HUBUNGAN PEMBERIAN TROMBOLITIKDENGAN PENURUNAN ST ELEVASI PADA PASIEN INFARK MIOCARD AKUT DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN. Saifudin Zukhri* ABSTRAC

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskuler secara cepat di negara maju dan negara berkembang.

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

PREVALENSI FAKTOR RESIKO MAYOR PADA PASIEN SINDROMA KORONER AKUT PERIODE JANUARI HINGGA DESEMBER 2013 YANG RAWAT INAP DI RSUP.

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011 KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi ditandai dengan peningkatan Tekanan Darah Sistolik (TDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. SL, Cotran RS, Kumar V, 2007 dalam Pratiwi, 2012). Infark miokard

Gambaran Jenis dan Biaya Obat pada Pasien Rawat Inap dengan. Sindroma Koroner Akut di Rumah Sakit Umum Pusat. Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2011

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari

BAB I PENDAHULUAN. menimpa populasi usia di bawah 60 tahun, usia produktif. Kondisi ini berdampak

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Infark miokard adalah nekrosis miokardial yang berkepanjangan yang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota

NASKAH PUBLIKASI. Disusun Oleh: JULIAN KOMALA DEIWI

Informed Consent Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan dengan berbasis

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome

ABSTRAK... 1 ABSTRACT

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract PENDAHULUAN. Muhammad Lingga Primananda 1, Masrul Syafri 2, Malinda Meinapuri 3

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011).

HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT SEGMEN ST ELEVASI ONSET < 12 JAM SAAT MASUK DENGAN MORTALITAS DI RSUP H.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi depresi pada populasi umum sekitar 4 % sampai 7 %.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

TIDAK DAPAT DIUBAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ACUTE CORONARY SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia. Fenomena yang terjadi sejak abad ke-20, penyakit jantung dan UKDW

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) merupakan penyebab utama

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi aorta dan cabang arteri yang berada di perifer terutama yang memperdarahi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu dari. 10 penyebab kematian terbesar pada tahun 2011.

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015).

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang

GAMBARAN HEMATOLOGI PADA PASIEN SINDROM KORONER AKUT YANG DIRAWAT DI BLU RSUP PROF. Dr. R.D. KANDOU MANADO TAHUN 2010

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab utama kematian di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral secara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

HUBUNGAN JENIS SINDROM KORONER AKUT DENGAN KUALITAS HIDUP ASPEK FISIK PASIEN PASCA SERANGAN JANTUNG YANG DIRAWAT DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS MAKRAYU KECAMATAN BARAT II PALEMBANG

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf. Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS Dr.

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama kematian di dunia. Menurut organisasi kesehatan dunia

BAB I PENDAHULUAN. banyak terjadi pada orang dewasa, salah satu manifestasi klinis penyakit jantung

HUBUNGAN ANTARA LUAS INFARK MIOKARD BERDASARKAN HASIL EKG DENGAN KADAR TROPONIN T PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT STEMI DAN NON STEMI DI RSUP H

Gambaran Profil Lipid pada Pasien Sindrom Koroner Akut di Rumah Sakit Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun

PENINGKATAN KEMAMPUAN INTERPRETASI ELECTROCARDIOGRAM (ECG) PERAWAT DENGAN PEMBELAJARAN PELATIHAN DAN MULTIMEDIA DI RSUD DR.

Panduan Registri Online

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Waktu: Waktu penelitian dilaksanakan pada Maret-Juli 2013.

ILM. 1. PMKP 3.1 Area Klinik- JCI International Library of Measures 1 Acute Myocardial Infarction (AMI)

PREVALENSI PASIEN INFARK MIOKARD AKUT YANG MENJADI CARDIAC ARREST DI ICU/HCU RSUP DR. KARIADI SEMARANG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. di masyarakat. Pola penyakit yang semula didomiasi penyakit-penyakit menular

KARAKTERISTIK PENDERITA INFARK MIOKARDIUM DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular yang lebih dikenal dengan sebutan transisi epidemiologi. 1

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang ilmu Kardiovaskuler.

