BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Gangguan psikosis adalah gangguan kejiwaan berupa hilang kontak dengan kenyataan yaitu penderita kesulitan membedakan hal nyata dengan yang tidak, umumnya akan dimulai dengan kesulitan konsentrasi, berbicara tidak jelas dan kesulitan mengingat. Penderita psikosis akan terlihat jika penderita sudah mengalami delusi, halusinasi dan diikuti dengan perubahan emosi dan tingkah laku. Penderita gangguan psikosis akan terlihat menyendiri dengan emosi yang datar tetapi terkadang secara mendadak emosi menjadi sangat tinggi atau depresi. Pada penderita psikosis juga akan tampak ekspresi emosi yang tinggi dan akan berhubungan dengan coping mechanism yang terfokus emosi seperti penarikan diri (Raune, 2004). Dalam keseharian penderita psikosis juga dapat mengalami hal-hal yang tidak nyata yang memengaruhi tingkah laku mereka seperti ketakutan akan hal-hal yang tidak nyata dan paranoia. Banyak definisi operasional yang digunakan oleh tenaga medis di dunia dan diakui secara internasional 1
untuk mengklasifikasi gangguan psikotik. Definisi operasional yang paling sering adalah ICD 10 dan DSM V. Beberapa peneliti menggunakan istilah gangguan psikosis episode awal untuk nama lain dari skizofrenia dan diagnosis bisa diperluas untuk psikosis spektrum skizofrenia dan mencakup skizofreniform. Akan tetapi batas dari psikosis spektrum skizofrenia yang kurang dipahami (Baldwin dkk, 2005). Penyebab dari gangguan psikotik masih belum diketahui. Pasien dengan gangguan personalitas seperti borderline, schizoid, schyzotypal atau paranoid qualities dapat berkembang menjadi gejala psikotik. Pada beberapa pasien psikotik juga memiliki riwayat skizofrenia atau gangguan mood pada keluarga namun hal ini belum dapat dipastikan. Bentukan psikodinamis telah mengembangkan mekanisme penggandaan yang tidak sesuai dan kemungkinan perkembangan sekunder pada pasien gangguan psikotik. Teori psikodinamis menambahkan bahwa gejala psikotik adalah mekanisme pertahanan terhadap pikiran terlarang, pemenuhan dan keinginan yang tidak tercapai, atau jalan keluar dari situasi psikososial yang menekan ( Sadock & Sadock, 2007). Skizofrenia, salah satu bentuk gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya waham atau delusi adalah salah 2
satu bentuk gangguan jiwa yang sangat berbahaya. Walaupun angka menunjukan hanya kurang dari 1% populasi yang menderita skizofrenia dan angka insidensi per tahun yang rendah (0,2 dari 1.000), skizofrenia tetap menjadi suatu bentuk kelainan gangguan jiwa yang berbahaya. Hal itu dikarenakan pengobatan dari skizofrenia yang membutuhkan jangka waktu lama menyebabkan biaya pengobatan skizofrenia akan menjadi sangat mahal. Selain itu skizofrenia dapat menurunkan angka ekspektasi hidup sebanyak 25 tahun dan menjadi faktor risiko penyakit jantung (McFarlane, 2011). Gangguan Psikotik fase awal (First-Episode Psychosis) adalah saat penderita mengalami gangguan episode psikotik untuk pertama kali. Kebanyakan penderita tidak dapat menjelaskan mengenai apa yang menimpa dirinya sehingga mayoritas kejadian ini tidak terlaporkan ataupun justru dihubungkan dengan kejadian mistis juga anggapan stereotype (Tanskanen, 2011).Onset para penderita gangguan psikotik fase awal kebanyakan saat remaja dan berlangsung hingga dewasa. Penelitian oleh Subandi dan Good tahun 2002 di Yogyakarta menyebutkan penderita gangguan psikotik fase awal terbanyak adalah usia 15-29 tahun atau dewasa muda, yaitu 66,4%. Penderita gangguan psikotik fase awal 3
