BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Dasar teori Definisi Jalan


BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah - daerah yang mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

Gambar 3.1. Diagram Nilai PCI

Saiful Anwar Kurniawan NIM. I

PETUNJUK TERTIB PEMANFAATAN JALAN NO. 004/T/BNKT/1990

BAB III LANDASAN TEORI. Tabel 3.1 Jenis Kerusakan pada Perkerasan Jalan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Perlintasan Sebidang

LUQMAN DWI PAMUNGKAS NIM. I

BAB III LANDASAN TEORI. digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement Condition Index

JENIS KERUSAKAN JALAN PADA PERKERASAN LENTUR LOKASI CIRI CIRI PENYEBAB AKIBAT CARA PENANGANAN

BAB III LANDASAN TEORI. A. Parameter Desain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS AKHIR. Disusun Oleh : HIMANTORO MILUDA NIM. I

BAB II PERKERASAN JALAN RAYA

BAB II PERKERASAN JALAN RAYA. Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. A. Tahap Penelitian. Tahapan analisis data dijelaskan dalam bagan alir seperti Gambar 4.1. Start.

STUDI PENANGANAN JALAN BERDASARKAN TINGKAT KERUSAKAN PERKERASAN JALAN (STUDI KASUS: JALAN KUALA DUA KABUPATEN KUBU RAYA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tabel Tingkat Kerusakan Struktur Perkerasan Lentur

BAB IV METODE PENELITIAN. Mulai. Studi Pustaka. Metode Penelitian. Persiapan. Pengambilan Data

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.2 Dasar Teori Oglesby, C.H Hicks, R.G

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Provinsi Banten ini nantinya akan berubah status dari Jalan Kolektor

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Bagan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tahap-tahap penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 4.1.

TEKNIKA VOL.3 NO.2 OKTOBER_2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI KERUSAKAN JALAN STUDI KASUS (JALAN DR WAHIDIN KEBON AGUNG) SLEMAN, DIY

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki.(

TUGAS AKHIR. Oleh: IKA NOVIYANTI I PROGRAM DIPLOMA III JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Tahap Penelitian. Tahapan penelitian dijelaskan dalam bagan alir pada Gambar 4.1. Mulai. Studi Pustaka.

Menetapkan Tebal Lapis Perkerasan

BAB II RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA. umur rencana. Kerusakan pada perkerasan dapat dilihat dari kegagalan fungsional dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS PERKERASAN JALAN DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN RUAS JALAN MAGELANG KM 10-12

Setelah Manusia Mengenal Hewan Sebagai Alat Angkut.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

DENY MIFTAKUL A. J NIM. I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

EVALUASI KERUSAKAN RUAS JALAN PULAU INDAH, KELAPA LIMA, KUPANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR KONSTRUKSI JALAN RAYA. 1. Nama Proyek : Pembangunan Jalan Spine Road III Bukit Sentul

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. A. Tahapan Penelitian

BAB III LANDASAN TEORI. A. Kondisi Eksisting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

melintang atau memanjang dan disebabkan oleh pergerakan plat beton dibawahnya) Kerusakan alur/bahu turun (lane / shoulder drop-off)...

PENILAIAN KONDISI PERKERASAN PADA JALAN S.M. AMIN KOTA PEKANBARU DENGAN PERBANDINGAN METODE BINA MARGA DAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI)

BAB III METODA PERENCANAAN

1. PENDAHULUAN. Jalan memiliki syarat umum yaitu dari segi konstruksi harus kuat, awet dan kedap. Supardi 1)

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Matakuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh: NIM NIM.

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Bagan Alir Penelitian. Mulai. Identifikasi Masalah. Studi pustaka. Metode penelitian. Orientasi lapangan.

BAB III LANDASAN TEORI

TUGAS AKHIR. Disusun Oleh : SUTARI SETYOWATI I

ANALISIS TEBAL PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN SKBI 1987 BINA MARGA DAN METODE AASHTO

DIVISI 4 PELEBARAN PERKERASAN DAN BAHU JALAN SEKSI 4.1 PELEBARAN PERKERASAN

tidaklah cukup kuat untuk menahannya,untuk itu perlu lapis tambahan yang

Agus Surandono 1) Rivan Rinaldi 2)

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Tol Pandaan-Malang dengan Jenis Perkerasan Lentur

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN Tahapan Perencanaan Teknik Jalan

IDENTIFIKASI JENIS KERUSAKAN JALAN (Studi Kasus Ruas Jalan Kedungmundu-Meteseh)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian B. Rumusan Masalah

DAFTAR ISI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian Pustaka Ulasan Pustaka Terhadap Penelitian Ini Ringkasan Penelitian Lain...

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi. Aktifitas masyarakat seiring dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat

FASILITAS PEJALAN KAKI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PEDOMAN. Perencanaan Trotoar. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 1-27

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang

BAB II1 METODOLOGI. Berikut ini adalah bagan alir (Flow Chart) proses perencanaan lapis

PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN TUBAN BULU KM KM JAWA TIMUR DENGAN PERKERASAN LENTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Digunakan untuk kendaraan bermotor. Digunakan untuk publik. Dibiayai oleh badan publik

BAB V VERIFIKASI PROGRAM

BAB III LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dasar Teori 2.1.1 Definisi Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006) Jalan raya adalah jalur-jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran-ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat..(clarkson H. Oglesby.1999) Ruas Jalan Gatot Subroto, Desa Jeruk, Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen merupakan jalur alternatif menuju Kabupaten Salatiga dan sebaliknya, sehingga frekuensi kendaraan cukup tinggi maka dari itu perlu adanya pemeliharaan dan peningkatan jalan guna menghasilkan kualitas jalan yang jauh lebih baik bagi pengguna jalan agar tercipta keamanan, kenyamanan dan kelancaran dalam berlalu lintas. 5

6 2.1.2 Klasifikasi Jalan 2.1.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Jalan a. Jalan Arteri Jalan arteri adalah jalan umum yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. b. Jalan Kolektor Jalan kolektor adalah jalan umum yang melayani angkutan pengumpul/ pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata- rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. c. Jalan Lokal Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. d. Jalan Lingkungan Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah. 2.1.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Peranan Jalan a. Sistem Jaringan Jalan Primer Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan palayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan menghubungkan semua simpul jasa yang berwujud pusat-pusat kegiatan (UU No.38 Tahun 2004).