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP PASIEN TERHADAP PERILAKU MOBILISASI DINI PADA PASIEN AMI DI RUANG ICU RSUD UNGARAN

Prevalensi sindrom koroner akut di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 1 Januari Desember 2014

PROFIL FAKTOR RISIKO ATHEROSKLEROSIS PADA KEJADIAN INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ST-SEGMENT ELEVASI DI RSUP DR KARIADI SEMARANG

HUBUNGAN ANTARA KADAR TROPONIN DENGAN KEJADIAN MAJOR ADVERSE CARDIOVASCULAR EVENTS PADA PASIEN SINDROM KORONER AKUT DI RSI JEMURSARI SURABAYA

Transkripsi:

HUBUNGAN PEMBERIAN TROMBOLITIKDENGAN PENURUNAN ST ELEVASI PADA PASIEN INFARK MIOCARD AKUT DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN Saifudin Zukhri* ABSTRAC Background: IMA with ST elevation (ST Elevation Myocardial Infarct) is part of a spectrum of acute coronary syndrome (ACS). Cardiac arrest (cardiac arrest) is responsible for 60% of the adult mortality rate of patients experiencing AMI. Management therapy is the most effective choice of thrombolytic therapy. This study aims to determine the relationship of thrombolytic administration with a decrease in ST elevation acute myocardial infarction. Results: For determine the relationship of thrombolytic administration with a decrease in ST elevation acute myocardial infarction patients. Conclusion: Design description of correlation using cross-sectional observational study approach. Total population 85 records medic purposive sampling technique sample of 50 respondents with 25 data to obtain the data as a thrombolytic and 25 controls who did not receive thrombolytic of medical record data inclusion and exclusion criteria. Bivariate analysis of the characteristics of respondents and used univariate chi square with correlation coefficient to determine the relationship contingency. Keywords : STEMI, thrombolytic, decrease in ST elevation. *Dosen Keperawatan Stikes Muhammdiyah Klaten

A. Latar Belakang Sindrom koroner akut adalah kegawatan kardiovaskuler yang merupakan penyebab utama kematian. Kematian terbanyak terjadi di luar rumah sakit. Kematian yang terjadi sebelum pasien sampai di rumah sakit berhubungan dengan aritmia malignan (VT/VF). Banyak kejadian terjadi dalam 4 (empat) jam pertama setelah awal serangan. Kematian dirumah sakit lebih banyak berhubungan dengan penurunan curah jantung termasuk gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik. Kematian berhubungan pula dengan luasnya infark Miokard oleh karena itu membatasi infark akan menurunkan mortalitas,(perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2008). IMA dengan ST elevasi (ST Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum Sindrom Koroner Akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa ST elevasi dan IMA dengan ST-elevasi. IMA dengan ST elevasi (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. (Santoso M. Setiawan, 2005). Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di negara maju maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Henti Jantung (cardiac arrest) bertanggungjawab terhadap 60% dari angka kematian penderita dewasa yang mengalami penyakit jantung koroner. Di Eropa diperkirakan terdapat kasus multi jantung sekitar 700000 orang/tahun, untuk di Indonesia berdasarkan laporan hasil riset kesehatan dasar RISKESDAS Indonesia tahun 2007 yang diterbitkan oleh Departemen Kesehtan RI tahun 2008 di Jakarta bahwa Prevalensi Nasional penyakit jantung adalah 7,2% (Riskesdas Indonesia tahun 2007 hal. XIV). Propinsi Jawa Tengah 2011 menunjukkan bahwa kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah sebanyak sebanyak 634.860 kasus (72,13 %), (dinas kesehatan kota Semarang, 2010). Proporsi angka kematian berdasarkan daerah perkotaan dalam kelompok umur 45 s/d 45 tahun penyakit jantung iskemik menduduki urutan ke tiga (8,7%) sebagai penyebab kematian urutan pertama adalah stroke (15,9%). Urutan ke dua adalah diabetes militus (14,7%). Untuk daerah pedesaan pada kelompok umur yang sama penyakit jantung iskemik merupakan urutan nomor empat (Riskesdas

