipa bawah laut ini sendiri terbagi dalam beberapa tahapan. Tahapan pertama sebelum dilakukan pemasangan pipa bawah laut ini sendiri adalah survei perencanaan pemasangan pipa bawah laut. Survei ini biasa juga disebut dengan geophysical preengineering route survey for pipeline instalation. Kegiatan survei ini biasanya dilakukan dalam rentang 6 bulan sampai 2 tahun sebelum dilakukan pemasangan pipa bawah laut. Survei ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi dasar mengenai topografi dasar laut, kabel dan pipa yang sudah ada sebelumnya (existing cable and pipeline), bangkai-bangkai kapal, dan juga natural hazards yang nantinya akan dipastikan lagi keberadaannya pada tahapan survei selanjutnya.setelah dilakukan persiapan yang matang, selanjutnya dilakukan Pre-Lay Survey yang dilakukan untuk memastikan kembali kebenaran data-data dari survei pre-engineering sebelum dilakukan kegiatan instalasi pipa itu sendiri. Tahapan berikutnya setelah kegiatan intalasi pipa dilakukan, diperlukan kegiatan untuk memeriksa apakah penginstalasian pipa bawah laut sudah sesuai dengan yang direncanakan yaitu pada kegiatan as-laid survey. Tujuan dari dilakukannya as laid survey ialah untuk langsung merekam posisi dan status dari pipa setelah pipa dipasang. Survei ini selalu dilakukan pada saat pemasangan pipa bawah laut atau dilakukan sesegera mungkin pada saat survei ini memungkinkan dilakukan setelah pipa sudah dipasang. Apabila penginstalasian pipa ini sudah melewati tahapan ini, maka kegiatan pemasangan pipa bawah laut dapat dikatakan telah selesai. Untuk selanjutnya perlu dilakukan pengontrolan kondisi pipa bawah laut ini sendiri secara berkala. Pada tugas akhir ini, akan dikhususkan pembahasan pada tahapan pertama dalam pemasangan pipa ini yaitu pada tahapan pre-engineering route survey. 5

2.2 Survei Hidrografi Dalam Kaitannya Dengan Kegiatan Pra-Pemasangan Pipa Bawah Laut 2.2.1 Definisi Umum Survei Hidrografi Hidrografi merupakan sebuah kata serapan dari bahasa inggris hydrography yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan sifat dan pengukuran badan air, misalnya kedalaman dan arus. Hingga sekitar tahun 1980-an, kegiatan hidrografi secara umum didominasi oleh survei dan pemetaan laut untuk pembuatan peta navigasi laut dan survei untuk eksplorasi minyak dan gas bumi. Selama 20 tahun terakhir, telah terjadi pergeseran mendasar pada lingkup dan aplikasi hidrografi. Hidrografi tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan pemetaan laut dan penentuan posisi, melainkan juga dengan hukum laut dan aspek fisik dari pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu. Definisi dari Hidrografi sendiri menurut KK Sains dan Kerekayasaan Wilayah Pesisir dan Laut adalah cabang ilmu yang berkepentingan dengan pengukuran dan deskripsi sifat dan bentuk dasar perairan dan dinamika badan air. Dasar perairan yang disebut pada definisi tersebut meliputi batimetri, jenis material dasar laut, dan morfologi dasar laut. Sementara dinamika badan air yang disebut dalam definisi diatas meliputi pasang surut dan arus. Data mengenai fenomena dasar perairan dan dinamika badan air diperoleh melalui pengukuran yang kegiatannya disebut sebagai survei hidrografi. Survei ini sendiri merupakan kegiatan terpenting dalam menghasilkan informasi hidrografi. Aktivitas-aktivitas utama dari survei hidrografi ini sendiri adalah : Penentuan posisi di laut dan penggunaan sistem referensi Pengukuran kedalaman (pemeruman) Pengukuran arus Pengukuran sedimen Pengamatan pasut Keilmuan hidrografi ini dalam penerapannya di lapangan erat hubungannya dengan kelimuan lain seperti geologi, geoteknis, oseanografi, dan meteorologi. Data dari survei hidrografi secara umum adalah bagian dari sebuah kumpulan data keilmuankeilmuan diatas. 6

