BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Struktur Bumi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

Penentuan Posisi dengan GPS

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS)

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB IV PENGOLAHAN DATA

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

BAB 4 ANALISIS DATA TIME SERIES GPS KONTINU SUGAR

BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB II GPS DAN ATMOSFER

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB III PENENTUAN ZENITH TROPOSPHERIC DELAY

BAB III METODE PENELITIAN

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

BAB 2 DATA DAN METODA

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

BAB III METODE PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA SEISMOELEKTRIK. palu. Dari referensi pengukuran seismoelektrik di antaranya yang dilakukan oleh

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN I.1.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile

B A B II ATMOSFER DAN GPS

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI

ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu alat yang dapat kita sebut canggih adalah GPS, yaitu Global

BAB 4 HASIL PENGOLAHAN DATA & ANALISIS

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik

BAB III ANALISIS SPEKTRAL PADA RUNTUN WAKTU MODEL ARIMA. Analisis spektral adalah metode yang menggambarkan kecendrungan osilasi

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TEORI DASAR (2.1) sin. Gambar 2.1 Prinsip Huygen. Gambar 2.2 Prinsip Snellius yang menggambarkan suatu yang merambat dari medium 1 ke medium 2

ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN METODE PENGUKURAN GPS KINEMATIK

Studi Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System

BAB III TEORI DASAR. Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam

BAB 3 PEMANTAUAN PENURUNAN MUKA TANAH DENGAN METODE SURVEY GPS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment).

BAB 3 PEMBAHASAN DAN PENGOLAHAN DATA

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

Pertemuan ke-5 Sensor : Bagian 1. Afif Rakhman, S.Si., M.T. Drs. Suparwoto, M.Si. Geofisika - UGM

PENGARUH GEOMETRI SATELIT DAN IONOSFER DALAM KESALAHAN PENENTUAN POSISI GPS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI KONDISI UDARA DI ATAS GUNUNGAPI BATUR DENGAN MENGGUNAKAN GPS

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Pendahuluan. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada pembenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia,

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

MENGENAL GPS (GLOBAL POSITIONING SYSTEM) SEJARAH, CARA KERJA DAN PERKEMBANGANNYA. Global Positioning System (GPS) adalah suatu sistem navigasi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. meruntuhkan bangunan-bangunan dan fasilitas umum lainnya.

Dalam sistem komunikasi saat ini bila ditinjau dari jenis sinyal pemodulasinya. Modulasi terdiri dari 2 jenis, yaitu:

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai

Teknik Sistem Komunikasi 1 BAB I PENDAHULUAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

B A B III GPS REALTIME UNTUK PENGAMATAN TROPOSFER DAN IONOSFER

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

Latar Belakang STUDI POST-SEISMIC SEISMIC GEMPA ACEH 2004 MENGGUNAKAN DATA GPS KONTINYU. Maksud & Tujuan. Ruang Lingkup

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

Metode Deret Berkala Box Jenkins

BAB II DASAR TEORI. sebagian besar masalahnya timbul dikarenakan interface sub-part yang berbeda.

Transkripsi:

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Struktur Bumi Bumi yang kita tinggali ini memiliki jari-jari yang dihitung dari inti bumi ke permukaan terluarnya yaitu sekitar 6.357 km [NASA]. Dengan jari-jari sebesar itu, bumi ini tersusun atas lapisan-lapisan dengan tebal yang berbeda-beda. Untuk mengetahui struktur lapisan bumi ini, tidak digunakan pengamatan secara langsung melainkan dengan metode gelombang seismic [NASA]. Secara umum, bagian bumi terbagi atas 4 lapisan besar yaitu kerak, mantel, inti bumi bagian luar, dan inti bumi bagian dalam seperti yang digambarkan pada gambar di bawah ini. Gambar 2.1 Struktur bumi [Brooks Cole Thomson,, 2006]. a) Kerak Bumi terdiri atas daratan dan laut. Lapisan kerak bumi memiliki ketebalan yang bervariasi yaitu antara 35-70 km untuk daratan dan 5-10 km untuk lautan. Unsur penyusun yang dominan untuk lapisan kerak bumi ini adalah alumino-silicate. 8

