YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010

dokumen-dokumen yang mirip
PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT

ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

GANGGUAN GEOMAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET YANG TERKAIT

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

KARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

ANALI5IS BADAI MAGNET BUMI PERIODIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

KARAKTERISTIK BADAI GEOMAGNET BESAR DALAM SIKLUS MATAHARI KE-22 DAN 23

AWAN MAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN KAITANNYA DENGAN GANGGUAN GEOMAGNET

Variasi Pola Komponen H Medan Geomagnet Stasiun Biak Saat Kejadian Solar Energetic Particle (SEP) Kuat Pada Siklus Matahari Ke-23

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

BAB III METODE PENELITIAN

IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

KARAKTERISTIK SUDDEN COMMENCEMENT DAN SUDDEN IMPULSE DI SPD BIAK PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

GERAK PUSAT PEMANDU PADA PARTIKEL PLASMA DALAM MEDAN MAGNETIK DI SEKITAR MATAHARI

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA

ANALISIS PERGERAKAN BINTIK MATAHARI Dl DAERAH AKTIF NOAA 0375

Anwar Santoso, Mamat Ruhimat, Rasdewita Kesumaningrum, Siska Fillawati Pusat Sains Antariksa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Angin bintang dapat difahami sebagai aliran materi/partikel-partikel

Keterkaitan Variasi Sinar Kosmik dengan Tutupan Awan Riza Adriat 1)

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

Diterima 11 Agustus 2017; Direvisi 10 Januari 2018; Disetujui 10 Januari 2018 ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF

PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

PERAN DIMENSI FRAKTAL DALAM RISET GEOMAGSA

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24

Analisis Distribusi Temperatur Atmosfer Matahari saat Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 di Palu, Sulawesi Tengah

KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE

BAB III METODE PENELITIAN

Buldan Muslim Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

HELISITAS MAGNETIK DAERAH AKTIF DI MATAHARI

VARIASI UNSUR BERAT BERDASARKAN PENGAMATAN SATELIT ACE/SIS PADA PERISTIWA PARTIKEL MATAHARI TAHUN 2006

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage:http//

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI

ANALISIS PERUBAHAN VARIASI HARIAN KOMPONEN H PADA SAAT TERJADI BADAI MAGNET

ABSTRACT ABSTRAK 1 PENDAHULUAN

LAPISAN E SPORADIS DI ATAS TANJUNGSARI

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

TELAAH MODEL NUMERIK MEKANISME TERJADINYA FLARE DI MATAHARI

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23

Anwar Santoso Peneliti Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa Pusat Sains Antariksa, Lapan

STRUKTUR MATAHARI DAN FENOMENA SURIA

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI BIAK

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

ANALISIS ASOSIASI SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE III DENGAN FLARE SINAR-X DAN FREKUENSI MINIMUM IONOSFER

ANALISIS GERAK BINTIK MATAHARI BIPOLAR SEBELUM TERJADI FLARE PADA NOAA 0484 TANGGAL 21 DAN 22 OKTOBER 2003

VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F

KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET

IDENT1FIKASI FLUKS MAGNETIK DARI GERAK PASANGAN BINTIK BIPOLAR,

Jiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

IDENTIFIKASI KONDISI ANGIN SURYA (SOLAR WIND) UNTUK PREDIKSI BADAI GEOMAGNET

PENENTUAN WAKTU ONSET SUDDEN COMMENCEMENT KOMPONEN H GEOMAGNET DI BIAK

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB

Analisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG)

METODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW

KONDISI LINGKUNGAN ANTARIKSA Dl WILAYAH ORBIT SATELIT

Analisis Variasi Komponen H Geomagnet Pada Saat Badai Magnet

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA KALA HIDUP SATELIT

PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL)

Nizam Ahmad 1 dan Neflia Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 6 Maret 2014; Disetujui 14 Mei 2014 ABSTRACT

Diterima 18 April 2016, Direvisi 23 Juni 2016, Disetujui 28 Juni 2016 ABSTRACT

KARAKTERISTIK VARIASI HARIAN KOMPONEN H GEOMAGNET REGIONAL INDONESIA

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL

KAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS

STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO

Model Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang. Habirun. Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan No.

PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK

TELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN FREKUENSI 10,2 MHz DAN 15,8 MHz PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK

UNTUK PENGAMATAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF SECARA

TELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG

Transkripsi:

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 1 Maret 2011: 6-11 YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010 Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Lubang korona yang terjadi di Matahari tanggal 20 Agustus 2010, yaitu pada saat aktivitas Matahari minimum di awal siklus ke-24, terkait dengan adanya fenomena Corotating Interaction Region (CIR) pada profil angin surya beberapa hari sesudah munculnya lubang korona tersebut. Profil angin surya menunjukkan adanya daerah interaksi antara angin surya yang cepat dan lambat pada tanggal 23 Agustus 2010. Daerah interaksi ini memisahkan angin surya yang mempunyai kecepatan dan kerapatan tinggi dengan angin surya yang mempunyai kecepatan tinggi dan kerapatan rendah. Daerah interaksi ini juga ditandai dengan kenaikan temperatur dengan cepat, yang juga merupakan profil dari CIR. 1 PENDAHULUAN Angin surya merupakan akibat dari ekspansi korona Matahari yang sangat panas (Parker, 1963). Pada fasa menurun dan di sekitar aktivitas minimum, variabilitas angin surya terbatas pada daerah di dekat ekuator Matahari (Gosling et al., 1995), sedangkan pada lintang tinggi kecepatannya sekitar 750 km/detik (Phillips et al., 1994). Hal ini digambarkan pada Gambar 1-1, yang menunjukkan kecepatan angin surya yang bergantung pada lintang Matahari. Variasi ini diukur oleh satelit Ulysses selama rentang waktu dari Februari 1992 sampai dengan Desember 1997 pada saat fasa turun dan pada saat minimum aktivitas Matahari siklus ke- 22. Rentang daerah dengan angin surya yang bervariasi pada rentang waktu tersebut berada pada lintang ± 20º sampai ± 35º. Pada waktu mendekati aktivitas maksimum rentang daerah ini makin lebar. Gambar 1-1 memperlihatkan plot kecepatan angin surya sebagai fungsi lintang. Pada saat aktivitas Matahari minimum (gambar kiri) lubang korona yang terletak di dekat kutub akan mengakibatkan aliran angin surya yang cepat dan renggang, sedangkan daerah di dekat ekuator yang mempunyai medan magnet tertutup akan menghasilkan angin surya yang lambat dengan kerapatan tinggi. Sehingga pada gambar sebelah kiri ini terlihat bahwa kecepatan angin surya tidak seragam. Yang berkecepatan tinggi berasal dari daerah kutub, sedangkan yang kecepatannya rendah terdistribusi di sekitar ekuator. Pada saat Matahari maksimum (gambar kanan) lubang korona yang terletak di lintang rendah akan menghasilkan angin surya yang kecepatannya bervariasi, dan distribusi kecepatan angin surya di seluruh lintang Matahari tampak lebih merata. 6

Corotating Interaction Region yang Terkait...(Clara Y. Yatini) Gambar 1-1: Kecepatan angin surya yang bervariasi terhadap lintang Matahari. Pada gambar kiri adalah pada saat minimum dan sebelah kanan pada saat maksimum aktivitas Matahari. (McComas et al., 2003) Bila Matahari berotasi maka aliran materi dengan kecepatan tinggi akan tergabung di lintang rendah. Angin yang cepat ini akan menumbuk angin yang lambat. Karena plasma ini berasal dari tempat yang berbeda di Matahari pada saat yang berbeda pula, maka plasma ini diikat oleh medan magnet yang berbeda juga. Akibat tumbukan tersebut maka akan terbentuk daerah yang terkompresi dengan kecepatan tinggi. Karena daerah yang terkompresi ini juga berotasi bersama dengan Matahari, maka daerah ini disebut sebagai Corotating Interaction Region (CIR). CIR dapat mengakibatkan munculnya badai geomagnet (Zhang et al., 2003) karena partikel dalam angin surya dapat dipercepat oleh adanya gelombang kejut dalam CIR ini, sehingga perlu memahami keberadaan CIR di ruang antarplanet. Pada 22 Agustus 2010 Solar Dynamics Observatory (SDO) memperoleh citra adanya lubang korona di Matahari (Gambar 1-2). Lubang korona (coronal hole) adalah daerah di Matahari yang mempunyai kerapatan plasma yang rendah, umumnya 100 kali lebih rendah dari bagian korona yang lain (Cranmer, 2002). Lubang korona ini mempunyai medan magnet terbuka ke heliosfer, artinya garis-garis medan magnet yang berasal dari lubang korona mengarah keluar atau menjauh dari Matahari, dan tidak kembali lagi ke fotosfer. Atom dan elektron terionisasi akan mengalir sepanjang medan magnet terbuka ini dan merupakan komponen angin surya yang kecepatannya tinggi (Nolte et al., 1976). Oleh karena itu lubang korona terkait dengan aliran angin surya yang kecepatannya tinggi dan kerapatan rendah. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui kaitan lubang korona dengan CIR. Untuk itu maka perlu diketahui profil angin surya yang terjadi setelah munculnya lubang korona tersebut. Profil angin surya ini akan dianalisis apakah profilnya menunjukkan karakteristik dari CIR, seperti yang akan diuraikan dalam bab berikutnya. 7

