BAB II TRANSFORMASI FOURIER & PENCOCOKAN CITRA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Pencocokan Citra Digital

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Gambar 2.1 Perkembangan Alat Restitusi (Dipokusumo, 2004)

SAMPLING DAN KUANTISASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III PENGOLAHAN DATA

BAB II LANDASAN TEORI

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

BAB II TI JAUA PUSTAKA

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

BAB III PENGOLAHAN DATA

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

3. Analisis Spektral 3.1 Analisis Fourier

Pengolahan citra. Materi 3

BAB II TEORI PENUNJANG

Studi Digital Watermarking Citra Bitmap dalam Mode Warna Hue Saturation Lightness

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II LANDASAN TEORI

(2) dengan adalah komponen normal dari suatu kecepatan partikel yang berhubungan langsung dengan tekanan yang diakibatkan oleh suara dengan persamaan

KOMUNIKASI DATA SUSMINI INDRIANI LESTARININGATI, M.T

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

Jaringan Syaraf Tiruan pada Robot

BAB II LANDASAN TEORI

DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR DAN DISCRETE FOURIER TRANSFORM UNTUK NOISE FILTERING PADA CITRA DIGITAL

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pertemuan 2 Representasi Citra

BAB III PENGOLAHAN DATA

Operasi-operasi Dasar Pengolahan Citra Digital

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA. Kuliah 8 Transformasi Fourier. Indah Susilawati, S.T., M.Eng.

Pertemuan 3 Perbaikan Citra pada Domain Spasial (1) Anny Yuniarti, S.Kom, M.Comp.Sc

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

Distribusi Normal Distribusi normal, disebut pula distribusi Gauss, adalah distribusi probabilitas yang paling banyak digunakan dalam berbagai

BAB II LANDASAN TEORI

Drawing, Viewport, dan Transformasi. Pertemuan - 02

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MENDESAIN KARTU UCAPAN

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

... BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra

BAB 2 LANDASAN TEORI

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

Bab II Teori Dasar. Gambar 2.1 Diagram blok sistem akuisisi data berbasis komputer [2]

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya

s(t) = C (2.39) } (2.42) atau, dengan menempatkan + )(2.44)

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama

(IMAGE ENHANCEMENT) Peningkatan kualitas citra di bagi menjadi dua kategori yaitu :

BAB 2 LANDASAN TEORI

IMPLEMENTASI METODE SPEED UP FEATURES DALAM MENDETEKSI WAJAH

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

1. Sebuah kawat yang panjangnya 10 meter akan dibuat bangun yang berbentuk 3 persegi panjang kongruen seperti pada gambar di bawah.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PENGOLAHAN DATA

BAB 2 LANDASAN TEORI

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP )

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

5. IDENTIFIKASI JENIS TANAMAN. Pendahuluan

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA. Kuliah 7 Transformasi Fourier. Indah Susilawati, S.T., M.Eng.

DERET FOURIER DAN APLIKASINYA DALAM FISIKA

Model Citra (bag. I)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

Deret Fourier untuk Sinyal Periodik

FUNGSI DAN GRAFIK FUNGSI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III PROSEDUR DAN METODOLOGI

MATERI PENGOLAHAN SINYAL :

BAB III PERANCANGAN SISTEM. Pada dewasa sekarang ini sangat banyak terdapat sistem dimana sistem tersebut

REPRESENTASI ISYARAT ISYARAT FOURIER

Pendekatan Statistik Pada Domain Spasial dan Frekuensi untuk Mengetahui Tampilan Citra Yustina Retno Wahyu Utami 1)

BAB II LANDASAN TEORI

Pengolahan Sinyal Digital

Operasi Piksel dan Histogram

BAB II LANDASAN TEORI

1.1 Intensitas. 1.2 Luminansi. 1.3 Lightness. 1.4 Hue. 1.5 Saturasi

BAB II LANDASAN TEORI

Pendahuluan. Dua operasi matematis penting dalam pengolahan citra :

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB III METODE PENELITIAN. studi kepustakaan, pembuatan program dan analisis. Dengan ini penulis berusaha

KULIAH 1 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA PENGANTAR MATRIKS

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK

1. TRANSLASI OPERASI GEOMETRIS 2. ROTASI TRANSLASI 02/04/2016

Gelombang sferis (bola) dan Radiasi suara

BAB 2 DASAR TEORI FFT-IFFT

Watermarking dengan Metode Dekomposisi Nilai Singular pada Citra Digital

BAB III ANALISIS SPEKTRAL PADA RUNTUN WAKTU MODEL ARIMA. Analisis spektral adalah metode yang menggambarkan kecendrungan osilasi

Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

PERBANDINGAN METODE ROBERTS DAN SOBEL DALAM MENDETEKSI TEPI SUATU CITRA DIGITAL. Lia Amelia (1) Rini Marwati (2) ABSTRAK

ANALISIS CONTRAST STRETCHING MENGGUNAKAN ALGORITMA EUCLIDEAN UNTUK MENINGKATKAN KONTRAS PADA CITRA BERWARNA

BAB 2 LANDASAN TEORI. variabel untuk mengestimasi nilainya di masa yang akan datang. Peramalan Merupakan

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA. Kuliah 4 Pengolahan Titik (2) Indah Susilawati, S.T., M.Eng.