b) Mantel lapisan yang tersusun oleh sebagian besar senyawa ferromagnesium silicates, memiliki ketebalan hampir 2900 km. Lapisan ini terpisah menjadi dua bagia, yaitu lapisan mantel bagian atas dan lapisan mantel bagian bawah. Dalam lapisan mantel inilah sebagian besar panas bumi tersimpan dan menjadi faktor terjadinya proses lempeng tektonik. c) Inti bagian luar berupa cairan yang memiliki ketebalan sekitar 2300 km. Sebagian besar lapisan ini tersusun oleh campuran antara nikel dan besi. Medan magnet di bumi diyakini dikontrol oleh cairan dari inti bagian luar. d) Inti bagian dalam berupa padatan dengan jari-jari sekitar 1200 km. Sebagian besar, inti bagian dalam tersusun atas besi. 2.2 Tektonik Lempeng Teori mengenai tektonik lempeng dimulai saat Alfred Wegener, 1912, mengajukan teori Continental Drift atau Benua yang Mengapung. Wegener menyatakan bahwa daratan berpindah di atas dasar laut, hal ini yang menjadi alasan mengapa banyak garis pantai terluar suatu daerah (Amerika Selatan dan Afrika) seperti cocok satu sama lain seperti sebuah puzzle. Paleontologis pun menemukan bahwa terdapat kesamaan fosil antara yang ditemukan di dua lokasi yang kini dipisahkan oleh jarak yang jauh. Penemuan ini sepertinya menegaskan bahwa lithospehere bumi memang mengalami perpindahan dalam kurun waktu yang lama [USGS, 2011]. Teori Wegener ini pada awal mulanya ditentang banyak pihak dikarenakan Wegener tidak dapat menjelaskan teori yang ia kemukakan tentang benua yang mengapung. Pada saat itu, para geologis masih meyakini bahwa rupa bumi terbentuk akibat dari siklus pemanasan dan pendinginan yang mengakibatkan adanya peluasan dan peregangan pada masa bumi. Akhirnya, setelah tahun demi tahun terlewati, buktibukti yang menunjukkan bahwa teori Wegener ada benarnya mulai terungkap. Pada sekitar tahun 1950, pengamatan terhadap dasar laut menunjukkan bahwa dasar lautan mengalami pengembangan sebanyak beberapa centimeter per tahunnya. Ini menunjukkan bahwa memang terjadi suatu pergerakan dari suatu bagian kerak bumi 9

dengan jumlah yang sangat besar, yang saat ini dikenal dengan lempeng tektonik [USGS, 1999]. Saat ini, para ilmuwan memiliki pemahaman yang sama mengenai pergerakan lempeng dan bagaimana hubungan pergerakannya tersebut terhadap aktivitas bumi. Kebanyakan pergerakan terjadi di sepanjang zona antar lempeng dimana banyak terjadi aktivitas lempeng tektonik. Berdasarkan arah pergerakan dan deformasi geologinya, terdapat empat jenis perbatasan antar lempeng tektonik, antara lain [USGS, 2012] : a. Batas lempeng divergen, yaitu ketika lempeng-lempeng muda baru muncul ke permukaan kemudian bergerak saling menjauhi satu sama lain; b. Batas lempeng konvergen, yaitu ketika suatu lempeng bergerak menyelam kebawah lempeng yang lain; c. Batas lempeng transform, yaitu ketika lempeng bergerak secara horizontal melewati lempeng yang lain; d. Zona batas lempeng, dimana arah pergerakan lempeng tidak dapat teridentifikasi dengan baik dan efek dari interaksi antar lempengnya pun tidak jelas. 2.3 Analisis Deret Waktu Deret waktu merupakan sederetan pengamatan yang dihubungkan dengan ruang waktu [Box and Jenkins, 1970 dalam Wijaksana, 2009]. Jika suatu pengukuran dilakukan dalam suatu selang waktu tertentu, maka akan diperoleh data ukuran deret waktu yang diskrit (lead time - t). Semakin dekat jarak antar selang waktu titik-titik pengamatan, maka deret waktu yang dihasilkan akan semakin mendekati kontinu. Deret waktu digunakan untuk menggambarkan sifat dari suatu variabel pada waktu yang lalu sebagai acuan untuk menentukan sifat variabel tersebut pada waktu tertentu, baik interpolasi maupun ekstrapolasi. Secara klasik, deret waktu terbagi atas empat kategori [Wijaksana, 2009], yaitu : a. Kecenderungan (trend atau long term movement) Kecenderungan merupakan gerak yang menunjukkan tren dari deret waktu yang biasanya dalam jangka yang lama. Gerak ini menggambarkan sifat 10

kekontinuitasan dari waktu ke waktu selama jangka waktu tersebut. Pola kecenderungan ini bisa berbentuk garis lurus (linier) ataupun garis lengkung (non-linier), tergantung pada keadaan data deret waktu itu sendiri setelah data pengamatan (berupa titik-titik) diplot pada diagram tertentu. Plot dari titik-titik ini sedapat mungkin dimodelkan dalam suatu persamaan matematis dengan tujuan agar dapat digunakan dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh jika suatu data memiliki tren linier, maka model matematis dari plot data tersebut yaitu memenuhi persamaan : y (t) = ax + b... [1] dimana x merupakan waktu pengamatan dan y (t) merupakan data pergerakan berdasarkan suatu deret waktu, adapun a dan b merupakan parameter yang nilainya ditentukan berdasarkan semua nilai data pengamatan. Gambar berikut adalah contoh data yaitu data time series GPS yang memiliki tren linier. Gambar 2.2 Tren linier dalam suatu data pengamatan time series GPS [Nikolaidis, 2002]. Dalam pengamatan time series GPS, pola linier merupakan pola deformasi yang diamati. Akan tetapi, pola deformasi yang diperoleh dalam setiap pengamatan GPS tidak pernah lepas dari pengaruh pola musiman, pola naikturun, dan pola tak beraturan. Untuk kecenderungan pola lengkung, model persamaan matematis yang mungkin yaitu polinomial berderajat dua atau lebih. Secara umum, persamaan matematis dari polinomial berderajat adalah : y (t) = a + bx + cx 2 + +kx n..[2] 11