Indonesia, 2008 hal. 283). Dilihat berdasarkan jumlah kasus keseluruhan penyakit jantung koroner di Kabupaten Klaten adalah 3,82 %. Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable Angina (UA), ST Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI). IMA tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya. Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan reperfusi, berupa terapi trombolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat dilakukan terapi trombolitik bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing chest pain), (Dinas kesehatan Kota Semarang, 2010). Penanganan IMA dengan tata laksana umum diberikan dengan suplemen oksigenasi yang cukup, nitrogliserin sublingual, morfin sebagai analgesik pilihan yang paling efektif untuk mengurangi nyeri dada dalam tata laksana STEMI dan aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindroma koroner akut. Konsep tromboemboli pada lesi stenotik (plak atero sklerotik) merupakan dasar pada mayoritas kejadian penyakit jantung koroner. Dalam rangka penanggulangan masalah lesi stenotik dan trombosis upaya dapat dibedakan sebagai usaha preventif (primer/sekunder). Maka manajemen terapi yang logis adalah melisiskan trombus dan mencegah berulangnya gangguan utama tersebut dimasa datang (Amstrong P. et al, 2003). Penanganan di Rumah Sakit Islam Klaten menggunakan trombolitik dilakukan sejak tahun 2010. Pada tahun 2011 penderita IMA sebanyak 53 kasus, sebanyak 35 kasus dengan trombolitik. Pada tahun 2012 sebanyak 72 kasus dan 50 kasus mendapatkan trombolitik. Sehingga didapatkan prosentase penanganan dengan trombolitik sebesar 68 %. Angka keberhasilan antara pasien yang diberikan trombolitik lebih efektif dari pada pasien yang berikan MONA. Dapat dilihat dari penurunan ST elevasi dan lama perawatan diruang ICCU. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi kewaspadaan perawat karena sebagai observer 24 jam dalam menangani kondisi pasien dalam kegawatan kardiovaskuler dan mampu mendeteksi segera kondisi pasien dan mencegah komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan fenomena penyakit jantung koroner yang semakin meningkat maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang hubungan pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi pada pasien IMA (STEMI) B. Metode Metode pelaksanaan penelitian ini dengan desain penelitian secara diskripsi korelasi. Analisis data yang digunakan crossectional yaitu membandingkan perbedaan antara subyek. Jenis penelitian ini mempelajari dinamika hubungan atau korelasi yang dapat diukur menurut keadaan atau status pada saat observasi. Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian pemberian trombolitik dan penurunan ST elevasi. Pasien infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) yang pernah dirawat di RS Islam Klaten. Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 85 data rekam medik yang mendapatkan trombolitik dan tidak mendapatkan trombolitik. Penelitian ini menggunakan teknik sampling purposive data rekam medik dari seluruh pasien infark miokard akut ST elevasi (STEMI) yang dirawat di Rumah Sakit Islam Klaten sebanyak 50 dengan perbandingan 25 responden yang mendapatkan trombolitik dan 25 responden sebagai kontrol yang tidak mendapat trombolitik. Kriteria inklusi : pasien infark miokard akut ST elevasi (STEMI) yang pernah dirawat di Rumah Sakit Islam Klaten yang mendapatkan terapi trombolitik <30 menit sampai dengasn 6 jam setelah serangan, pasien infark miokard akut ST elevasi (STEMI) dengan gambaran ST elevasi, pasien yang lama rawat lebih dari 3 hari. Kriteria eksklusi : pasien STEMI yang datang dengan penyakit komplikasi, pasien dengan gangguan hemodinamik, pasien meninggal dunia. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Pemberian trombolitik Tabel 1 distribusi frekwensi pemberian trombolitik di RS Islam Klaten (n:50) Pemberian trombolitik f % Diberikan 25 50 Tidak diberikan 25 50 Total 50 100

Pada tabel didapatkan data pasien AMI yang mendapatkan trombolitik sebanyak 25 responden sedang pasien AMI yang tidak diberikan trombolitik sebanyak 25 responden. b. Penurunan ST elevasi Tabel 2distribusi frekwensi penurunan ST elevasi di RS Islam Klaten (n:50) Penurunan ST elevasi f % Turun 26 58 Tidak Turun 24 Total 50 100 Pada tabel didapatkan data pasien terjadi penurunan ST elevasi sebanyak 26 responden (58%) sedangkan yang tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 24 responden (42%). Tabel 3 Distribusi frekwensi pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi di RS Islam Klaten (n:50) Penurunan ST elevasi Pemberian trombolitik turun tidak turun f % f % Diberikan 18 36 7 14 Tidak diberikan 8 16 17 34 Total 26 52 24 48 Berdasarkan tabel diatas disimpulkan bahwa responden yang diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 18 responden(36%), sedangkan yang diberikan trombolitik namun tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 7 responden(14%). Responden yang tidak diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 8 responden(16%) sedangkan responden yang tidak diberikan trombolitik tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 17 responden(34%).

