1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerupuk adalah bahan cemilan bertekstur kering, memiliki rasa yang enak dan renyah sehingga dapat membangkitkan selera makan serta disukai oleh semua lapisan masyarakat. Terdapat dua jenis kerupuk berdasarkan bahan bakunya, yaitu kerupuk berbahan baku pangan nabati (kerupuk singkong, kerupuk aci, kemplang), kerupuk berbahan baku tambahan pangan hewani (kerupuk udang, kerupuk ikan) dan ada pula kerupuk yang seutuhnya berbahan baku pangan hewani yaitu kerupuk kulit. Kerupuk kulit adalah produk makanan ringan yang dibuat dari kulit sapi atau kerbau melalui tahap proses pembuangan bulu, pengembangan kulit, perebusan, pengeringan, dan perendaman dengan bumbu untuk kerupuk kulit mentah atau dilanjutkan penggorengan untuk kerupuk kulit siap dikonsumsi (Standar Nasional Indonesia, 1996). Kerupuk kulit umumnya berasal dari kulit kerbau, kulit sapi, bahkan berkembang juga dari kulit kambing dan domba. Beberapa industri kecil kerupuk kulit banyak yang menghentikan produksinya sebab kesulitan mendapatkan bahan baku kulit. Kalaupun ada, harganya sudah melambung tinggi karena sedikitnya pasokan dan banyaknya permintaan khususnya sebagai bahan baku yang digunakan untuk kerajinan kulit, seperti sepatu, tas, dan jaket. Oleh karena itu, perlu adanya diversifikasi bahan baku kulit antara lain kulit kelinci. Kelinci mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang biak dengan pesat dalam pemeliharaan sederhana (pedesaan) maupun secara intensif.
2 Pada umumnya ternak kelinci dimanfaatkan untuk hobbies dan fancy, disamping itu sebagai penghasil daging kemudian diolah menjadi produk lain salah satunya adalah sate kelinci, pada kondisi saat ini terdapat banyak di sepanjang jalan Raya Lembang Bandung. Dalam proses pengolahan daging kelinci tersebut menghasilkan produk samping (by product) atau limbah berupa kulit, sehingga menjadi masalah bagi peternak kelinci. Untuk mencegah masalah tersebut, limbah kulit dari pedagang sate kelinci dapat dijadikan sebagai sumber pangan hewani dalam bentuk kerupuk kulit kelinci. Penanganan limbah kulit untuk dijadikan fur memiliki kualitas rendah atau tidak dapat memenuhi Standar Nasional Indonesia. Hal tersebut disebabkan pemeliharaan kelinci tidak dikhususkan untuk menghasilkan fur tetapi untuk penghasil daging juga bukan berasal dari bangsa kelinci yang memiliki kualitas fur yang baik seperti Rex dan Satin melainkan kelinci lokal. Dalam proses pembuatan kerupuk kulit tidak memerlukan bahan kimia seperti pengolahan kulit-bulu (fur) tetapi cukup dengan teknologi sederhana juga bahan-bahan yang murah dan mudah didapat sehingga dapat diaplikasikan bagi peternak kelinci terutama di pedesaan, selain sebagai salah satu penyumbang gizi pangan khususnya protein hewani bagi masyarakat, pembuatan kerupuk kulit dapat meningkatkan nilai ekonomis bagi produsen atau peternak kelinci dan mendukung program zero waste. Bahan baku kerupuk kulit dapat berasal dari kulit segar atau kulit awet, namun karena sulitnya untuk mendapatkan bahan baku, maka perlu dilakukan proses pengawetan. Salah satu pengawetan kulit adalah melakukan proses penggaraman. Banyaknya garam yang digunakan untuk proses pengawetan diduga akan mempengaruhi sifat fisik kerupuk kulit, karena garam mempunyai