dalam 5 tahun akan memiliki kemungkinan relapse sebesar 80% walaupun sudah terdeteksi dini (Alvarez-Jimenez, 2009). Onset usia remaja sebagai mayoritas usia penderita gangguan psikotik akan erat hubunganya dengan Duration of Untreated Psychosis (DUP) yaitu interval waktu dari penderita mengalami episode psikosis pertama kali hingga penderita mendapat terapi yang adekuat. Hal tersebut nantinya akan menjadi beban negara dan masyarakat jika para penderita psikosis fase awal dengan usia yang masih muda berlanjut hingga lansia dan jumlahnya meningkat. Penelitian menunjukan semakin lama DUP akan memberikan hasil yang buruk bagi penderita psikotik fase awal (Compton, 2009). Oleh karea itu, tingkat kewaspadaan yang tinggi akan gejala psikosis oleh masyarakat dapat membantu dalam menangani DUP (Lloyd-Evans, 2011). Tindakan intervensi oleh dokter umum sekalipun itu sederhana dapat memperpendek Duration of Untreated Psychosis (DUP) (Lloyd-Evans, 2011). Dokter umum sebagai ujung tombak diharapkan mampu menyediakan informasi yang cukup dan mendorong pasien untuk membawa pasien psikosis untuk berobat secepatnya. Apabila pasien terlambat berobat maka penanganan berbasis komunitas dan berasosiasi 4
psikiatris akan sangat diperlukan untuk menangani DUP yang bisa berkembang menjadi gangguan psikosis (Ienciu, 2010). Keluarga atau kerabat merupakan faktor penting dalam pelaporan kasus gangguan psikotik terutama gangguan psikotik fase awal. Kedekatan antara penderita dengan caregiver tersebut diharap dapat memberikan dampak positif bagi prognosis para penderita psikotik fase awal. Akan tetapi harus dilihat juga faktor pengetahuan (knowledge) dari caregiver mengenai gangguan penderita untuk melihat pandangan dan sejauh mana caregiver mengerti mengenai gangguan yang dialami penderita. Pengetahuan yang baik dari caregiver mengenai gangguan psikotik diharap mampu membawa dampak positif dalam peningkatan prognosis.pengetahuan yang baik juga bisa melindungi pasien dari stigma sosial yang dapat memperlama proses DUP (Tanskanen, 2011). Faktor keluarga dan caregiver tersebut akan membentuk hubungan yang kuat terhadap penanganan DUP (Ienciu, 2010). Tingkat pengetahuan caregiver diharapkan mampu meningkatkan keteraturan kontrol bagi penderita gangguan psikotik fase awal dikarenan masih banyak caregiver yang berpandangan bahwa gangguan psikosis 5
adalah sebagai fenomena non-medis sehingga menurunkan tingkat keteraturan kontrol bagi penderita. Selain itu, keluarga ataupun caregiver adalah penopang penting bagi para penderita gangguan psikotik fase awal untuk menjalankan fungsi sosialnya. Penderita gangguan psikotik fase awal akan tetap bisa menjalankan fungsi sosialnya disaat tidak ada serangan. Setelah adanya gejala pertama yang secara mayoritas sulit dijelaskan oleh penderita, kemungkinan untuk muncul gejala lanjutan akan tetap ada dan jika berkelanjutan maka kemungkinan dapat berkembang menjadi Skizofrenia seperti yang diklasifikasikan dalam DSM-IV-TR. Kerentanan penderita gangguan psikotik fase awalitulah yang membuat mereka sangat terikat dengan keluarga ataupun caregiver dalam menjaga kehidupan dan fungsi sosialnya. Selain fungsi sosial, keluarga dan caregiver juga menjadi pendukung penting dalam kognisi sosial bagi penderita gangguan psikotik fase awal. Keluarga dan caregiver harus menopang penderita dalam membantu penderita untuk diterima secara sosial dan juga melindungi dari persepsi dan interpretasi masyarakat. Kognisi sosial adalah faktor antara dari kognisi menuju fungsi sosial dan juga dapat memperburuk keduanya (Addington, 2006). Pandangan tabu dan gangguan psikosis 6
sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan juga memperburuk keadaan sehingga angka menunjukan penderita gangguan psikotik yang mendapat pelayanan adekuat masih rendah. I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, dapat dirumuskan permasalahan adalah: Apakah terdapat hubungan antara pengetahuan caregiver mengenai skizofrenia dengan keteraturan kontrol pada penderita psiotik fase awal di Yogyakarta? I.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk: Melakukan identifikasi hubungan antara keteraturan kontrol pada penderita gangguan psikotik fase awal dengan pengetahuan caregiver mengenai skizofrenia. I.4. Keaslian Penelitian Gangguan Psikotik fase awal sudah banyak diteliti tentang faktor-faktor beserta asosiasinya, namun penelitian tersebut dilakukan di luar negeri sehingga ada beberapa yang tidak sesuai dengan kenyataan di Indonesia terutama Yogyakarta. Penelitian ini berkaitan 7