7 1) Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua yang berada di bawah pengaruhnya. 2) Jalan kolektor primer adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua yang lainnya atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang berada di bawah pengaruhnya. 3) Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil, serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota yang berada di bawah pengaruhnya sampai persil. b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di wilayah perkotaan (UU No.38 Tahun 2004). 1) Jalan arteri sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. 2) Jalan kolektor sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan sekunder kedua yang satu dengan yang lainnya atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder ketiga. 3) Jalan lokal sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan- kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

8 2.1.2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas dan dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Klasifikasi menurut kelas jalan Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat (MST) Ton Arteri Kolektor I > 10 II 10 IIIA 8 IIIA IIIB 8 Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/1997 2.1.2.4 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam tabel 2.2. berikut:

9 Tabel 2.2 Klasifikasi menurut medan jalan No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%) 1 Medan D <3 2 Perbukitan B 3 25 3 Pegunungan G >25 Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/1997 2.1.2.5 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan Jalan Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaan jalan sesuai PP No. 26/1985 adalah: a. Jalan Nasional Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan jalan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol. b. Jalan Propinsi Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. c. Jalan Kabupaten/Kotamadya Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.

10 d. Jalan Desa Merupakan jalan umum yang mempunyai fungsi hampir sama dengan jalan lingkungan yaitu menghubungkan kawasan antar permukiman di dalam desa atau dengan kata lain melayani perjalanan dalam jarak dekat. e. Jalan Khusus Merupakan jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan hukum/perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing dari instansi tersebut. 2.1.3 Ruang Bebas Jalan Menurut Petunjuk Tertib Pemanfaatan Jalan No. 004/T/BNKT/1990 Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota,Berdasarkan gambar 2.1 ruang bebas jalan dibagi menjadi: Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan 2.1.3.1 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman ruang bebas tertentu yang ditetapkan oleh Pembina Jalan dan diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, pemisahan jalur, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman timbunan dan galian gorong-gorong perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya (PP No. 19/2011).

11 Lebar Rumaja ditetapkan oleh Pembina Jalan sesuai dengan keperluannya. Tinggi minimum 5 m dan kedalaman mimimum 1,5 m diukur dari permukaan perkerasan. Tertib pemanfaatan Rumaja adalah: a. Jalur Lalu Lintas Jalur lalu lintas pada dasarnya diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan. Pemanfaatan jalur lalu lintas adalah sebagai berikut: 1) Beban sumbu maksimum yang diizinkan adalah: Sumbu tunggal dengan ban tunggal 4.500 kg. Sumbu tunggal dengan ban dobel 8.000 kg. Sumbu tandem/ganda dengan ban dobel 15.000 kg. Sumbu triple dengan ban dobel 20.000 kg. 2) Kecepatan Kendaraan maksimum yang diizinkan adalah: Pada jalan bebas hambatan 60-120 km/jam. Pada jalan arteri primer 60-80 km/jam. Pada jalan arteri sekunder 40-60 km/jam. Pada jalan kolektor sekunder 30-40 km/jam. Pada jalan lokal primer 20-30 km/jam. Pada jalan sekunder 10-20 km/jam. 3) Pengemudi yang ingin menghentikan kendaraan sementara waktu, harus menempatkan kendaraannya sedemikian rupa tidak menghalangi arus lalu lintas dan tidak pada tempat dimana terdapat tanda larangan berhenti. Sedangkan untuk parkir kendaraan, harus dipilih bagian jalan yang sudah ditetapkan untuk parkir. 4) Pejalan kaki bila hendak menyeberang jalan harus memanfaatkan fasilitas penyerangan (zebra cross, jembatan penyeberangan dan lain-lain).

12 5) Untuk pelayanan transportasi umum (bus kota, bus antar kota atau kendaraan umum lainnya), menaikkan atau menurunkan penumpang harus di tempat-tempat yang sudah disediakan (terminal, tempat pemberhentian sementara atau halte). Sedangkan untuk memberhentikan kendaraan untuk sementara waktu harus memilih lokasi yang disebutkan dalam point (3). 6) Pemanfaatan jalur lalu lintas oleh kendaraan dengan beban sumbu kendaraan melebihi ketentuan yang disebutkan dalam point (1) tidak diperkenankan. 7) Mengendarai kendaraan dengan kecepatan kendaraan yang melebihi ketentuan seperti yang disebutkan dalam point (2) tidak diperkenankan. 8) Kendaraan bermotor roda dua, roda tiga atau kendaraan tidak bermotor harus menggunakan jalur yang sudah disediakan. Dalam hal tidak disediakan jalur khusus, harus menggunakan bagian paling kiri dari jalur lalu lintas. 9) Hal-hal yang berkaitan dengan disiplin dan tata tertib kendaraan, harus mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UU Lalu Lintas Jalan No. 7 Tahun 1951 dan UU Lalu Lintas Jalan No.27 Tahun 1965 tentang lalu lintas dan angkutan. b. Bahu Jalan dan Trotoar 1) Bahu jalan diperuntukkan bagi pejalan kaki, berhenti untuk sementara akibat kondisi tertentu apabila tidak terdapat rambu larangan berhenti dan untuk tempat menghindar bagi kendaraan saat berpapasan. Trotoar diperuntukkan bagi pejalan kaki. 2) Bahu jalan atau trotoar tidak diperkenankan untuk parkir kendaraan. 3) Penempatan bangunan utilitas pada bahu jalan atau trotoar dalam sistem primer atau sistem sekunder di dalam wilayah perkotaan harus seizin Pembina Jalan dan mengikuti petunjuk teknis pemasangan utilitas. 4) Bila terdapat jalan masuk ke bangunan-bangunan atau fasilitas lainnya yang memotong bahu jalan/trotoar harus diupayakan sedemikian rupa sehingga fungsi peruntukkannya tidak terhambat (sesuai buku standar trotoar).

13 c. Saluran Tepi Jalan 1) Saluran tepi jalan diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air, agar badan jalan bebas dari pengaruh air. 2) Saluran tepi jalan tidak diperkenankan dimanfaatkan selain peruntukkan seperti yang tersebut di atas termasuk pembuangan sampah atau benda lainnya yang dapat mengurangi fungsi peruntukkannya. 3) Bila saluran tepi jalan akan dimanfaatkan sebagai saluran lingkungan, maka harus mengikuti syarat yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. 4) Jalan pelintasan di atas saluran tepi jalan, harus diupayakan tidak mengurangi ukuran saluran. d. Median dan Jalur Pemisah Median adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan jalur lalu lintas yang berlawanan arah, penempatan perlengkapan jalan, tanaman perdu yang berakar tunggang, sebagai fungsi estetika dan meredam sinar lampu kendaraan dari arah yang berlawanan. Jalur pemisah adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan jalur lalu lintas yang searah. Kalau memungkinkan peruntukkannya sama dengan median. e. Ambang Pengaman Ambang pengaman adalah sejalur lahan di sisi luar badan jalan dengan lebar ditetapkan oleh Pembina Jalan yang diperuntukkan bagi pengaman konstruksi badan jalan. 2.1.3.2 Ruang Milik Jalan (RUMIJA) Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh Pembina Jalan guna peruntukkan daerah manfaat jalan dan perlebaran jalan maupun menambahkan jalur lalu lintas dikemudian hari serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan.

