A. Latar Belakang Bab I Pendahuluan Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan berhubungan dengan proses penyelenggaraan pendidikan, sumber daya manusia dan sarana dan prasarana. Berdasarkan hasil kompetisi baik tingkat regional maupun internasional, kualitas pendidikan Indonesia secara umum termasuk dalam kategori rendah, meskipun dalam beberapa ajang kompetisi internasional secara individu peserta dari Indonesia pernah mencapai prestasi peringkat pertama. Menurut Education for All (EFA) Global Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO dan diluncurkan di New York pada Senin, 1/3/2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei (Napitupulu 2011). Kenyataan di atas dapat menjadi indikasi bahwa pendidikan di Indonesia dapat dikatakan belum sebagaimana yang digariskan dalam renstra pendidikan nasional. Depdiknas (2002) dalam buku I konsep dasar MPMBS menyebutkan bahwa kurang berhasilnya pendidikan di Indonesis disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function (pendekatan input-output analysis) tidak dilaksanakan secara konsekuen; kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional diselenggarakan secara birokratik- 1
sentralistik, menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur panjang dan kadangkadang kebijakan yang dikeluarkan kurang sesuai dengan kondisi sekolah setempat; ketiga, peranserta warga sekolah khususnya pendidik dan peranserta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini masih minim. Pada pendekatan education production function (input-output analysis), lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi. Jika semua masukan yang diperlukan dalam produksi dipenuhi, maka akan menghasilkan output yang dikehendaki. Input pendidikan yang dimaksud seperti pelatihan pendidik, pengadaan buku dan alat pelajaran, kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan dianggap dapat secara otomatis menghasilkan mutu pendidikan, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Kebijakan birokratiksentralistik yang selama ini dilaksanakan dapat mengurangi kemandirian sekolah, motivasi, kreativitas, inisiatif pelaksana pendidikan dalam mengembangkan dan memajukan sekolah. Sekolah banyak bergantung pada keputusan dari pusat dan melaksanakan keputusan tersebut yang sebenarnya sering kali kurang sesuai dengan kondisi sekolah. Sementara partisipasi warga sekolah dan masyarakat masih sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral dan barang/jasa kurang diperhatikan. Untuk mengatasi beberapa faktor tersebut, pemerintah telah menempuh beberapa upaya dalam meningkatkan mutu pendidikan. 2
Peningkatan mutu pendidikan secara umum dapat dicapai melalui proses pendidikan secara berkesinambungan dan menyeluruh dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Sebagaimana disebutkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional tentang arah kebijakan pembangunan pendidikan nasional tahun 2010-2014 antara lain: Penerapan manajemen berbasis sekolah atau madrasah merupakan kebijakan terobosan yang bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih besar pada sekolah dan madrasah untuk mengelola kegiatan pendidikan dengan menggali potensi dan kekuatan yang ada, kemudian mengembangkan dan memanfaatkannya untuk meningkatkan mutu pendidikan, melalui kegiatan pengelolaan BOS, dan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Lebih lanjut disebutkan bahwa otonomi satuan pendidikan selain sebagai bentuk demokratisasi pengelolaan pendidikan, juga merupakan jaminan bagi satuan pendidikan untuk mengelola organisasi pendidikannya secara mandiri (www.diknas.go.id). Otonomi yang diberikan harus diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas yang kuat sehingga lingkungan kelembagaan satuan pendidikan lebih kondusif bagi tumbuhnya pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, demokratis, kreatif, inovatif, dan enterpreneurial. Kebijakan ini dilaksanakan dalam bentuk manajemen berbasis sekolah. Perubahan manajemen pendidikan dari sentralistik ke desentralistik menuntut proses pengambilan keputusan pendidikan yang lebih terbuka, dinamis dan demokratis. Renstra Diknas tahun 2010-2014 Bab V, 5.2.9:a, menyebutkan salah satu wujud dari otonomi 3
pendidikan, baik satuan pendidikan negeri maupun swasta pada pendidikan dasar dan menengah 9 tahun diterapkannya konsep dan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau madrasah (school-based management). Untuk pendidikan dasar dan menengah, proses otonomi pengambilan keputusan dapat dilaksanakan secara efektif dengan menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Inti dari MBS adalah pemberian wewenang (otonomi) kepada sekolah dengan harapan dapat mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif, kemandirian, kemitraan, kerja sama, tanggung jawab, keterbukaan, keluwesan, akuntabilitas, dan keberlangsungan. Tujuan dari pelaksanaan MBS adalah untuk meningkatkan mutu sekolah. Kebijakan sebagaimana disebutkan di dalam Renstra Diknas bertujuan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dengan pengelolaan manajemen yang transparan, akuntabel dengan mengikutsertakan masyarakat berpartisipasi secara aktif membangun sekolah. Meningkatkan kemampuan manajemen merupakan sebuah keharusan jika keberhasilan pelaksanaan pendidikan dalam era desentralisasi daerah dan desentralisasi pendidikan diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan kemampuan manajemen dapat dilakukan melalui kepemimpinan yang dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi terjadinya inovasi dan perubahan-perubahan untuk meningkatkan kinerja. Penerapan manajemen berbasis sekolah atau madrasah memberikan otonomi yang lebih besar pada 4
sekolah dan madrasah untuk mengelola kegiatan pendidikan dengan menggali potensi dan kekuatan yang ada, selanjutnya mengembangkan dan memanfaatkannya dalam meningkatkan mutu pendidikan. Upaya dilakukan melalui kegiatan pengelolaan dana BOS, dan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pelaksanaan KTSP diwujudkan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Model PAKEM. Pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah dilaksanakan dengan transparan, akuntabel dan aseptabel. Pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel diharapkan dapat membangun rasa kepercayaan pihak-pihak terkait, menimbulkan motivasi, kreatifitas, dan inovasi para pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dalam hal ini, peranserta masyarakat khususnya melalui Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan sangat diperlukan agar tercipta proses transparansi manajemen sebagai bagian dari otonomi sekolah. Sejalan dengan kebijakan tersebut Pemerintah Kabupaten Semarang melalui Dinas Pendidikan Kabupaten telah mencanangkan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah melalui sosialisasi secara bertahap yang diikuti oleh Kepala Sekolah, Pendidik, dan Komite Sekolah dari tahun 2006 sampai dengan 2008. Tahun Pelajaran 2008/2009 seluruh sekolah di Kabupaten Semarang sudah harus melaksanakan pengelolaan dengan Manajemen Berbasis Sekolah. Kebijakan ini membawa konsekuensi terhadap manajemen sekolah. Kepala sekolah harus mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai 5
tujuan pendidikan pada satuan pendidikan yang dikelolanya. Kegiatan yang dilakukan meliputi pemberdayaan setiap personil, sarana dan prasarana yang dimilikinya, serta stakeholder yang ada. Sejalan dengan kebijakan tersebut, kepala sekolah harus melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah. Sebagai manajer, kepala sekolah merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan, dan mengendalikan pelaksanaan program sekolah. Pendidik berperan sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien. Berdasarkan angket awal terhadap 25 SD negeri di kecamatan Banyubiru, diperoleh data bahwa semua sekolah telah berusaha melakanakan MBS. Namun berdasarkan pilar MBS (transparansi, PAKEM, dan peranserta masyarakat), pelaksanaan masing-masing sekolah bervariasi. Dari 23 sekolah yang mengembalikan angket, 4 sekolah melaksanakan prinsip transparansi, 19 belum; 10 sekolah melaksanakan PAKEM, 13 belum; dan 1 sekolah melaksanakan prinsip peranserta masyarakat, sedangkan 22 sekolah belum. Mengacu pada tujuan MBS, beberapa penelitian tentang implimentasi MBS menunjukkan hasil yang beragam. Efektivitas MBS ditunjukkan dalam penelitian Sumantri (2007), Heniwati (2007), Zainullah (2006). Sumantri (2007), menyebutkan bahwa efektivitas MBS ditinjau aspek transparansi berjalan cukup baik, dan perolehan output berupa prestasi akademik dan non akademik; Heniwati (2007), menyimpulkan bahwa implementasi MBS lebih efektif di sekolah kota daripada pedesaan; sementara Zaenullah (2007), menyimpulkan 6
bahwa SDN Sawojajar telah melaksanakan manajemen sekolah, PAKEM sudah berjalan walaupun perlu peningkatan-peningkatan, dan peranserta masyarakat sudah berjalan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa MBS di SDN Sawojajar 1 Malang sudah berjalan, dan berdampak positif terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Sementara hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Ferdinan (2009) dan Sayekti (2005). Ferdinan menyimpulkan implementasi MBS di SMA 1 Barumun Padang Lawas masih terdapat hambatanhambatan dalam peningkatan partisipasi masyarakat, dan transparansi. Dalam hal partisipasi disebutkan bahwa orang tua lebih memperhatikan hasil akhir sesuai dengan dana yang dikeluarkan dan rendahnya kepedulian terhadap proses pendidikan; perbedaan keinginan dan pendapat antara warga sekolah yang menyulitkan pengambilan keputusan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara dalam hal transparansi, masyarakat berpendapat bahwa sekolah belum terlepas dari pelaksanaan praktik-praktik KKN dalam pengelolaan sekolah; rendahnya tingkat pengurangan pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan yang berlaku di sekolah. Sedangkan Sayekti (2005), menyimpulkan adanya hambatan dalam pelaksanaan MBS. Hambatan pelaksanaan MPMBS di SD Negeri Tempel I Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta mencakup tiga hal yaitu kurangnya minat masyarakat untuk terlibat dalam MPMBS, kurangnya pengetahuan tentang MPMBS dan kurangnya koordinasi karena MPMBS merupakan program baru. 7
Pendapat lain, Zaenuddin (2008), dalam kritiknya terhadap kurikulum dan MBS mengungkapkan bahwa, Pada kenyataannya penerapan MBS tidak atau belum sesuai dengan ide-ide dasar MBS, sehingga peningkatan mutu Pendidikan belum bisa tercapai secara maksimal. Sementara peningkatan mutu merupakan fokus MBS. MBS tidak ada artinya apabila tidak diorientasikan pada mutu. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa penerapan MBS belum dapat dilaksanakan secara efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu menarik untuk diadakan penelitian lebih lanjut tentang pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah berdasarkan prinsip Transparansi Manajemen, Akuntabilitas, dan Pertisipasi Masyarakat pada sekolah dasar Gugus Ki Hajar Dewantoro Kecamatan Banyubiru. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, permasalahannya adalah : 1. Bagaimanakah pelaksanaan Manajemen Berbasis pada Gugus Ki Hajar Dewantoro Kecamatan Banyubiru? 2. Hambatan-hambatan apa yang dialami sekolah dalam melaksanakan MBS? 3. Bagaimanakah dampak pelaksanaan MBS terhadap kinerja sekolah pada Gugus Ki Hajar Dewantoro Kecamatan Banyubiru? C. Pembatasan Masalah Permasalahan yang mungkin muncul dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah sangatlah 8
bervariasi. Oleh karena itu perlu adanya pembatasan masalah. Penelitian ini dengan dibatasi pelaksanaan MBS berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi pada Gugus Ki Hajar Dewantoro Kecamatan Banyubiru. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk: 1. Mengetahui pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah pada Gugus Ki Hajar Dewantoro Kecamatan Banyubiru. 2. Mengetahui hambatan-hambatan yang dialami sekolah dalam melaksanakan MBS. 3. Mengetahui dampak pelaksanaan MBS terhadap kinerja pendidik pada Gugus Ki Hajar Dewantoro Kecamatan Banyubiru. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat secara teoritis maupun praktis bagi sekolah, Dinas Pendidikan, dan Masyarakat pengguna jasa pendidikan. 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian pengetahuan dalam pengelolaan pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah. 2. Manfaat Praktis a. Bagi sekolah, diharapkan dapat memberikan informasi, bahan kajian, evaluasi dan pengembangan pelaksanaan MBS berdasarkan aspek Transparansi 9
Manajemen, Akuntabilitas, dan Partisipasi Masyarakat. b. Bagi Dinas Pendidikan, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam kegiatan evaluasi dan pengambilan keputusan lebih lanjut berkaitan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan melalui pengembangan program MBS di Kabupaten Semarang. c. Bagi Komite Sekolah dan masyarakat, diharapkan menjadi bahan masukan dan evaluasi dalam mengoptimalkan peransertanya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah 10