BAB I PENDAHULUAN. pelbagai kemunduran fungsi diri yaitu fisiologis, psikologis, sosial dan ekonomi.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya terhadap 31 responden

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Koping Religius. menimbulkan masalah dinamakan koping. Koping adalah kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Stres merupakan kata yang sering muncul dalam pembicaraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas tinggi. Perkembangan masyarakat dengan kemajuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, kedaulatan Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Penyakit-penyakit kronis tersebut, di antaranya: kanker,

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang

BAB I. Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang tersebar begitu luas dimana

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. yang satu akan memberikan pengaruh pada tahap perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Ada banyak definisi mengenai lanjut usia (lansia), namun selama ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. pada pembangunan di sektor ekonomi. Agar dapat bersaing antar bangsa, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kepuasan tersendiri, karena bisa memperoleh uang dan fasilitas-fasilitas yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan. pembangunan pada berbagai bidang. Dalam melaksanakan pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan dalam bidang pendidikan dan teknologi yang pesat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BABI. kehidupan yang memiliki tugas perkembangan yang berbeda-beda. Tahap-tahap

L1. Aktivis Gereja. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya. Ada tiga aspek yang perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi ini para peserta didik berlomba-lomba untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan tidak pernah lepas dari masalah. Masalah dapat muncul dari berbagai setting

BAB I PENDAHULUAN. siapa lagi yang akan dimintai bantuan kecuali yang lebih mampu. Ketika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pembangunan (UU Kesehatan No36 Tahun 2009 Pasal 138)

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia saat ini telah memasuki era reformasi yang

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia yang memiliki luas wilayah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

Kalender Doa Januari 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradapatasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II LANDASAN TEORI. dan kondisi keberuntungan diri sendiri (Ghufron, 2011:98).

BAB I PENDAHULUAN. Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit yang mematikan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang penting karena merupakan bekal bagi

BAB I PENDAHULUAN. fungsi kehidupan dan memiliki kemampuan akal dan fisik yang. menurun. Menurut World Health Organization (WHO) lansia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menunjukkan hardiness dan sesuai dengan aspek-aspek yang ada pada hardiness.

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menyebutkan bahwa kondisi

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakberdayaan. Menurut UU No.13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah

STRATEGI COPING UNTUK MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN PADA WANITA YANG SUAMINYA MENGALAMI DISFUNGSI SEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut atau biasa disebut dengan lanjut usia (lansia) merupakan tahap

BAB I PENDAHULUAN. Katolik, Hindu, dan Budha. Negara menjamin kebebasan bagi setiap umat bergama untuk

GAMBARAN COPING STRESS MAHASISWA BK DALAM MENGIKUTI PERKULIAHAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB II LANDASAN TEORI Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak Pengertian Hospitalisasi. anak dan lingkungan (Wong, 2008).

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam hidupnya mengalami perkembangan dalam serangkaian

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipilih oleh calon mahasiswa dengan berbagai pertimbangan, misalnya dari

BAB I PENDAHULUAN. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai tingkah laku

STRATEGI KOPING PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. kalanya masalah tersebut berbuntut pada stress. Dalam kamus psikologi (Chaplin,

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya perusahaan yang terancam mengalami kebangkrutan karena tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupannya. Mulai dari masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN. mereka dilahirkan. Pendidikan salah satunya dapat berupa pendidikan formal yang

BAB I PENDAHULUAN. tahun Data WHO juga memperkirakan 75% populasi lansia di dunia pada. tahun 2025 berada di negara berkembang.

BAB II KAJIAN TEORI. Mahasiswa adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. maupun Negara berkembang dengan cara membuat sistem layanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai sejak berada dalam kandungan, lalu lahir menjadi bayi,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal yang umumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB I PENDAHULUAN. membagi lansia ke dalam 3 tahapan yaitu young old, old-old, dan oldest old.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Sarafino dan Smith (2012, h.29) bahwa stres memiliki dua komponen, yaitu fisik, yang berhubungan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA LANSIA DI WILAYAH DESA BUMIHARJO KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa dewasa akhir merupakan masa tatkala seseorang mengalami pelbagai kemunduran fungsi diri yaitu fisiologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Orang dewasa akhir adalah mereka yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (UU RI No. 13/ 1998) sedangkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata. Jumlah dewasa akhir di Indonesia saat ini sekitar mencapai 18,7 juta orang (8,5%) dari seluruh jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 220 juta. Jumlah ini akan menjadikan Indonesia menempati urutan keempat terbanyak negara berpopulasi dewasa akhir setelah Cina, India dan Amerika. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, terdapat peningkatan jumlah dewasa akhir di Indonesia yang mencapai 18,96 juta orang, dan jumlah ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan, jika tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat (66,2 tahun). Pada tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan UHH sekitar 67,4 tahun. 1

