86 5.2 Pembahasan 5.2.1 Kondisi Subjek Penelitian Subjek yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien sejumlah 32 orang pasca stroke yang telah melewati fase pasca akut mereka dan sedang menjalani periode pemulihan fisik dan fungsional anggota gerak di pelayanan rawat jalan di klinik Sasana Husada Stroke Service dan Karmel Stroke Service. Penelitian dilakukan selama dua bulan dengan jumlah subjek yang terdaftar awalnya sejumlah 36 orang pasien, subjek yang termasuk dalam kriteria inklusi sejumlah 32 orang pasien, subjek yang termasuk dalam kriteria eksklusi sejumlah 4 orang pasien. Sehingga akhirnya didapatkan subjek sampel sejumlah 16 orang pasien pada kelompok Bobath dengan 10 orang laki-laki dan 6 orang perempuan serta 16 orang pasien pada kelompok Feldenkrais dengan 10 orang laki-laki dan 6 orang perempuan yang dilakukan selama 8 minggu dengan frekuensi latihan 3 kali seminggu. Kondisi subjek seperti yang diuraikan pada hasil penelitian menerangkan bahwa pada variabel usia untuk Kelompok I rerata usia subjek 57,31 tahun dan rerata usia subjek pada Kelompok II adalah 55,81 tahun. Kondisi ini hampir sama dengan laporan yang disampaikan oleh beberapa peneliti. Dimana faktor risiko stroke meningkat pada usia 55 tahun ke atas (Misbach dan Ali, 2001; Schretzman, 2001). Variabel skor MMSE menunjukan bahwa semua subjek yang diteliti memiliki kemampuan kognitif dan psikologis yang normal dan hal ini
87 menjelaskan subjek penelitian dapat melakukan program pelatihan dan tes 10MWT. Selama proses perlakuan baik pelatihan Bobath maupun pelatihan Feldenkrais diperlukan tingkat pemahaman kognisi pasien yang normal agar dapat mengerti dengan baik arahan program pelatihan sehingga tercapainya tujuan pemberian pelatihan yang diinginkan. Kondisi psikologis selama menjalankan proses pelatihan pelatihan Bobath dan pelatihan Feldenkrais setelah dilakukan test MMSE pada semua sampel penelitian didapatkan hasil kondisi psikologis baik dan kooperatif. Pada beberapa sampel mengalami peningkatan walking velocity yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan walking velocity pada sampel lain di grupnya masing-masing, baik pada Kelompok I dan Kelompok II. Jika dilihat dari data penelitian didapatkan hasil dimana peningkatan walking velocity pada pasien pasca stroke dipengaruhi dengan nilai skor MMSE sampel tersebut, dimana sampel yang memiliki nilai MMSE tinggi mengalami peningkatan walking velocity yang lebih tinggi dibanding sampel dengan nilai MMSE yang lebih rendah di grupnya masing-masing. MMSE merupakan ukuran kemampuan kognitif seseorang sehingga dengan semakin tingginya nilai MMSE seseorang berarti orang tersebut memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap suatu tugas tertentu yang akhirnya akan membentuk perencanaan yang sistematis dan efisien untuk mencapai tujuan atau tugas tertentu. Kemampuan kognitif sangat penting untuk pasien pasca stroke dimana kemampuan kognitif ini dapat meningkatkan pemahaman terhadap
88 bentuk-bentuk latihan sehingga dengan pemahaman yang baik akan mendorong terjadinya plastisitas yang lebih cepat baik di level otot maupun di level otak yang akhirnya terbentuklah sebuat kemampuan baru (new skill) pada pasien pasca stroke tersebut, salah satu kemampuan baru pada pasien pasca stroke adalah peningkatan walking velocity untu melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. 