BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan wilayah seyogyanya dilakukan dengan mengacu pada potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada di suatu lokasi tertentu. Di samping itu, pembangunan juga harus memperhatikan faktor faktor lain yang akan menjadi penunjang pembangunan maupun mengancam kelancaran pelaksanaan pembangunan. Hal tersebut dilakukan agar dapat mewujudkan sistem pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan (Sustainable Development). Suatu wilayah memiliki potensi sumberdaya yang berbeda-beda dengan wilayah lain yang menjadikannya salah satu faktor penentu tingkat perkembangan suatu wilayah. Perkembangan wilayah yang pesat, selalu didukung oleh sumberdaya dan prasarana yang memadai. Begitu juga sebaliknya, apabila terdapat wilayah dengan perkembangan yang lamban, maka bisa dipastikan terdapat permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya. Pengelolaan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah termasuk didalamnya merupakan pengelolaan potensi bencana yang mungkin saja terjadi di saat yang tidak terduga. Merapi merupakan salah satu gunung api teraktif di dunia yang memiliki tipe letusan unik tersendiri yang disebut Tipe Letusan Merapi. Tipe ini memiliki ciri-ciri lava kental yang menyumbat mulut kawah sehingga tekanan yang terakumulasi di pipa kepundan berusaha keluar melalui celah-celah yang ada disekitar kerucut gunung api tersebut. Tetapi ketika tekanan yang terakumulasi semakin besar dapat memecahkan penyumbat kawah dan memuntahkan material gunung api menuruni lereng yang berupa ladu (gleodwine) dan/atau aliran piroklastik yang berisi debu vulkanis dan batuan vulkanis dengan suhu tinggi. Aktifitas letusan gunung Merapi ini tentu saja berdampak negatif terhadap lingkungan dan permukiman yang berada di lereng Merapi. Letusan yang terjadi di akhir 2010 tercatat telah menyebabkan kerusakan dan kerugian yang cukup 1
besar di empat kabupaten yaitu Magelang, Boyolali, Klaten di Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta dengan perkiraan Rp. 4,23 trilyun nilai kerusakan dan kerugian yang terdiri dari 27% nilai kerusakan, sedangkan 73% adalah nilai kerugian (Perhitungan BNPB 2011 tidak termasuk akibat lahar dingin). Sektor perumahan mengalami 39% dari total nilai kerusakan, disusul oleh sektor sumber daya air dan irigasi yang mencapai 13% dari total nilai kerusakan. Kerugian terbesar dialami sektor pertanian dengan nilai kerugian mencapai Rp. 1,326 trilyun atau 43% dari total nilai kerugian. Sektor industri dan UMKM sebesar Rp. 382 milyar atau 12,4% dari nilai kerugian. Secara keseluruhan sektor pertanian budidaya dan tanaman pangan tetap menjadi sektor yang paling terkena dampak dengan nilai total dampak Rp. 1,326 trilyun atau 31,4% dari nilai total kerusakan dan kerugian disusul oleh sektor perumahan senilai Rp. 512,6 milyar atau 13% dari nilai kerusakan dan kerugian serta sektor industri dan UMKM dengan nilai total dampak sebesar 415,4 Milyar atau 11% dari total kerugian dan kerusakan yang diakibatkan oleh letusan Merapi 2010 (www.bppb.go.id/11 februari 2011). Wilayah yang berada dikawasan rawan bencana gunung api Merapi dapat mengalami krisis lingkungan apabila kondisi tersebut tidak segara ditangani secara cepat dan tepat. Djojohadikusumo (1981) menyatakan krisis lingkungan merupakan gejala akibat kesalahan atau kekurangan dalam pola dan cara pengelolaan sumber kebutuhan hidup manusia. Gejala-gejala tersebut dianggap sebagai tekanan krisis yang membahayakan kelangsungan hidup manusia. Indikator keadaan krisis tersebut ditunjukkan seperti adanya ancaman terhadap kejernihan udara dan sumber air, terhadap bahan-bahan makanan, terhadap kelangsungan produktivitas kekayaan alam flora dan fauna, dan sebagainya. Dan apabila kekuatan ekologis ini telah sedemikian melemah, maka kesejahteraan yang dicapai manusia menjadi tidak bermakna. Penurunan kualitas daya dukung wilayah akibat letusan Merapi memiliki kemungkinan yang sangat besar menghambat proses pemulihan dan pertumbuhan wilayah mengingat siklus letusan Merapi yang selama ini secara rutin dan tertib terus berlangsung. Keadaan tersebut menimbulkan kecemasan tersendiri bagi para 2
pelaku aktifitas pembangunan terutama di bidang pengelolaan lahan pertanian di kawasan rawan bencana Merapi. Keadaan seperti ini tentu saja berdampak pada ketersediaan bahan pokok pangan dan ketersediaan suplai penunjang kehidupan hidup manusia di kawasan lereng Merapi. Lahan pertanian dan perkebunan yang semula digarap untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk telah rusak dan membutuhkan waktu jeda serta pengelolaan tambahan sehingga bisa dan layak di olah seperti sedia kala. Tentu akan membutuhkan pembiayaan yang lebih besar pula. Peran siklus letusan Merapi juga mendapatkan porsi perhitungan tersendiri berapa lama waktu lahan dapat di olah dengan aman hingga sampai pada masa siklus letusan diperkirakan dan lahan akan mengalami kerusakan serupa. Dalam tahap pemulihan, maka diperlukan suatu proses pemulihan yang tepat, berdasarkan perencanaan yang baik, sehingga tepat sasaran serta mampu meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap ancaman bencana di masa datang. Tidak sedikit juga para pelaku aktifitas