dengan nilai a, b, c, dst ditentukan berdasarkan atas seluruh data pengamatan dari deret waktu. Kecenderungan pola lengkung ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena ketidaksempurnaan dalam proses perhitungan model global ionosfer pada saat pengolahan data. b. Gerak naik-turun (cylical movement) Gerak naik-turun merupakan pola yang disebabkan oleh beberapa faktor tertentu yang menyebabkan terdapatnya perubahan signifikan terhadap suatu tren data. Contohnya pada suatu data time series berikut, dimana pola naikturun diakibatkan oleh adanya aktivitas koseismik di titik pengamatan tersebut, yaitu gempa bumi Nias pada bulan Maret 2005. Gambar 2.3 Pola naik-turun dalam suatu data time series GPS. c. Gerak musiman (seasonal variation) Gerak musiman merupakan pola yang teratur dan relatif serupa yang bersifat periodik, yaitu gerakan yang memiliki periode berulang dalam selang waktu tertentu. Berikut adalah contoh dari pola gerak musiman. Gambar 2.4 Pola gerak musiman pada suatu data time series GPS [Nikolaidis, 2002]. 12

d. Gerak tak beraturan (irregular movement) Gerak ini berupa suatu pola yang tidak beraturan, yang hanya terjadi sesekali dalam suatu waktu tertentu tanpa memiliki pola, sehingga gerak ini tidak dapat diprediksi. Untuk dapat mendeteksi gerakan tak beraturan ini, lebih dahulu dihilangkan pola musiman dan pola naik-turun, sehingga yang tersisa hanya pola tak beraturan ini. Dalam pengamatan GPS, pola tak beraturan ini merupakan indikasi adanya data outlier atau data yang masih memiliki kesalahan besar. Data outlier ini merupakan data yang seharusnya tidak digunakan dalam suatu data pengamatan, sehingga keberadaannya harus dihilangkan. Berikut adalah contoh data time series GPS yang dipengaruhi oleh outlier. Gambar 2.5 Pola tak beraturan dalam suatu data time series GPS [Casimin, 2009]. 13

2.4 Pengertian Analisis Spektral Dalam studi deformasi secara geodetik, dilakukan pengamatan yang melibatkan berbagai jenis instrumen. Analisis terhadap hasil pengamatan tersebut memerlukan suatu data time series. Pengukuran secara fisik menunjukkan bahwa suatu data time series terdiri atas gabungan beberapa jenis sinyal deformasi yang berbeda, termasuk sinyal dari kesalahan acak (Gambar 2.6), sehingga dibutuhkan suatu metode untuk memisahkan dan menganalisis sinyal-sinyal tersebut. Gambar 2.6 Bentuk data time series biasanya rumit dan tidak cukup dengan hanya dimodelkan secara sederhana. Seperti dilihat pada gambar bahwa analisis time series tidak hanya terdiri dari satu buah sinyal (a), tetapi merupakan gabungan dari 3 buah sinyal yaitu trend linier (b), dua buah sinyal sinusoidal (c) dan (d), dan juga noise (e) [Pytharouli, et.al, 2004]. Untuk beberapa kasus, suatu sinyal yang dominan dapat dengan mudah ditemukan dengan menggunakan teknik sederhana seperti fitting polinomial atau fitting dengan menggunakan pergerakan rata-rata. Tapi terdapat juga kasus dengan rasio noise-tosignal-nya tinggi, dan ini sering ditemukan dalam kasus pengamatan GPS, dimana data pengamatannya tidak terdistribusi secara merata terhadap waktu. Dalam kasus ini, tidak dapat diselesaikan dengan hanya dengan teknik analisis sinyal yang sederhana. Dibutuhkan teknik analisis spektral untuk menyelesaikan permasalahan ini. Adapun tahap-tahap dalam analisis spektral adalah sebagai berikut [Pytharouli, et.al, 2004]. 14

1) Analisis Sinyal Ketika suatu time series akan dianalisis, maka tahap pertama yang dilakukan ialah mengindentifikasi trend yang mungkin ada dan membuangnya. Sebagai contoh yaitu pada Gambar 2.6, setelah membuang linier trend yang ada (a), maka yang tersisa dalam sinyal tersebut adalah gabungan sinyal pada Gambar 2.6 bagian (c), (d), dan (e). 2) Autokorelasi Tahap selanjutnya yaitu untuk mengidentifikasi terdapatnya sinyal periodik atau tidak, yaitu dengan menggunakan fungsi Autokorelasi [Box and Jenkins, 1976]. Fungsi ini didefinisikan sebagai koefisien dari korelasi linier (koefisien autokorelasi) antara titik-titik yang merupakan bagian dari time series f(t) dengan yang lain f(t+lag) untuk semua nilai lag. Bukti adanya periodisitas atau Tidak periodisitas terdapat Gambar 2.7 Analisis korelasi. Korelasi antara data time series f(t) dan f(t+lag) yang dihitung dalam berbagai nilai lag. Jika plot antara koefisien autokorelasi dan lag-nya berbentuk osilasi, maka dapat dikatakan bahwa terdapat periodisitas dalam time series f(t) [Pytharouli, et.al, 2004]. 3) Korelasi Silang Hal yang biasa menjadi permasalahan adalah ketika muncul pertanyaan apakah terdapat hubungan antara dua buah variabel yang diwakilkan oleh fase antar dua time series f(t) dan g(t) yang muncul akibat perhitungan dua buah variabel. Korelasi silang merupakan metode yang biasa digunakan untuk mengestimasi hubungan antara dua buah variabel. Metode ini hampir serupa dengan metode autokorelasi, 15