Keilmuan hidrografi ini sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari kegiatan konstruksi lepas pantai dan pengerukan. Berikut contoh-contoh kegiatan yang sangat membutuhkan Hidrografi dalam pelaksanaannya di lapangan : Manajemen zona pesisir. Kegiatan ini berkaitan erat dengan kegiatan pengerukan (dredging) yang berasosiasikan atau berhubungan juga dengan perlindungan garis pantai dan konstruksi pelabuhan. Konten dari hidrografi ini sendiri sangat besar dalam kegiatan-kegiatan ini dan sangat diperlukannya detil-detil desain serta akurasi pengukuran selama pengukuran berlangsung. Seismik lepas pantai. Hidrografi tidak memiliki lingkup atau cakupan yang luas dalam kegiatan ini namun tetap memiliki peran vital dalam kegiatan-kegiatan seperti positioning dari kapal, guns, dan streamersserta pada metode penentuan posisi secara akustik. Konstruksi lepas pantai. Pada kegiatan ini hidrografi memiliki peran yang cukup luas mencakup saat fase kegiatan pre-desain dan juga penentuan posisi pada saat fase instalasi/pemasangan objek lepas pantai tersebut. Pada kegiatan konstruksi lepas pantai ini juga tidak lepas pada penggunaan ROV (Remotely Operated Vehicles) yang sudah sangat familiar dalam hidrografi. Penginderaan jauh. Kegiatan ini hanya digunakan di sedikit aplikasi hidrografi, namun kegiatan prosesing data dan penggunaan GIS yang digunakan dalam kegiaan ini dapat diaplikasikan secara luas dalam kegiatan hidrografi. 2.2.2 Survei Batimetri Sebagai Bagian Dari Survei Hidrografi Kegiatan survei batimetri merupakan salah satu pengaplikasian dari survei hidrografi di lapangan. Pengertian survei batimetri secara umum adalah proses penggambaran dasar suatu perairan. Peranan Survei Batimetri dalam pelaksanaan kontruksi atau pembangunan di laut merupakan hal yang penting untuk dilakukan, yaitu guna mengetahui informasi kondisi dasar laut dari tempat tersebut. Penggambaran dari dasar suatu perairan tersebut dapat divisualisasikan dalam bentuk kontur kedalaman atau dapat juga dalam bentuk model permukaan digital. Garis kontur kedalaman ini sendiri diperoleh dengan menggunakan teknik interpolasi dari titik-titik pengukuran yang dihasilkan dari pengukuran kedalaman yang tersebar di 7

daerah yang disurvei. Selain informasi mengenai kedalaman perairan, diperlukan pula informasi dari posisi titik kedalaman tersebut. Kegiatan penentuan posisi dan penentuan kedalaman dari suatu titik tersebut harus dilakukan secara bersamaan. Setelah diperoleh informasi mengenai posisi dari titik kedalaman dan juga kedalaman titik itu sendiri, maka dapat diperoleh informasi mengenai topografi dari dasar suatu perairan. Pekerjaan penentuan posisi titik kedalaman dan juga penentuan kedalaman dari titik itu sendiri biasanya disebut dengan kegiatan pemeruman yang akan dibahas selanjutnya. Agar dapat ditentukan sebuah kedalaman tersebut, diperlukan sebuah bidang yang dapat dijadikan suatu referensi kedalaman. Bidang-bidang referensi kedalaman yang sering digunakan pada kegiatan batimetri ini adalah muka laut rata-rata atau yang biasa dikenal dengan MSL (Mean Sea Level), chart datum yang merupakan ketinggian air laut yang menjadi dasar dari pengukuran kedalaman yang ditampilkan pada peta laut, Low Water Spring (LWS) yang merupakan kondisi permukaan laut terendah yang dapat diramalkan, serta High Water Spring (HWS) yang merupakan kondisi permukaan laut tertinggi yang dapat diramalkan terjadi dibawah pengaruh keadaan meteorologis rata-rata dan kombinasi keadaan astronomi. Empat bidang diatas merupakan bidang yang sering digunakan sebagai referensi penentuan kedalaman dimana pemilihan bidang referensi tersebut tergantung pada maksud dan tujuan dari masing-masing aplikasi tersendiri, seperti apabila dimaksudkan untuk perencanaan pelabuhan, atau untuk keselamatan pelayaran. Kegiatan survei batimetri sendiri beragam jenisnya, berdasarkan lokasinya ada survei batimetri yang dilakukan di daerah sungai/delta dan survei batimetri pada daerah lepas pantai/offshore. Survei batimetri sungai/delta, digunakan untuk mengetahui topografi dasar perairan di sungai atau delta. Salah satu aplikasi dari survei ini adalah dalam keperluan pengerukan (dredging), baik itu untuk keamanan pelayaran, dan lain-lain. Kegiatan survei batimetri untuk keperluan dredging terbagi menjadi tiga kegiatan, yaitu: 8