pertanian tersebut memilih untuk meninggalkan lahan pertaniannya dan memilih lokasi baru yang memiliki tingkat rawan bencana jauh lebih rendah, bahkan tidak sedikit pula yang justru beralih pada mata penghasilan diluar sektor pertanian. Apabila kondisi tersebut terus berlangsung, ketersediaan bahan pangan di kawasan rawan bencana tentu akan berkurang dan pada saat tertentu bisa saja tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk di kawasan lereng Merapi. Dari rangkaian permasalahan di atas, maka untuk menunjang keberhasilan program pembangunan, diperlukan suatu kajian awal mengenai daya dukung lingkungan. Hal ini didukung pernyataan Catenese dan Synder (1990) yang mengatakan setiap sistem alami (wilayah) mempunyai kemampuan untuk mendukung populasi yang seimbang tanpa mengalami kehancuran. Dengan demikian untuk membuat perencanaan wilayah, perencana harus mampu melakukan penilaian mengenai kapasitas sistem alami dan batas-batas pemanfaatan (daya dukung wilayah). Aca Sugandhy (1994) mensinyalir bahwa variasi daya dukung lingkungan khususnya lahan pertanian belum banyak dipertimbangkan dalam perencanaan 3
tata ruang wilayah. Terutama faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas lahan yang tidak dapat diprediksi secara pasti oleh manusia, dalam konteks ini adalah dampak negatif yang ditimbulkan dari bencana letusan gunung Merapi. Oleh karenanya sering terjadi kerancuan dalam pengambilan keputusan tentang penentuan prioritas wilayah dan kegiatannya, terutama yang berkaitan dengan alokasi pemanfaatan ruang. Berdasarkan karakteristik wilayah, tingkat kerusakan dan kerugian masing-masing wilayah akan memiliki tingkat daya pulih dan penanganan yang sangat bervariatif. Pada level makro, untuk merumuskan kebijakan yang tetap diperlukan suatu pendekatan dan indikator yang mampu memprediksi potensi dan kemampuan masing-masing wilayah yang berada di dalam lingkup kawasan rawan bencana Merapi baik KRB I, KRB II maupun KRB III untuk pemulihan kondisi wilayah, sehingga dapat diperoleh prioritas yang tepat dalam tahap pemulihan (recovery). Penelitian ini akan memberikan temuan tentang kemampuan daya dukung lahan pertanian pasca letusan gunungapi Merapi yang terjadi terakhir pada tahun 2010 yang nantinya dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk menentukan skala prioritas pemulihan wilayah. 1.2. Rumusan Permasalahan Kerusakan lahan yang disebabkan oleh letusan gunung Merapi berpotensi mengurangi kemampuan wilayah menyuplai sumber kehidupan manusia khususnya dalam sektor pertanian. Dampak letusan yang sebagian besar merusak lahan pertanian menyebabkan kerugian terbesar dibandingkan sektor lainnya, hal tersebut mengakibatkan produktifitas lahan juga berkurang. Apabila kondisi tersebut terus berlanjut maka daya dukung lahan pertanian di kawasan rawan bencana Merapi akan mencapai titik di mana lahan tidak dapat memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal seperti ini adalah lahan-lahan pertanian yang sulit untuk di kelola kembali sehingga para pelaku aktifitas pertanian banyak yang beralih profesi ke sektor non pertanian. 4
Dari uraian di atas dapat dirumuskan sejumlah permasalahan penelitian yang akan dibahas dalam penelitian ini. 1. Bagaimana karakteristik dan pola sebaran keruangan lahan pertanian produktif di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. 2. Indeks daya dukung lahan pertanian di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi sebelum dan setelah terjadi erupsi pada tahun 2010. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Kawasan rawan bencana erupsi Gunung Merapi yang meliputi beberapa desa di empat wilayah Kabupaten yaitu Sleman, Magelang, Klaten dan Boyolali merupakan wilayah yang secara langsung merasakan dampak erupsi gunung api Merapi. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan di kawasan rawan bencana Gunung Merapi seperti yang telah di uraikan di sub bab sebelumnya. Lebih terperinci lagi tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Mengkaji karakteristik dan pola persebaran lahan pertanian produktif di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi 2. Menghitung indeks daya dukung lahan pertanian di Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi 1.3.2. Manfaat Penelitian Melalui studi mengenai daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang disajikan dalam pola persebaran keruangan lahan pertanian berikut dengan perhitungan tingkat daya dukung lahan pertanian di kawasan rawan bencana pasca erupsi gunung Merapi akan didapatkan manfaat sebagai berikut : 1. Visualisasi karakteristik dan pola persebaran keruangan lahan pertanian dapat menjadi acuan untuk penentuan skala prioritas pemulihan dan pembangunan lanjutan di Kawasan Rawan Bencana Merapi ini. 5
2. Hasil perhitungan tingkat daya dukung lahan pertanian di Kawasan Rawan Bencana Merapi dapat dijadikan acuan penentuan skala prioritas pembangunan sektor pertanian di desa-desa yang masuk dalam Kawasan Rawan Bencana Merapi. 3. Selain kedua manfaat di atas, data dan hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan juga sebagai acuan dan referensi bagi penelitian yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan di kawasan rawan bencana Merapi berikutnya. 6