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 1 Maret 2011: 6-11 Gambar 1-2: Citra Matahari tanggal 22 Agustus 2010. Bagian yang diberi tanda kotak adalah lubang korona. (Sumber: Solar Dynamics Observatory) 2 PEMBENTUKAN COROTATING INTERACTION REGION Angin surya pada lintang rendah Matahari seringkali terbagi menjadi aliran partikel yang mempunyai kecepatan tinggi dan rendah, terutama pada saat fasa turun aktivitas Matahari. Kecepatan angin surya bervariasi antara 300 sampai 800 km/detik, bergantung pada kondisi korona yang merupakan sumbernya. Partikel yang berkecepatan rendah berasal dari daerah di atas helmet streamer, sedangkan yang berkecepatan tinggi berasal dari lubang korona (coronal hole). Bila plasma angin surya mengalir secara radial dari Matahari, maka aliran partikel ini tampak ikut berotasi dengan Matahari sehingga akan menghasilkan pola angin surya yang menyerupai spiral. Makin jauh jaraknya dari Matahari, aliran partikel yang cepat akan mendahului angin surya yang lebih lambat, dan akan membentuk daerah yang disebut sebagai CIR. CIR adalah suatu area yang merupakan bagian dari angin surya. CIR di ruang antarplanet terbentuk karena 8 angin surya yang berkecepatan tinggi berinteraksi (bertumbukan) dengan aliran partikel yang berkecepatan rendah (Hundhausen,1973; Hundhausen dan Gosling, 1976). Karena adanya kecepatan yang berbeda, maka aliran materi yang cepat dapat menumbuk aliran materi yang lebih lambat, dan akan menghasilkan gelombang kejut yang akan membuat gerakan partikel menjadi sangat cepat. Pada Gambar 2-1 diperlihatkan skema dari CIR. Medan magnet dari aliran materi yang lebih lambat akan lebih melengkung dari pada yang lebih cepat. Medan magnet yang kuat akan dihasilkan pada interface (IF) antara angin Matahari yang lambat dan cepat. CIR terletak diantara forward shock (FS) dan reverse shock (RS). Gosling et al. (1995) memodelkan konfigurasi CIR ini dengan pola angin Matahari yang cepat, dengan temperatur tinggi dan kerapatan plasma yang rendah yang mengikuti pola angin Matahari yang lambat, temperatur rendah, dan kerapatan yang tinggi.

Corotating Interaction Region yang Terkait...(Clara Y. Yatini) Gambar 2-1: Ilustrasi skematik Corotating Interaction Region di bidang ekuatorial Matahari (Pizzo, 1978). Medan magnet plasma yang berkecepatan rendah tampak lebih melengkung dari pada medan magnet plasma yang lebih cepat 3 PROFIL ANGIN SURYA Untuk mengetahui apakah lubang korona yang terjadi tanggal 22 Agustus 2010 terkait dengan CIR, maka akan dilihat profil angin surya di sekitar hari tersebut. Menurut Gosling et al. (1995) yang dapat menunjukkan profil CIR adalah kecepatan, kerapatan, dan temperatur ion. Oleh sebab itu pada Gambar 3-1 diperlihatkan profil angin surya yang terdiri dari kecepatan, kerapatan, dan temperatur ion dari tanggal 20 27 Agustus 2010. Pada gambar tersebut profil kecepatan (panel atas) menunjukkan adanya peningkatan kecepatan yang besar dari 300 km/detik menjadi lebih dari 600 km/detik pada tanggal 24 Agustus. Pada panel tengah yang menunjukkan kerapatan terjadi lonjakan kerapatan yang tinggi pada 23 Agustus jam 21 UT, yang kemudian turun lagi dengan cepat, sedangkan pada profil temperatur (panel bawah) kenaikan dengan cepat juga terjadi pada awal 24 Agustus 2010. Dengan melihat pola ketiganya dapat terlihat bahwa pada awalnya, yaitu tanggal 23 Agustus kecepatan angin surya rendah dan temperatur yang rendah, tetapi memiliki kerapatan yang tinggi. Pola ini kemudian segera diikuti oleh kecepatan dan temperatur yang tinggi, sementara kerapatannya menjadi rendah. Pola seperti ini menurut Gosling et al. (1995) merupakan karakteristik dari CIR. Interaksi kedua plasma dengan kecepatan berbeda terlihat pada 23 Agustus sekitar jam 21 UT, yaitu saat naiknya kerapatan dalam angin surya. 9

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 1 Maret 2011: 6-11 Gambar 3-1: Profil angin surya tanggal 20 27 September 2010. Dari atas ke bawah: kecepatan, kerapatan, dan temperatur ion. (Sumber: Advanced Composition Explorer) 4 PENUTUP Pada 22 Agustus 2010 terlihat adanya lubang korona yang diamati oleh satelit Solar Dynamic Observatory. Lubang korona ini ternyata menyebabkan naiknya kecepatan angin surya. Berdasarkan profil angin surya yang ditelaah, ternyata profilnya menunjukkan bahwa ada keterkaitan dengan fenomena Corotating Interaction Region (CIR). Lubang korona ini tampak pada saat aktivitas Matahari minimum, yaitu pada awal siklus ke 24. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Kunow (1999) bahwa CIR umumnya terjadi pada saat aktivitas Matahari minimum dan pada fasa turun siklus aktivitas Matahari. DAFTAR RUJUKAN Advanced Composition Explorer, http:// www.srl.caltech.edu/ace/. Cranmer, S.R., 2002. Coronal Holes and the High-Speed Solar Wind, Space Sci. Rev., 101, 229. Gosling, J.T., Bame, S.J., Feklman, W.C., McComas, D.J., Phillips, J.L., Goldstein, B.E., Neugebauer, M., 10

Corotating Interaction Region yang Terkait...(Clara Y. Yatini) Burkepile, J., Hundhausen, A.J., Acton, D., 1995. The Band of Solar Wind Variability at Low Heliographic Latitude near Solar Activity Minimum: Plasma Results from the Ulysses Rapid latitude Scan, Geophys. Res. Lett, 22, 3329. Hundhausen, A.J., 1973. Non Linear Model of High Speed Solar Wind, J. Geophys. Res. 78, 1528. Hundhausen, A.J., Gosling, J. T., 1976. Solar Wind Structure at Large Heliocentric Distances: An Interpretation of Pioneer 10 Observation, J. Geophys. Res. 81, 1436. Kunow, H., 1999. Corotating Interaction Region in the Heliosphere: Workshop Report, International Cosmic Ray Conference 6, 524. McComas, D.J., Elliott, H.A., Schwadron, N.A., Gosling, J.T., Skoug, R.M., Goldstein, B.E., 2003. The Three Dimensional Solar Wind Around Solar Maximum, Geophys. Res. Lett. 30, 1517. NASA s Cosmos, http:// www. ase. tufts. edu/. Nolte, J.T., Krieger, A.S., Timothy, A.F., Gold, R.E., Roelof, E.C., Vaiana, G., Lazarus, A.J., Sullivan, J.D., McIntosh, P.S., 1976. Coronal Holes as Sources of Solar Wind, Solar Phys. 46, 303. Parker, E.N., 1963. Interplanetary Dynamical Processes, John Wiley, New York. Phillips, J.L., Balogh, A., Bame, S.J., Goldstein, B.E., Gosling, J.T., Hoelsema, J.T., McComas, D.J., Neugebauer, M., Sheeley, N.R., Wang, Y.M., 1994, Ulysses at 50 South: Constant Immersion in the High Speed Solar Wind, J. Geophys. Res. 21, 1105. Pizzo, V.J., 1978. A Three Dimensional Model of Corotating Streams in the Solar Wind-I. Theoretical Foundations, J. Geophys. Res. 83, 5563. Solar Dynamics Observatory, http:// sdo.gsfc.nasa.gov/. Zhang, J., et al., 2003. Identification of Solar Sources of Major Geomagnetic Storms between 1996 and 2000, Astrophys. J. 582, 520 11