Pre Dredge Sounding, bertujuan untuk mengetahui topografi dasar perairan awal sebelum pengerukan. Intermediate Dredge Sounding, bertujuan untuk mengetahui topografi dasar perairan saat pengerukan. Post Dredge Sounding, bertujuan untuk mengetahui dasar perairan setelah dilakukannya pengerukan Hasil atau output pada survei batimetri ini adalah peta batimetri yang berisikan data kedalaman suatu wilayah yang disurvei. Contoh dari peta batimetri dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Batimetri Yogyakarta [Mustofa, 2010] Survei batimetri dilakukan dengan menggunakan echosounder. Prinsip dasar dari penggunaan echosounder ini adalah dengan mengirimkan sinyal ke dasar laut dan merekam waktu tempuh sinyal yang telah dipantulkan oleh dasar laut. Dengan mengetahui waktu tempuh sinyal maka kedalaman dasar laut bisa diperkirakan karena kecepatan suara dalam air telah diketahui sebelumnya. Hasil survei batimetri 9

adalah gambaran bentuk morfologi dasar laut, baik itu secara dua dimensi maupun tiga dimensi. Prosedur pelaksanaan pemeruman adalah sebagai berikut : Tahap persiapan, yaitu suatu tahapan untuk melakukan persiapan persiapan yang dapat mendukung pelaksanaan pemeruman seperti penyiapan alat dan kelengkapan perum, instalasi peralatan perum, menyiapkan metode pelaksanaan pemeruman, menyiapkan area perum, menyiapkan lajur perum dan penyiapan personil yang melaksanakan pemeruman. Tahap pelaksanaan, yaitu suatu tahapan dimana pelaksanaan pemeruman dilakukan. Adapun yang dilaksanakan pada tahap ini adalah pelaksanaan barcheck sebelum dan setelah pelaksanaan pemeruman (untuk mengkoreksi nilai kecepatan suara di area survei), pelaksanaan pemeruman area survei, pelaksanaan investigasi kedangkalan dan pengamatan pasang surut untuk penyurutan pemeruman. Tahap pengolahan data, yaitu suatu tahapan dimana pelaksanaan pemeruman telah dilaksanakan. Adapun yang dilaksanakan pada tahap ini adalah perhitungan muka surutan (chart datum) untuk penyurutan pemeruman, mereduksi kesalahan perekaman data yang tidak sesuai antara analog (kertas perekam echo sounder) dengan data digital (program Automatic Data Logging), melaksanakan reduksi kedalaman hasil pemeruman terhadap muka surutan agar diperoleh kedalaman laut yang benar (tanpa dipengaruhi oleh pasang surut), melaksanakan pengeplotan kedalaman yang diperoleh pada lembar lukis lapangan. Tahap penyusunan laporan, yaitu tahapan melaksanakan penyusunan laporan yang hasil akhirnya berupa lembar lukis lapangan. Pelaksanaan pemeruman ini dilaksanakan dengan menggunakan perahu perum dengan draft perahu seminimal mungkin agar diperoleh angka kedalaman yang minimum pula. Sedangkan untuk pengukuran kedalaman laut yang tidak dapat dijangkau oleh perahu perum (kedangkalan), dilaksanakan secara tersendiri. Untuk metode pengukuran kedalaman laut dangkal ini, dapat dilakukan dengan menggunakan batu duga. 10