Transkripsi:

BAB II TRANSFORMASI FOURIER & PENCOCOKAN CITRA 2.1. Transformasi Fourier Transformasi fourier adalah hubungan matematik antara representasi sinyal dalam domain waktu dengan representasi sinyal dalam domain frekwensi, hubungan tersebut secara matematis bisa merubah hasil suatu domain ke dalam domain lain [Smith,1999]. Secara matematik transformasi fourier merupakan sejumlah eksponensial kompleks dari berbagai magnitudo,frekwensi, dan phase. [Image Processing Toolbox User's Guide, The MathWork,Inc.1984-2004]. 2.1.1. Amplitudo,Phase, dan Frekwensi Terdapat bermacam teknik mepresentasikan sebuah fenomena. Teknikteknik tersebut dipakai untuk mempermudah dalam penyampaian informasi kepada pengguna di bidangnya. Dalam bidang ekonomi misalnya ada teknik grafik dan tabel yang menjelaskan suatu perubahan temporal mengenai keuangan. Dalam bidang fisika suatu pergerakkan yang berulang kali (gerak periodik) biasanya dipresentasikan dalam bentuk grafik gelombang. Gelombang sendiri menggambarkan suatu siklus pergerakkan. Di dalam siklus tersebut terdapat komponen-kompenen yang membentuk gelombang yaitu amplitudo, sudut phase, dan frekwensi. Amplitudo merupakan besar perpindahan maksimum dari titik kesetimbangan (yaitu nilai maksimum dari garis x pada gambar 2.1.) dan harganya selalu positif [Young & Freedman,2002]. Sudut phase yang memberitahu pada titik apa dalam siklus,gerak berada pada t = 0 [Young & Freedman,2002]. Sedangkan frekwensi adalah banyaknya siklus pada satu satuan waktu [Young & Freedman,2002]. 90 o 180 o 270 o Gambar 2.1. Phase dan amplitudo yang membentuk gelombang sinus. II-1

Gambar 2.1. di atas memberi gambaran tentang phase dan amplitudo dari perputaran sebuah lingkaran (siklus) yang membentuk gelombang sinus dengan persamaan y = A sin (x), dimana x adalah ωt + φ. Pada gambar di atas garis A adalah amplitudo sedangkan simbol φ adalah sudut phase. Gambar 2.2. Tiga sudut fase yang berbeda (0,π/4, π/2) tetapi memiliki frekwensi dan amplitudo yang sama. T adalah perioda yaitu komponen gelombang yang merepresentasikan waktu dalam satuan detik pada suatu siklus. Perioda merupakan kebalikan dari frekwensi yang seperti telah disebutkan diatas merupakan jumlah siklus pada suatu waktu. Dari gambar 2.2. terlihat bahwa satu siklus perputaran lingkaran dari 0 sampai 2π dimulai dari waktu pada saat t=0 sampai t=t. Dengan demikian siklus pada gambar 3 memiliki satu frekwensi. 2.1.2. Sinyal & Spektrum Sinyal adalah deskripsi bagaimana satu parameter merubah parameter lainnya [Smith,1999]. Parameter tersebut merupakan sekumpulan informasi yang ditimbulkan oleh suatu fenomena dan bisa diperlakukan sebagai data. Untuk menemukan informasi apa saja yang terkandung dalam sinyal tersebut biasanya para ahli menggambarkan spectrum sinyal itu sendiri. Spektrum adalah plot 2D untuk menggambarkan distribusi frekwensi dari power yang terkandung di dalam sinyal berdasarkan serangkaian data tertentu [Smith,1999]. Contoh sederhana distribusi frekwensi y=sin(x) II-2

(a) (b) Gambar 2.3. (a) adalah sinyal y = sin(x), (b) Spektrum sin (x). Jadi distribusi frekwensi menggambarkan penyebaran power pada saat tertentu. Untuk melihat lebih jauh hubungan sinyal dengan spektrum diambil contoh dua sinyal sinus dengan kosinus y 1 =sin(x) dan y 2 =cos(x) plotingnya di bawah ini: Gambar 2.4. sin (x) dan cos (x) II-3

untuk mencari spektrumnya digunakan penjumlahan kedua sinyal diatas dengan plotingnya sebagai berikut: Gambar 2.5. Spektrum penjumlahan sin(x) dan cos(x) Terdapat beberapa fungsi spesial dengan spektrum spesial. Impuls Dirac adalah sebuah sinyal yang nol di mana-mana, kecuali di pusat sumbunya yang tak terbatas. Hal ini sangat ideal untuk fungsi kontinyu [Vandevenne,2007]. Untuk suatu fungsi diskrit pada komputer impuls Dirac bisa ditampilkan sama dengan puncak tunggal dengan tinggi terhingga pada garis sumbu. Gambar 2.6. Impuls Dirac[Vandevenne,2007]. Sama halnya pada puncak suara dalam suatu sinyal audio yang memiliki semua frekwensi. Karenanya spektrum terlihat seperti ini (garis horizontal hitam) : Gambar 2.7. Spektrum Impuls Dirac [Vandevenne,2007]. Spektrum bernilai positif di mana-mana, jadi tiap frekwensi terkandung dalam sinyal. Hal ini berarti juga bahwa untuk mendapatkan suatu sejumlah puncak fungsi sinus, maka perlu ditambahkan secara tak terhingga fungsi sinus dasar dengan semua amplitudo yang sama dan digeser dengan phase tertentu. Maka puncak tersebut akan saling menghilangkan, kecuali pada pusat sumbu karena merupakan puncaknya. Dualitas diatas merupakan salah satu sifat transformasi fourier. Spesial sinyal lainnya adalah fungsi sinc(x); sinc(x) = sin(x)/x : II-4

