BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang

dokumen-dokumen yang mirip
Institute for Criminal Justice Reform

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

1 dari 8 26/09/ :15

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUHAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah melindungi

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

BAB II TEORI MENGENAI WARGA BINAAN, SISTEM PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN, DAN TEORI KRIMINOLOGI. 1. Pengertian Warga Binaan Pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa dalam kehidupannya terikat oleh aturan aturan tertentu. Secara

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keluarga, suku dan masyarakat. untuk menjunjung tinggi norma-norma kehidupan mencapai masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan

BAB II. Perlindungan Hukum Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Lembaga. Pemasyarakatan Anak

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penduduk Indonesia yang sangat besar jumlah pertumbuhan penduduknya yaitu

PENGATURAN PIDANA PENJARA DI MASA MENDATANG DILIHAT DARI ASPEK PERBAIKAN PELAKU AFRIANSYAH / D

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

BAB I PENDAHULUAN. barang siapa yang melanggar larangan tersebut 1. Tindak pidana juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. individu di dalam masyarakat untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan. Menurut Siswanto Sunarso : 1)

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

EKSISTENSI KEBERADAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Oleh: Laras Astuti

: : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga pemasyarakatan atau disingkat ( LAPAS) merupakan institusi dari

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

SKRIPSI. Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Oleh : SHELLY ANDRIA RIZKY

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan.

BAB I PENDAHULUAN. Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi,

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana bersikap, bertutur kata dan mempelajari perkembangan sains yang

JAMINAN KEAMANAN BAGI TERPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN 1 Oleh : Billy L. Paulus 2

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Layanan perpustakaan..., Destiya Puji Prabowo, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistem pemasyarakatan di Indonesia merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual dan historis sangatlah berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Asas yang dianut dalam sistem pemasyarakatan dewasa ini menempatkan tahanan dan narapidana, anak negara dan warga binaan pemasyarakatan lainnya sebagai subyek dan dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi dengan bimbingan. Perbedaan kedua sistem tersebut berimplikasi pada perbedaan dalam cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan. 1

2 Pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental yang meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun sebagai warganegara yang meyakini bahwa dirinya masih memiliki potensi dan kontribusi untuk pembangunan bangsa dan negara. OC. Kaligis menyatakan : 1) Sistem hukum negara-negara di dunia memiliki banyak persamaan dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Bahkan masyarakat tradisional mempunyai sistem hukum yang berupa campuran antara kebiasaan, nilai moral dan kepercayaan. Pelanggaran nilai moral dan kebiasaan akan diberikan sanksi berupa penghinaan dan kekerasan. Kemudian, Dwidja Priyatno menyatakan: 2) Sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia, diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemayarakatan, hal ini merupakan pelaksanaan dari pidana penjara, yang merupakan perubahan ide secara yuridis filosofis dari sistem kepenjaraan menjadi ke sistem pemasyarakatan. Selanjutnya, sistem pemasyarakatan menurut dwidja adalah: 3) Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjara secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Narapidana seperti halnya warganegara lainnya, sudah barang tentu mempunyai hak hukum yang harus dilindungi oleh negara, sesuai dengan 1) O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Tersangka, Terdakwa Dan Terpidana, Alumni Bandung, Bandung, 2006, hlm. 1. 2) Dwidja Priyatno, Sitem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 3. 3) Ibid, hlm. 3.

3 ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang undang Dasar 1945 hasil amandemen, yang menyatakan : (1) Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak Melihat ketentuan pasal di atas, bahwa perlindungan dan hak narapidana harus konsisten dijalankan oleh pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan tanpa membedakan jenis dan lama hukuman yang didapat oleh narapidana tersebut. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Bertitik tolak dari pemahaman sistem pemasyarakatan dalam penyelenggaraannya, warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan oleh BAPAS ditekankan pada kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian.

4 Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan kepada pembinaan bakat dan keterampilan agar warga binaan pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas, yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. 4) Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan warga binaan pemasyarakatan dalam undang-undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum. Sistem pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga 4) Hadi Setia Tunggal, Undang-undang Pemasyarakatan beserta Peratura pelaksanaannya,alumni Bandung, 2001, hlm. 253.

5 binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 5) Salah-satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan adalah dengan pengaturan mengenai hak-hak narapidana sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dimana narapidana berhak : 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; 4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; 5. Menyampaikan keluhan; 6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; 7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; 8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; 9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); 10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; 11. Mendapatkan pembebasan bersyarat; 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan 5) Hadi Setia Tunggal, Ibid, hlm.254.