Pengukuran kedalaman dan penentuan posisi merupakan bagian terpenting dalam kegiatan pemeruman (sounding). Metoda yang digunakan dalam kegiatan pemeruman ini adalah metoda akustik dalam penentuan kedalaman, dengan menggunakan SBES dan MBES. Biasanya dalam kegiatan survei batimetri, penggunaan kedua alat ini digunakan secara bersamaan dikarenakan apabila kedua metode tersebut dilakukan secara bersamaan maka akan saling melengkapi kekurangan masing-masing metode sehingga didapatkan hasil data kedalaman yang maksimal. Pada MBES mempunyai daerah cakupan pemetaan yang luas sehingga dapat memetakan keseluruhan area dengan jalur yang ada, lalu setelah itu akan dikoreksikan kembali dengan data dari singlebeam echosounder yang mempunyai akurasi yang lebih tinggi, namun hanya mempunyai daerah cakupan yang sempit yaitu sepanjang jalur survei saja, sehingga data-data yang bertampalan akan dicocokkan dan dikoreksikan sehingga didapatkan data yang tingkat validitasnya tinggi. Saat ini, pengukuran kedalaman menggunakan metoda akustik merupakan metode yang paling banyak dan familiar digunakan pada kegiatan survei batimetri. Hal tersebut dikarenakan gelombang akustik merambat dengan baik pada medium air, sehingga gelombang ini digunakan dalam penentuan kedalaman. Metoda ini hanya menerapkan konsep fisika sederhana dalam menentukan jarak menggunakan gelombang. Prinsip dari pengukuran kedalaman singlebeam echosounder sendiri dapat dilihat pada gambar 2.3. Rumus yang digunakan dalam pengukuran kedalaman (D) ini adalah rumus matematika sederhana yaitu : D = ½ (ΔT. V R ) Dimana : ΔT : Waktu tempuh signal V R : Kecepatan rata-rata rambat signal 11

Selain dengan survei batimetri, untuk pemetaan dasar laut biasanya juga dilakukan kegiatan survei lain seperti survei Side Scan Sonar, survei Sub-Bottom Profiler (SBP), dan survei magnetometer. Survei side scan sonar dimaksudkan untuk mendapatkan kenampakan dasar laut, termasuk lokasi dan luasan obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Dual-channel Side Scan Sonar System dengan kemampuan cakupan jarak minimal hingga 75m digunakan untuk mendapatkan data kenampakan dasar laut di sepanjang koridor yang sama dengan survei Batimetri. Skala penyapuan yang digunakan diatur sedemikian rupa sehingga terjadi overlap minimal 50% untuk area survei yang direncanakan. Lajur-lajur survei side scan sonar dapat dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan survei Batimetri dan/atau disesuaikan dengan kedalaman laut sehingga cakupan minimal tersebut dapat terpenuhi. Gambar 2.2 Prinsip kerja SBES [Dudnote, 2011] Sementara survei Sub-bottom Profiler (SBP) bertujuan untuk melakukan investigasi dan identifikasi lapisan sedimen dekat dengan permukaan dasar laut (biasanya hingga 10 m) dan untuk menentukan informasi penting yang berhubungan dengan stratifikasi dasar laut. Survei SBP dapat dilaksanakan bersamaan dengan survei Batimetri dan Side Scan Sonar. Survei SBP ini tidak boleh dilaksanakan pada cuaca berombak karena sangat mempengaruhi kualitas data, kecuali apabila menggunakan heave compensator. Kemungkinan terjadinya noise yang bersumber dari mesin atau kapal survei harus diupayakan seminimal mungkin dengan berbagai cara. 12

Adapun pada survei magnetik dengan menggunakan magnetometer dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeteksi adanya obyek-obyek metal pada atau dekat permukaan dasar laut yang mungkin akan membahayakan. Bahaya yang dimaksud antara lain berupa wrecks, sunken buoys, steel cables maupun bahaya lain yang terdapat di area survei yang telah ditentukan. Survei magnetik ini disarankan dilaksanakan bersamaan dengan survei Batimetri, dengan interval lajur survei sebagaimana menjalankan lajur-lajur batimetri. Survei magnetometer tidak disarankan untuk dilaksanakan bersamaan dengan survei Side Scan Sonar karena dikhawatirkan terjadi gangguan yang bersumber dari towfish Side Scan Sonar kecuali dapat dibuktikan memang tidak terjadi gangguan. Jika terdapat indikasi adanya obyek metal yang cukup signifikan di suatu area tertentu, maka dilakukan survei investigasi lebih lanjut dengan cara menjalankan lajur survei dengan interval lebih rapat. 2.3 Penggunaan Multibeam Echosounder (MBES) Dalam Kegiatan Pra- Pemasangan Pipa Bawah Laut 2.3.1 Multibeam Echosounder Secara Umum Multibeam echosounder (MBES) merupakan suatu instrumen hidro-akustik yang menggunakan prinsip yang sama dengan singlebeam namun perbedaannya pada penggunaan mutibeam jumlah beam yang dipancarkannya lebih dari satu dalam satu kali pancar. Berbeda dengan Side Scan Sonar pola pancaran yang dimiliki MBES ini melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam memancarkan satu pulsa suara dan memiliki penerimanya masing-masing. Saat kapal bergerak hasil sapuan multibeam tersebut menghasilkan suatu luasan area permukaan dasar laut (Moustier, 2005). Transduser yang terdapat di dalam multibeam sonar terdiri dari serangkaian elemen yang memancarkan pulsa suara dalam sudut yang berbeda. Biasanya hanya satu beam yang ditransmisikan tetapi menghasilkan banyak pantulan energi dari masingmasing pulsa suara yang ditransmisikan. Kemampuan setiap elemen transduser menerima kembali pulsa suara yang dipantulkan tergantung kepada metode kalibrasi terhadap gerak kapal yang diterapkan (Hammerstad, 2000). MBES ini memiliki 13