hanya saja perbedaannya yaitu korelasi silang yaitu hubungan antara dua buah time series [Box and Jenkins, 1976 dalam Pytharouli, et.al, 2004]. Lokasi yang paling cocok Gambar 2.8 Korelasi silang antara dua buah time series f(t) dan g(t). Tiap nilainya dihubungkan oleh f(t+lag). Nilai paling besar yang ada di plot mengindikasikan keterlambatan waktu a, dimana korelasi maksimum didapat. 4) Analisis Spektral Setelah periodisitas dapat dideteksi, maka langkah selanjutnya adalah adalah menganalisis time series yang memiliki unsur sinyal periodik dan menghitung periode dan amplitudonya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode Fourier transforms (biasanya DFT/Discrete Fourier Transform), atau dalam kasus ini, jika data time series yang ada bersifat non-ekuidistant maka digunakan metode algoritma periodogram Lomb atau dengan menggunakan fitting polinomial. a. Fourier Transform Suatu spektrum yang berupa sinyal diskrit biasanya berdasarkan pada proses FFT/DFT (Fast Fourier Transform/Discrete Fourier Transform). Kelebihan dari analisis spektrum menggunakan FFT/DFT yaitu dapat menghitung secara efisien dengan hasil yang baik dengan jarak jangkauan sinyal luas. Dengan kelebihan tersebut, ternyata metode FFT/DFT memiliki beberapa kekurangan diantaranya yaitu dalam menganalisis data dalam waktu pendek [Kay and Marple, 1981 dalam Pytharouli,et.al, 2004] sebagai syarat untuk data yang bersifat ekuidistant. Untuk hal yang terakhir, terdapat dua cara untuk mengatasi masalah tersebut, menggunakan interpolasi atau dengan memberi nilai 0 pada data yang kosong. 16

b. Metode Normalisasi Periodogram Lomb Spektrum dari data yang bersifat non-uniform jauh lebih rumit dibandingkan dengan data yang bersifat uniform, selain itu tidak dapat terdefinisi dalam region frekuensi. Adapun pada data yang tersebar merata, kita dapat menganalisis spektrumnya karena periodenya dapat terdefinisi secara baik. Metode yang sering digunakan dalam menghitung spektrum dari data yang tidak tersebar merata yaitu menggunakan analisis periodogram. Metode ini memungkinkan kita untuk mengabaikan data yang tidak merata dan perhitungannya tetap menggunakan metode Fourier seperti digunakan dalam data yang tersebar merata, hanya saja dengan memodifikasi algoritma dari FFT. Teknik ini dikembangkan oleh Lomb (1976) yang didasari oleh apa yang telah dilakukan oleh Vanicek (1969) sebelumnya. Rumus pada normalisasi Periodogram Lomb sama dengan rumus yang diperoleh jika unsur harmonik terdapat pada data, untuk suatu frekuensi dengan nilai ω diperoleh dengan fitting linear kuadrat terkecil dengan model berikut [Press et al., 1988]: h(t) = Acos ω t + Bsin ω t.. [3] Metode ini terbukti dapat menghasilkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode FFT, ditambah lagi bahwa metode Lomb ini menggunakan data pengamatan, bukan data interval sampling [Phytharouli, et.al, 2004]. 2.5 Peran Teknologi GPS dalam Memantau Pergerakan Lempeng Bumi 2.5.1 Definisi dan Komponen Utama GPS Global Positioning System (GPS) merupakan sistem satelit radio navigasi berbasis spasial milik Amerika Serikat yang dapat digunakan dalam penentuan posisi objek di muka bumi dengan akurat dan cepat (tiga dimensi koordinat x, y, z), navigasi, dan memberikan informasi waktu serta kecepatan bergerak secara kontinu untuk pengguna pada umumnya di seluruh dunia secara cuma-cuma. Bagi pengguna yang memiliki receiver GPS, maka dengan sistem ini pengguna akan memperoleh lokasi dan waktu. GPS memberikan informasi lokasi dan waktu yang akurat bagi pengguna 17

dalam jumlah yang tak terbatas dalam segala cuaca, baik siang maupun malam, dimanapun di berbagai belahan bumi [Abidin, 2007]. Pada dasarnya, GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu [Abidin, 2007]: Gambar 2.9 Segmen Sistem GPS [Abidin, 2007]. a. Segmen angkasa, yang terdiri atas satelit-satelit GPS serta roket-roket Delta peluncur satelit dari Cape Canaveral di Florida, Amerika Serikat. b. Segmen kontrol, yang terdiri atas monitor yang memonitor secara global, dan stasiun kontrol yang mengawasi semua satelit agar semua satelit tersebut berada dalam jalur orbitnya dan juga mengawasi waktu pada jam satelit. Gambar 2.10 Lokasi stasiun pemonitor dan pengontrol GPS [Abidin, 2007]. Disamping memonitor dan mengontrol kesehatan seluruh satelit berserta komponennya, segmen kontrol tersebut juga berfungsi menentukan orbit dari seluruh satelit GPS yang merupakan informasi vital untuk penentuan posisi dengan satelit. Berikut adalah ilustrasi dari skema kerja segmen kontrol, 18