6 13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari uraian mengenai hak-hak narapidana tersebut di atas, permasalahan yang muncul dan perlu disoroti adalah dengan pengenaan pidana seumur hidup bagi narapidana, apakah sudah relevan dengan prinsip rehabilitasi dan resosialisasi yang menjadi prinsip dasar dari lembaga Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan narapidana yang menjalani pidana seumur hidup akan mengalami kesulitan untuk kembali ke dalam masyarakat dan menjalin proses resosialisasi karena narapidana yang divonis pidana penjara seumur hidup tersebut harus mendekam selamanya di dalam lembaga pemasyarakatan. Berkaitan dengan pidana dan pemidanaan, maka masalah tentang penjatuhan jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, penentuan berat ringannya pidana yang dijatuhkan (strafmaat) serta bagaimana pidana itu dilaksanakan merupakan bagian dari suatu sistem pemidanaan. L.H.C. Hullsman mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctions and punishment). 6) Barda Nawawi Arief menambahkan bahwa: Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang 6) L.H.C. Hullsman, dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Edisi Revisi, Bandung, 2005, hlm.23.

7 mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). 7) Hal tersebut berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Bertolak dari pengertian di atas, maka apabila aturan perundangundangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum (Buku I) maupun aturan khusus mengenai tindak pidana (Buku II dan III) pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. 8) Apabila pemidanaan ditinjau dari segi orientasinya, dikenal adanya 2 macam teori pemidanaan, yaitu : Teori Absolut (pembalasan), yaitu teori yang berorientasi ke belakang berupa pembalasan yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan; dan Teori Relatif (tujuan), yaitu teori yang berorientasi ke depan berupa penyembuhan luka, baik luka individual maupun luka sosial. Di dalam masyarakat modern, tampaknya ada kecenderungan untuk mengarah pada teori gabungan. 9) Barda Nawawi Arief juga mengemukakan : Bertolak dari pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka Konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. dalam mengidentifikasikan tujuan pemidanaan, Konsep bertitik tolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu 7) Ibid. 8) Ibid. 9) Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 60.

8 perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana. 10) Jadi, terdapat dua sisi/sasaran/aspek pokok dalam tujuan pemidanaan sebagai kepentingan yang hendak dilindungi secara berimbang yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pelaku. Hal demikian ini mencerminkan perwujudan dari asas monodualistis sekaligus individualisasi pidana guna mengakomodasi tuntutan tujuan pemidanaan yang sedang berkembang dewasa ini. Oleh karena itu, dapatlah dilihat bahwa perkembangan tujuan pidana dan pemidanaan tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi sudah mengarah pada upaya perbaikan-perbaikan ke arah yang lebih manusiawi. Berkaitan dengan pidana seumur hidup, Bahwa kedudukan pidana seumur hidup sebagai bagian dari Pidana penjara adalah termasuk salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, walaupun tidak tercantum secara langsung dalam susunan pidana (strafstelsel) pada Pasal 10 KUHP, namun pidana seumur hidup merupakan bagian dari pidana penjara, hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1) KUHP yang menegaskan bahwa pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu. Berdasarkan kententuan Pasal 12 ayat (1) KUHP tersebut jelaslah bahwa pidana penjara terdiri dari 2 (dua) jenis pidana penjara, yaitu pidana seumur hidup; dan pidana selama waktu tertentu. Selanjutnya, dalam RUU KUHP Tahun 2008 pidana seumur hidup merupakan bagian dari pidana penjara sebagaimana 10) Barda Nawawi Arief, Op., Cit, hlm.98.

9 dikatakan bahwa: pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu (Pasal 69 ayat (1)). Dilihat dari konsepsi pemasyarakatan, kedudukan pidana seumur hidup dalam sistem hukum pidana nasional pada hakikatnya merupakan Perampasan Kemerdekaan seseorang yang bersifat sementara (untuk waktu tertentu) sebagai sarana untuk memulihkan integritas terpidana agar ia mampu melakukan readaptasi sosial. Sehubungan dengan hal itu Mulder menyatakan bahwa pidana perampasan kemerdekaan mengandung suatu ciri khas, yaitu bahwa dia adalah sementara, terpidana akhirnya tetap diantara kita. 11) Penggunaan pidana penjara seumur hidup harus bersifat eksepsional dan sekedar untuk memberikan ciri simbolik. Sifat eksepsional ini didasarkan terutama pada tujuan untuk melindungi atau mengamankan masyarakat dari perbuatan-perbuatan dan perilaku tindak pidana yang dipandang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat. Terhadap kriteria eksepsional yang demikian inipun hendaknya harus tetap berhati-hati, karena kriteria membahayakan atau merugikan masyarakat itupun merupakan kriteria yang cukup sulit. di samping karena kriteria itu dapat bersifat relatif juga, karena pada hakikatnya setiap tindak pidana adalah perbuatan yang membahayakan atau merugikan masyarakat. Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mencoba menganalisis permasalahan dalam bentuk Penulisan Hukum dengan judul : Penerapan Sanksi Pidana Penjara Seumur Hidup Bagi Warga Binaan 11) Mulder dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996, hlm. 208.