Gambar 2.8. sinc(x) Gambar 2.9. Magnitudo dan phase sinc(x) Spektrum fungsi di atas adalah rectangular. Gambar 2.10. Spektrum sinc(x) [Vandevenne,2007]. Karena dualitas antara sinyal dan spektrumnya maka sinyal waktu rectangular akan memiliki fungsi sinc (x) sebagai spektrumnya. II-5

2.1.3. Sifat-Sifat Transformasi Fourier Suatu sinyal sering ditulis dengan huruf kecil dan transformasi fourier atau spektrumnya dengan huruf besar. Hubungan antara sinyal dan spektrumnya sering dituliskan dengan f(x) <--> F(w), dengan sinyal di sisi kiri dan spektrumnya di sisi kanan. Transformasi fourier memiliki beberapa sifat yang bisa menjelaskan kenapa spektrum dari sinyal tertentu punya bentuk tertentu [Vandevenne,2007], yaitu: 1. Linearity Jika fungsi f(x) dan g(x) memiliki transformasi fourier dan dengan dan konsatantanya, maka fungsi transformasi fourier adalah. (2.1) Sifat linearitas bisa diperluas pada kondisi dalam suatu penjumlahan, sebagai contoh jika f k (x) memiliki transformasi fourier dan adalah konstanta lalu memiliki transformasi fourier (2.2) (2.3) Artinya jika ada penambahan/pengurangan dua sinyal maka spektrumnya ditambahkan/dikurangkan juga dan jika amplitudo sinyalnya dinaikkan/diturunkan maka spektrumnya pun dinaikkan/diturunkan. II-6

Gambar 2.11. Jika sin(x) ditambah cos (x) amplitudo spectrum menjadi bertambah. Pada gambar terlihat ketika fungsi sin (x) ditambah cos (x) maka amplitudo maksimal dari asalnya satu pada saat sebelum penjumlahan menjadi sepuluh pada spectrum setelah penjumlahan. 2. Scaling Jika f(x) memilki transformasi fourier maka fungsi f(ax) untuk memilki transformasi fourier subtitusi t = ax. Maka didapatkan (2.4) (2.5) Artinya jika dibuat fungsi yang lebih lebar dalam arah x maka spektrumnya akan menjadi lebih kecil dalam arah x dan ampiltudonya pun akan berubah. II-7

Gambar 2.12. Spektrum menjadi kecil jika sinyal dibuat lebih lebar. 3. Frequency Shift Jika f(x) memilki transformasi fourier memiliki transformasi fourier. lalu fungsi (2.6) Sifat ini mengindikasikan bahwa perkalian dengan menggeser spektrum f(x) sehingga membuatnya memusat di titik dalam domain frekwensi. ω=ω 0 ω 0 ω=ω 0 Gambar 2.13. Contoh hasil pergeseran spectrum. Sebagai contoh f(x) memiliki spectrum. Ditentukan spectrum frekwensi dari sinyal.dengan formula Euler maka pergeseran akan didapatkan. Menggunakan sifat linearitas dan II-8

(2.7) 4. Duality or Symmetry jika f(x) <--> F(w) (2.8) maka F(x) <--> f(-w) (2.9) misalnya karena factor ini spektrum rectangular adalah fungsi sin dan pada saat yang sama spektrum fungsi sin adalah spectrum rectangular juga. Gambar 2.14. Contoh dualitas 5. Time-differentiation Jika f(x) memilki transformasi fourier lalu turunannya memiliki transformasi fourier. diberikan differensiasi yang berhubungan dengan x (2.10) (2.11) jika x n kali maka memilki transformasi fourier. Artinya hasil differensiasi dalam domain waktu adalah perkalian aljebra dalam domain frekwensi. 6. Symmetry Rules Transformasi fourier sinyal real dan genap adalah real dan genap juga (misal terjadi simetrikal sinyal maka yang dicerminkan adalah sekitar sumbu y) Transformasi fourier sinyal real dan ganjil adalah real dan ganjil juga (ganjil mengartikan ketidaksimetrisan, dicerminkan disekitar titik pusat sumbu) II-9

Please purchase PDFcamp Printer on http://www.verypdf.com/ to remove this watermark. BAB II TRANSFORMASI FOURIER & PENCOCOKAN CITRA Transformasi fourier sinyal real memiliki bagian real genap dan bagian imajiner ganjil serta amplitudo yang selalu simetris. Transformasi fourier sinyal imajiner murni adalah simetris, tapi transformasi fourier sinyal kompleks tidak selalu simetris. 7. Convolution Konvolusi dua fungsi kontinyu u(x) dan v(x) yang diartikan, didefinisikan sebagai (2.12) Jika dan diartikan transformasi fourier sebagai u(x) dan v(x) maka dan Transformasi fourier pada konvolusi akan menjadi (2.13) Dengan merubah variable adalah maka transformasi bisa diungkapkan sebagai (2.14) Konsekuensinya adalah transformasi fourier pada konvolusi adalah produk dari transformasi Seperti dijelaskan sebelumnya untuk mencari spektrum salah satu metodenya adalah dengan mengkonvolusikannya secara sederhana dan terbatas hingga rentang tertentu. Konvolusi dalam transformasi fourier adalah penjumlahan dari perkalian sinus dengan kosinus [Boas,1983]: n f(x)= ao + i =1 n ai sin(ix) + bi cos (ix) (2.15) i =1 dimana f(x) adalah amplitudo II-10