dengan sosiodemografik dan budaya masyarakat penderita gangguan psikotik fase awal di Yogyakarta yang mayoritas tinggal jauh dari instansi kesehatan dan masih melihat dari fenomena non-medis. Akan tetapi, penelitian ini memiliki hubungan dengan beberapa penelitian yaitu : 1. Penelitian oleh Marchira (2012) yang berjudul Pengaruh Intervensi Psikoedukatif Interaktif Singkat tentang Pengetahuan Caregiver, Ketaatan Pengobatan dan Kembuhan pada Penderita Gangguan Psikotik Fase Awal di Yogyakarta. Penelitian Dr. dr. Carla R. M. Sp.KJ bersifat eksperimental dengan melihat intervensi psikoedukatif dengan outcome kekambuhan dan ketaatan pengobatan. Persamaan dari kedua penelitian ini terletak pada variabel serta subjek yang digunakan. Sedangkan perbedaan terletak pada rancangan metode penelitian, metodologi penelitian serta variabel yang digunakan. 2. Penelitian oleh Tanskanen (2011) dengan judul Service User and Carer Experiences of Seeking Help for A First Episode of Psychosis: a UK Qualitative Study. Perbedaan terletak pada metodologi penelitian, sampel penelitian serta variabel yang digunakan. Persamaan pada penelitian terdapat dari kedua peneliti melihat 8
dari sudut pandang caregiver yang akan dihubungkan dengan penderita psikotik yang mendapatkan pengobatan adekuat nantinya. 3. Penelitian oleh Singh (2012) dengan judul Knowledge of Schizophrenia Among Family Members and Patiets s Compliance to Treatment in Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta. Terdapat persamaan dalam pengukuran akan pengetahuan dari kerabat mengenai skizofrenia sedangkan perbedaan terletak pada sampel penelitian serta variabel yang digunakan. 4. Penelitian oleh De Haan (2003) dengan judul Opinions of Mother on the First Psychotic Episode and The Start of The Treatment of Their Child. Penelitian ini lebih memfokuskan pada hubungan antara sudut pandang dan pemikiran ibu penderita ganggua psikotik fase awal dengan waktu pertama kali penderita gangguan psikotik fase awal mendapat pengobata yang adekuat. Persamaan pada penelitian terdapat dari pencatatan waktu penderita mendapat pengobatan yang adekuat. 5. Penelitian oleh Tennakoon (2000) dengan judul Experience of Caregiving: Relatives of People Experiencing a First Episode of Psychosis. Penelitian ini lebih memfokuskan dari sudut pandang caregiver dalam menangani pasien gangguan psikotik fase awal, 9
namun terdapat persamaan yaitu melihat dari sudut pandang caregiver dalam melihat perspektif skizofrenia. Penelitian yang akan dilakukan ini lebih memfokuskan pada hubungan antara pengetahuan caregiver mengenai skizofrenia dengan tingkat keteraturan kontrol pada penderita ganggua psikotik fase awal. I.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi penulis Manfaat bagi penulis adalah dapat menambah ilmu dan pengetahuan mengenai hubungan pengetahuan caregiver tentang skizofrenia dengan tingkat keteraturan kontrol bagi pasien psikotik fase awal, serta dapat menyelesaikan persyaratan untuk penulisan akhir. 2. Manfaat bagi dunia akademis Manfaat bagi dunia akademis adalah membuktikan adanya hubungan antara pengetahuan caregiver tentang skizofrenia dengan tingkat keteraturan kontrol pasien psikotik fase awal dan membuka kesempatan bagi peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut mengenai hal terkait. 10
3. Manfaat bagi masyarakat luas Manfaat bagi masyarakat luas adalah masyarakat dapat mengetahui bahwa pengetahuan tentang skizofrenia bagi caregiver yang hidup berdampingan dengan penderita gangguan psikotik fase awal dapat membantu dalam proses penyembuhan khususnya dalam hal keteraturan kontrol. 4. Manfaat bagi Institusi Dinas Kesehatan Manfaat bagi Institusi Dinas Kesehatan adalah agar Institusi Dinas Kesehatan dapat membuat kebijakan, mempromosikan dan memperkenalkan edukasi tentang skizofrenia supaya masyarakat khususnya caregiver yang hidup berdampingan dengan penderita gangguan psikotik fase awal tidak berpandangan buruk terhadap pasien dan dapat memberikan dukungan serta bantuan khususnya dalam metaati proses kontrol. 11