Gambar 2.11 Skema kerja sistem kontrol GPS [Abidin, 2007]. c. Segmen pengguna, terdiri atas perlengkapan receiver GPS yang menerima sinyalsinyal yang dipancarkan oleh satelit GPS dan menggunakan informasi yang didapat untuk menghitung waktu dan posisi dari pengguna dalam 3 dimensi. Berikut skema dari komponen-komponen yang ada pada receiver, Gambar 2.12 Komponen utama dari receiver GPS [Abidin, 2007]. Satelit GPS beroperasi dengan menggunakan sistem waktunya sendiri, yaitu sistem waktu satelit. Sistem waktu satelit GPS ini didefinisikan oleh jam-jam atom yang terdapat pada masing-masing satelit GPS. Jumlah dari jam atom pada tiap satelit berbeda-beda tergantung jenis satelitnya. 2.5.2 Dasar Penentuan Posisi dengan Menggunakan GPS Penentuan posisi dengan menggunakan GPS memiliki konsep dasar yaitu pengikatan kebelakang (reseksi) jarak. Reseksi jarak ini dilakukan dengan melakukan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya sudah 19

diketahui. Secara vektor, prinsip dasar dari penentuan posisi dengan GPS ini digambarkan oleh gambar berikut ini [Abidin, 2007]. R = r - Gambar 2.13 Prinsip dasar penentuan posisi GPS (pendekatan vektor) [Abidin, 2007]. Berdasarkan Gambar 2.13, parameter yang akan ditentukan yaitu vektor posisi geosentrik pengamat R. Dikarenakan vektor posisi geosentrik dari satelit GPS telah diketahui yaitu r, maka yang akan ditentukan selanjutnya adalah vektor posisi toposentris satelit terhadap pengamat. Pada pengamatan dengan GPS, yang bisa diukur hanyalah jarak dari pengamat terhadap satelit dan bukan vektornya. Oleh sebab itu, maka rumus pada Gambar 2.13 tidak dapat diterapkan. Untuk mengatasi hal itu, maka dilakukan pengamatan jarak terhadap beberapa satelit secara simultan, tidak hanya satu satelit seperti pada Gambar 2.13. Posisi yang diberikan oleh GPS merupakan posisi 3 dimensi (X, Y, Z) yang dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic System) 1984. Titik yang ditentukan posisinya oleh GPS dapat dalam keadaan diam (static positioning) ataupun dalam keadaan bergerak (kinematic positioning). Posisi titik dapat ditentukan dengan menggunakan satu receiver GPS terhadap pusat bumi dengan menggunakan metode absolute positioning, ataupun relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya dengan menggunakan metode differential positioning yang menggunakan minimal dua receiver GPS. Selain itu, GPS dapat memberikan posisi secara instan (real time) ataupun sesudah pengamatan setelah data pengamatannya diproses secara lebih lanjut (post processing) yang biasanya dilakukan agar diperoleh ketelitian yang lebih baik. 20

2.5.3 Metode-metode Penentuan Posisi dengan Menggunakan GPS Metode penentuan posisi dengan menggunakan GPS pada dasarnya tergantung pada mekanisme pengaplikasiannya, dan dapat dikelompokkan menjadi beberapa metode, yaitu absolute, differential, static, rapid static, pseudo-kinematic, dan stop-and-go. Berdasarkan aplikasinya, metode-metode penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi menjadi dua kriteria utama, yaitu survey dan navigasi, seperti yang ada pada Gambar 2.14 [Abidin, 2007]. Gambar 2.14 Metode Penentuan Posisi dengan GPS [Abidin, 2007]. Metode penentuan posisi GPS yang terbaru adalah metode Precise Point Positioning (PPP) yang pada dasarnya berupa metode penentuan posisi GPS secara absolute yang menggunakan data one-way fase dan pseudorange dalam bentuk kombinasi bebas ionosfer. Metode ini umumnya dioperasionalkan dalam metode statik dan memerlukan data GPS dua frekuensi yang menggunakan receiver GPS tipe geodetik. Penentuan tinggi dengan menggunakan GPS memerlukan perhatian khusus karena tinggi yang diperoleh pada saat pengukuran GPS adalah tinggi pada bidang ellipsoid, yaitu ellipsoid WGS84. Pada pemakaian praktis, tinggi yang biasa digunakan adalah tinggi orthometrik yang diperoleh dari pengukuran sipat datar. Karena tinggi ellipsoid dan tinggi orthometrik tidaklah sama, maka nantinya dilakukan konversi dari tinggi ellipsoid ke tinggi orthometrik. Untuk melakukan konversi tersebut, diperlukan data undulasi geoid di titik tersebut. Ketelitian dari komponen tinggi yang diperoleh dari pengukuran GPS umumnya 2-3 kali lebih rendah dibandingkan 21