10 Pemasyarakatan (Narapidana) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan Latar Belakang Penelitian tersebut di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang dapat penulis kemukakan sebagai Identifikasi Masalah, yaitu sebagai berikut : 1. Apakah penerapan sanksi pidana penjara seumur hidup bagi narapidana sudah sejalan dengan ide/konsep Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 2. Permasalahan hukum apa yang terjadi berkaitan dengan pidana penjara seumur hidup dengan fungsi pemidanaan sebagai upaya memasyarakatkan terpidana? 3. Bagaimanakah upaya yang harus dilakukan dalam mengharmoniskan penerapan sanksi pidana penjara seumur hidup dengan tujuan pemidanaan yang harus dicapai berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mengkaji apakah penerapan sanksi pidana penjara seumur hidup bagi narapidana sudah sejalan dengan ide/konsep Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

11 2. Untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan hukum apa yang terjadi berkaitan dengan pidana penjara seumur hidup dengan fungsi pemidanaan sebagai upaya memasyarakatkan terpidana. 3. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya yang harus dilakukan dalam mengharmoniskan penrapan sanksi pidana penjara seumur hidup dengan tujuan pemidanaan yang harus dicapai berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. D. Kegunaan Penelitian Melalui bagian ini selanjutnya dapat ditentukan bahwa kegunaan penelitian ini terbagi dalam 2 (dua) kegunaan yaitu : 1. Kegunaan Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan dalam perkembangan ilmu hukum pidana pada umumnya yang berkaitan dengan penerapan sanksi pidana seumur hidup dihubungkan dengan tujuan pemidanaan berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 2. Kegunaan Praktis a. Skripsi ini diharapkan memberikan suatu masukan kepada kalangan aparat penegak hukum, serta lembaga pemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan b. Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sebuah kontribusi ide atau pemikiran yang dapat dijadikan bahan pengetahuan bagi siapa saja

12 yang memerlukan. Khususnya kalangan fakultas hukum UNPAS dan perguruan tinggi lainnya serta masyarakat pada umumnya yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang penerapan sanksi pidana seumur hidup dihubungkan dengan tujuan pemidanaan berdasarkan dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. E. Kerangka Pemikiran Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen, yang menyatakan : (1) Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak Berdasarkan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang yang berbeda di bawah untuk apapun atau pemenjaraan (Body of Principles for the Protection of All Persons Under Any Form of Detention or Imprisonment) yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1988 dengan Resolusi 43/173, tidak boleh ada pembatasan atau pelanggaran terhadap setiap hak-hak asasi manusia dari orang-orang yang berada di bawah bentuk penahanan atau pemenjaraan. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan harus diperlukan dalam cara yang manusiawi dan dengan menghormati martabat pribadi manusia yang melekat. Hal itu menunjukan bahwa sistem pemenjaraan dalam penerapannya bukan hanya diberlakukan secara nasional, tetapi diberlakukan secara internasional.

13 Perkembangan mental narapidana tidak lepas dari kondisi lembaga pemasyarakatan, walaupun pada dasarnya Lembaga Pemasyarakatan bukanlah tempat paling baik bagi narapidana. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan sebagai bagian dari pembangunan di bidang hukum pada khususnya dan pembangunan nasional bangsa pada umumnya tidak dapat dilepaskan pada pengaruh situasi lingkungan strategis dan perkembangannya dari waktu ke waktu, baik dalam skala nasional, regional maupun internasional. Permasalahan dan perubahan yang muncul sebagai dampak dari transformasi global juga telah berpengaruh terhadap tingkat, bentuk, jenis dan pelaku kejahatan, baik yang bersifat transnational crime, organized crime, organized crime, white collar crime, economic crime maupun berbagai tindak pidana yang bersifat konvensional dan tradisional merupakan fenomena yang juga akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. 12) Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu kepada Undang-undang nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Penjelasan Umum Undang-undang Pemasyarakatan yang merupakan dasar yuridis filosofi tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia dinyatakan bahwa : 13) 1. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan. 2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana 12) hlm.1. 13) Pemasyarakatan Dalam Porospeksi, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Jakarta, 2002, Dwidja Priyatno, Op., Cit. hlm. 102.

14 bersyarat ( Pasal 14 a KUHP), pelepasan bersyarat ( Pasal 15 KUHP ), namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari azas dan sistem pemenjaraan. Sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang digunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah. 3. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjara secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungan. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak bebeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas, yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan menjadikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. 14) Untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada 14) Ibid. hlm. 103.