ketelitian yang sangat baik dalam pengukuran kedalaman. Selain memiliki ketelitian yang sangat baik, keuntungan dalam penggunaan MBES ini adalah biaya yang efektif karena akan diperoleh peta batimetri detail dengan cakupan area yang sangat luas (CHOI, 2006). Gambar 2.3 Pengaplikasian Multibeam Echosounder [Nugraha, 2010] MBES ini digunakan hampir di semua cabang survei hidrografi, berikut contoh dari penggunaan MBES itu sendiri : Pengerukan (Dredging) Digunakan sebagai kontrol pada proyek konstruksi dan proyek dimana membutuhkan kombinasi resolusi yang tinggi dan cakupan 100 % Kegiatan Lepas Pantai Digunakan untuk inspeksi pipa, proyek peletakan pipa, dan inspeksi struktur dengan ROV. Apabila digunakan untuk proyek peletakan pipa bawah laut, dibutuhkan dua Multibeam Echosounder, satu diletakkan di depan pipa yang akan diletakkan untuk menentukan kondisi dari jalur pipa dan lokasinya, dan satu lagi diletakkan di belakang pipa yang akan diletakkan untuk memastikan pekerjaan tersebut telah selesai. Survei pra-desain Berhubungan dengan jalur pipa dan rute kabel: Biasanya kelayakan rute ditentukan berdasarkan data permukaan dasar laut yang dihasilkan oleh multibeam echosounder. Bagaimanapun juga untuk perairan dalam hasil dari 14

multibeam mengalami penurunan resolusi dan survei permukaan dasar laut dilanjutkan menggunakan AUV atau ROV, pada area dimana data batimetri sangat dibutuhkan. Pemetaan Digunakan pada daerah yang membutuhkan cakupan 100 % pada dasar laut, Ini dibutuhkan oleh IHO (SP 44) untuk pelabuhan, jalur pelayaran, dan daerah perairan dangkal dengan kepadatan lalu lintas pelayaran yang tinggi. 2.3.2 Sistem Pada Multibeam Echosounder Sistem pada alat MBES ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu diantaranya : Prosesor data akustik Prosesor data akustik adalah bagian terpenting dalam sistem multibeam echosounder. Prosesor ini dapat ditempatkan pada rak berukuran 19 inci. Data yang harus diproses prosesor tersebut sangatlah besar, contohnya Seabar 8125 memiliki kemampuan maksimal menangkap 40 area per detik dam masing masing area terdapat 240 beams. Prosesor ini didukung oleh chip Digital Signal Processing (DSP), yang kemampuannya sama dengan kemampuan 50 prosesor pentium dan dapat bekerja hingga 500 MHz. Panel kontrol Panel kontrol ini berfungsi untuk pengaturan pada alat multibeam echosounder ini. Pada panel ini pembacaan dan status dari multibeam akan ditampilkan. Transduser Transduser pada multibeam dapat dibedakan berdasarkan beberapa parameter, seperti frekuensi, banyaknya sinar yang dipancarkan, sudut dari sinar yang dipancarkan, dan kedalaman maksimum yang dapat dihasilkan. Parameter parameter ini mempengaruhi besar dari transduser tersebut. Transduser juga dapat dibagi menjadi dua yaitu flat arrays dan round arrays. Keunggulan dari round array ialah terdapat hubungan langsung antara posisi dari penerima pada transduser dengan jumlah sinar yang dipancarkan. Pada saat penggunaannya phase detection digunakan untuk mendeteksi jumlah sinar yang dipancarkan berdasarkan dari signal yang dikembalikan. Proses ini juga disebut focusing of the array. Karena panjang gelombang dari signal ditentukan berdasarkan 15