ketelitian komponen horizontalnya. Kadangkala hingga 4-5 kali lebih rendah. Terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi, yaitu [Abidin, 2007] : a. Satelit-satelit GPS yang bisa diamati hanya yang berada di atas horizon. Karena tidak ada satelit yang berada di bawah pengamat, maka tidak akan ada efek pengeliminasian kesalahan seperti pada halnya komponen horizontal, b. Efek kesalahan dan bias (ionosfer, troposfer, dan orbit) umumnya dialami pada jarak, yaitu memanjang-memendekkan ukuran. Dalam hal ini, yang akan paling terpengaruh yaitu komponen tinggi. 2.5.4 Ketelitian Pengukuran GPS 2.5.4.1 Definisi Akurasi dan Presisi Dalam setiap pengukuran yang dilakukan, khususnya pengukuran GPS, kesalahan merupakan hal yang selalu akan ada dalam hasil yang diperoleh. Kesalahan ini pada umumnya diakibatkan oleh 3 unsur, yaitu kesalahan akibat alat, akibat manusia, dan akibat alam. Adapun jenis-jenis kesalahannya yaitu kesalahan besar (blunder/gross error), kesalahan sistematik, dan kesalahan acak. Kesalahan-kesalahan ini berpengaruh terhadap akurasi dan kepresisian data pengamatan. Maka dari itu, perlu dilakukan koreksi untuk mereduksi kesalahan-kesalahan tersebut sehingga diharapkan kita dapat memperoleh data yang akurat dan presisi. Akurasi yaitu tingkat kedekatan nilai hasil ukuran/pengamatan yang diperoleh terhadap nilai yang sebenarnya. Adapun presisi merupakan tingkat kedekatan antar nilai hasil ukuran/pengamatan yang satu dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya mengenai akurasi dan presisi akan dijelaskan gambar berikut. Gambar 2.15 Ilustrasi akurasi dan presisi. Nilai yang sebenarnya dianalogikan oleh pusat sasaran tembak. 22

2.5.4.2 Kesalahan dan Bias Pada Pengukuran GPS Sinyal GPS dari satelit dalam perjalanannya untuk sampai ke receiver di bumi akan mengalami beberapa kesalahan dan bias. Hal tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor dari satelit itu sendiri, faktor human error yang berasal dari surveyor yang melakukan pengamatan GPS, dan faktor-faktor lainnya. Kesalahan dan bias pada pengukuran GPS harus diperhitungkan karena akan berpengaruh terhadap ketelitian informasi (posisi, kecepatan, percepatan, dan waktu yang diperoleh) dan proses penentuan ambiguitas fase dari sinyal GPS [Abidin, 2007]. Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan dalam menghadapi kesalahan dan bias pada GPS, antara lain [Abidin, 2007]: a. Terapkan mekanisme differencing antar data b. Estimasi parameter dari kesalahan dan bias dalam proses hitung perataan c. Hitung besarnya kesalahan/bias berdasarkan data ukuran langsung d. Hitung besarnya kesalahan/bias berdasarkan model e. Gunakan strategi pengamatan yang tepat f. Gunakan strategi pengolahan data yang tepat g. Abaikan Kesalahan dan bias yang biasa terjadi dalam pengamatan GPS antara lain kesalahan yang berasal dari orbit satelit, bias ionosfer, bias troposfer, multipath, ambiguitas fase, cycle slips, kesalahan jam satelit, kesalahan receiver dan antenna GPS, kesalahan jam receiver, pergerakan pusat fase antenna, dan imaging. 23

Kesalahan orbit satelit pada dasarnya diakibatkan oleh faktor-faktor berikut, yaitu kekurang-telitian pada proses perhitungan orbit satelit, kesalahan dalam prediksi orbit untuk periode waktu setelah uploading, dan penerapan Selective Availability. Kesalahan orbit satelit berpengaruh terhadap pengamatan jarak, seperti yang terambar pada Gambar 2.16 berikut. Gambar 2.16 Pengaruh Kesalahan Orbit [Abidin, 2007]. Efek dari kesalahan orbit pada pengamatan jarak yaitu dr = ρ ρ dimana ρ = jarak satelit yang dilaporkan ρ = jarak satelit yang sebenarnya rad = komponen radial alt = komponen along-track crt = komponen cross-track Secara tipikal, besar dari kesalahan tiap komponen kesalahan orbit satelit GPS (tanpa adanya SA) yaitu radial sebesar 2 m, along-track sebesar 5 m, dan cross-track sebesar 3 m. kesalahan dari orbit satelit ini akan mempengaruhi ketelitian dari koordinat titik-titik yang ditentukan, baik secara absolute maupun relatif. Adapun untuk penentuan posisi secara relatif, semakin panjang baseline yang diamati maka 24

semakin besar efek kesalahan orbit satelit. Adapun untuk mereduksi efek dari kesalahan orbit adalah dengan menerapkan metode differential positioning, memperpendek panjang baseline, memperpanjang interval waktu pengamatan, menentukan parameter kesalahan orbit dalam proses estimasi, dan dengan menggunakan precise ephemeris atau rapid ephemeris [Abidin, 2007]. Bias ionosfer terjadi akibat adanya konsentrasi ion-ion bebas (elektron) yang terdapat lapisan ionosfer yang mengambat propagasi sinyal GPS. Efek ionosfer ini berpengaruh terhadap kecepatan, arah, polarisasi, dan kekuatan sinyal, dimana akan mempengaruhi jarak ukuran yang diperoleh. Cara mereduksi efek dari bias ionosfer adalah dengan menggunakan data GPS dual frekuensi (L1 dan L2), melakukan differencing hasil pengamatan, memperpendek panjang baseline, melakukan pengamatan pada pagi atau malam hari, menggunakan model prediksi global ionosfer (untuk daya GPS satu frekuensi) seperti model Bent dan Klobuchar, dan menggunakan parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem Wide Area Differential GPS (WADGPS) [Abidin, 2007]. Troposfer adalah lapisan atmosfer terendah yang ada di permukaan bumi dengan ketinggian dari 0-16 km, dengan tebal lapisan ini bervariasi tergantung dari tempat dan waktu. Lapisan troposfer ini memiliki persentase terbesar dari total massa atmosfer keseluruhan, yaitu lebih dari 75%. Refraksi sinyal yang terjadi di lapisan ini mengakibatkan apa yang disebut sebagai bias troposfer. Akibat dari bias troposfer ini adalah memperlambat dan merubah arah dari laju pseudorange dan fase, sehingga akan berpengaruh terhadap ketelitian dan hasil ukuran jarak. Bias troposfer ini biasanya terbagi atas dua komponen, yaitu komponen kering dan komponen basah. Komponen kering merupakan komponen penyusun bias yang paling besar, yaitu sebesar 90% dari total bias yang ada. Komponen kering ini besarnya dapat diestimasi dengan baik berdasarkan data meteorologi permukaan bumi, seperti temperatur, tekanan, dan kelembaban. Tidak seperti komponen kering, komponen basah, terutama yang mengandung uap air sepanjang lintasan sinyal, sulit untuk diestimasi secara teliti dari data meteorologi di permukaan bumi. Dengan menggunakan data meteorologi di permukaan bumi, besarnya magnitude komponen kering dapat diestimasi hingga ketelitian sekitar 1%, sedangkan untuk komponen basah hanya 25