2 Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk dewasa akhir di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34% dengan UHH sekitar 71,1 tahun (Kementerian Sosial RI, 2010). Secara umum kondisi fisik orang yang telah memasuki masa dewasa akhir mengalami penurunan. Kemunduran fungsi fisik pada dewasa akhir ditandai dengan menurunnya daya tahan tubuh, tenaga, dan kekuatan. Semakin menurunnya fungsi otak yang menyebabkan menurunnya daya ingat, perubahan kulit yang menjadi keriput serta terakumulasinya penyakit-penyakit yang sifatnya degeneratif.(www.lenterabiru.com/masalah-kesehatan-jiwa-pada-lanjutusia,2010). Penurunan kondisi fisik berpengaruh pada penurunan kondisi psikologis, yaitu ketidakberdayaan yang menjadikan orang dewasa akhir bergantung pada keluarga atau orang-orang di sekitarnya. Masalah psikologis lainnya yang sering terjadi di antaranya adalah kesepian karena berpisah dengan pasangan hidup atau anak (emptynest syndrome), terasing dari lingkungan, kurang percaya diri, dan penelantaran oleh sanak keluarga terutama pada orang dewasa akhir yang miskin. Kemunduran segi sosial ditandai dengan kehilangan jabatan atau posisi tertentu dalam sebuah organisasi atau masyarakat, yang telah menempatkan dirinya sebagai individu dengan status terhormat, berpengaruh, dihargai, dan didengarkan pendapatnya, selain itu banyak orang dewasa akhir yang berhenti dari kegiatan sosial yang mereka ikuti karena keterbatasan fungsi fisik. Menurunnya kondisi fisik dan psikis menyebabkan orang dewasa akhir kurang mampu menghasilkan pekerjaan yang produktif yang membuat penghasilan mereka berkurang. Orang dewasa akhir juga dituntut untuk

3 memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin meningkat dari sebelumnya, seperti kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perawatan bagi dewasa akhir yang menderita penyakit dan kebutuhan akan rekreasi. Dalam kenyataannya, dewasa akhir kurang dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan sandang, pangan, perumahan, kesehatan, rekreasi dan sosial karena berkurangnya pendapatan yang dimiliki. Keadaan-keadaan tersebut akan mengakibatkan orang dewasa akhir tidak mandiri, secara finansial bergantung kepada keluarga atau masyarakat. (Kementerian Sosial RI, 2010). Jadi, kemunduran dalam satu aspek hidup orang dewasa akhir akan membawa pengaruh bagi kemunduran aspek kehidupan lainnya. Kemunduran fungsi dalam diri orang dewasa akhir tersebut memiliki potensi untuk menimbulkan masalah kesehatan secara umum, maupun kesehatan jiwa secara khusus, salah satunya adalah stres. Kemunduran fungsi diri tersebut dapat dihayati secara berbeda-beda oleh setiap dewasa akhir. Seorang dewasa akhir mungkin merasa bahwa kemunduran fungsi diri merupakan suatu yang tidak bermakna sehingga mengabaikan keadaan tersebut, orang dewasa akhir lainnya merasa bahwa kemunduran fungsi-fungsi dalam diri sebagai sesuatu yang menyakitkan, mengancam maupun membebani. Sementara, dewasa akhir lainnya mampu menilai kemunduran fungsi diri sebagai sebuah tantangan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap kemunduran fungsi diri. Oleh karena itu, sampai tingkat tertentu, apa yang dirasakan dewasa akhir sebagai hal yang menimbulkan stres tergantung pada bagaimana dewasa akhir menilai

4 suatu situasi yang sedang dihadapi, apakah dirasa sebagai suatu yang berbahaya, mengancam, atau tidak bermakna. Menurut Lazarus dan Folkman (Lazarus & Folkman, 1984) stres terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dan tuntutan dalam diri dengan sumber daya yang dimiliki individu. Bila dewasa akhir mampu menilai situasi kemunduran fungsi diri yang dihadapinya secara positif, maka dewasa akhir akan mampu menyesuaikan diri terhadap kemunduran fungsi dengan baik tanpa perlu merasa terancam dan terbebani. Namun apabila stres pada dewasa akhir tidak disertai dengan kemampuan mengatasi masalah dengan baik, maka dapat berakibat negatif bagi penyelesaian masalah yang dihadapinya sehingga akan menghambat dewasa akhir dalam menyesuaikan diri terhadap kemunduran fungsi dalam diri. Ketika seseorang mengalami stres, maka individu tersebut akan berusaha menanggulangi stres tersebut. Hal itu disebut sebagai coping stress atau strategi penanggulangan masalah, yaitu perubahan kognitif dan tingkah laku yang berlangsung terus-menerus untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya individu atau membahayakan keberadaannya atau kesejahteraannya (Lazarus & Folkman, 1984). Terdapat dua bentuk coping yaitu coping yang berfokus pada usaha penyelesaian masalah. Apabila dewasa akhir melakukan coping ini maka dirinya akan berusaha mengeliminasi atau mengelola seperti mengonsumsi obat-obatan dan berolahraga untuk menjaga kesehatan tubuh, berusaha untuk meningkatkan kualitas fungsi tubuhnya dengan berolahraga secara rutin, mengatur pola makan dan tidur, serta