14 Lebar Rumija sekurang-kurangnya sama dengan lebar Rumaja. Tinggi atau kedalaman diukur dari permukaan jalur lalu lintas, serta penentuannya didasarkan pada keamanan pemakai jalan sehubungan dengan pemanfaatan Rumija dan Rumaja ditentukan oleh Pembina Jalan (PP No. 19/2011). Tertib pemanfaatan Rumija adalah sesuai dengan tingkat pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh bangunan terhadap Rumija maka pemanfaatan Rumija diluar peruntukkannya harus mendapat izin dari Pembina Jalan. 2.1.3.3 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) Merupakan ruang disepanjang jalan di luar Ruang Milik Jalan yang berada di bawah pengawasan penguasa jalan yang ditujukan untuk penjagaan terhadap pandangan bebas pengemudi dan untuk konstruksi jalan, dalam hal Rumija tidak mencukupi, yang ditetapkan oleh Pembina jalan (PP No. 19/2011). Daerah Pengawasan Jalan dibatasi oleh: Lebar diukur dari As Jalan. a. Untuk Jalan Arteri Primer tidak kurang dari 20 m. b. Untuk Jalan Arteri Sekunder tidak kurang dari 20 m. c. Untuk Jalan Kolektor Primer tidak kurang dari 15 m. d. Untuk Jalan Kolektor Sekunder tidak kurang dari 7 m. e. Untuk Jalan Lokal Primer tidak kurang dari 10 m. f. Untuk Jalan Lokal Sekunder tidak kurang dari 4 m. g. Untuk Jembatan tidak kurang dari 100 m ke arah hulu dan hilir. Tinggi yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas dan penentuannya didasarkan pada keamanan pemakai jalan baik di jalan lurus, maupun di tikungan dalam hal pandangan bebas pengemudi, ditentukan oleh Pembina Jalan

15 Gambar 2.2 Penampang Melintang Jalan dengan Drainase Terbuka Gambar 2.3 Penampang Melintang Jalan dengan Drainase Tertutup 2.2 Jenis Kerusakan Menurut Manual Pemeliharaan Jalan No. 03/MN/B/1983 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, kerusakan jalan dapat dibedakan menjadi: Retak (cracks) Distorsi (distortion) Cacat permukaan (disintegration) Pengausan (polished aggregat) Kegemukan (bleeding of flushing) Penurunan pada bekas penanaman utilitas (utility cut depression)

16 2.2.1 Retak (cracks) Retak yang terjadi pada permukaan jalan dapat dibedakan menjadi: 2.2.1.1 Retak Rambut (Hair Cracks) Retak rambut dapat terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan jalan. Tampak retakan tidak beraturan dan terpisah. Lebar celah lebih kecil dari atau sama dengan 3 mm. Penyebabnya adalah konstuksi perkerasan tidak kuat mendukung beban lalu lintas yang ada, lapis permukaan terlalu tipis, pemilihan campuran yang terlalu kaku untuk lapis permukaan yang tipis, kelelahan lapis permukaan akibat beban lalu lintas dan umur jalan, bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil, dan stabilitas atau pemadatan lapis permukaan tidak memadai. Retak rambut ini dapat meresapkan air ke dalam lapis permukaan. Retak rambut yang tidak segera ditangani dapat berkembang menjadi retak kulit buaya (alligator crack). Gambar 2.4 Retak Rambut (Hair Cracks) 2.2.1.2 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks) Retak kulit buaya berkembang dari retak rambut yang telah mengalami kerusakan yang parah akibat tidak segera dilakukannya perbaikan. Retak kulit buaya dapat terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan jalan. Tampak

17 retakan tidak beraturan dan saling berpotongan. Lebar celah lebih besar dari atau sama dengan 3 mm. Retak kulit buaya terlihat seperti retak yang saling merangkai dan membentuk kotak-kotak yang menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang kurang kurang baik, pelapukan perkerasan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil atau lapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah baik). Retak kulit buaya yang luas dan sudah parah dapat berkembang menjadi lubang atau amblas. Gambar 2.5 Retak kulit buaya (Alligator Cracks) 2.2.1.3 Retak Pinggir (Edge Cracks) Retak pinggir adalah retak memanjang jalan dengan atau tanpa cabang yang mengarah pada bahu jalan dan terletak di dekat bahu. Retak pinggir disebabkan oleh tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase yang kurang baik, terjadinya penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi penyebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak air dapat meresap dan dapat merusak lapis perkerasan. Retak pinggir jika dibiarkan akan berkembang menjadi lubanglubang. 2.2.1.4 Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan (Edge Joint Cracks) Retak sambungan bahu dan perkerasan adalah retak memanjang yang umumnya terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan. Retak dapat disebabkan oleh

18 kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk dari pada di bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk/kendaraan berat di bahu jalan. Gambar 2.6 Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan (Edge Joint Cracks) 2.2.1.5 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks) Retak sambungan jalan adalah retak memanjang yang terjadi pada sambungan dua jalur/lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan oleh tidak baiknya ikatan sambungan kedua jalur/lajur tersebut. Penyebab kerusakan ini adalah pemisahan sambungan (joint) antara perkerasan dengan bahu jalan akibat kembang susut dari lapisan di bawah permukaan, penurunan bahu jalan, penyusutan campuran bahan jalan atau sehubungan dengan sambungan yang dilewati truk, serta permukaan bahu lebih tinggi dari permukaan perkerasan.

19 Gambar 2.7 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks) 2.2.1.6 Retak Sambungan Pelebaran Jalan (Widening Cracks) Retak sambungan pelebaran jalan adalah retak memanjang yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan pekerasan berakibat pelebaran jalan, dapat juga disebabkan oleh ikatan antara sambungan yang tidak baik. Jika tidak segera diperbaiki, air dapat masuk ke dalam lapisan perkerasan yang akan mengkibatkan lepasnya butir-butir perkerasan dan retak semakin besar. Gambar 2.8 Retak Sambungan Pelebaran Jalan (Widening Cracks) 2.2.1.7 Retak Refleksi (Reflection Cracks) Retak Refleksi adalah retak memanjang, melintang, diagonal, atau membentuk kotak-kotak. Retak ini terjadi pada lapisan tambahan (overlay) yang menggambar pola retakan di bawahnya. Retak refleksi dapat terjadi jika retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki secara baik sebelum pekerjaan overlay dilakukan. Retak refleksi dapat pula terjadi jika gerakan vertikal/horizontal di bawah lapis tambahan sebagai akibat perubahan kadar air pada jenis tanah yang ekspansif.