sampai ketelitian 3-4 cm [Abidin, 1995]. Untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik lagi untuk komponen basah digunakan peralatan WVR (Water Vapour Radiometer) yang dapat mengukur kandungan uap air sepanjang lintasan sinyal, akan tetapi instrumen ini cukup mahal harganya, dengan ukuran yang besar dan juga berat. Cara mereduksi besarnya efek troposfer adalah diantaranya dengan melakukan differencing hasil pengamatan, memperpendek panjang baseline, mengusahakan agar kedua stasiun pengamatan berada pada ketinggian serta kondisi meteorologis yang sama, menggunakan model koreksi standar troposfer seperti Hopfield, Sastamoinen, dan Marini, menggunakan model koreksi lokal troposfer, menggunakan parameter WVR seperti yang telah diutarakan sebelumnya untuk mengestimasi magnitude komponen basah, mengestimasi besarnya parameter bias troposfer yang biasanya dalam bentuk zenith scale factor untuk setiap lintasan satelit, dan menggunakan parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem Wide Area Differential GPS (WADGPS). Metode-metode dalam mereduksi bias troposfer ini beberapa dapat dilakukan secara simultan [Abidin, 2007]. Multipath adalah suatu fenomena yang terjadi ketika sinyal satelit tiba di antenna GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda. Perbedaan jarak tempuh yang terjadi mengakibatkan sinyal-sinyal tersebut berinterferensi ketika tiba di antenna. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya multipath adalah bidang reflektor yang terdapat di sekitar antenna. Gambar 2.17 Efek multipath [Abidin, 1995]. Besarnya efek multipath ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis dan posisi reflektor, posissi relatif satelit, jarak reflektor ke antenna, panjang gelombang sinyal, kekuatan sinyal, dan lain-lain. Sinyal yang berasal dari satelit berelevasi rendah lebih 26

berpotensi untuk mengalami multipath. Efek dari multipath ini biasanya memiliki trend sinusoidal. Gambar 2.18 Pola Sinusoidal dari efek multipath [http://www.gmat.unsw.edu.au/snap/gps/gps_survey/chap6/6212.htm]. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mereduksi efek dari multipath, diantaranya menghindari lingkungan pengamatan yang reflektif, menggunakan antenna GPS yang baik dan tepat, menggunakan bidang dasar antenna sebagai penghalang dan pengabsorpsi sinyal pantul, menggunakan receiver yang secara internal memiliki kemampuan untuk mereduksi multipath, menghindari menggunakan satelit dengan elevasi rendah, merata-ratakan data pengamatan [Abidin, 2007]. Ambiguitas fase dari pengamatan fase sinyal GPS adalah jumlah gelombang penuh yang tidak terukur oleh receiver GPS [Abidin, 2006]. Nilainya berupa bilangan bulat dan berupa kelipatan dari panjang gelombang. Setiap satelit memiliki nilai ambiguitas fase yang berbeda-beda satu sama lainnya, jika receiver yang mengamati sinyal GPS tersebut bersifat kontinu (tidak terjadi cycle slips), maka nilai dari ambiguitas fase akan selalu sama untuk setiap epok pengamatan. Pada pengamatan one-way dan single-difference, ambiguitas fase sulit dipisahkan dengan efek kesalahan jam receiver dan jam satelit, maka sifat kebulatan harganya sulit untuk ditentukan. Maka untuk menghindari hal tersebut, dilakukan pengamatan GPS secara double-difference agar efek dari jam receiver dan jam satelit tereliminir, sehingga kebulatan nilai dari ambiguitas fase dapat ditentukan. Ada beberapa aspek yang harus diperhitungkan secara baik saat menghitung ambiguitas fase, diantaranya eliminasi kesalahan dan bias, geometri satelit-pengamat, dan teknik resolusi ambiguitas [Abidin, 2007]. 27