15 presiden. Adapun mengenai ketentuan tentang grasi diatur oleh Undangundang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 amandemen, Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Mengenai Ketentuan remisi secara eksplisit tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan hanya mengatur hak narapidana saja. Dan hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i yang menyatakan bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Selanjutnya, berkaitan dengan pidana penjara seumur hidup, pidana penjara sumur hidup pada dasarnya merupakan jenis pidana absolut (sudah ditentukan waktunya). Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana, pidana seumur hidup itu bersifat pasti (definite sentence) karena sifat pidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani pidana sepanjang hidupnya walaupun orang tidak tahu pasti berapa lama masa hidup seseorang di dunia ini. Dilihat dari kenyataan praktek, dapat juga dikatakan bahwa pidana seumur hidup bersifat in determinate karena si terpidana tidak tahu pasti kapan dia dapat dilepaskan kembali ke masyarakat. 15) Dari uraian tersebut di atas, terdapat kontradiksi ide antara pidana seumur hidup dengan sistem pemasyarakatan. Pidana penjara seumur hidup 15) Barda Nawawi Arief, Op., Cit, hlm. 237.

16 lebih berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan (rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan lagi ke masyarakat, sebagaimana dinyatakan Suhardjo, bahwa pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan system kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari system pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Jadi, dilihat dari ide pemasyarakatan, pada hakikatnya pidana perampasan kemerdekaan seseorang hanya bersifat sementara (untuk waktu tertentu), tidak untuk seumur hidup (untuk waktu yang tidak ditentukan). Menurut Barda Nawawi Arief, 16) Sekiranya pidana penjara seumur hidup masih patut dipertahankan, maka kebijakan legislatif mengenai pidana seumur hidup seyogyanya mengintegrasikan ide/konsep perlindungan pemasyarakatan dengan ide/konsep pemasyarakatan serta memperhatikan ideide yang tertuang di dalam Standar Minimum Rules For the Treatment of Prisoners (yang telah diterima oleh kongres PBB ke-1 mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offender tahun 1955 maupun berbagai pernyataan pada kongres PBB berikutnya (khususnya kongres ke-6 dan ke-8) yang berhubungandengan masalah pidana seumur hidup. Kebijakan legislative saat ini, sulit bagi narapidana seumur hidup mendapatkan hak-hak sebagaimana narapidana lainnya seperti pelepasan bersyarat (conditional Release als voor waardelijke invrijheidstelling ) 16) Ibid, hlm. 238.

17 Pengurangan masa pidana (remisi) maupun proses asimilasi (proses membawa napi dalam kehidupan masyarakat). Selain itu juga Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang normal dari seseorang,sehingga sering terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana. 16) Dengan terampasnya kemerdekaan seseorang juga berarti terampasnya kemerdekaan berusaha dari orang itu yang dapat mempunyai akibat serius bagi kehidupan sosial ekonomi keluarganya. Terlebih pidana penjara itu dikatakan dapat memberikan cap jahat (stigma) yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi melakukan kejahatan. F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam menyusun skripsi ini dilakukan dengan cara deskriptif analitis yaitu menggambarkan permasalahan yang ada kemudian menganalisisnya dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 2. Metode Pendekatan 17) 16) Ibid. 17) Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 24.

18 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu menguji dan mengkaji data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Dalam hal ini berkaitan dengan penerapan sanksi pidana seumur hidup dihubungkan dengan tujuan pemidanaan berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 3. Tahap Penelitian Berkenaan dengan pendekatan yuridis normatif yang digunakan, maka penelitian yang dilakukan melalui dua tahap yaitu studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan merupakan tahap penelitian utama, sedangkan penelitian lapangan merupakan hanya bersifat penunjang terhadap data kepustakaan. 4. Teknik Pengumpulan Data Sehubungan dengan pendekatan yuridis normatif, maka teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang diperoleh dari bahan hukum primer yaitu, peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, hasil penelitian, ensiklopedi, kamus hukum dan lain-lain serta bahan hukum tertier yaitu bahan dari internet dan surat kabar. 5. Analisis Data Dalam proses penelitian ini, analisis data yang dipergunakan adalah analisis yuridis kualitatif, yaitu data diperoleh kemudian disusun secara sistematis, untuk mencapai kejelasan masalah tentang penerapan sanksi

19 pidana seumur hidup dihubungkan dengan tujuan pemidanaan berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 6. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian merupakan pendukung dalam melengkapi data, dilaksanakan pada: 1) Lokasai Kepustakaan a. Perpustakaan Universitas Pasundan Bandung; b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; c. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. 2) Lokasi Lapangan a. Lapas Sukamiskin Bandung; b. Lapas Banceuy bandung; c. Lapas Sukamiskin Bandung.