3 sifat higroskopis yaitu kemampuan untuk menarik air yang terdapat di dalam kulit. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap Sifat Fisik (Rendemen, Daya Rekah, Kerenyahan) dan Sifat Organoleptik Kerupuk Kulit Kelinci. 1.2. Identifikasi Masalah 1. Bagaimana pengaruh konsentrasi garam sebagai pengawet terhadap sifat fisik (rendemen, daya rekah, kerenyahan) dan sifat organoleptik kerupuk kulit kelinci. 2. Pada konsentrasi garam berapa persen untuk mendapatkan sifat fisik (rendemen, daya rekah, kerenyahan) terbaik dan sifat organoleptik kerupuk kulit kelinci yang paling disukai. 1.3. Maksud dan Tujuan 1. Mengetahui pengaruh konsentrasi garam sebagai pengawet terhadap sifat fisik (rendemen, daya rekah, kerenyahan) dan sifat organoleptik kerupuk kulit kelinci. 2. Mengetahui konsentrasi garam yang menghasilkan sifat fisik (rendemen, daya rekah, kerenyahan) terbaik dan sifat organoleptik kerupuk kulit kelinci yang paling disukai. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi ilmiah mengenai kualitas kerupuk kulit kelinci pada berbagai konsentrasi garam. Selain itu berguna juga untuk informasi praktis bagi produsen pengolah daging kelinci
4 maupun produsen kerupuk kulit untuk tujuan komersil dalam skala rumah tangga maupun industri sebagai upaya mengaplikasikan zero waste. 1.5. Kerangka Pemikiran Kelinci adalah ternak potensial untuk diternakkan karena mampu tumbuh dan berkembangbiak dengan cepat dengan memanfaatkan hijauan, hasil limbah pertanian dan industri hasil pertanian, yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, dan dapat dipelihara dalam skala kecil dengan pola backyard farming, sehingga cocok untuk kondisi masyarakat pedesaan (Juarini dkk, 2005). Menurut tujuan pemeliharaannya, kelinci dapat diternakkan sebagai penghasil wool (bulu), kulit bulu, daging, daging sekaligus kulit bulu, dan fancy (Sarwono, 2001). Kulit kelinci mempunyai luas antara 1,5 sampai dengan 2,5 feet persegi jadi termasuk ukuran kecil (Untari, 2005). Kulit adalah hasil samping (by product) dari pemotongan ternak besar atau ternak kecil yang dapat diolah menjadi bahan pangan maupun non pangan. Kulit merupakan salah satu alternatif bahan pangan yang masih memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi (Widati dkk, 2007), karena kulit segar mengandung air ±65%, lemak ±1,5%, mineral ±0,5%, dan protein ±33% (Purnomo, 1991). Berat organ kulit mentah segar pada ternak sekitar 8 sampai 10 persen dari berat badannya (Djojowidagdo, 1988). Kulit kelinci sebagaimana kulit dari ternak lainnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kerupuk kulit karena pada kulit banyak mengandung kolagen. Tenunan kolagen merupakan penyusun utama dan konstituen pokok dalam pembuatan kerupuk kulit. Kolagen mengandung kirakira 35 persen glisin dan 11 persen alanin, yang lebih menonjol adalah kandungan
5 prolin dan hidroksiprolin mencapai 21 persen dari residu asam amino pada kolagen (Lehninger, 1982). Kelinci dikembangkan di Indonesia pada umumnya sebagai penghasil daging terutama kelinci lokal, sedangkan kulitnya belum dimanfaatkan secara maksimal (Untari, 2005). Hal itu disebabkan keterbatasan peternak dalam teknologi pengolahan, disamping itu kualitas fur kelinci lokal kurang berkualitas karena memiliki bulu yang kurang halus, tipis, dan tidak mengkilap (Templeton, 1968). Oleh karena itu, perlu dicari metode pengolahan lain yang dapat meningkatkan nilai ekonomis kulit diantaranya melalui pembuatan kerupuk kulit. Kerupuk kulit adalah produk makanan ringan yang dibuat dari kulit sapi atau kerbau melalui tahap proses pembuangan bulu, pengembangan kulit, perebusan, pengeringan, dan perendaman dengan bumbu untuk kerupuk kulit mentah dan dilanjutkan penggorengan untuk kerupuk kulit siap dikonsumsi. Syarat mutu kerupuk kulit yaitu bau normal, rasa khas, warna normal, dan tekstur renyah (SNI, 1996). Kulit mentah segar yang baru ditanggalkan dari hewannya bersifat mudah busuk karena merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya mikroorganisme (Judoamidjojo, 1974). Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan kulit (Said, 2012). Di daerah tropis pada temperatur 38 0 C kulit mulai berbau dalam waktu 12 jam setelah pengulitan yang akan lebih cepat lagi bila disimpan di udara lembab dan panas. Oleh karena itu setelah pengulitan, kulit harus segera diawetkan (Djojowidagdo, 1979).