Cycle slips merupakan fenomena yang terjadi ketika receiver GPS terputus dalam menerima sinyal GPS dikarenakan oleh berbagai hal, diantaranya yaitu akibat mematikan dan menghidupkan receiver; obstruksi dari sinyal GPS yang disebabkan oleh bangunan, pohon, jembatan, dll; dinamika receiver yang tinggi; rendahnya rasio signal-to-noise yang bisa disebabkan oleh aktivitas ionosfer yang tinggi, multipath, dll; dan terakhir akibat kegagalan receiver menerima sinyal (receiver failure). Akibat dari cycle slips ini adalah ketidak-kontinuan dalam jumlah gelombang penuh dari fase gelombang pembawa yang diamati. Pada data dua-frekuensi, keberadaan cycle slip lebih mudah untuk ditangani dibandingkan pada data satu-frekuensi. Dalam metode mendeteksi cycle slips, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut, yaitu : a. menggunakan polynomial berorde rendah yang dicocokkan (fitting) ke time series dari variabel yang di uji. Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan, b. penggunaan model dinamik untuk memprediksi data ukuran dengan menggunakan Kalman filtering. Perbandingan antara data ukuran hasil prediksi dengan hasil ukuran sebenarnya digunakan sebagai basis pendeteksian cycle slips, c. penggunaan skema differencing data ukuran antar epok berorde satu, dua, tiga, dan empat. Terjadinya cycle slips akan nampak pada harga differencing dengan orde tinggi yang relatif besar. Pengkoreksian cycle slips dapat dilakukan sebagai suatu proses yang tersendiri sebelum proses estimasi posisi, ataupun secara terpadu dengan proses pengestimasian posisi. Keberhasilan proses pengkoreksian cycle slips sangat tergantung pada level kesalahan dan bias dari data ukuran, geometri satelit dan kecanggihan dari algoritma yang digunakan [Abidin, 2007]. Selective Availability (SA) merupakan metode yang diaplikasikan oleh Department of Deffense (DoD) pemerintah Amerika Serikat untuk memproteksi ketelititan posisi relatif yang tinggi dari GPS. Data-data yang terbebas dari SA hanya diperuntukkan untuk pihak militer Amerila Serikat dan juga untuk pihak-pihak yang memiliki izin. SA diimplementasikan dengan memanipulasi data ephemeris satelit dan frekuensi jam satelit. Sebagai akibat dari manipulasi data ephemeris ini yaitu kesalahan pada 28

hasil hitungan posisi satelit, sedangkan akibat dari manipulasi frekuensi jam satelit adalah kesalahan jarak pseudorange (kode-c/a maupun kode P) dan kesalahan data fase. SA merupakan sumber kesalahan terbesar untuk pengamatan GPS metode absolute positioning. Dengan menggunakan metode differential positioning, maka efek dari SA dapat direduksi dengan syarat bahwa panjang baseline yang relatif tidak terlalu panjang. Efek SA ini mulai diaktifkan untuk seluruh satelit Blok-II pada Maret 1990, tetapi telah dinon-aktifkan pada Mei 2000 [Abidin, 2007]. Pada setiap satelit yang beroperasi, terdapat beberapa buah jam atom yang digunakan untuk mendefinisikan sistem waktu satelit. Jam-jam atom tersebut dalam perjalanan waktunya akan mengalami penyimpangan (offset, drift, dan drift rate) dari sistem waktu GPS. Dalam pesan navigasi GPS, terdapat parameter-parameter koreksi penyimpangan jam satelit yaitu a o, a 1, dan a 2, dimana masing-masing parameter merepresentasikan offset waktu, offset frekuensi, dan frequency drift dari jam satelit [Abidin, 2007]. Receiver dan antenna merupakan sistem penerima sinyal GPS yang tentunya tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh. Adapun sumber-sumber kesalahan utama yang dimiliki oleh sistem penerima sinyal GPS ini antara lain dikarenakan oleh ketidakstabilan osilator, bias antarkanal (interchannel bias), variasi delay fase (phase delay variations), dan variasi pusat antenna, derau (noise) receiver [Abidin, 2007]. Imaging merupakan suatu fenomena yang melibatkan suatu benda konduktif (konduktor) yang berada dekat dengan antenna GPS. Radiasi dari antenna yang sebenarnya akan menimbulkan arus induksi pada benda konduktif yang bersifat rekletfi tersebut. Akibatnya, benda tersebut akan membangkitkan pola radiasi tertentu sehingga ia seolah-olah menjadi antenna tersendiri, atau ia menjadi bayangan (image) dari antenna yang sebenarnya. Selanjutnya, pola radiasi dari kedua antenna ini akan berinteraksi (coupling) sehingga menghasilkan resultan dari pola fase antenna GPS yang berbeda dari yang seharusnya. Akibat dari fenomena imaging ini adalah distorsi dari pola fase antenna yang seharusnya. Imaging juga menyebabkan perubahan pada titik pusat fase antenna yang menyebakan terjadinya kesalahan pada ukuran jarak [Abidin, 2007]. 29

Permasalahan di dalam menghitung total pergeseran dan mengestimasi kecepatan pergeseran posisi titik akibat deformasi gempa adalah karena rendahnya rasio signalto-noise yang tersebar per harinya dalam data pengamatan GPS. Kesalahan dalam pengamatan posisi akibat tingginya bias pada suatu wilayah dapat dilihat dari tingginya nilai RMS (root mean square) yang tersebar pada time series pergeseran titik tersebut, seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 2.19 Series pengamatan stasiun BAKO yang dipengaruhi oleh bias yang tersebar perharinya. 30