5 mengonsumsi vitamin dan obat-obatan; mengikuti kegiatan-kegiatan sosial untuk menambah teman, tetap bekerja untuk dapat membiayai kehidupan sehari-hari, meminta bantuan dan dukungan dari professional atau rekan; serta Coping yang berfokus pada emosi. Bila dewasa akhir menggunakan coping ini maka dewasa akhir berusaha mengelola respon emosi terhadap situasi yang stressful untuk meredakan dampak fisik dan psikis) seperti mengeluhkan rasa sakit fisiknya, kecemasan dan kekhawatiran akan kematian kepada anggota keluarga atau gereja. Pada umumnya, dewasa akhir lebih banyak menggunakan coping yang berfokus pada emosi dibandingkan individu yang berusia lebih muda. Adapun penyebabnya adalah karena sumber daya dewasa akhir relatif berkurang seiring menurunnya fungsi diri sehingga kemampuan dewasa akhir untuk mengatasi masalah pun semakin berkurang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 100 dewasa akhir; didapatkan 556 bentuk perilaku coping terhadap 289 pengalaman stressful, dan hasil persentase perilaku coping yang paling banyak digunakan oleh dewasa akhir serta dinilai sebagai strategi coping yang efektif adalah perilaku religius. (Koenig et al.,1988, p.306.) Strategi coping dalam bentuk perilaku religius ditemui pada delapan orang dewasa akhir yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di Gereja Salib Suci kota Bandung, bentuk-bentuk coping yang dilakukan delapan dewasa akhir ini dalam mengatasi kemunduran fungsi diri yaitu menerima dengan syukur keadaan yang mereka alami saat ini, karena mereka menyadari bahwa kemunduran fungsi diri tersebut memang selayaknya dialami setiap orang dewasa akhir; pasrah dengan keadaan tersebut, karena dewasa akhir tahu bahwa keadaan tersebut tidak bisa

6 dilawan. Dewasa akhir menyadari bahwa usaha-usaha yang dibutuhkan memerlukan dukungan yang berasal dari orang sekitar dan pentingnya mendekatkan diri kepada Tuhan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang diadakan di Gereja Salib Suci kota Bandung untuk mengatasi kemunduran fungsi diri. Dewasa Akhir di Gereja Salib Suci kota Bandung menyadari bahwa melalui doa dewasa akhir merasa lebih tenang dan mendapatkan pencerahan untuk melakukan tindakan dalam mengatasi kemunduran fungsi diri. Dewasa akhir juga merasakan dengan kembali kepada agama dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dapat membantu mereka untuk meredakan kecemasan yang mereka rasakan terhadap kemunduran fungsi diri yang mereka hadapi. Menurut Pastor Paroki dan Sekeretariat Gereja Salib Suci kota Bandung jumlah dewasa akhir yang aktif di gereja ini lebih banyak dibandingkan dengan dewasa akhir yang berada di paroki lain sekitar kota Bandung. Gereja Salib Suci kota Bandung merupakan gereja tua yang telah berumur 80 tahun dan berlokasi di pusat kota. Mayoritas umat yang masih tinggal di sekitar wilayah gereja ini adalah dewasa akhir, sedangkan para generasi muda lebih memilih bertempat tinggal di pinggir kota Bandung dan berjemaat di gereja yang ada di sekitar wilayah tempat tingganya. Melihat banyaknya jumlah dewasa akhir yang aktif, gereja terdorong untuk menjaga, meningkatkan semangat dan kualitas hidup dewasa akhir serta mengembangkan rasa berguna dan berharga dalam diri dewasa akhir. Gereja berusaha mendirikan beberapa kegiatan keagamaan dimana dalam kegiatan keagamaan tersebut dewasa akhir dapat berkumpul untuk berdoa, dan berdiskusi serta diharapkan sesama dewasa akhir dapat saling mendukung.