Gambar 2.15. Contoh hasil konvolusi. 2.1.4. Discrete Fourier Transform Salah satu sifat transformasi fourier dan inversenya adalah sinyal diskrit yang periodik. Ketika digunakan pada komputer baik sinyal maupun spektrum harus dalam bentuk diskrit dan keduanya akan periodik. Tapi dengan hanya memakai satu period kita bisa mendapatkan sinyal terhingga. Jadi ketika memakai Discrete Fourier Transform (DFT) sinyal atau gambar pada komputer secara matematis mengatakan bahwa sinyal diulang secara tak hingga atau gambar di tile kan secara tak hingga pula dan juga spektrumnya. Properti yang baik adalah sinyal dan spektrum akan memiliki jumlah titik-titik diskrit yang sama, jadi gambar DFT 128x128 piksel akan juga memiliki 128x128 piksel. Ketika sinyal terhingga dalam waktu, batasan tak hingga integral bisa digantikan oleh yang terhingga dan symbol integral bisa diganti oleh simbol jumlah (Σ). Jadi DFT didefinisikan [Vandevenne,2007]sebagai: N 1 2Π ink / N F n = f ke (2.18) k = 0 dan inversenya : 1 1 N 2Π ikn / N f k = Fne (2.19) N n= 0 Terdapat bermacam definisi DFT, sebagai contoh pembagian dengan N didepan DFT kebalikan inversenya atau dibagi dengan akar (N) di keduanya. Untuk memplot di komputer hasil terbaik didapatkan dengan membagi dengan N di depan DFT. II-11

Gambar 2.16. Terminologi DFT. Pada domain waktu, x[] mengandung N angka dari 0 hingga N-1. Dalam domain frekwensi, DFT memproduksi dua sinyal, bagian real (Re X[]) dan bagian imajiner (Im X[]). Tiap sinyal domain frekwensi ini adalah angka sepanjang N/2+1 dari 0 hingga N/2. Forward DFT adalah transformasi dari domain waktu ke domain frekwensi dengan rumus (2.18). Sementara Inverse DFT adalah transformasi dari domain frekwensi ke domain waktu. 2.1.5. Fast Fourier Transform Dalam notasi kompleks, masing-masing domain waktu dan frekwensi berisi satu sinyal yang membuat N kompleks titik. Tiap kompleks titik ini dibuat oleh dua angka, bagian real dan bagian imajiner. FFT beroperasi dengan mendekomposisikan suatu N titik sinyal domain waktu kedalam N sinyal domain waktu yang masing-masing dikomposisi oleh suatu titik tunggal. II-12

Gambar 2.17. Contoh dekomposisi domain waktu yang digunakan dalam FFT [Smith,1999]. Pada contoh diatas, 16 titik sinyal didekomposisi menjadi empat tahap terpisah. Tahap pertama memecah 16 titik sinyal kedalam dua sinyal yang masing-masing berisi 8 titik. Tahap kedua medekomposisi data menjadi empat sinyal masing-masing 4 titik. Pola ini berlanjut hingga N sinyal terkomposisi oleh sebuah titik tunggal. Jalinan dekomposisi digunakan saat setiap sinyal terpecah menjadi dua, oleh karena itu sinyal terpisah kedalam masing-masing angka sampel ganjil dan genap. Dalam dekomposisi dibutuhkan tahapan log 2 N sebagai contoh 16 titik sinyal (2 4 ) membutuhkan 4 tahap, 512 titik sinyal (2 7 ) membutuhkan 7 tahap, 4096 titik sinyal (2 12 ) membutuhkan 12 tahap, dan seterusnya. II-13

Gambar 2.18. Pemilahan pembalik bit FFT. [Smith,1999] Dekomposisi tidak lebih dari reordering sampel dalam sinyal [Smith,1999]. Gambar 2.18 menunjukkan pengaturan ulang pola yang dibutuhkan. Sisi sebelah kiri angka sampel dari sinyal asli yang disusun menurut derajat binernya. Ide yang paling penting adalah pembalikkan angka-angka biner satu dengan lainnya. Contohnya sampel 3 (0011) dirubah dengan angka sampel 12 (1100). Dekomposisi domain waktu FFT biasanya diselesaikan dengan algoritma pemilahan pembalik bit. Algoritma tersebut melibatkan pengaturan ulang perintah N kali domain sampel dengan menghitung biner yang bit nya terbalik kiri atau kanan. Langkah berikutnya dalam algoritma FFT adalah mendefiniskan frekwensi spectra pada satu titik sinyal waktu. Frekwensi spectrum satu titik sinyal adalah sama dengan nilai frekwensi itu sendiri. Artinya tahap ini tidak dipakai. Meskipun tidak dilibatkan, tiap 1 titik sinyal sekarang menjadi sebuah frekwensi spectrum dan bukan suatu sinyal domain waktu lagi. Langkah terakhir dalam FFT adalah mengkombinasikan N frekwensi spectra dalam perintah akurat pembalik dimana domain waktu berada. Dalam tahap ini algoritma menjadi berantakan. Sayangnya, shortcut pembalik bit tidak aplikatif dan harus kembali ke tahap awal. Dalam tahap awal, 16 frekwensi spectra (masing-masing 1 titik) disintesis ke dalam 8 frekwensi spectra (tiap 2 titik). Dalam tahap kedua, 8 frekwensi spectra (tiap 2 titik) disintesis ke dalam 4 frekwensi spectra (tiap 4 titik) dan begitu seterusnya. Tahap terakhir FFT menghasilkan output 16 titik frekwensi spectrum. II-14

Gambar 2.19. Sintesis FFT. [Smith,1999] Gambar 2.19 menunjukkan bagaimana dua frekwensi spectra (masingmasing dikomposisikan 4 titik) dikombinasikan ke dalam frekwensi spectrum tunggal 8 titik. Dalam kata lain operasi domain frekwensi harus mengacu pada prosedur domain waktu dalam mengkombinasikan dua sinyal yang berisi 4 titik. Dua sinyal domain waktu abcd dan efgh. 8 titik sinyal domain waktu bisa dibentuk dengan dua tahap: dilute tiap 4 titik sinyal dengan nol supaya menjadi 8 titik sinyal lalu tambahkan tiap sinyal bersama-sama. abcd menjadi a0b0c0d0 dan efgh menjadi 0e0f0g0h. Tambahkan dua sinyal 8 titik, hasilnya adalah aebfcgdh. Yang diperlihatkan gambar, diluting domain waktu dengan nol mengacu pada duplikasi frekwensi spectrum. Oleh karena itu frekwensi spktra dikombinasikan dalam FFT dengan menduplikasikannya lalu menambahkan spectra terduplikasi tersebut bersama-sama. Satu dari sinyal domain waktu (0e0f0g0h dalam gambar ) digeser ke kanan oleh satu sampel. Pergesran domain waktu ini mengacu pada perkalian spectrum oleh suatu sinusoid. II-15

Gambar 2.20. Diagram alir sintesis FFT. [Smith,1999] Gambar 2.20 menunjukkan diagram alir untuk mengkombinasikan dua spectra 4 titik ke dalam spectrum tunggal 8 titik. Gambar 2.20 dibentuk dari pola dasar dalam gambar 2.21 yang diulang terus menerus. Gambar 2.21. FFT butterfly. [Smith,1999] Butterfly adalah sebutan untuk diagram alir sederhana. Butterfly adalah elemen dasar dari komputasi FFT yang mentransformasikan dua titik komplks ke dalam titik kompleks lainnya. [Smith,1999] II-16

Gambar 2.22. Diagram struktur seluruh operasi FFT. [Smith,1999] 2.2. Deskripsi Citra Citra adalah representasi segala pictorial tanpa memperhatikan alat atau gelombang elektromagnetik inderaja yang dipakai untuk mendeteksi dan merekam enerji elektromagnetik. Sedangkan foto mengacu secara khusus kepada citra yang mendeteksi dan merekam pada film fotografi ataupun dalam bentuk dijital (foto dijital). Berdasarkan definisi diatas maka dapat dikatakan bahwa foto adalah citra tetapi bukan berarti semua citra adalah foto [Catatan kuliah Inderaja,Wikantika] Ada beberapa macam foto salah satunya adalah foto udara. Foto udara diambil dari pemotretan suatu objek area menggunakan wahana pesawat terbang dengan kamera khusus. II-17

Gambar 2.23.. Foto hitam-putih diatas diambil pada spektrum cahaya tampak (kiri) dan berwarna (kanan). 2.2.1. Representasi Citra Dijital Citra secara dijital merupakan tampilan dari fungsi (x,y) yang telah didiskritkan koordinat dan kecerahannya [Gonzalez & Woods, 1992]. BV, intensitas, dan koordinat menjadi elemen-elemen yang sangat penting karena dengan elemen-elemen tersebut citra dijital bisa direpresentasikan. a. BV (Brightness Value) Brightness membuat suatu citra menjadi lebih terang atau lebih gelap keseluruhan. Brightness dalam citra dijital disimpan dengan angka-angka biner dalam setiap piksel yang menyusun citra itu sendiri sehingga umum disebut sebagai BV (brightness value).. Piksel satu dengan piksel lainnya terkadang memilki BV yang berbedabeda namun terkadang pula memilliki BV yang sama. Kesamaan dan perbedaan BV pada suatu blok piksel akan merepresentasikan seperti apa bentuk citra itu sendiri. Gambar 2.24. BV contoh citra di atas adalah 0, 70, dan 72. [Image Processing Toolbox User's Guide, The MathWork, Inc. 1984-2004]. b.intensitas Citra Intensitas merupakan sejumlah cahaya hasil refleksi titik pada suatu objek dalam arah viewer yang digandakan oleh beberapa factor konstanta yang bergantung pada parameter sistem pembentukan gambar.[horn,1975] II-18

Gambar 2.25. Ilustrasi bagaimana intensitas terbentuk. [Horn,1975] Cahaya hasil refleksi tersebut dalam sistem dijital direpresentasikan dengan sejumlah rentang angka. Dimulai dengan 0 yang merepresentasikan cahaya sangat gelap atau sering disebut hitam dan diakhiri dengan 1 atau 255 atau 65535 yang merepresentasikan cahaya sangat terang atau putih.[image Processing Toolbox User's Guide, The MathWork, Inc.1984-2004]. Gambar 2.26.Contoh intensitas citra. [Image Processing Toolbox User's Guide, The MathWork,Inc.1984-2004]. c. Koordinat Citra Suatu citra memilki elemen penting yaitu ukuran piksel. Ukuran piksel ini menandakan seberapa luas suatu objek yang diamati. Misalkan suatu citra berukuran 256x256 piksel. Artinya citra tersebut memilki 256 baris piksel dan 256 kolom piksel. Baris dan kolom ini selain merepresentasikan ukuran juga bisa mewakili posisi suatu nilai piksel. Posisi dalam citra menjadi sangat penting karena nilai piksel dianggap sebagai data sehingga keberadaan tiap data harus terdefini dalam suatu sistem tertentu dalam hal ini adalah baris dan kolom piksel. Misalkan suatu objek pada citra berada pada baris 23 dan kolom 34. Karena baris dan kolom piksel pada citra bisa mewakili posisi maka keduanya bisa dianggap sebagai koordinat. II-19

Gambar 2.27. Menunjukkan ukuran citra 256x256 piksel sedangkan posisi objek yang diperbesar dari baris ke 178 sampai ke 187 dan kolom ke 117 sampai ke126. [Image Processing Toolbox User's Guide, The MathWork,Inc.1984-2004]. 2.2.2. Model Warna Tujuan dari pemodelan suatu warna adalah untuk memfasilitasi spesifikasi warna ke dalam beberapa standar. Spesifikasi model warna tersebut merupakan sebuah sistem koordinat 3-D dengan subruang di dalamnya diamana tipa warna di representasikan dengan suatu titik tunggal [Gonzalez & Wood,1992]. Beberapa model warna yang akan berhubungan dengan tugas akhir ini adalah RGB (red,green,blue) dan greyscale. a. RGB (Red Green Blue) Dalam model RGB, tiap warna muncul dalam kompenen spectral utamanya yaitu merah, hijau, biru. Model ini berbasiskan sistem koordinat kartesian. II-20

B Blue 0,0,255 Cyan 0,255,255 Magenta 255,0,255 Black 0,0,0 White 255,255,255 greyscale Green 0,255,0 G Red 255,0,0 Yellow 255,255,0 R Gambar 2.28. Kubus RGB. Garis sepanjang diagonal memiliki nilai abu-abu, dari hitam pada pusat sumbu ke titik putih(255,255,255). [Gonzalez & Wood,1992]. Pada gambar 2.28 nilai RGB berada pada tiga titik sudut. Cyan, magenta, dan kuning pada tiga sudut lainnya. Hitam pada pusat sumbu. Putih pada sudut jauh dari pusat sumbu. Dalam model ini, derajat keabuan (greyscale) berada dari pusat sumbu (hitam) memanjang membentuk garis hingga titik putih, titik-titik warna pada dan di dalam kubus didefinisikan oleh vector dari pusat sumbu koordinat. Secara dijital suatu citra RGB disimpan sebagai baris kolom tiga data array yang terdefinisi sebagai komponen warna merah, hijau, dan biru bagi masing-masing piksel. Warna tiap piksel ditentukan oleh kombinasi intensitas merah,hijau, dan biru yang tersimpan dalam tiap bidang warna piksel pada lokasi piksel terebut. II-21

Gambar 2.29. Ilustrasi nilai piksel citra yang disimpan menjadi matriks RGB. Karena tersimpan dalam tiga data array maka citra dapat ditampilkan kedalam masing-masing kanal warna. Untuk membuat suatu citra yang terpilah kedalam kanal warna merah, hijau, dan biru dilakukan pemisahan array data dimana setiap baris pertama yang terpisah akan menjadi matriks kanal merah, kemudian baris kedua menjadi matriks kanal hijau, dan baris ketiga menjadi matriks kanal biru. Gambar 2.30. Citra dalam bentuk kanal merah, kanal hijau, dan kanal biru serta bentuk aslinya. [Image Processing Toolbox User's Guide, The MathWork,Inc.1984-2004]. b.derajat Keabuan (Greyscale) Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa derajat keabuan (greyscale) dalam koordinat warna 3-D merupakan garis yang merentang dari titik hitam hingga titik putih. Maksudnya bahwa derajat keabuan merupakan nilai warna yang bertingkat dari hitam (gelap) hingga putih (terang). II-22

Gambar 2.31. Derajat keabuan dari gelap hingga terang. 2.2.3 Simpangan Baku Dalam Citra Simpangan baku (σ) dalam ilmu statistic biasanya digunakan untuk melihat sejauh mana distorsi sebaran data dari nilai menengahnya. Gambar 2.32. Simpangan baku (σ) sebagai distorsi dari nilai menengah (µ) [http//salt.uaa.alaska.edu/kath/kti/rf2.html]. Begitu juga dalam citra, simpangan baku berguna untuk melihat distorsi sebaran data nilai piksel dari nilai menengahnya. Jika sebaran nilai piksel semakin menjauh dari nilai menengahnya maka semakin heterogen citra tersebut dan memilki nilai simpangan baku yang besar atau jauh dari nol. Sebaliknya jika sebaran nilai piksel mendekati nilai menengahnya maka antara piksel satu dengan piksel yang lainnya memilki nilai yang hampir sama (mendekati nilai sekelilingnya) sehingga nilai simpangan baku dekat dengan nol besar kemungkinan citra tersebut adalah homogen. Satuan yang dipakai pada penelitian ini adalah persen %. Gambar 2.33. Simpangan baku (σ) dalam sebaran nilai piksel. II-23

2.3. Metode & Teknik Pencocokan Citra Para ahli fotogrametri memanfaatkan metode pencocokan citra dalam fotogrametri dijital untuk mencari titik sekawan yang dapat dilakukan secara otomatis. Pada gambar 2.34 memperlihatkan hubungan titik sekawan yang membentuk geometri epipolar dengan titik di lapangan diwakili titik P. P 1 adalah citra objek P pada foto kiri dan P 2 adalah citra objek P pada foto kanan. C 1 dan C 2 adalah titik pusat eksposur foto kiri dan foto kanan yang bertampalan. Garis P P 1 2 merupakan garis epipolar. Apabila titik P, P 1 dan C 1 serta P,P 2, dan C 2 berada dalam satu garis maka syarat kesebidangan terpenuhi.[ Ilham, F. 2007] Gambar 2.34. Pasangan titik sekawan yang terhubung dalam geometri epipolar. Beberapa metode pencocokan citra adalah area-based matching, Featurebased matching, dan symbolic matching. Hubungan antara setiap metode beserta entitasnya diperlihatkan pada tabel 2.1.berikut: [Schenk,1999] Metode Pencocokan Teknik Perhitungan Entitas Pencocokan Area-based matching Korelasi, kuadrat terkecil Derajat keabuan Feature-based matching Fungsi cost Tepi,daerah Symbolic matching Fungsi cost Keterangan simbol Pada penelitian ini kajian dilakukan dengan metode area-based matching dan teknik perhitungan pencocokan citra korelasi dalam domain frekwensi 2.3.1. Pencocokan Citra Berbasis Area Pada proses pencocokan citra berbasis area terdapat seperangkat bantuan yang dipakai dalam pencarian titik sekawan antara dua citra foto yang II-24

bertampalan. Perangkat tersebut adalah Citra Acuan (CA) yang merupakan area objek yang dipilih pada foto kiri sebagai acuan, Citra Pencarian (CP) yang merupakan area objek yang memiliki area objek paling mirip dengan CA dengan cakupan area lebih luas dari CA dan Sub Citra Pencarian (SCP) yang merupakan jendela berukuran sama dengan CA sebagai alat bantu array pencari lokasi area objek yang paling berkorelasi. Lokasi tersebut dinyatakan pada pusat SCP dalam koordinat lokal foto dalam bentuk baris-kolom. kolom kolom B a r i s CA SCP CP B a r i s Citra Kiri Citra Kanan Gambar 2.35. Konsep pencocokan citra berbasis area [Schenk,1999]. 2.3.2. Teknik Korelasi Salah satu teknik dalam metode pencocokan citra berbasis area adalah dengan mengkorelasikan antara citra acuan dengan citra pencarian. Dari pengkorelasian tersebut dicari nilai koefisien korelasi yang paling maksimum. Dalam teori probabilitas dan statistika, kekuatan hubungan korelasi atau disebut juga koefisien korelasi adalah nilai yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier antara dua peubah acak (random variable) [Sage,1999]. II-25

Gambar 2.36. Rentang koefisien korelasi Salah satu jenis korelasi yang paling populer adalah koefisien korelasi momen-produk Pearson, yang diperoleh dengan membagi kovarians kedua variabel dengan perkalian simpangan bakunya. Meski memiliki nama Pearson, metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Francis Galton. Gambar 2.37. Contoh koefisien korelasi dalam matriks. Korelasi linier antara 1000 pasang pengamatan. Data digambarkan pada bagian kiri bawah dan koefisien korelasinya ditunjukkan pada bagian kanan atas. Setiap titik pengamatan berkorelasi maksimum dengan dirinya sendiri, sebagaimana ditunjukkan pada diagonal (seluruh korelasi = +1). Korelasi? X, Y antara dua peubah acak X dan Y dengan nilai yang diharapkan µ X dan µ Y dan simpangan baku s X dan s Y didefinisikan sebagai: (2.20) Korelasi dapat dihitung bila simpangan baku terbatas dan keduanya tidak sama dengan nol. Dalam pembuktian ketidaksamaan Cauchy-Schwarz, koefisien korelasi tak akan melebihi dari 1 dalam nilai absolut. Korelasi bernilai 1 jika terdapat hubungan linier yang positif, bernilai -1 jika terdapat hubungan linier yang negatif, dan antara -1 dan +1 yang menunjukkan tingkat dependensi linier II-26

antara dua variabel. Semakin dekat dengan -1 atau +1, semakin kuat korelasi antara kedua variabel tersebut. Suatu objek dapat dikatakan cocok dengan objek lainnya jika nilai korelasinya > 0.7 [Wolf.2000]. Jika variabel-variabel tersebut saling bebas, nilai korelasi sama dengan 0. Namun tidak demikian untuk kebalikannya, karena koefisien korelasi hanya mendeteksi ketergantungan linier antara kedua variabel. Misalnya, peubah acak X berdistribusi normal pada interval antara -1 dan +1, dan Y = X 2. Dengan demikian nilai Y ditentukan sepenuhnya oleh X, sehingga X dan Y memiliki dependensi, namun korelasi keduanya sama dengan nol artinya keduanya tidak berkorelasi. Namun dalam kasus tertentu jika X dan Y berditribusi normal bivariat, saling bebas ekuivalen dengan tak berkorelasi. 2.4. Aplikasi Teknik Maximum Correlation Berbasis FFT Pada Pencocokan Citra Suatu citra foto udara bisa diperlakukan sebagai data karena mengandung berbagai informasi dari pemotretan udara. Oleh karena itu citra foto udara bisa dianggap sebagai sinyal. Sinyal biasanya merupakan fungsi dari waktu atau domain spasial. Namun pada kajian tugas akhir ini, sinyal citra foto udara dirubah domainnya dari domain spasial menjadi domain frekwensi menggunakan FFT. Frekwensi disini merepresentasikan power spektrum dari BV (Brightness Value) atau greylevel citra foto udara. Karena pada citra foto udara menggunakan tiga kanal warna yaitu kanal merah, hijau, dan biru maka terlebih dahulu perlu dihitung nilai korelasi maksimum dari nilai power hasil FFT data BV tiap-tiap kanal warna. Hasil yang diperoleh adalah nilai korelasi maksimum kanal merah, hijau dan biru dan posisinya pada koordinat lokal citra foto udara. Rumus hitungan korelasi maksimum dan FFT pada kanal merah, hijau, dan biru N A( k) ch = a ( j) ω j= 1 ch ( j 1)( k 1) N (2.21) N B( k) ch = b ( j) ω (2.22) j= 1 ch ( j 1)( k 1) N II-27

r m n ch = (2.23) ch ch 2 ch ch 2 ()Τϕ A /Φ5 A 20.4688 ()Τϕ B Τφ /Φ5 B0.5775 20.4688 0 0 1 Τφ231.36 0.5775719.6098 0 0 1 335.16 Τµ () 719.6 m n mn ( A ch mn A ch )( B m ch mn n B ch = kanal merah/ kanal hijau/ kanal biru r ch = koefisien korelasi kanal merah/ kanal hijau/ kanal biru a(j) ch = nilai BV citra kiri kanal merah/ kanal hijau/ kanal biru b(j) ch = nilai BV citra kanan kanal merah/ kanal hijau/ kanal biru A(k) ch = nilai power citra kiri kanal merah/ kanal hijau/ kanal biru B(k) ch = nilai power citra kanan kanal merah/ kanal hijau/ kanal biru mn ch A = rata-rata nilai power citra kiri kanal merah/ kanal hijau/ kanal biru ch B = rata-rata nilai power citra kanan kanal merah/ kanal hijau/ kanal biru ch ) N adalah akar tunggal k = baris BV, j = kolom BV m = kolom nilai FFT, n = baris nilai FFT Langkah di atas merupakan langkah pada satu posisi pergerakkan jendela saja. Untuk memperoleh nilai korelasi maksimum pada setiap kanal, SCP harus bergerak menelusuri ruang pada citra pencarian. Kemudian pada setiap pergerakkan jendela SCP dilakukan hitungan FFT dan pengkorelasian untuk mendapat korelasi maksimum. Area yang berkorelasi maksimum menyatakan bahwa pada area tersebut merupakan yang paling cocok dengan area pada citra acuan. Bila ukuran CA (11x11) piksel dan ukuran CP (21x21) piksel., maka jumlah pergerakkan SCP adalah sebanyak (m baris CP - m baris CA) + 1 = (21-11)+1 = 11 gerakkan jenndela ke arah kolom, dan (n kolom CP n kolom CA) + 1 = (21-11)+1 = 11 gerakkan ke arah baris. Jadi jumlah pergerakkan total adalah 121 kali pergeseran. Identitas nilai kecerahan setiap piksel pada CA, SCP, dan CP dapat dilihat pada gambar. II-28

CA a 11 a 21 a 31 a 12 a 22 a 32 a 13 a 23 a 33 SCP b 33 b 43 b 53 b 34 b 44 B 54 b 35 b 45 b 55 CP b 11 b 21 b 31 b 41 b 51 b 12 b 22 b 32 b 42 b 52 b 13 b 23 b 33 b 43 b 53 b 14 b 24 b 34 b 44 b 54 b 15 b 25 b 35 b 45 b 55 Gambar 2.38. Identitas nilai kecerahan yang terlibat dalam gerakan jendela pada proses pencarian lokasi yang paling berkorelasi. CA a 11 a 21 a 31 m a 12 a 22 a 32 a 13 n a 23 a 33 SCP b 33 b 43 b 53 b 34 b 44 b 54 b 35 b 45 b 55 CP b 11 b 21 b 31 b 41 b 51 b 12 b 22 b 32 b 42 b 52 b 13 b 23 b 33 b 43 b 53 b 14 b 24 b 34 b 44 b 54 Gambar 2.39. Identitas posisi pencarian. b 15 b 25 b 35 b 45 b 55 [k,b]=[1,1] b 33 b 43 b 53 b 34 b 44 b 54 b 35 b 45 b 55 [1,1] [2,1] [3,1] k [1,2] [2,2] [3,2] [1,3] [2,3] [3,3] b Gambar 2.40. SCP pada posisi pencarian II-29