frekuensi dan kecepatan suara, makan sound velocity probe digunakan untuk mengkoreksi perbedaan cepat rambat suara pada receiver head. Berdasarkan tipe multibeam nya, transmitter dan receiver ada yang terpisah dan ada juga yang tergabung. Pemeriksa cepat rambat akustik Langkah pertama yang dilakukan sebelum memulai pemetaan dasar laut ialah pengambilan data kecepatan suara dalam air di daerah survei dengan menggunakan CTD. Tujuan dari pengambilan data kecepatan suara ini ialah untuk mendapatkan waktu tempuh gelombang suara yang akurat, sehingga data kedalaman yang dihasilkan juga akurat. 2.3.3 Kalibrasi Multibeam Echosounder Agar dapat diperoleh data yang baik dan memiliki ketelitian tinggi dari MBES, sistem harus dikalibrasi sebelum suatu survei akan dilakukan. Kalibrasi dari sesnsorsensor pada MBES ini akan sangat menentukan kualitas data yang akan dikumpulkan. Kalibrasi ini merupakan tahapan yang dilakukan untuk memeriksa dan menentukan besarnya kesalahan yang ada dalam instrumen yang bersangkutan. Proses kalibrasi yang dilakukan pada MBES ini meliputi kalibrasi pitch (anggukan), roll (gelengan), heading/yaw/gyro (arah kapal), offset statik, waktu tunggu, dan cepat rambat gelombang suara. Kalibrasi Offset Statik Kalibrasi ini merupakan kalibrasi yang dilakukan untuk melakukan penyesuaian jarak dari sensor-sensor yang digunakan terhadap centerline ( titik nol ) dari kapal dan transduser. Proses penyesuaian ini meliputi beberapa kompenen yaitu kapal itu sendiri, antena GPS kapal, transduser, gyro compass, dan Motion Reference Unit (MRU). Gambar 2.4 menggambarkan offset alat yang nantinya digunakan untuk keperluan survei. 16

Gambar 2.4 Offset Statik [Mann, 1996] Kalibrasi Pitch (Anggukan) Kalibrasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari besarnya nilai koefisien koreksi anggukan kapal dan time delay sehingga kedalaman yang terukur menjadi akurat. Kalibrasi ini dilakukan dengan membuat satu garis sapuan dengan MBES dengan memilih dasar laut yang memiliki kemiringan. Pengambilan data pada garis ini dilakukan sebanyak dua kali secara bolak-balik dengan kecepatan yang sama, setelah itu pengambilan data dilakukan lagi dengan kecepatan setengah dari kecepatan pertama dan kedua. Pada kedua garis ini dibuat satu koridor untuk mendapatkan nilai koefisien pitch (Kongsberg, 2005). Gerakan anggukan kapal ini mempengaruhi perubahan posisi rotasi kapal pada sumbu-y. Gerakan ini dipengaruhi oleh dinamika pergerakan air laut. Sudut rotasi pitch bernilai positif apabila posisi haluan (sisi depan) kapal berada diatas permukaan air (Aritonang, 2010). Hal penting dari kalibrasi ini yaitu pergantian jalur sepanjang y sebanding terhadap kedalaman air (Sasmita, 2008). Kalibrasi Roll (Gelengan) Kalibrasi gelengan ini digunakan untuk mengoreksi gerakan oleng kapal pada arah sumbu-x. Kalibrasi terhadap gerakan roll ini sangat diperlukan karena pengaruhnya sangat besar pada wilayah laut dalam. Untuk melakukan kalibrasi ini harus dipenuhi terlebih dahulu beberapa persyaratan yaitu kapal melitasi jalur yang sama dengan arah yang berlawanan, melintasi dasar laut dengan relief datar, menggunakan kecepatan yang sama dan pancaran terluar yang overlap digunakan untuk koreksi (Sasmita, 2008). 17

Kalibrasi Heading (Arah Kapal) Kalibrasi arah kapal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari besarnya nilai koefisien koreksi heading sehingga data kedalaman yang terukur menjadi akurat. Kalibrasi ini dilakukan dengan membuat dua garis pararel dengan arah yang sama pada daerah yang memiliki kemiringan. Pada kedua garis ini dibuat satu koridor untuk memperoleh nilai koefisien heading nya. Gambar 2.5 memperlihatkan pengkalibrasian pitch, roll dan heading pada penggunakan MBES. Kalibrasi Waktu Tunggu, dan Pengambilan data sounding yang dilakukan dengan multibeam sonar memiliki perbedaan waktu dengan DGPS (Diferential Global Positioning Systems). Perbedaan tersebut disebabkan adanya pengaruh kolom perairan terhadap gelombang suara yang diterima kembali sehingga waktu yang diterima multibeam cenderung lebih lambat. Perbedaan ini menyebabkan adanya keterlambatan pada DGPS. Kalibrasi waktu tunggu ini digunakan untuk mengoreksi terhadap keterlambatan ini. Delay ini umumnya berjarak 0.2-1 detik dan kondisi ini menyebabkan kesalahan pada posisi yang dipengaruhi oleh kecepatan kapal. Time delay ini dapat dikatakan akurat apabila dapat dideteksi hingga 50 ms. Gambar 2.5 Kalibrasi pitch, roll dan heading [Hasanudin, 2009] 18