7 Pastor Paroki di Gereja Salib Suci kota Bandung menilai bahwa kegiatan yang dilakukan gereja untuk para dewasa akhir ditanggapi secara positif. Dewasa akhir terlihat bersemangat dalam mengikuti setiap kegiatan keagamaan. Jumlah dewasa akhir yang aktif dalam kegiatan keagamaan semakin bertambah dan munculnya kegiatan-kegiatan keagamaan baru yang dibuat oleh dewasa akhir. Terlibatnya dewasa akhir dalam kegiatan keagamaan akan memberikan nilai tertinggi untuk menemukan kebermaknaan dan rasa berharga akan dirinya dan dengan melaksanakan ibadah sehari-hari dewasa akhir akan menjadi lebih tenang dan kecemasan mereka terhadap kematian dapat direduksi. Kegiatan kegamaan juga membekali dewasa akhir dengan nilai-nilai religius yang bermanfaat dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Strategi penyelesaian masalah yang berfokus pada nilai-nilai, kepercayaan, dan keyakinan terhadap Tuhan (sesuatu yang ultim) dalam menghadapi stres atau masalah disebut Religious Coping. Religious Coping dibagi ke dalam dua pola yaitu Religious Coping positif dan negatif. Setiap pola dari Religious Coping tersebut terdiri atas metoda Religious Coping yang berbeda-beda. Pola dari Religious Coping positif direfleksikan ke dalam suatu hubungan yang aman dengan Tuhan, keyakinan akan kehidupan yang lebih bermakna dan perasaan keterikatan spiritual. Sedangkan pola negatif dari religious coping direfleksikan ke dalam hubungan dengan Tuhan yang kurang menimbulkan rasa aman, pandangan akan dunia sebagai sesuatu yang lemah dan mengancam, dan agama sebagai suatu perjuangan dalam pencarian makna (Journal for Scientific Study of Religion, Vol 37. No 4 (December, 1998). Jadi, kedua pola dari Religious coping

8 ini merefleksikan mengenai bagaimana hubungan individu dengan Tuhan, pandangan akan pencarian suatu makna/ signifikansi dalam masalah yang dihadapi, serta keterikatan spiritual. Dalam wawancara yang dilakukan kepada delapan dewasa akhir yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di Gereja Salib Suci kota Bandung didapatkan data perilaku religious coping-nya yaitu dua orang dewasa akhir memandang Tuhan sebagai mitra dan merasa bahwa Tuhan sedang bekerja bersama dengan mereka dalam mengatasi masalah yang mereka alami. Kedua dewasa akhir ini melihat bahwa dalam segala situasi Tuhan selalu membantunya menghadapi permasalahan. Dewasa akhir juga merasa bahwa segala pelayanan yang sudah dilakukannya sampai saat ini merupakan campur tangan Tuhan dalam hidupnya; Seorang dewasa akhir menyerahkan kontrol secara aktif kepada Tuhan. Saat mengatasi masalah, dewasa akhir akan menyanyikan dan menghayati ayat-ayat firman Tuhan dalam kitab suci, kemudian setelah bersenandung, dewasa akhir mencoba berpasrah dan menyerahkan permasalahan yang dihadapinya kepada Tuhan; Seorang dewasa akhir berdoa dan memohon kekuatan dari Tuhan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapinya dan berharap diberikan jalan yang terbaik. Seorang dewasa akhir secara pasif menunggu Tuhan untuk mengontrol situasi. Dewasa akhir tidak banyak berusaha untuk mengatasi permasalahannya, hanya berharap bahwa Tuhan akan memberi pertolongan. Seorang dewasa akhir memohon keajaiban kepada Tuhan, dewasa akhir ini biasanya berdoa dan memohon kepada Tuhan untuk membuat keadaan yang dialaminya menjadi baik-baik saja. Selain berdoa memohon keajaiban, dewasa

9 akhir ini juga mencari kenyamanan dan ketenangan melalui cinta dan pemeliharaan dari anggota gereja dan pastor. Dewasa akhir berusaha mencari teman-teman dalam organisasi yang diikuti untuk mencurahkan isi hati mereka, dan meminta bantuan; Seorang dewasa akhir hanya berharap bahwa Tuhan akan turun tangan mengatasi masalah mereka. Saat dewasa akhir ini sakit, Ia hanya beriman dan berdoa saat sakit dan tidak pergi ke dokter. Dewasa akhir ini berharap Tuhan yang akan memberi kesembuhan. Dewasa akhir ini juga berusaha mencari teman-teman dalam kegiatan yang mereka ikuti untuk mengatasi kesepian karena anak-anaknya sudah meninggalkan rumah; Seorang dewasa akhir menganggap stresor yang dialaminya sebagai hukuman Tuhan atas dosa pribadi sehingga dewasa akhir meminta pengampunan kepada Tuhan atau berpuasa agar Tuhan menghapuskan kesalahannya. Dewasa akhir ini juga akan berusaha mencari Pastor untuk menceritakan masalah yang dihadapinya dan meminta saran untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Berdasarkan hasil survei terhadap delapan orang dewasa akhir di Gereja Salib Suci kota Bandung didapatkan bahwa dewasa akhir menggunakan perilaku religious coping yang berbeda-beda dalam mengatasi stres akibat kemunduran fungsi diri. Selain itu, meskipun dewasa akhir di Gereja Salib Suci kota Bandung mengalami kemunduran fungsi diri namun hal tersebut tidak membatasi diri untuk tetap aktif dalam kegiatan keagamaan. Terkait dengan temuan itu, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimanakah gambaran pola dan metoda religious coping dewasa akhir yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di Gereja Salib Suci kota Bandung

10 1.2 Identifikasi Masalah Penelitian ini ingin mengetahui gambaran pola dan metoda Religious Coping pada dewasa akhir yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di Gereja Salib Suci kota Bandung 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Memperoleh data dan gambaran mengenai pola dan metoda Religious Coping pada dewasa akhir yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di Gereja Salib Suci kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Mengetahui gambaran pola dan metoda Religious Coping pada dewasa akhir yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di Gereja Salib Suci kota Bandung serta melihat kaitan antara Religious Coping dengan faktor-faktor yang relevan. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Memberikan sumbangan informasi bagi Ilmu Psikologi, terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Positif mengenai pola dan metoda Religious Coping pada dewasa akhir yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di Gereja Salib Suci kota Bandung.

11 Memberikan Informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pola dan metoda Religious Coping pada dewasa akhir. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada dewan gereja (pastor, aktivis, dan koordinator kegiatan keagamaan) mengenai gambaran pola dan metoda Religious Coping dewasa akhir yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan di kota Bandung untuk mengembangkan berbagai kegiatan keagamaan yang dapat membekali dewasa akhir dalam mengatasi stres pada masa lansia dengan memanfaatkan religious coping. 1.5 Kerangka Pemikiran Periode dewasa akhir merupakan periode terjadinya kemunduran berbagai fungsi fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial. Penyesuaian diri terhadap menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, berkurangnya penghasilan karena pensiun, kematian pasangan hidup, perginya anak-anak untuk membentuk keluarga sendiri merupakan beberapa tugas perkembangan dewasa akhir (Havighurst,1953). Selain menyesuaikan diri terhadap kemunduran fungsi fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial, dewasa akhir juga memiliki tugas perkembangan untuk membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia dan menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes. Bagi beberapa dewasa akhir, menghadiri pertemuan yang berhubungan dengan kegiatan sosial sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan pendapatan

12 yang menurun, sehingga dirinya terpaksa mengundurkan diri dari kegiatan sosial yang mereka ikuti, namun hal ini bertolak belakang dengan keadaan pada dewasa akhir yang ada di Gereja Salib Suci kota Bandung. Meskipun kesehatan dan pendapatan mereka semakin menurun, sebagian dewasa akhir di gereja ini justru semakin aktif dan mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya dengan mengikuti kegiatan keagamaan yang diadakan oleh gereja. Gereja menawarkan kehidupan sosial dan persahabatan di mana dewasa akhir dapat bersosialisasi tidak hanya dengan kelompok usia mereka namun juga dengan beragam kelompok usia. Keadaan tersebut memberikan manfaat bagi dewasa akhir untuk mengurangi perasaan kesepian. (Hurlock, 1980). Dengan mengaktualisasikan potensinya, dewasa akhir diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa di masa dewasa akhir ini mereka masih kompeten dan penting. Dewasa akhir juga dapat mendalami kegiatan-kegiatan keagamaannya, berdiskusi tentang nilai agama, dan menerapkan nilai-nilai agama yang dipelajari dalam menghadapi permasalahan hidup di masa dewasa akhir ini. Permasalahan yang terjadi pada dewasa akhir adalah kemunduran fungsi diri (fisik, psikis, ekonomi, dan sosial). Kemunduran fungsi diri tersebut dapat dihayati sebagai peristiwa yang negatif dalam hidup dewasa akhir yang mempengaruhi kesejahteraan dewasa akhir tersebut. Peristiwa kemunduran fungsi tersebut dapat dinilai sebagai suatu keadaan yang membahayakan, mengancam, menantang dan atau tidak berarti apapun tergantung pada penilaian dewasa akhir yang bersangkutan yang disebut cognitive appraisal. Penilaian kognitif yang dilakukan oleh dewasa akhir di Gereja Salib Suci kota Bandung mengenai

13 kemunduran fungsi fisik, psikis, ekonomi, sosial terdiri atas beberapa tahapan, yaitu penilaian primer (primary appraisal), dan penilaian sekunder (secondary appraisal). Penilaian primer merupakan proses ketika dewasa akhir mengevaluasi kemunduran fungsi diri dan perubahan dalam hidup berada dalam kategori tidak relevan (irrelevant), positif (benign-positive) ataukah menimbulkan stress (stressful). Saat dewasa akhir menilai kemunduran fungsi dalam diri berada dalam kategori irrelevant maka dewasa akhir merasakan bahwa kemunduran fungsi dalam diri yang terjadi dirasakan tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan dan tidak bermakna bagi dewasa akhir sehingga diabaikan. Apabila dewasa akhir menilai kemunduran fungsi dalam diri berada dalam kategori benign-positive maka dewasa akhir merasakan bahwa kemunduran fungsi yang terjadi dihayati sebagai hal yang positif dan dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan dirinya. Apabila dewasa akhir menilai kemunduran fungsi-fungsi dalam diri berada dalam kategori stressful maka dewasa akhir menilai bahwa kemunduran fungsi diri yang terjadi dirasakan menimbulkan gangguan, kerugian, kehilangan, dan ancaman. Saat dewasa akhir menentukan kemunduran fungsi dalam diri berada dalam kategori stressful maka dewasa akhir akan melakukan penilaian sekunder. Usaha dewasa akhir dalam mengidentifikasi atau menilai kualitas dari suatu peristiwa merupakan sesuatu yang dipengaruhi oleh kemampuan kognitif dewasa akhir. Kemampuan kognitif dewasa akhir dapat dipengaruhi oleh pendidikan, usia, informasi, pengalaman, sosial budaya dan ekonomi.

14 Pada penilaian sekunder, dewasa akhir yang mengalami kemunduran fungsi-fungsi dalam diri akan mengevaluasi strategi penanggulangan yang dapat digunakan dan dinilai paling efektif untuk menghadapi kemunduran fungsi tersebut. Selain itu, dewasa akhir juga mengevaluasi sumber daya yang ada dalam dirinya baik fisik, psikis, sosial, material, maupun spiritual yang dinilai dapat digunakan untuk menanggulangi masalah. Setelah melakukan penilaian sekunder dewasa akhir menentukan coping stress yang akan digunakan. Dalam proses coping, dewasa akhir akan membawa sistem orientasi yang dimilikinya dan akan diterjemahkan ke dalam metode coping yang spesifik (Kenneth I. Pargament, 1997). Sistem orientasi adalah suatu cara umum seseorang dalam memandang dan menghadapi dunianya. Sistem orientasi merupakan suatu kerangka referensi yang digunakan untuk mengantisipasi dan menghadapi masamasa dalam peristiwa hidup, yang terbentuk dari kontribusi sumber daya (resources) yang dapat membantu keberhasilan proses coping dan beban (burdens) yang dapat merintangi proses coping. Saat kemunduran fungsi dalam diri dinilai mengancam, membahayakan dan dianggap sebagai peristiwa stressful dalam hidup, maka keadaan tersebut akan menyerang sumber daya yang dewasa akhir miliki dan menambah terakumulasinya beban dewasa akhir. Saat sumber daya yang dimiliki dewasa akhir sama besarnya dengan beban yang dewasa akhir miliki, maka proses coping akan menjadi sulit. Proses coping menjadi sulit karena dewasa akhir harus melepaskan sumber daya yang bernilai untuk mengatasi masalah. Dewasa akhir harus melepaskan beberapa tujuan untuk mencapai hal tersebut. Selain itu, beban

15 yang tidak diinginkan akan terakumulasi, ditambah juga dengan keterbatasan yang dimiliki dewasa akhir untuk mempertahankan sesuatu yang signifikan dalam hidup.saat sumber daya yang dimiliki lebih besar dibandingkan beban, maka dewasa akhir akan menggunakan sumber daya untuk membantu mempercepat proses coping menuju keberhasilan. Saat dewasa akhir mengalami kehilangan sumber daya atau sumber daya yang dimiliki tidak banyak, maka dewasa akhir akan lebih memungkinkan untuk menghadapi distres (Freesy, Shaw, Jarrell & Masters, 1992). Menurut Folkman & Lazarus (1980), terdapat dua bentuk dari coping yaitu problem-focused coping (bertujuan untuk menyelesaikan masalah dengan memodifikasi situasi atau merubah perilaku) dan emotional-focused coping (mengontrol respon emosional terhadap stresor). Dewasa akhir lebih banyak menggunakan strategi meregulasi emosi, karena ketersediaan sumber daya fisik, sosial, dan ekonomi yang sudah makin berkurang bahkan hilang. Di saat sumber daya yang membantu proses coping tidak cukup membantu dewasa akhir mengatasi masalah, pendekatan agama biasanya akan dipandang membantu dewasa akhir mengatasi permasalahan. Dewasa akhir akan melibatkan agama dalam keadaan yang lebih stresful bagi mereka. Dalam penelitian Pargament ditemukan bahwa anggota gereja lebih mungkin untuk melibatkan agama dalam proses coping pada suatu kejadian yang dinilai menyakitkan, tidak terkendali, mengancam kesejahteraan dan menantang. (Pargament, Olsen, et al.,1992a) dan menerut penelitian Koenig (1988) terhadap 263 dewasa akhir diperoleh data

16 bahwa 95% dewasa akhir menggunakan doa dan 81% dewasa akhir menggunakan keyakinan religius untuk mengatasi permasalahan. Hal lain yang menyebabkan agama dilibatkan dalam proses coping adalah agama secara relatif tersedia dalam sistem orientasi dewasa akhir. Apabila agama memiliki bagian yang besar dalam sistem orientasi dewasa akhir, maka agama akan semakin cepat di akses ke luar untuk diterjemahkan ke dalam bentuk coping tertentu. Semakin religius dewasa akhir, maka semakin mungkin dewasa akhir akan menghubungkan penyebab suatu kejadian dalam kehidupan mereka dengan kekuatan supernatural (Ritzema 1979). Agama juga mendorong dewasa akhir untuk menyadari keterbatasan kondisinya sebagai manusia. Masa stres karena kemunduran fungsi-fungsi dalam diri akan mewarnai dewasa akhir dengan rasa lemah dan terbatas sebagai makhluk ciptaan yang bergantung pada kekuatan Allah dan ditambah pula kebutuhan dewasa akhir untuk menemukan realitas kesalehan tertinggi, kepada Allah dewasa akhir dapat mengabdikan dirinya sepenuh hati. Agama juga menawarkan suatu perjalanan yang mengarahkan dewasa akhir mendapatkan hal yang signifikan baginya dibandingkan alternatif nonreligius lainnya (Pargament,1997). Pencarian terhadap suatu hal yang signifikan akan membimbing dewasa akhir untuk mengeluarkan kekuatan dalam hidup yang mengarahkan kepada coping tertentu. Berdasarkan keadaan di atas, dewasa akhir akan lebih terdorong untuk menggunakan agama sebagai cara untuk mengatasi permasalahannya. Strategi penyelesaian masalah yang berfokus pada nilai-nilai, kepercayaan, dan keyakinan terhadap Tuhan (sesuatu yang ultim) dalam

17 menghadapi stres atau masalah disebut Religious Coping. Terdapat dua pola dalam religious coping yaitu pola religious coping positif dan pola religious coping negatif. Setiap dewasa akhir memiliki kecenderungan lebih sering menggunakan salah satu pola religious coping tertentu. Dalam pola religious coping yang lebih sering digunakan akan terlihat derajat kekuatan penggunaan pola religious coping yang terdiri atas kategori yaitu kuat, lemah, dan sedang. Tiap-tiap pola terdiri atas metode religious coping yang berbeda-beda. Pola dari Religious Coping positif direfleksikan ke dalam keterikatan spiritualitas dan hubungan yang aman terhadap Tuhan, keyakinan (belief) bahwa adanya kebermaknaan hidup dan transformasi hidup, serta adanya rasa keterikatan spiritual dengan orang lain. (Pargement dalam Journal for Scientific Study of Religion, Vol 37. No 4 (1998). Dewasa akhir yang menggunakan pola Religious Coping positif menandakan bahwa dewasa akhir mengoptimalkan agama dalam menghadapi stres. Metode positif Religious Coping yang termasuk ke dalam pola ini adalah Benevolent Religious Appraisal/ Seeking Spiritual Support (melalui agama dewasa akhir menetapkan stresor sebagai sesuatu yang berpotensi mendatangkan kebaikan dan keuntungan) misalnya dewasa akhir beranggapan bahwa dengan kemunduran fisiknya dewasa akhir dapat membuat dirinya semakin dekat dengan Tuhan; Collaborative religious coping / Low Self-Direction Religious coping (dewasa akhir mencari kontrol melalui kemitraan dengan Tuhan dalam memecahkan masalah) contoh dewasa akhir merasa bahwa Tuhan bekerja bersama mereka untuk mengatasi masalah saya; Spiritual Connection (dewasa

18 akhir mengalami keterkaitan dengan kekuatan-kekuatan yang melampaui dirinya) contoh dewasa akhir mencoba membangun hubungan yang kuat dengan Tuhan; Religious Purification/Forgiveness (dewasa akhir mencari pembersihan rohani melalui tindakan religius) contoh dewasa akhir meminta pengampunan kepada Tuhan atas dosa-dosa yang dilakukannya; Seeking Support from Clergy and Members (dewasa akhir mencari kenyamanan dan ketenangan melalui cinta dan pemeliharaan yang berasal dari konggregasi anggota dan pastor) contoh dewasa akhir meminta kepada jemaat untuk mendoakan dirinya; Religious Helping (dewasa akhir berusaha untuk memberi dukungan spiritual dan kenyamanan bagi orang lain) contoh dewasa akhir berusaha membantu mencari solusi atas kesulitan yang dialami anggota jemaat; Active Religious Surrender (dewasa akhir menyerahkan kontrol secara aktif kepada Tuhan) contoh dewasa akhir berusaha melakukan usaha untuk menyembuhkan penyakitnya seperti pergi ke dokter dan menyerahkan keadaan dirinya kepada Tuhan; Marking Religious Boundaries (dewasa akhir membuat batasan jelas antara perilaku religius yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima oleh diri dan tetap berada dalam batas-batas agama yang diyakini, batasan ini digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai dan gaya hidup yang dianut) contoh dewasa akhir mengabaikan nasihat orang sekitar yang menurut mereka tidak sesuai dengan pemahaman agama yang mereka miliki; Seeking Religious Direction / Conversion (dewasa akhir mencari agama sebagai bantuan dalam menemukan arah baru dan perubahan dalam hidup saat arah yang lama sudah tidak layak lagi) contoh dewasa akhir berdoa untuk menenukan alasan dewasa