20 Gambar 2.9 Retak Refleksi (Reflection Cracks) 2.2.1.8 Retak Selip (Slippage Cracks) Retak Selip adalah retak yang bentuknya seperti bulan sabit. Hal ini disebabkan oleh kurang baiknya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya. Kurang baiknya ikatan dapat disebabkan oleh adanya debu, minyak, air, atau benda-benda non-adhesif lainnya atau akibat tidak diberinya tack coat sebagai bahan pengikat diantara kedua lapisan. Retak selip dapat terjadi akibat terlalu banyaknya pasir dalam campuran lapis permukaan atau kurang baiknya pemadatan lapis perkerasan. Gambar 2.10 Retak Selip (Slippage Cracks) 2.2.2 Distorsi (Distorsion) Distorsi atau perubahan bentuk dapat terjadi karena lemahnya tanah dasar, pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi pemadatan tambahan akibat beban lalu lintas. Sebelum dilakukan perbaikan terlebih dahulu perlu ditentukan jenis dan penyebab distorsi dengan demikian dapat dilakukan penanganan yang tepat. Distorsi dibedakan menjadi:

21 2.2.2.1 Alur (Ruts) Ruts terjadi pada lintasan roda sejajar pada as jalan. Alur dapat merupakan penggenangan air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya dapat timbul retak-retak. Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang padat, dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah juga dapat menimbulkan deformasi plastis. Alur juga dapat disebabkan oleh: Pengaruh lalu lintas (jumlah kendaraan, beban gandar, dan kecepatan kendaraan). Pengaruh cuaca. Material terlepas pada musim kering dan tercampur lumpur dan lembek pada musim hujan. Gradasi bahan tidak memenuhi persyaratan (terlalu banyak pasir atau terlalu banyak lempung). Gambar 2.11 Alur (Ruts)

22 2.2.2.2 Bergelombang (Coguration) Bergelombang adalah alur yang terjadi melintang jalan. Timbulnya permukaan jalan yang bergelombang ini, menyebabkan pengemudi menjadi tidak nyaman dalam berkendara. Penyebab kerusakan ini adalah rendahya stabilitas campuran yang disebabkan oleh terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk bulat dan berpermukaan penetrasi yang tinggi. Bergelombang dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang mempergunakan aspal cair). Gambar 2.12 Bergelombang (Coguration) 2.2.2.3 Sungkur (Shoving) Sungkur terjadi akibat deformasi plastis setempat, biasanya terjadi di tempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam. Kerusakan dapat terjadi dengan/tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan bergelombang. Gambar 2.13 Sungkur (Shoving)

23 2.2.2.4 Amblas (Grade Depressions) Amblas biasanya terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat diketahui dari adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan perkerasan dan menyebabkan lubang. Penyebab amblas adalah adanya beban kendaraan yang melebihi dari yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement. Gambar 2.14 Amblas (Grade Depressions) 2.2.2.5 Jembul (Upheaval) Jembul biasanya terjadi setempat, dimana kendaraan sering berhenti, dengan atau tanpa retak. Lapis permukaan tampak menyembul ke atas permukaan dibandingkan dengan permukaan sekitarnya. Hal ini terjadi akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif dan juga dipengaruhi oleh beban kendaraan yang melebihi standar. Gambar 2.15 Jembul (Upheaval)

24 2.2.3 Cacat Permukaan (Disintegration) Cacat permukaan mengarah pada kerusakan secara kimiawi dan mekanis dari lapisan perkerasan. Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah: 2.2.3.1 Lubang (Pothole) Lubang pada permukaan dapat berupa mangkuk dengan ukuran yang bervariasi, dari kecil hingga besar. Lubang-lubang ini menampung air dan meresapkannya ke dalam lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan. Lubang dapat diakibatkan oleh: a. Campuran material aspal yang jelek, seperti: 1) Kadar aspal rendah sehingga film aspal tipis dan mudah lepas. 2) Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik. 3) Temperature campuran tidak memenuhi syarat. b. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat pengaruh cuaca. c. Sistem drainase jelek sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul dalam lapisan perkerasan. d. Retak-retak yang tidak ditangani sehingga air meresap dan mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil.

25 Gambar 2.16 Lubang (Pothole) 2.2.3.2 Pelepasan Butir (Raveling) Pelepasan butir adalah pelepasan partikel agregat dan permukaan perkerasan yang apabila tidak diperbaiki dalam waktu yang lama, akan makin dalam. Pelepasan butir dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek yang buruk serta ditimbulkan oleh hal yang sama dengan lubang. Biasanya agregat halus (fine agregat) terlepas terlebih dahulu dan akibat erosi yang terus menerus, maka partikel-partikel yang lebih besar akan ikut terlepas dan menyebabkan permukaan menjadi kasar (rough). Gambar 2.17 Pelepasan Butir (Raveling) 2.2.3.3 Pengelupasan Lapisan (Stripping) Pengelupasan merupakan kerusakan perkerasan jalan yang terjadi pada daerah yang luas menyebabkan permukaan jalan menjadi kasar. Pengelupasan dapat

26 diakibatkan oleh kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya atau terlalu tipisnya lapis permukaan. Lepasnya material halus tisak diikuti dengan pemadatan kembali ssehingga interlock antar agregat menjadi berkurang yang menyebabkan lepasnya agregat. Gambar 2.18 Pengelupasan Lapisan (Stripping) 2.2.4 Pengausan (Polished Agregat) Pengausan adalah kerusakan partikel agregat pada permukaan perkerasan yang licin atau halus (smooth). Permukaan jalan menjadi licin sehingga membahayakan kendaraan. Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus terhadap roda kendaraan atau agregat yang digunakan berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk cubical. Gambar 2.19 Pengausan (Polished Agregat)

27 2.2.5 Kegemukan (Bleeding/Flussing) Kegemukan adalah perpindahan ke atas dari aspal pada permukaan lapisan aspal sehingga membentuk lapisan aspal di atas permukaan. Biasanya terjadinya luas dan permukaan menjadi licin. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi jejak roda, hal ini membahakan kendaraan. Kegemukan dapat disebabkan pemakaian kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada pakerjaan prime coat atau tack coat. Gambar 2.20 Kegemukan (Bleeding of Flussing) 2.2.6 Penurunan Pada Bekas Utilitas (Utility Cut Depression) Penurunan yang terjadi di bekas penanaman utilitas. Hal ini terjadi karena pemadatan yang tidak memenuhi syarat, sehingga aspal menglami depression. Gambar 2.21 Penurunan Pada Bekas Utilitas (Utility Cut Depression)

28 2.3 Konsep Pemeliharaan Jalan Pemeliharaan jalan perlu dilakukan untuk menjaga jalan agar jalan mencapai umur/masa layan jalan yang direncanakan atau memperpanjangnya. Secara fisik pemeliharaan jalan bisa berarti suatu kesatuan kegiatan langsung untuk menjaga suatu struktur agar tetap dalam kondisi mampu melayani (Haas, 1978). Menurut NAASRA (1978), definisi pemeliharaan adalah semua jenis pekerjaan yang di butuhkan untuk menjaga dan memperbaiki jalan agar tetap dalam keadaan baik atau pekerjaan yang berkaitan dengan keduanya, sehingga mencegah kemunduran atau penurunan kualitas dengan laju perubahan pesat yang terjadi segera setelah konstruksi dilaksanakan. Aktifitas pemeliharaan jalan yang diklasifikasikan terhadap frekuensi dan efeknya terhadap jalan terlihat pada Gambar 2.22. berikut : Gambar 2.22 Hubungan antara kondisi, umur, dan penanganan jalan 2.3.1 Klasifikasi Pemeliharaan Jalan Klasifikasi pemeliharaan yang dipakai dalam Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan adalah:

29 a. Pemeliharaan Rutin Merupakan pekerjaan yang skalanya cukup kecil dan dikerjakan tersebar diseluruh jaringan jalan secara rutin. Dengan pemeliharaan rutin, tingkat penurunan nilai kondisi struktural perkerasan diharapkan akan sesuai dengan kurva kecenderungan kondisi perkerasan yang diperkirakan pada tahap desain. b. Pemeliharaan Berkala (Periodik) Pemeliharaan berkala (periodik) dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun dan diadakan menyeluruh untuk satu atau beberapa seksi jalan dan sifatnya hanya fungsional dan tidak meningkatkan nilai struktural perkerasan. Pemeliharaan periodik dimaksud untuk mempertahankan kondisi jalan sesuai dengan yang direncanakan selama masa layanannya. c. Rehabilitasi atau Peningkatan Peningkatan jalan secara umum diperlukan untuk memperbaiki integritas struktur perkerasan, yaitu meningkatkan nilai strukturalnya dengan pemberian lapis tambahan struktural. Peningkatan jalan dilakukan, apakah karena masa layanannya habis, atau karena kerusakan awal yang disebabkan oleh faktorfaktor luar seperti cuaca atau karena kesalahan perencanaan atau pelaksanaan rekonstruksi. d. Rekonstruksi Dalam hal perkerasan lama sudah dalam kondisi yang sangat jelek, maka lapisan tambahan tidak akan efektif dan kegiatan rekonstruksi biasanya diperlukan. Kegiatan rekonstruksi ini juga dimaksud untuk penanganan jalan yang berakibat meningkatkan kelasnya. 2.3.2 Klasifikasi Jalan dan Tingkat Pelayanan Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat pelayanan, ditentukan (Dinas Bina Marga, 2003) sebagai berikut:

30 a. Jalan dengan Tingkat Pelayanan Mantap Merupakan ruas-ruas jalan dengan umur rencana yang dapat diperhitungkan serta mengikuti suatu standar perencanaan teknis. Termasuk kedalam tingkat pelayanan mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi baik dan sedang. b. Jalan Tidak Mantap Merupakan ruas-ruas jalan yang dalam kenyataan sehari-hari masih berfungsi melayani lalu lintas, tetapi tidak dapat diperhitungkan umur rencananya serta tidak mengikuti standar perencanaan teknik. Termasuk kedalam tingkat pelayanan tidak mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi rusak ringan. c. Jalan kritis Merupakan ruas-ruas jalan sudah tidak dapat lagi berfungsi melayani lalu lintas atau dalam keadaan putus. Termasuk kedalam tingkat pelayanan kritis adalah jalan-jalan dengan kondisi rusak berat. 2.3.3 Klasifikasi Jalan dan Tingkat Kondisi Jalan Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat kondisi jalan adalah sebagai berikut (Dinas Bina Marga, 2003): a. Jalan Dalam Kondisi Baik Merupakan jalan dengan permukaan yang benar-benar rata, tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan permukaan jalan. b. Jalan Dalam Kondisi Sedang Merupakan jalan dengan kerataan permukaan perkerasan sedang, tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan. c. Jalan Dalam Kondisi Rusak Ringan Merupakan jalan dengan permukaan sudah mulai bergelombang, mulai ada kerusakan permukaan dan penambalan.

31 d. Jalan Dalam Kondisi Rusak Berat Merupakan jalan dengan permukaan perkerasan sudah banyak kerusakan seperti bergelombang, retak-retak kulit buaya dan terkelupas yang cukup besar, disertai kerusakan pondasi seperti amblas, dan sebagainya. 2.3.4 Drainase Jalan Drainase adalah prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan air dan atau ke bangunan resapan buatan. Drainase jalan sangat penting untuk memelihara perkerasan jalan. Jalan yang baik maka harus dilengkapi dengan sistem drainase yang baik. Sistem drainase yang baik akan memperpanjang masa layan jalan. Drainase jalan dibedakan menjadi dua yaitu drainase permukaan dan drainase bawah permukaan. Drainase permukaan berfungsi untuk mengalirkan air dari permukaan perkerasan ke arah drainase yang dibuat di samping-samping perkerasan,sedangkan drainase bawah perkerasan berfungasi untuk mencegah masuknya air ke dalam struktur jalan dam mengeluarkan air dari struktur jalan. Jalan yang baik memiliki kualitas drainase yang baik. Tabel 2.3 Kualitas drainase Kualitas Drainase Air Hilang Dalam Waktu Baik sekali Baik Sedang Jelek Buruk Sumber: Dinas Bina Marga, 2003 2 jam 1 hari 1 minggu 1 bulan Tidak mengalir sama sekali Kualitas drainase yang buruk akan menyebabkan pengurangan masa layan jalan sehingga jalan yang seharusnya berumur panjang menjadi berumur pendek. Keberadaan air sangat berpengaruh pada perkerasan, antara lain: 1. Air menyebabkan perbedaan peranan pada tanah yang bergelombang. 2. Air menurunkan kekuatan material butiran lepas dan tanah subgrade yang

32 bila ditambah dengan dengan volume lalu lintas truk berat yang membawa muatan berlebih merupakan kombinasi yang fatal bagi perkerasan jalan. 3. Air menyebabkan penyedotan (pumping) pada perkerasan beton yang dapat menyebabkan keretakan dan kerusakan pada bahu jalan. 4. Dengan adanya tekanan hidrodinamik yang tinggi akibat pergerakan kendaraan menyebabkan penyedotan material halus pada lapisan dasar perkerasan sehingga menyebabakan berkurangnya daya dukung. 2.4 Perencanaan Tebal Perkerasan Dalam usaha melakukan pemeliharaan dan peningkatan pelayanan jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah-daerah yang mengalami kerusakan atau daerah-daerah yang sudah tidak memenuhi standar pelayanan jalan yang baik. Data-data yang diperlukan dalam perencanaan lapisan tambahan ini hampir sama dengan data-data yang diperlukan untuk merencanakan jalan baru. Namun, perlu dilakukan survey terhadap lapisan permukaan yang telah ada sebelumnya seperti struktur perkerasan, tebal perkerasan, lapis pondasi, lapis bawah pondasi, sehingga dapat mengetahui kekuatan jalan yang telah ada. Lapisan perkerasan jalan pada umumnya meliputi: 1. Lapis podasi bawah (Sub base course) 2. Lapis pondasi (Base course) 3. Lapis permukaan (Surface course) Gambar 2.23 Susunan lapis perkersan jalan Rumus untuk merencanakan tebal perkerasan adalah: D 1 = ( 2. 1 )

33 Dalam merencanaan tebal perkerasan metode yang digunakan adalah Metode Analisa Komponen (Bina Marga). Parameter dalam perencanaan lapis tambahan adalah sebagai berikut: 2.4.1 Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) Daya dukung tanah dapat diperoleh dari korelasi antara nilai CBR tanah dasar dengan nilai DDT itu sendiri. Nilai CBR dapat diperoleh dengan uji CBR tanah. Harga CBR disini adalah harga CBR lapangan. Gambar 2.24 Sumber: SNI 03.1732.1989 Grafik Korelasi DDT dan CBR Catatan: Hubungan nilai CBR dengan garis mendatar ke sebelah kiri diperoleh nilai DDT. Nilai CBR tanah dasar juga dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan:

34 DDT = 1,6649 + 4,3592log CBR...(2.2) Dengan : DDT = Nilai daya dukung tanah CBR = nilai CBR tanah dasar 2.4.2 Menentukan umur rencana (UR) Umur rencana jalan adalah waktu yang ditentukan dari jalan mulai dibuka (mulai digunakan) sampai jalan perlu dilakukan perbaikan (overlay). Dalam perencanaan jalan umumnya UR yang digunakan umumnya adalah 10 tahun. 2.4.3 Menentukan Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i %) Fakor pertumbuhan lau lintas ditentukan untuk umur rencana jalan yang telah ditentukan. Penentuan didasarkan pada tingkat pertumbuhan lalu lintas dalam waktu 1 tahun. 2.4.4 Menentukan Tingkat Lalu Lintas Harian Rara-Rata (LHR) Penentuan tingkat lalu lintas harian rata-rata untuk setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yaitu dengan menghitung jumlah kendaraan yang lewat, dihitung untuk dua arah pada ruas jalan yang berbeda. LHR didefinisikan sebagai volume lalu lintas yang menyatakan jumlah lalu lintas selam 24 jam yang dinyatakan dalam satuan smp (satuan mobil penumpang). 2.4.5 Menentukan Angka Ekivalen masing-masing Kendaraan Angka ekivalen kendaraan berhubungan dengan jumlah lintas yang dilakukan kendaraan terhadap suatu perkerasan jalan yaitu jumlah repetasi beban yang ditanggung suatu jalan pada saat tersibuk atau volume kendaraan tertinggi.

35 a. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) Merupakan lintas ekivalen pada awal umur rencana atau pada saat jalan baru dibuka. LEP adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada awal umur rencana. LEP dihitung dengan rumus : = Dengan: UR = Umur rencana j = Jenis kendaraan = Koefisien distribusi kendaraan = Angka ekivalen. (2.3) Tabel 2.4 Koefisien distribusi kendaraan (C) Jumlah Lajur Kendaraan Ringan Kendaraan Berat 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah 1 Lajur 1,00 1,00 1,00 1,000 2 Lajur 0,60 0,50 0,70 0,500 3 Lajur 0,40 0,40 0,50 0,475 4 Lajur Sumber: SNI 03-1732-1989-0,30-0,450 b. Angka Ekivalen beban gandar pada sumbu kendaraan Untuk menghitung angka Ekivalen kendaraan menggunakan rumus : VDF sumbu 1 beban sumbu kendaraan 5,3 4 (2.4) VDF sumbu 2 beban sumbu kendaraan 8,16 4 (2.5)

36 VDF sumbu 3 = VDF sumbu 4 = 4 (2.6) 4 (2.7) c. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) Merupakan lintas ekivalen pada akhir umur rencana atau pada saat jalan tersebut perlu diperbaiki. LEA dihitung dengan rumus: = akhir.(2.8) akhir = Lintas harian rata-rata pada tahun akhir umur rencana jalan = Koefisien distribusi kendaraan = Angka ekivalen d. Lintas Ekivalen Tengah (LET) Merupakan jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb) pada lajur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan umur rencana. LET dihitung dengan rumus : = e. Lintas Ekivalen Rencana (LER) + (. ) Merupakan besarnya nilai lintas ekivalen yang akan terjadi atau yang direncanakan pada awal umur rencana hingga akhir umur rencana jalan. LER dihitung dengan rumus: =. (. )

37 2.4.6 Menentukan Faktor Regional (FR) Hal-hal yang mempengaruhi nilai FR antara lain: 1. Permeabilitas tanah 2. Kelengkapan drainase 3. Bentuk alinyemen 4. Presentase kendaraan yang ada 5. Keadaan iklim yang mencakup curah hujan rata-rata pertahun. Tabel 2.5 Fakor regional (FR) Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian III (<6%) (>6 10%) (>10%) % kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat Iklim I < 900 mm/th Iklim II > 900 mm/th 30% > 30% 30% > 30% 30% > 30% 0,5 1,0 1,5 1,0 1,5 2,0 1,5 2,0 2,5 1,5 2,0 2,5 2,0 2,5 3,0 2,5 3,0 3,5 Sumber: SNI 03.1732.1989 2.4.7 Menentukan Indeks Permukaan (IP) Nilai indeks permukaan dibedakan menjadi dua yaitu: a. Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo) Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo), perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana, menurut table di bawah ini.

38 Tabel 2.6 Indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) Jenis lapis perkerasan IPo Roughness (mm/km) LASTON LASBUTAG HRA BURDA BURTU LAPEN LATASBUM BURAS LATASIR JALAN TANAH JALAN LERIKIL 4 3,9 3,5 3,9 3,5 3,4 3,0 3,9 3,5 3,4 3,0 3,9 3,5 3,4 3,0 3,4 3,0 2,9 2,5 2,9 2,5 2,9 2,5 2,9 2,5 2,4 2,4 1000 > 1000 2000 > 2000 2000 > 2000 2000 < 2000 3000 < 3000 Sumber: SNI 03.1732.1989 Indeks permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. b. Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt) Merupakan nilai indeks permukaan pada akhir umur rencana atau akhir masa layan jalan. Ipt menunjukkan tingkat kerusakan yang diijinkan pada akhir umur rencana. Dalam menentukan IPt perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER) menurut tabel di bawah ini. Beberapa nilai IPt dan artinya adalah:

39 IP = 1,0 : menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan yang lewat. IP = 1,5 : tingkat pelayanan yang rendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus). IP = 2,0 : tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap. IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil yang baik. Tabel 2.7 LER Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt) Klasifikafikasi Jalan lokal kolektor arteri Tol < 10 1,0 1,5 1,5 1,5 2,0-10 100 1,5 1,5 2,0 2,0-100 1000 1,5 2,0 2,0 2,0 2,5 - > 1000-2,0 2,5 2,5 2,5 Sumber: SNI 03.1732.1989 2.4.8 Mencari Nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP) Indeks tebal perkerasan (ITP) adalah angka yang berhubungan dengan penentuan tebal minimum tiap lapis di suatu jalan. Jalan yang memakai perkerasan lentur memiliki 3 lapisan utama yaitu lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah. Tiap lapisan memiliki nilai minimum untuk untuk

40 indeks tebal perkerasan yang diambil dari nomogram ITP berdasarkan hubungan DDT, LER, dan FR. ITP = a1.d1 +a2.d2 + a3.d3... (2.11) Dengan: a1,a2,a3 D1,D2,D3 = koefisien kekuatan relatif = tebal masing-masing perkerasan Tabel 2.8 Penentuan nomogram ITP IPt IPo ITP 1 2,4 9 1 1,5 1,5 1,5 2 Sumber: SNI 03.1732.1989 2,5 2,9 2,5 2,9 3,5 3,9 2,5 3,9 3,5 3,9 8 7 6 5 4

41 Sumber: SNI 03-1732-1989 Gambar 2.25 Grafik Nomogram 4

42 Tabel 2.9 Konfigurasi Beban Untuk MST 10 Ton GOLONGAN KONFIGURASI VDF 6B (trailer 2 sumbu) 3,898 7A (trailer 3 sumbu) 3,679 7C1 (trailer 4 sumbu) 1.2 + 2.2 5,934 7C2 (trailer 5 sumbu) 1.2 + 2.2.2 6,222 7C3 (trailer 6 sumbu) 1.2.2 + 2.2.2 6,003 Sumber :Subdit Teknik Jalan, Dit Bintek

43 2.5 Metode Pavement Conditons Index (PCI) PCI adalah sistem penilaian kondisi perkerasan jalan berdasarkan jenis, tingkat dan luas kerusakan yang terjadi, dan dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai PCI ini memiliki rentang 0 100 dengan kriteria baik (good), memuaskan (sarisfactory), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor), serius (serious) dan gagal (failed) (Shahin 1996) Dalam survey ini, cara untuk mengukur kerusakan adalah dengan menandai daerah yang rusak dengan cat atau kapur untuk menandai batas-batas pengukuran dengan membuat garis segiempat ± 10 cm dari daerah kerusakan. Data-data dari survey kerusakan jalan kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas kerusakan sebagai berikut : 2.5.1 Deformasi Deformasi adalah perubahan permukaan jalan dari profil aslinya sesudah pembangunan). Deformasi merupakan kerusakan penting dari perkerasan penting dari kondisi perkerasan karena berpengaruh dengan kualitas pelayanan kendaraan dalam berlau lintas. Beberapa tipe deformasi dalam perkerasan lentur adalah: 2.5.1.1 Alur (Rutting) Alur adalah deformasi permukaan perkerasan aspal dalam bentuk turunnya perkerasan ke arah memanjang pada lintasan roda kendaraan. Alur dapat diketahui setelah turunnya hujan yaitu dengan terisinya retakan oleh air. Alur disebabkan oleh deformasi permanen di permukaan aspal, biasanya

44 disebabkan oleh konsolidasi atau pergerakan lateral akibat beban kendaraaan. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel 2.10 berikut: Tabel 2.10 Alur (Rutting) Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan L M H Kedalaman alur rata-rata 6 13 mm (¼ - ½ in.) Kedalaman alur rata-rata 13 25 mm (½ - 1 in.) Kedalaman alur rata-rata 25 mm (1 in.) 2.5.1.2 Bergelombang (Corrugation) Bergelombang atau keriting adalah kerusakan yang diakibatkan oleh terjadinya deformasi plastis yang menghasilkan gelombang-gelombang melintang atau tegak lurus arah perkerasan aspal. Bergelombang juga disebabkan oleh aktifitas kendaraan dan juga lapis permukaan yang tidak stabil. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.11 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan bergelombang (Corrugation). Tingkat Kerusakan L M H Identifikasi Kerusakan Bergelombang mengakibatkan sedikit gangguan kenyamanan kendaraan. Bergelombang mengakibatkan cukup gangguan kenyamanan kendaraan. Bergelombang mengakibatkan banyak gangguan kenyamanan kendaraan.

45 2.5.1.3 Sungkur (Shoving) Sungkur adalah perpindahan permanen secara lokal dan memanjang dari permukaan perkerasan yang disebabkan oleh beban lalu lintas. Kerusakan ini biasanya hanya terjadi pada campuran aspal yang tidak stabil (cutback atau emulsion). Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.12 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan sungkur (Shoving). Tingkat Kerusakan L M H Identifikasi Kerusakan Sungkur mengakibatkan sedikit gangguan kenyamanan kendaraan. Sungkur mengakibatkan cukup gangguan kenyamanan kendaraan. Sungkur mengakibatkan banyak gangguan kenyamanan kendaraan. 2.5.1.4 Amblas (Depression) Amblas adalah penurunan permukaan perkerasan yang terjadi pada area terbatas yang mungkin dapat diikuti dengan retakan. Sekilas amblas tidak diketahui sampai terjadi hujan dan air menggenang. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:

Tabel 2.13 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan amblas (Depression). 46 Tingkat Kerusakan L M H Identifikasi Kerusakan Kedalaman amblas rata-rata 13 25 mm (½ - 1 in.) Kedalaman amblas rata-rata 25 50 mm (1 2 in.) Kedalaman amblas rata-rata >50 mm (2 in.) 2.5.1.5 Mengembang (Swell) Mengembang adalah gerakan ke atas dari lapisan perkerasan yang terjadi secara lokal akibat pengembangan atau pembekuan air dari tengah atau dari bagian struktur perkerasan. Mengembang bisa juga disertai dengan retakan. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.14 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan mengembang (Swell). Tingkat Kerusakan L M H Identifikasi Kerusakan Pengembangan mengakibatkan sedikit gangguan kenyamanan kendaraan. Kerusakan ini sulit dilihat, tapi dapat dideteksi dengan kendaraan cepat. Gerakan keatas akan terasa jika melewati jalan yang mengembang. Pengembangan mengakibatkan cukup gangguan kenyamanan kendaraan. Pengembangan mengakibatkan banyak gangguan kenyamanan kendaraan.