c. Analisis Bivariat Tabel 4 hubungan pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi di RS Islam Klaten (n:50) Penurunan ST elevasi Pemberian trombolitik turun tidak turun P value f % f % Diberikan 18 36 7 14 0,005 Tidak diberikan 8 16 17 34 Total 26 52 24 48 Berdasarkan tabel diatas disimpulkan bahwa responden yang diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 18 responden(36%), sedangkan yang diberikan trombolitik namun tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 7 responden(14%). Responden yang tidak diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 8 responden(16%) sedangkan responden yang tidak diberikan trombolitik tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 17 responden(34%). Disimpulkan bahwa antara pemberian trombolitik dan penurunan ST elevasi dari hasil uji Chi Square ditunjukkan pada nilai pearson Chi Square nilai Significancy-nya adalah P value 0,005 artinya interpretasi menurut Sugiyono (1999) dapat dikatakan terdapat hubungan antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi karena faktor peluang <5% maka hasil tersebut bermakna. Tabel 5 hasil analisa koefisiensi kontingensi pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi di RS Islam klaten (n:50) Penurunan ST elevasi Pemberian trombolitik r p n 0,400 <0,001 50

Hasil analisis selanjutnya dengan uji korelasi koefisiensi kontingensi didapat nilai r = 0,400, p = <0,001 n = 50 yang berarti ada hubungan sedang antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi. D. Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi. Dasar teoritis menyatakan bahwa penurunan ST elevasi pada pasien IMA sangat menentukan status kesehatan pasien. Dalam penanganan IMA diharapkan untuk segera melisiskan plak yang ada dalam pembuluh darah jantung karena jantung sebagai organ vital yang membutuhkan oksigenasi sendiri untuk memenuhi kebutuhan jantung yang kemudian untuk menjalankan sirkulasi darah ke seluruh tubuh. Pada kasus IMA disarankan untuk segera membuka plak tersebut dengan memberikan trombolitik. Terapi trombolitik adalah terapi klinis yang ditujukan untuk reperfusi jaringan miokard dengan memperbaiki aliran darah pada pembuluh darah yang tersumbat.bekuan darah yang terdapat dalam darah mengganggu aliran darah ke organ tubuh yang dialiri oleh pembuluh darah.terapi trombolitik digunakan untuk melisiskan plak yang akan mengancam kehidupan jika tidak segera diatasi. ST elevasi pada gambaran elektrokardigrafi menunjukan adanya thrombus komplet/oklusif. Trombus tersebut disebabkan oleh terlepasnya plak yang mempengaruhi terjadinya agresi trombosit dan thrombosis sehingga pada akhirnya menimbulkan stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. Pemberian trombolitik dapat mencegah kematian karena nekrosis jantung. Sebagai petugas kesehatan yang mengetahui dampak besar akan kelangsungan hidup pasien harus dapat memberikan pelayanan yang bermutu sehingga dapat menyembuhkan dengan baik dan memuaskan. Seperti penelitian sebelumnya bahwa streptokinase dapat menurunkan angka kematian dan reperfusi fraksi ejeksi yang lebih baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ST elevasi ada yang bisa dikendalikan maupun ada yang tidak bisa dikendalikan. Zeiher,1993 mengatakan bahwa semua bentuk penyakit kardiovaskuler meningkatkan frekwensi berhubungan dengan usia, menunjukkan bahwa usia lanjut mengubah fungsi vaskuler. Studi relaksasi endothelium dependent oleh asetilkolin menurun karena

ketuaan. Jika dilihat dari hasil penelitian karakteristik responden bahwa rerata umur 58 tahun.dikarenakan umur semakin tua sehingga fungsi fisiologis jantung menurun sehingga dengan usia kisaran usia tersebut dapat mempengaruhi proses pemberian trombolitik dan mempengaruhi hasil penurunan ST elevasi. Berdasarkan distribusi frekwensi pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi bahwa responden yang diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 18 responden (36%), sedangkan yang diberikan trombolitik namun tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 7 responden(14%). Responden yang tidak diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 8 responden (16%) sedangkan responden yang tidak diberikan trombolitik dan tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 17 responden (34%). Berdasarkan hasil uji chi square ditunjukkan pada nilai pearson chi square nilai significancy-nya adalah p value 0,005 artinya interpretasi menurut Sugiyono (1999) dapat dikatakan ada hubungan antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi karena factor peluang <5% maka hasil tersebut bermakna. Hasil analisis selanjutnya dengan uji korelasi koefisiensi kontingensi didapat nilai r = 0,400, p = <0,001 n = 50 yang berarti ada hubungan sedang antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi. E. Keterbatasan penelitian 1. Dalam pengambilan data di RS Islam Klaten peneliti menemui sedikit kendala belum adanya data komputerisasi tentang data rekam medis pasien IMA, hal ini menyebabkan peneliti harus menyeleksi semua status pasien IMA dan memeriksa kelengkapan datanya karena subyek yang diteliti adalah pasien IMA yang masuk rumah sakit karena serangan. Hal ini tentunya akan menghambat dari efisiensi waktu dan tenaga. 2. Penggunaan data sekunder pada penelitian ini juga menyebabkan variabel faktor resiko terjadinya IMA tidak dapat diteliti yaitu aktivitas,diet,gaya hidup,stress.hal ini juga akan berpengaruh pada derajat atau hubungan antara dua variabel.faktor resiko tersebut tidak dapat diteliti karena belum adanya data hasil pemeriksaan spesifik terhadap indikator variabel terkait.