19 akhir untuk bertahan hidup di dunia ini atau dewasa akhir berusaha meninggalkan kebiasaan hidup lamanya dan berbalik mengikuti jalan Tuhan; Religious Focusing (dewasa akhir terlibat dalam kegiatan keagamaan untuk mengalihkan perhatian terhadap stres) contoh dewasa akhir memusatkan diri pada kegiatan keagamaan di gereja agar dapat melupakan masalah yang sedang dialami. Dewasa akhir yang menggunakan pola Religious Coping negatif ditandai dengan suatu hubungan dengan Tuhan yang kurang menimbulkan rasa aman, pandangan akan dunia sebagai sesuatu yang lemah dan mengancam, dan agama merupakan suatu perjuangan dalam pencarian makna. (Pargement dalam Journal for Scientific Study of Religion, Vol 37. No 4 (1998). Dewasa akhir yang menggunakan pola religious coping negatif menandakan bahwa dewasa akhir tidak mengoptimalkan agama dalam menghadapi stres yang dihadapinya malahan menyalahkan agama dalam menghadapi stres. Pola ini ditetapkan dengan seperangkat metode religious coping yang sangat berbeda: Punishing God Reappraisals (dewasa akhir menetapkan stresor sebagai hukuman yang berasal dari Tuhan atas dosa pribadi) contoh dewasa akhir menyatakan bahwa penyakit yang dialaminya merupakan hukuman Tuhan karena dosa-dosa yang telah dilakukan; Demonic Reappraisal (dewasa akhir menetapkan stresor sebagai perilaku/tindakan iblis) contoh dewasa akhir beranggapan bahwa penyakit yang dialaminya merupakan perbuatan iblis untuk menjauhkan diri mereka dari Tuhan; Reappraisals of God s Power (dewasa akhir menetapkan kekuatan Tuhan untuk mempengaruhi situasi yang menekan) contoh dewasa akhir

20 merasa bahwa Tuhan tidak dapat membantu untuk menyelesaikan masalah mereka; Passive Religious Deferral (dewasa akhir pasif menunggu Tuhan untuk mengontrol situasi) contoh dewasa akhir hanya berharap bahwa Tuhan akan menyembuhkan penyakitnya; Spiritual Discontent (dewasa akhir mengekspresikan kebingungan dan ketidakpuasan terhadap hubungan individu dengan Tuhan dalam situasi yang menekan) contoh dewasa akhir merasa kecewa kepada Tuhan karena Ia tidak membantu mereka menghadapi permasalahan yang dialami; Interpersonal Religious Discontent (dewasa akhir mengekspresikan kebingungan dan ketidakpuasan dengan hubungan pendeta atau anggota terhadap individu dalam siatuasi yang menekan) contoh dewasa akhir merasakan bahwa pastor tidak peduli akan kesulitan hidup yang dialami; Pleading for Direct Intercession (dewasa akhir mencari kontrol secara tidak langsung dengan memohon kepada Tuhan untuk membuat suatu keajaiban) contoh dewasa akhir berdoa bahwa suatu keajaiban akan terjadi untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Dalam menghadapi stres yang dialami oleh dewasa akhir terhadap kemunduran fungsi dalam diri, maka dewasa akhir dapat memilih strategi coping yang tersedia dalam dirinya. Keintensifan dewasa akhir melakukan kegiatan keagamaan di Gereja Salib Suci kota Bandung, membuat nilai-nilai agama menjadi salah satu sumber daya terbesar yang mempengaruhi strategi coping yang diambil. Religious Coping dapat membantu dewasa akhir untuk mengatasi

21 masalah kemunduran fungsi diri. Dengan demikian, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

22 1.6 Asumsi Masa dewasa akhir merupakan masa terjadinya kemunduran fungsi fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial sehingga dapat dihayati sebagai potensi stresor. Agama menawarkan kemungkinan dewasa akhir untuk memanfaatkan religious coping dalam mengatasi kemunduran fungsi fisik, psikis, sosial, dan ekonomi. Sistem Orientasi yang dimiliki oleh dewasa akhir akan diterjemahkan ke dalam metoda coping yang spesifik dan sistem ini akan mempengaruhi proses coping. Pola religious coping positif ditandai dengan keterikatan spiritualitas dan hubungan yang aman terhadap Tuhan, keyakinan (belief) bahwa adanya kebermaknaan hidup dan transformasi hidup, serta adanya rasa keterikatan spiritual dengan orang lain. Pola religious coping negatif ditandai dengan hubungan dewasa akhir dengan Tuhan yang kurang menimbulkan rasa aman, pandangan dewasa akhir akan dunia sebagai sesuatu yang lemah dan mengancam, dan agama sebagai suatu suatu perjuangan dalam pencarian makna.