47 2.5.1.6 Benjol dan Turun (Bump and Sags) Benjol adalah pergerakan atau perpindahan ke atas yang bersifat lokal dan kecil dari permukaan aspal. Benjol berbeda dengan sungkur. Sungkur diakibatkan oleh perkerasan yang tidak stabil, sedangkan benjol diakibatkan oleh bererapa faktor antara lain pembekuan es yang mengumpul, infiltrasi dan keluarnya material pada retakan dengan dipengaruhi oleh beban kendaraan.turun (sags) pergerakan atau perpindahan ke bawah yang bersifat lokal dan kecil dari permukaan aspal. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.15 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan benjol dan turun (Bump and Slags). Tingkat Kerusakan L M H Identifikasi Kerusakan Benjol dan melengkung mengakibatkan sedikit gangguan kenyamanan kendaraan. Benjol dan melengkung mengakibatkan cukup gangguan kenyamanan kendaraan. Benjol dan melengkung mengakibatkan banyak gangguan kenyamanan kendaraan.

48 2.5.2 Retak (Crack) Retak dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan melibatkan mekanisme yang kompleks. Secara teoritis, retak dapat terjadi bila tegangan tarik yang terjadi pada lapisan aspal melampaui tegangan tarik maksimum yang dapat ditahan oleh perkerasan tarik tersebut. Beberapa tipe retak perkerasan lentur adalah: 2.5.2.1 Retak Kulit Buaya (Alligator Crack) Retak kulit buaya adalah retak yang berbentuk sebuah jaringan dari bidang yang bersegi banyak (polygon) kecil-kecil menyerupai kulit buaya dengan lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.16 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak kulit buaya (Alligator Crack). Tingkat Kerusakan Identifikasi Kerusakan L M H Halus, retak rambut/halus memanjang sejajar satu dengan yang lain, dengan atau tanpa berhubungan satu sama lain. Retakan tidak mengalami gompal. Ringan retak kulit buaya ringan terus berkembang ke dalam pola atau jaringan retakan yang diikuti gompal ringan. Jaringan atau pola retak telah berlanjut, sehingga pecahan-pecahan dapat diketahui dengan mudah dan terjadi gompal di pinggir. Beberapa pecahan mengalami rocking akibat lalu lintas.

49 2.5.2.2 Retak Memanjang dan Melintang Retak memanjang adalah retak yang terjadi secara memanjang pada perkerasan jalan, dapat terjadi dalam bentuk tunggal atau berderet yang sejajar dan kadangkadang sedikit bercabang. Retak melintang adalah retak tungal (tidak bersambungan satu sama lain) yang melintang perkerasan. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.17 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak memanjang dan melintang (longitudinal and tranversal crack). Tingkat Kerusakan L M Identifikasi Kerusakan Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Retak tak terisi, lebar 10 mm (3/8 in.) 2. Retak terisi, sembarang lebar (Pengisi kondisi bagus). Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Retak tak terisi, lebar 10-75 mm (3/8-3 in.) 2. Retak terisi sembarang lebar sampai 75 mm (3 in) dikelilingi retak acak ringan. 3. Retak terisi sembarang lebar, dikelilingi retak agak acak.

50 H Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi oleh retak acak, kerusakan sedang sampai tinggi. 2. Retak tak terisi >75 mm (3 in.) 3. Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.) dengan disekitar retakan mengalami pecah. 2.5.2.3 Retak Reflektif Sambungan (Joint Reflection Crack) Retak reflektif sambungan berasal dari pelat beton sement portland, PCC, perkerasan aspal yang telah dihamparkan pada permukaan perkerasan beton semen portland. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut: Tabel 2.18 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak refleksi sambungan (Joint Reflection Crack). Tingkat Kerusakan L Identifikasi Kerusakan Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Retak tak terisi, lebar 10 mm (3/8 in.) 2. Retak terisi, sembarang lebar (Pengisi kondisi bagus).

51 M Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Retak tak terisi, lebar 10-75 mm (3/8-3 in.) 2. Retak terisi sembarang lebar sampai 75 mm (3 in.) dikelilingi retak acak ringan. 3. Retak terisi sembarang lebar, dikelilingi retak acak ringan H Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Sembarang retak terisi atau tak terisi dikelilingi oleh retak acak, kerusakan sedang atau tinggi. 2. Retak tak terisi >75 mm (3 in.) 3. Retak sembarang lebar >100 mm (4 in.), dengan beberapa inci disekitar retakan, pecah (retak berat menjadi pecahan). 2.5.2.4 Retak Blok (Block Crack) Retak blok berbentuk blok-blok besar yang saling bersambungan dengan ukuran sisi blok 0,30 m sampai dengan 3 m dan dapat membentuk sudut atau pojok yang tajam. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:

52 Tabel 2.19 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak blok (Block Crack). Tingkat Kerusakan L M H Identifikasi Kerusakan Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan rendah. Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan sedang. Blok didefinisikan oleh retak dengan tingkat kerusakan tinggi. 2.5.2.5 Retak Slip (Slippage Crack) Retak slip atau retak bulan sabit diakibatkan oleh gaya-gaya horizontal yang berasal dari kendaraan. Kerusakan ini biasanya terjadi pada overlaping yaitu ketika lapisan permukaan dan lapisan di bawahnya tidak merekat secara sempurna. Tingkat kerusakan perkerasan untuk hitungan PCI dan identifikasi ditunjukkan dalan tabel berikut:

53 Tabel 2.20 Tingkat kerusakan perkerasan aspal dan identifikasi kerusakan retak slip (Slippage Crack) /retak bulan sabit (Crescent Shape Crack). Tingkat Kerusakan L Identifikasi Kerusakan Retak rata-rata lebar < 10 mm (3/8 in.). M Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Retak rata-rata 10 40 mm (3/8 1,5 in.). 2. Area disekitar retakan pecah ke dalam pecahan- pecahan terikat. H Satu dari kondisi berikut yang terjadi: 1. Retak rata-rata > 40 mm ( ½ in.) 2. Area disekitar retakan pecah ke dalam pecahan- pecahan mudah terbongkar. 2.5.3 Kerusakan di Pinggir Perkerasan Kerusakan di pinggir perkerasan adalah retak yang terjadi di sepanjang pertemuan antara permukaan perkerasan aspal dan bahu jalan, apalagi bahu jalan tidak ditutup (unsealed). Beberapa tipe kerusakan di pinggir perkerasan lentur adalah: 2.5.3.1 Retak Tepi (Edge Cracking) Retak tepi perkerasan adalah retak yang terjadi sejajar dengan pinggir perkerasan dan berjarak sekitar 30 50 cm dari pinggir perkerasan. Kerusakan ini diakibatkan oleh beban lalu lintas dan lemahnya tanah dasar atau lapis pondasi dekat ujung perkerasan.