F. Penutup 1. Kesimpulan a. Angka kejadian pasien ST elevasi (STEMI) yang mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 36% yang mendapat trombolitik sedangkan 14% meskipun mendapatkan trombolitik tidak terjadi penurunan ST elevasi. Responden yang tidak mendapat trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 16% sedangkan yang tidak diberi trombolitik tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 34%. b. Jumlah pasien yang mendapatkan trombolitik sebesar 50% dari 50 responden. c. Analisis chi square didapatkan nilai sigfinicancy p value 0.005 yang diartikan ada hubungan pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi, hasil analisis selanjutnya dengan uji korelasi koefisiensi kontingensi didapat nilai r = 0,400, p = <0,001 n = 50 yang berarti ada hubungan sedang antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi. 2. Saran 1) Bagi Profesi Keperawatan Menganjurkan tenaga kesehatan menjadi edukator kesehatan yaitu meningkatkan peran pendidik kesehatan dalam kasus STEMI. 2) Bagi Rumah Sakit Membuat kebijakan finansial dalam penanganan kasus IMA agar dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, penelitian ini menjadikan bahan pertimbangan untuk lebih memperhatikan kualitas pelayanan penanganan IMA pada khususnya dan rumah sakit pada umumnya. 3) Bagi Peneliti Lain Menganjurkan peneliti selanjutnya melakukan penelitian dengan jumlah responden lebih banyak sehingga didapatkan hasil yang lebih baik, dan apabila dilakukan penelitian lanjutan disarankan langsung kepada pasien sehingga akan didapatkan hasil data yang lebih akurat.

Daftar Pustaka Amerikan Heart Association. update 2004. Handbook of Emergency cardiovascular care for healthcare providers. Amstrong P. Wagner G, Shaun Goodman, Frans Van de Werf, Christopher G et al. 2003. For the ASSENT-3 (Assesment of the Safety an Efficacy of a New Thrombolytic) Investigators ST Segmen Resolution in ASSENT-2: Insight into the Role of Three Different treatment Strategies for Acute Myocardial Infarction. Eur Heart J. 24 (16) : 1515-22. Antono, Eko. 2007. Streptokinase pada Infark Miokard Akut di RSJHK Jakarta [Thesis]. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Cannon CP dan Braun Wald E. 2008. Unstable Angina and non ST-elevation Myocardial Infarction. Dalam: Libby P, Bonow RO, Mann DL Ziper DP, Braunwald E Heart Discase : a textbook of cardiovascular medicine, Edisi ke 8. Saunders Elsevier, Bab 53 :1319-51. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI 2008. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010. Up date Juli 2010, Cited 2012 Januari 27. Available from http: /dinkes-kota semarang.go.id./ KelanaKusuma Dharma. 2011. MetodologiPenelitianKeperawatan.CetakanPertama 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2008. Buku Panduan ACLS. Pratanu S. 1997. Dasar-dasar pengobatan aritmia. Simposium Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IV. Surabaya 28 Juni 1997. Pratanu S. 2006. Elektrokardiografi Normal. Dalam: Kursus Elektrokardiografi. Edisi ke 3. 35-8. Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K) & Prof. Dr. dr. Sofyan Ismael, Sp.A (K). 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-4. Prof. Dr. Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi ke-4. Robin SL, Cotran RS, GC 2007. Kumar V Buku ajar Patologi Robbins, Jakarta: E. Santoso M. Setiawan T. 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran. 147.6-9.

Sudoyo Aw. Setyohadi B. Alwi I dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jilid II edisi V. Jakarta: Interna publishing Sugiri. 1994. Penggunaan Trombolisis pada penderita Infark Miokard Akut. Jurnal Kardiologi Indonesia. 28(3). Task Force on acute heart failure of the ESC. 2005. ESC Guideline Executive Summary of the guide lines on the diagnosis and treatment of acute heart failure, European Heart Journal, 384