Kalibrasi Cepat Rambat Gelombang Suara Kecepatan suara dalam air memiliki nilai yang tidak selalu sama untuk setiap wilayah menjadikan hal ini merupakan suatu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam survei batimetri. Untuk pengambilan data dari kecepatan suara ini dapat dilakukan dengan menggunakan CTD atau Conductivity Temperature and Depth ataupun juga dapat dengan menggunakan SVP atau Sound Velocity Profiler. Untuk mendapatkan data dari kecepatan suara ini, kapal meleawati jalur survei sebanyak dua kali (minimal) dengan relief dasar laut yang relatif datar kemudian pada masing-masing titik dilakukan pengambilan data salinitas, suhu, tekanan, dan kecepatan suara dengan menggunakan SVP tersebut. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam sistem yang digunakan untuk perekaman data. Tujuan dari pengambilan data kecepatan suara ini sendiri adalah untuk mengetahui waktu tempuh gelombang suara secara akurat, sehingga akan dihasilkan nilai kedalaman yang akurat (Hasanudin, 2009). Gambar 2.6 memperlihatkan contoh kecepatan suara yang diperoleh dengan menggunakan CTD. Gambar 2.6 Profil kecepatan suara dalam air [Beyer, 2005] 19

2.4 Sistem/Data Pendukung Lainnya Dalam kegiatan pra-pemasangan pipa bawah laut, selain MBES juga diperlukan sistem-sistem lainnya untuk memperoleh informasi kedalaman. Penggunaan sistemsistem ini saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya sehingga dalam setiap kegiatan survei kegiatan-kegiatan ini harus selalu dilakukan. 2.4.1 Pasang Surut (Pasut) Air Laut Pasut laut adalah fenomena naik dan turunnya muka laut serta adanya arus laut yang bolak balik secara periodik/harmonik akibat gaya pembangkit pasut terutama oleh faktor gravitasi bulan dan matahari yang mempunya periode rata-rata 12.4 jam atau 24.8 jam. Gravitasi bulan merupakan pembangkit utama pasut. Walaupun massa matahari jauh lebih besar dari bulan, akan tetapi jarak bulan jauh lebih dekat. Hal inilah menyebabkan matahari hanya memberikan sedikit pengaruh dalam fenomena pasut. Berdasarkan posisi bumi terhadap bulan dan matahari, akan menyebabkan perbedaan tinggi permukaan air laut/sungai. Ketika kedudukan matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis maka akan terjadi pasang maksimum di titik yang berada dalam garis kedudukan bumi, bulan, dan matahari. Fenomena pasut pada kedudukan ini disebut dengan spring tide atau pasut perbani. Fenomena ini terjadi dua kali setiap bulan, yaitu pada saat bulan baru (new moon) dan bulan purnama (full moon). Ketika posisi matahari tegak lurus dengan sumbu bumi-bulan, maka akan terjadi pasut minimum pada titik di permukaan bumi yang tegak lurus sumbu bumi-bulan. Fenomena ini terjadi di perempat bulan awal dan perempat bulan akhir. Fenomena pasut seperti ini disebut dengan neap tide atau pasut mati. Pengamatan pasut ini sendiri bertujuan untuk mencatat gerakan naik-turun atau gerak vertikal dari permukaan air laut yang terjadi secara periodik. Dengan merata-ratakan data tinggi muka air yang diamati pada rentang waktu tertentu ini maka akan diperoleh muka laut rata-rata. Permukaan laut rata-rata ini digunakan sebagai tinggi nol yang dijadikan sebagai referensi (datum) vertikal dalam penentuan kedalaman 20

suatu titik. Data pasut dengan kurun waktu yang berbeda dapat menghasilkan informasi dan tujuan yang berbeda pula. Secara umum, informasi yang ingin didapat dari data pasut adalah tipe pasut, datum vertikal, prediksi pasut, dan lain-lain. Pada kasus ini, tujuan yang ingin dicapai pada pengamatan pasut adalah untuk menentukan datum vertikal. Bidang referensi vertikal di darat adalah MSL, sedangkan bidang referensi vertikal di laut adalah MSL dan Chart Datum. Pada pengamatan pasut, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu yang pertama secara manual dengan menggunakan rambu ukur, lalu yang kedua secara otomatis dengan menggunakan tide gauge. Gambar 2.7 memperlihatkan pengukuran pasut dengan menggunakan rambu ukur. Dalam kegiatan pra-pemasangan pipa bawah laut, data dari pasut air laut ini diperlukan untuk mengkoreksi data kedalaman yang diperoleh pada tiap survey line sehingga diperoleh data kedalaman yang "setara". Maksud dari setara disini adalah pada saat survei dilakukan survei dalam waktu yang berbeda pada tiap garis survei, hal tersebut menyebabkan data kedalaman tiap line tersebut menjadi tidak sejajar dikarenakan pasut air laut berubah setiap waktunya, data dari pasut ini berguna untuk mengoreksi kesalahan akibat pengaruh pasut air laut. Gambar 2.7 Pengamatan Pasut Air Laut secara Manual [Testindo, 2011] 21

2.4.2 Gyro Compass Gyro compass merupakan suatu alat yang digunakan untuk keperluan navigasi. Pada gyro compass ini nilai yang didapatkan adalah nilai utara sebenarnya mengacu pada pusat massa bumi, dimana true north sangat penting dalam keperluan navigasi. Gyro compass sendiri (Gambar 2.8) tidak terpengaruh oleh medan magnet lainnya sehingga nilai utara yang didapatkan memiliki tingkat keakuratan yang tinggi. Gambar 2.8 Gyro Compass Repeater [House, 2004] 2.4.3 Motion Reference Unit (MRU) MRU adalah sebuah sistem yang digunakan untuk memberikan informasi mengenai pergerakan kapal yang nantinya data mengenai pergerakan kapal ini akan dikirimkan ke sistem MBES untuk dijadikan koreksi dari data kedalaman yang diperoleh. Pengaruh dari kapal yang tidak dapat selalu dalam kondisi statik akibat pengaruh dari arus dan gelombang ini dapat mempengaruhi kualitas data yang dihasilkan. Oleh karena itu untuk kasus ini diperlukan MRU yang dapat mendeteksi gerak pitch (anggukan), roll (gelengan), heading/yaw dari suatu kapal. Gambar 2.9 menggambarkan mengenai letak dari suatu MRU yang biasanya terletak diatas transduser. Gambar 2.9 Letak Motion Reference Unit [Edgetech, 2009] 22

Selain keempat data pendukung diatas, dalam setiap kegiatan survei selalu diperlukan suatu sistem yang berkaitan tentang penentuan posisi. Dalam kegiatan survei ini untuk penentuan posisi horizontal, digunakan GPS sebagai teknologi penentuan posisi dari kedalaman. Metode yang digunakan dalam penentuan posisi ini ialah metode DGPS (Differential Global Positioning System). Sistem DGPS ini adalah suatu akronim yang sudah umum digunakan untuk sistem penentuan posisi real-time secara diferensial menggunakan data pseudorange (Abidin, 2006). Mengapa metode DGPS yang digunakan? Hal tersebut dikarenakan metode ini sudah umum digunakan dalam penentuan posisi untuk objek-objek yang bergerak. Untuk merealisasikan tuntutan real-timenya, maka stasiun referensi harus mengirimkan koreksi diferensial ke pengguna secara real-time menggunakan sistem komunikasi data tertentu. Koreksi diferensial ini dapat berupa koreksi preudorange maupun koreksi koordinat. Dalam hal ini yang umum digunkan adalah koreksi psudorange. Koreksi koordinat jarang digunakan karena koreksi ini menuntut bahwa stasiun referensi pengirim koreksi serta pengamat mengamati set satelit yang sama, dimana hal ini umumnya tidak selalu dapat direalisasikan dalam operasional lapangannya. Ketelitian tipikal posisi yang dapat diberikan sistem DGPS ini berkisar antara 1-3 meter. Dengan ketelitian setingkat ini sistem DGPS umum digunakan dalam kegiatan survei hidrografi. Gambar 2.10 menjelaskan sistem DGPS secara singkat. Gambar 2.10 Metode DGPS dalam penentuan Posisi Horisontal [Anonim, 2010] 23