6 Pengawetan kulit dengan cara penggaraman kristal dapat dilakukan apabila kulit kelinci disimpan untuk waktu yang tidak terlalu lama. Kulit kelinci hasil awetan dengan cara penggaraman kering mengakibatkan penyusutan dibandingkan dengan ketika masih segar, akan tetapi ketika disegarkan kembali dengan proses perendaman akan kembali ke dalam bentuk semula (Rossuartini dkk, 1999). Pemberian garam pada penggaraman kering berjumlah 40 50% untuk kulit pedet dan 30 40% untuk kulit hewan besar dari berat kulit segar dengan lama penggaraman 1 2 hari untuk kulit hewan kecil dan 3 4 hari untuk kulit hewan besar (Djojowidagdo, 1979). Penggaraman kering lainnya menggunakan 40% garam dari berat kulit dan dibiarkan selama 3 minggu (Judoamidjojo, 1974). Penelitian lainnya pengawetan kulit kelinci dengan cara penggaraman kering menggunakan garam 30% dari berat kulit (Sasanadharma, 1992). Pengumpul kulit kelinci di Lembang pada umunya melakukan pengawetan dengan cara penggaraman kering dengan jumlah garam 50% dari berat kulit selama 2 minggu. Hasil penelitian menyatakan bahwa kadar air pada kulit domba yang diawetkan pada semua perlakuan pengawetan penggaraman mulai konstan pada hari ke-2, karena garam telah masuk ke dalam kulit dan mengangkat air yang terdapat dalam kulit dan mengalami peningkatan kembali mulai hari ke-8 karena suhu dan kelembaban yang tinggi (Anwar, 2002). Penggaraman setelah 48 jam, garam cukup untuk menjenuhkan semua air yang ada dalam kulit, kecuali yang memiliki ikatan yang paling kuat (Bienkiewicz, 1983). Selama proses pengawetan kulit, akan terjadi perubahan sifat-sifat fisis kulit karena garam dapat menyerap cairan dalam bahan pangan sehingga air dalam bahan pangan akan menjadi rendah, karena keluarnya air yang ada di dalam bahan
7 pangan. Hal ini menyebabkan semakin banyak ruang kosong yang terdapat dalam jaringan sehingga pada saat kerupuk digoreng akan mengembang sampai tingkat tertentu dan menyebabkan kerupuk menjadi lebih renyah. Kerenyahan juga dipengaruhi oleh daya rekah, semakin tinggi daya rekah semakin tinggi kerenyahannya (Widati dkk, 2007). kandungan air (Muliawan, 1991). Daya rekah kerupuk dipengaruhi oleh Rendemen pun sangat dipengaruhi oleh hilangnya air selama proses pengolahan, semakin banyak air yang ditahan oleh protein, semakin sedikit air yang keluar, sehingga rendemen semakin banyak (Husna, 2009). Daya rekah sangat berhubungan erat dengan kandungan protein dalam bahan, semakin tinggi kandungan protein semakin rendah daya rekahnya. Protein yang tinggi menyebabkan air sulit masuk ke dalam jaringan kulit, sehingga pada saat proses pengeringan menyebabkan rongga-rongga udara pada kerupuk akibat penguapan air berkurang yang mengakibatkan proses penggorengan kerupuk tidak mengembang sempurna (Widati dkk, 2007). Protein dipengaruhi oleh garam, garam dalam konsentrasi rendah menyebabkan kelarutan protein meningkat tetapi semakin tinggi konsentrasi menyebabkan kelarutan protein menurun (Tsumoto dkk, 2006). Berdasarkan hal tersebut, apabila konsentrasi garam yang diberikan pada kulit rendah, maka protein mudah larut sehingga banyak protein terlepas dari bahan dan protein dalam kulit berkurang dan sebaliknya pada konsentrasi tinggi daya larut protein berkurang. Kulit tersusun dari jaringan yang secara histologis terdiri dari epidermis, corium, dan jaringan-jaringan lain yang terdapat di dalamnya (Judoamidjojo, 1974). Kulit ternak kerbau tebalnya hampir dua kali tebal kulit sapi (Badrelin dan Ghany, 1954). Hasil penelitian menunjukkan bahan baku dari kulit bagian
8 stratum retikulare menghasilkan kerupuk kulit kerbau dengan sifat fisik, kimia, dan organoleptik yang sama dengan stratum papilare (Sabtu dkk, 2000). Pada pembuatan kerupuk berbahan baku kulit kerbau atau sapi mengalami splitting tidak demikian halnya bila digunakan kulit kelinci, karena ketebalan kulit kelinci sekitar 0,71 0,78 mm (Yurmiaty dkk, 2011), jauh lebih tipis dibandingkan kulit kerbau atau sapi. Oleh karena itu, efek konsentrasi garam pada kulit kerbau atau sapi pada saat penggaraman akan memberikan hasil yang sama bila digunakan kulit dari ternak kelinci. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil hipotesis bahwa garam dapat mempengaruhi sifat fisik (rendemen, daya rekah, kerenyahan) dan organoleptik kerupuk kulit kelinci. 1.6. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April Mei 2014 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Produk Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dan Laboratorium Uji Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran.