2004 Johannes A. Lokollo Posted : 11 December 2004 Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor 2004.

dokumen-dokumen yang mirip
KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

Surface Runoff Flow Kuliah -3

ANALISA PENINGKATAN NILAI CURVE NUMBER TERHADAP DEBIT BANJIR DAERAH ALIRAN SUNGAI PROGO. Maya Amalia 1)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off

DAERAH ALIRAN SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB V ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT SUNGAI

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

dasar maupun limpasan, stabilitas aliran dasar sangat ditentukan oleh kualitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aliran Permukaan 2.2. Proses Terjadinya Aliran Permukaan

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

PENANGANAN KAWASAN BENCANA LONGSOR DAS WAI RUHU. Steanly R.R. Pattiselanno, M.Ruslin Anwar, A.Wahid Hasyim

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

BAB I PENDAHULUAN. penghujan mempunyai curah hujan yang relatif cukup tinggi, dan seringkali

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

REKAYASA HIDROLOGI II

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

SIMULASI PENGARUH SEDIMENTASI DAN KENAIKAN CURAH HUJAN TERHADAP TERJADINYA BENCANA BANJIR. Disusun Oleh: Kelompok 4 Rizka Permatayakti R.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAN KERUSAKAN HUTAN TERHADAP KOEFISIEN PENGALIRAN DAN HIDROGRAF SATUAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model)

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

Limpasan (Run Off) adalah.

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

Bab V Analisa dan Diskusi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

Sungai dan Daerah Aliran Sungai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN WATERSHED MODELLING SYSTEM SUB DAS SADDANG. Sitti Nur Faridah, Totok Prawitosari, Muhammad Khabir

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

MENGUBAH BENCANA MENJADI BERKAH (Studi Kasus Pengendalian dan Pemanfaatan Banjir di Ambon)

Transkripsi:

2004 Johannes A. Lokollo Posted : 11 December 2004 Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor 2004 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng, MF (Penanggung Jawab) Prof Dr Ir Zahrial Coto, MSc Dr Ir Hardjanto, MS KETERKAITAN PENGELOLAAN LAHAN ATAS DAN BAWAH ( Pendekatan Cell Based Modeling Terhadap DAS Kota Ambon ) Oleh : Johannes A. Lokollo, ( C261040131 SPL ) Johannes_al@yahoo.com PENDAHULUAN Latar Belakang Dengan diarahkannya pengembangan Kotamadya Ambon sebagai tempat tinggal penduduk, tempat usaha dan bekerja, pusat pendidikan tinggi, pemerintahan dan perdagangan (BAPPEDA, 1984), telah mengakibatkan pembangunan di kawasan ini mengalami pertumbuhan yang relatif pesat dibandingkan dengan kawasan lain disekitarnya. Pembangunan tersebut disatu sisi membutuhkan ketersediaan sumberdaya alam seperti lahan dan air, sementara itu, disisi lain, kotamadya Ambon yang terletak di Pulau Ambon, adalah merupakan pulau yang relatif kecil dan memiliki ketersediaan sumberdaya lahan yang sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun sebarannya (Dahuri, 1996). Kedua sisi ini tentu saja sering menimbulkan konflik dalam pemanfaatannya, yang berakhir dalam bentuk banyaknya perubahan (konversi) penggunaan lahan. Konversi penggunaan lahan yang ada sangat berkaitan erat dengan kualitas hidrologi. Rona alamiah, yang dicirikan oleh keberadaan hutan dan ragam pepohonan beserta lapisan humus (pelapukan dan jasad renik), menentukan potensi dan keberlanjutan sumberdaya air. Banyaknya konversi lahan yang memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, dan meningkatnya limpasan permukaan (Asdak, 1995). Hingga kini, perubahan atau pergeseran fungsi ruang hidrologi di kawasan kotamadya Ambon terus berlangsung. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap penggunaan lahan yang ada di lima wilayah DAS, tercatat bahwa selama tahun 1980 sampai dengan tahun 1995, pergeseran penggunaan lahan untuk pemukiman terjadi sebesar (+16,45%), tegalan (-2.43%), perkebunan (-0,21%), kebun campur (-7.30%), hutan (-0,12%), dan alang alang (-6.59%) (Lokollo, 2002). Perubahan atau pergeseran yang dimaksud diatas pada gilirannya akan memberikan pengaruh yang cukup berarti terhadap keseimbangan air di setiap satuan unit cell permukaan lahan yang berada 1

dibawahnya. Hipotesa ini diperkuat dengan adanya pengaruh gaya gravitasi bumi yang mengakibatkan kecenderungan terakumulasinya massa air pada satuan unit cell permukaan lahan yang lebih rendah secara hirarkis hingga mencapai wilayah pesisir yang juga merupakan outlet dari sebuah DAS. Tujuan Penulisan Sehubungan dengan permasalahan dan hipotesa sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelum ini, maka pada dasarnya tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjelaskan seberapa besar dan sejauh mana dampak pengaruh perubahan fungsi ruang hidrologi pada lahan atas terhadap lahan dibawahnya berdasarkan pendekatan konsep Cell Based Modeling terhadap Sistem Distribusi Hidrologi pada DAS berukuran Kecil yang umumnya terdapat pada Pulau-Pulau Kecil seperti DAS Kota Ambon, beserta implikasi atau solusi pengelolaannya. DAMPAK PERUBAHAN FUNGSI RUANG HIDROLOGI TERHADAP KESEIMBANGAN AIR Keterkaitan Lahan Atas dan Bawah secara Hidrologis Lahan bawah yang juga merupakan wilayah pesisir dari sebuah pulau kecil sangat dipengaruhi oleh aktifitas perubahan fungsi lahan pada wilayah dibelakangnya atau wilayah diatasnya. Fenomena ini didefinisikan oleh Sugiarto (1976), bahwa wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut dimana kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun yang terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi didarat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia didarat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Sebagai wilayah transisi antara laut dan daratan, pada umumnya wilayah pesisir di Indonesia memiliki karakteristik wilayah yang secara fisik relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah belakangnya atau lahan atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pesisir sangat rentan terhadap bahaya alam terutama banjir yang ditimbulkan oleh proses pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run off), aliran air tanah dan air tawar sebagai respon lahan diatasnya terhadap siklus hidrologi. (Dahuri et.al, 1996) Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Perubahan dari satu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam suatu pengelolaan DAS atau pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, perladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal pertanian, padang rumput atau pemukiman adalah contoh kegiatan yang sering dijumpai pada wilayah yang sedang bertumbuh. Terjadinya perubahan tata guna lahan dan jenis vegetasi dalam skala besar dan bersifat permanen dapat mempengaruhi besar kecilnya air yang dilimpaskan dari setiap satuan unit lahan tersebut dan terakumulasi pada satuan unit lahan yang lebih rendah dibawahnya sebagai akibat adanya pengaruh gravitasi terhadap massa air sehingga cenderung mengalir ketempat yang lebih rendah. 2

Dengan demikian kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air sebagai akibat adanya perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka panjang yang dilakukan diberbagai penjuru dunia menunjukkan bahwa pengaruh tata guna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat terjadi dengan cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982 dalan Asdak, 1995) : (1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang. (2) Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti penggembalaan yang intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan penebangan hutan. Kegiatan-kegiatan tersebut dalam batas tertentu dapat meningkatkan volume dan waktu berlangsungnya air limpasan, dan dengan demikian, memperbesar debit puncak. Kegiatan yang bersifat memacu infiltrasi diharapkan dapat memberikan pengaruh sebaliknya. Berdasarkan karakteristik perubahan tataguna lahan diatas, maka dapat dikatakan bahwa permasalahan paling serius yang berkaitan dengan pembangunan adalah berubahnya laju dan kuantitas limpasan didalam mencapai sungai, sehingga perencanaan dan manajemen penggunaan lahan yang baik, sangat bergantung kepada akuratnya analisis dampak lingkungan hidrologi yang diakibatkan oleh pembangunan itu sendiri terutama jika dilihat dari lokasi terakumulasinya dampak perubahan ruang hidrologi tersebut pada titik titik terendah yang pada umumnya berada pada lahan bawah atau merupakan wilayah pesisir dari suatu pulau kecil. Sebagai salah satu Pulau Kecil, Ambon memiliki perubahan gradien kemiringan lahan yang cenderung sangat besar dari pantai sampai dengan puncak pegunungannya. Hasil deliniasi terhadap DAS dan Jaringan Sungai yang dilakukan dengan pendekatan Cell Based Modeling terhadap sistem distribusi titik tinggi wilayah dengan resolusi 20 x 20 m, menunjukkan akan adanya perubahan ketinggian yang sangat signifikan dari 0 500 m dengan panjang aliran berkisar antara 6-7 km (Gambar 1). Fenomena topografi seperti ini menunjukkan akan adanya potensi bahaya lingkungan beraspek geologi maupun hidrologi berupa tanah longsor sebagai akibat gerakan massa air yang sangat cepat dari lahan yang ada di atas menuju lahan bawah dan berakhir dalam bentuk banjir dan sedimentasi. Gambar 1. Titik Tinggi Wilayah di 5 Kawasan DAS Kota Ambon 3

Kecepatan air ini sangat dipengaruhi oleh kemiringan lahan, kualitas penggunaan lahan yang ada, ditambah dengan tingkat kerapatan DAS yang berkisar antara 3 5 km / km 2, serta kecenderungan muaramuara sungai (DAS Batu Gantung, Batu Gajah, Tomu, Batu Merah, dan Ruhu) yang mengarah pada pusat Kota Ambon, mengindikasikan bahwa wilayah pusat kota Ambon yang berada pada lahan bawah sangat rentan terhadap Bahaya Banjir sebagai akibat terakumulasinya air limpasan dari lahan atas dengan sangat cepat menuju kawasan pedataran rendah yang memiliki kecepatan discharge lebih rendah. Kuantifikasi Dampak Perubahan Fungsi Ruang Hidrologi Salah satu upaya secara kuantitatif yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan teori keterkaitan antara lahan atas dan bawah sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab sebelum ini adalah pendekatan model distribusi hidrologi yang merupakan model kuantifikasi dampak perubahan fungsi ruang hidrologi dari satuan unit lahan terhadap satuan unit lahan disekitarnya sebagai manifestasi dari suatu aktifitas pembangunan terhadap keseimbangan air dan diukur berdasarkan respon unit hidrograf dari setiap unit lahan terhadap curah hujan (rainfall-runoff analysis) yang terjadi pada suatu wilayah (Bedient, 1992). Model distribusi hidrologi ini didasari oleh konsep Cell Based Modeling yang menitikberatkan pada kecenderungan arah gerakan air dari suatu sel untuk mengalir kearah salah satu dari delapan sel disekitarnya (Gambar 2), sebagai akibat dari pengaruh karakteristik permukaan lahan (Keckler, 1994 dan ESRI, 1997), yang ditunjukkan melalui besarnya faktor kehilangan air berdasarkan indeks limpasan atau Curve Number (McQueen, 1982) serta lamanya waktu yang dibutuhkan air limpasan pada setiap satuan luasan lahan untuk mencapai muara DAS atau Time Travel (Julien, 1995) Gambar 2. Analisis arah gerakan air berdasarkan konsep Cell Based Modeling Jika besaran dari setiap sel berupa kecepatan (V) dapat diketahui melalui faktor vegetasi dan kemiringan lahan yaitu dengan memasukan nilai kemiringan lahan (S) dan nilai koefisien penggunaan lahan (a dan b) sesuai dengan formula McQueen (1982), V = a S b, dan jarak dari setiap sel menuju ke outlet DAS atau panjang aliran dapat diketahui, maka waktu perjalanan aliran (t) dari setiap sel menuju ke outlet DAS (Travel Time) dapat ditentukan (Julien, 1995). Selanjutnya dengan mengintervalkan waktu pengaliran dari setiap sel menuju outlet sebesar ( t) unit, maka luasan area yang dibentuk persatuan unit tersebut dapat diklasifikasikan kedalam Zona i, i = 1, 2,., Sehingga luas kumulatif setiap sel yang mengalir menuju outlet DAS dalam waktu tertentu dapat dihitung. Untuk kasus DAS Kota Ambon klasifikasi terhadap travel time (T t ) dari setiap sel yang ada di DAS didasarkan pada interval waktu ( t) sebesar 0.1 jam atau setara dengan 6 menit hingga didapat bagian luasan dari wilayah di DAS (δa t ) yang memiliki kesamaan waktu perjalanan ke outlet (isochrone). Hasil klasifikasi ini ditunjukkan dalam suatu Time Area Diagram (Gambar 3) yang memperlihatkan besarnya 4

wilayah didalam setiap DAS yang terakumulasi untuk setiap interval waktu serta waktu konsentrasi (T c ) dari setiap DAS di Kota Ambon yang cenderung berubah semakin lebih cepat dari tahun 1980 sampai dengan tahun 1995, berkisar antara 0.2 0.6 jam (Lokollo, 2002). Gambar 3. Time Area Diagram di 5 Kawasan DAS Kota Ambon Selanjutnya dengan melakukan pengembangan model fisik arah gerakan air berdasarkan konsep cell based modeling menjadi model matematis didapat persamaan (1) yang merupakan perkiraan besarnya hydrograph (terakumulasinya air limpasan) di muara DAS (titik outlet) sebagai akibat perubahan luas daerah pengaliran per unit waktu dan banyaknya curah hujan per unit waktu (Maidment, 1993). Q n = P A n ij j i= 1 t, (1) dimana P ij = Intensitas curah hujan rata-rata pada setiap satuan luasan ke-i selama interval waktu ke-j A j = Satuan luasan lahan di DAS selama interval waktu ke-j t = Satuan interval waktu n = Jumlah total satuan interval waktu Hasil hydrograph limpasan menunjukkan bahwa debit puncak dari setiap DAS Kota Ambon untuk setiap tahun pengamatan cenderung meningkat. Peningkatan debit puncak ini antara lain disebabkan oleh semakin berkurangnya faktor kehilangan air di setiap DAS seiring dengan bertambah besarnya nilai indeks limpasan (Curve Number) dari waktu kewaktu yang diakibatkan oleh porses konversi lahan. Demikan juga halnya dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai debit puncak dari setiap DAS. Hasil hydrograph 5

limpasan salah satu DAS diatas menunjukkan bahwa waktu terjadinya debit puncak cenderung berubah menjadi lebih singkat untuk setiap tahun pengamatan (Gambar 4). Perubahan ini terjadi seiring dengan bertambah cepatnya waktu aliran dari setiap satuan unit lahan di DAS untuk menuju titik outlet (time travel) yang diakibatkan oleh bertambah besarnya kecepatan aliran permukaan sebagai konsekuensi dari perubahan jenis lahan bervegetasi lebat menjadi lahan bervegetasi relatif gundul dalam rangka memenuhi kebutuhan lahan akan pemukiman dari tahun ke tahun (kode 520). Bertambah singkatnya waktu debit puncak ini berakibat terhadap bertambah cepatnya waktu terakumulasinya aliran limpasan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap naiknya debit puncak itu sendiri (Lokollo, 2002). 30,000 (C) RUN-OFF HYDROGRAPH DAS - 3 (TOMU) 0 3,500,000 Pergeseran Lahan DAS 3 (Tomu) 25,000 2 3,000,000 1980 1985 20,000 Rainfall 4 2,500,000 1990 1995 run-off (m3/jam) 15,000 10,000 Direct RO 1995 Run-Off 1995 Direct RO 1980 Run-Off 1980 6 8 rain-fall (mm/jam) Luas Lahan (m2) 2,000,000 1,500,000 1,000,000 5,000 10 500,000 0 12 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 waktu (jam) 0 520 530 540 550 560 570 Kede Penggunaan Lahan Gambar 4. Hydrohraph Limpasan DAS Tomu Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konversi lahan yang terjadi memiliki dampak terhadap proses percepatan waktu terjadinya debit puncak selain berdampak terhadap bertambah besarnya debit puncak (sebagai akibat dari bertambah besarnya Curve Number + akumulasi aliran dalam waktu yang lebih singkat). Dampak percepatan dan bertambah besarnya debit puncak ini selain berakibat terhadap bertambah cepatnya kejadian banjir di wilayah pesisir, peningkatan percepatan limpasan air juga telah menyebabkan bertambah besarnya proses erosi pada lahan atas dan berakhir dalam bentuk sedimentasi di wilayah pesisir kotamadya Ambon. IMPLIKASI KONSEP CELL BASED MODELLING DALAM PENATAAN RUANG HIDROLOGI Kondisi Hidrologis Wilayah Karena penggunaan lahan berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya faktor nilai Curve Number (CN) dan faktor kecepatan aliran permukaan (V) persatuan unit cell lahan, dimana kedua faktor ini selanjutnya berpengaruh pada kepada besarnya hydrograph (keseimbangan air) di wilayah pesisir yang secara kumulatif dihasilkan melalui interaksi sejumlah luasan lahan persatuan unit waktu menuju titik outlet DAS di pantai, maka berdasarkan persamaan regresi berganda kontribusi kedua faktor ini didalam menentukan kondisi hidrologis wilayah diformulasikan sebagai berikut : Y = 0.736833 * (CN) + 2.6316 * (V) - 19.998 (2) 6

Dengan mengklasifikasikan nilai Y kedalam empat kelas tingkat kekritisan yaitu Kritis, Agak Kritis, Normal, dan Baik, maka didapat sebaran tingkat kekritisan wilayah. Sebaran tingkat kekritisan wilayah penelitian tahun 1995 menunjukkan bahwa pada kelima DAS terdapat wilayah dengan kondisi hidrologis baik sebesar 18.33%, kondisi hidrologis normal 50.20%, kondisi hidrologis agak kritis 26.64%, dan kondisi hidrologis yang kritis 4.83%. Dengan demikian jelaslah bahwa menjaga keseimbangan air pada prinsipnya merupakan upaya mempertahankan nilai koefisien limpasan (C) yang merupakan fungsi dari indeks limpasan serta lamanya waktu yang dibutuhkan air limpasan pada setiap satuan luasan lahan untuk mencapai muara DAS, sesuai dengan daya dukung alaminya. Untuk dapat menjaga nilai (C) dimaksud, maka beberapa alternatif arahan pengelolaan sumberdaya air yang dapat dipergunakan sesuai dengan sifat dan kondisi hidrologis wilayah antara lain adalah ; Penataan Ruang Hidrologi, Konservasi Tanah, Realisasi Imbuhan Buatan, dan Pengendalian Banjir melalui perbaikan alur sungai dan pembendungan terutama untuk mengurangi dampak kekurangan air akibat kekeringan. PENUTUP Kesimpulan (1) Berdasarkan pendekatan konsep cell based modeling terhadap sistem distribusi hidrologi DAS pada pulau Ambon, terbukti bahwa secara kuantitatif perubahan fungsi lahan atas berpengaruh secara signifikan terhadap lahan dibagian bawahnya yang ditunjukkan melalui berubahnya keseimbangan air di muara DAS pada wilayah bawah (pesisir) sebagai akibat konversi lahan di wilayah atasnya yang bervegetasi lebat menjadi gundul (cenderung kedap air). (2) Secara fungsional hubungan antara lahan atas dan bawah mengacu pada tahapan berikut ini : Landuse Conversion Travel Time Time Area Hydrograph (3) Konsep Cell Based Modeling dapat dipergunakan untuk menentukan besarnya kondisi hidrologis suatu wilayah yang menggambarkan distribusi tingkat kerentanan wilayah lahan atas didalam menghasilkan potensi dampak terhadap wilayah dibawahnya dan dapat dipergunakan sebagai salah satu opsi pembatas dalam pembangunan wilayah khususnya untuk pulau kecil. DAFTAR PUSTAKA BAPPEDA, 1984. Rencana Induk Kotamadya Ambon, Pemerintah kotamadya Tingkat II Ambon. (DPU) Departemen Pekerjaan Umum Propinsi Maluku, 1997. Data Meteorologi dan Hidrologi Kawasan Kotamadya Ambon. Asdak, C. 1995, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 7

Bedient, P.B, Huber, W.C. 1992, Hydrology and Floodplain Analysis, second edition, Addison-Wesley Publishing Company, NY Dahuri, R, Rais, J, Ginting, S.P, Sitepu, M.J. 1996, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. ESRI, 1997, Cell based modelling with Grid, supplement hydrologic and distance modelling tools. Environmental System Research Institute, Redlands, CA. Julien, P.Y, Saghafian, B. 1995. Time to equilibrium for spatially variable watersheds, Journal of Hydrology Keckler D. 1994. Surfer for Windows User s Guide, Countoring and 3D Surface Mapping, Golden Software, Inc. Colorado, USA. Lokollo J.A. 2002, Analisis Pengaruh Perubahan Fungsi Ruang Hidrologi Terhadap Keseimbangan Air ; Studi Kasus Kawasan Kotamadya Ambon, Provinsi Maluku (Tesis), Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Maidment, D.R. 1993. Developing a spatially distributed unit hydrograph by using GIS, Application of Geographic Information Systems in Hydrology and Water Resources Management, IAHS publ. No 211, Netherlands. McQueen, R.H, 1982. A guide to hydrologic analysis using SCS methods. Prentice Hall, Englewood-Cliffs, NJ. 8