5.2.2 Pelatihan Metode Bobath Meningkatkan Walking Velocity pada Pasien Stroke Berdasarkan uji statistik parametrik uji t-berpasangan (paired t-test) terhadap hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa rerata peningkatan kemampuan fungsional walking velocity pasien stroke mengalami peningkatan sebesar 0,26 ± 0,06 m/detik setelah pelatihan metode Bobath dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0,000) lebih kecil α (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan peningkatan kemampuan fungsional walking velocity antara sebelum dan sesudah pelatihan metode Bobath adalah berbeda secara signifikan. Hal ini membuktikan bahwa pelatihan metode Bobath dapat meningkatkan kemampuan fungsional walking velocity pasien pasca stroke. Pada pasien pasca akan mengalami gangguan fungsi pada cerebral cortex sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan untuk menerjemahkan informasi yang akhirnya akan menyebabkan terjadinya gangguan balance ability, postural control, muscle weakness, spasticity, perception, muscle strength, motor control, gangguan proprioseptif, abnormal muscle
89 activation pattern, dan muscle tone (Yavuzer, 2006). Kombinasi dari gangguan-gangguan tersebut akhirnya menurunkan kemampuan fungsional walking velocity. Penelitian yang dilakukan oleh Lennon, et al., (2006) didapatkan hasil berupa terjadinya peningkatan weight bearing ability pada sisi yang mengalami hemiplegic hal ini dikarenakan fasilitasi dengan menggunakan pelatihan Bobath akan memberikan informasi sensoris baik memalui taktil, visual, vestibular dan proprioseptif yang akan meningkatkan sensory input akhirnya akan meningkatkan feedback dan feedforward berupa peningkatan weight bearing ability pada pasien tersebut yang akan berdampak pada perbaikan informasi tentang internal representation of body posture (body geometry, body dynamics, dan orientasi dari tubuh pada posisi tegak). Integrasi informasi berupa internal representation, informasi vertical orientation, posisi, lingkungan, dan orientasi tubuh pada posisi tengah akan meningkatkan kemampuan postural stability. Peningkatan kemampuan postural stability pada pasien pasca stroke meningkat menggunakan pelatihan metode Bobath (Utama, 2015). Pada pasien pasca stroke dimana terjadi hemiplegic gait memiliki gangguan pada saat initial contact di sisi yang paretic sehingga tumpuan tumit pada ground tidak sempurna yang akhirnya menimbulkan hemiplegic gait pattern sehingga menurunkan walking velocity pada pasien pasca stroke. Penelitian yang dilakukan oleh Lin et al., (2006) menjelaskan bahwa pelatihan metode Bobath dengan latihan yang selective movement
90 pada kekuatan otot ankle dorsoflexor pada sisi lesi akan menyebabkan reedukasi dan fasilitasi untuk re-establish voluntary control dari body position dan motor control pattern yang terkoordinasi saat berjalan sehingga meningkatkan walking velocity. Penelitian yang dilakukan oleh Lin et al., sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lenon, (2001) dimana penelitian tersebut menjelaskan bahwa terjadinya peningkatan knee control dan ankle dorsiflexion selama stance phase ketika fase berjalan. 5.2.3 Pelatihan Metode Feldenkrais Meningkatkan Kemampuan Walking Velocity pada Pasien Pasca Stroke Berdasarkan uji statistik parametrik uji t-berpasangan (paired t-test) terhadap hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa rerata peningkatan kemampuan fungsional walking velocity pasien stroke mengalami peningkatan sebesar 0,15 ± 0,03 m/detik setelah pelatihan metode Feldenkrais dengan nilai p = 0,000 lebih kecil α (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan peningkatan kemampuan fungsional walking velocity antara sebelum dan sesudah pelatihan metode Feldenkrais adalah berbeda secara signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Batson dan Deutsch (2005) menyatakan bahwa pelatihan metode Feldenkrais yang dilakukan pada 4 orang pasien stroke selama 6 minggu menghasilkan peningkatan sebesar 56,4% DGI (Dymanic Gait Index). Hal ini membuktikan bahwa pelatihan metode Feldenkrais dapat meningkatkan kemampuan fungsional walking
91 velocity pasien pasca stroke Pelatihan metode Feldenkrais yang terdiri dari dua komponen yaitu Awarness Through Movement (ATM) dan Functional Integration (FI). Kedua pendekatan ini ATM dan FI sangan berfokus pada mind-body relationships yang akan memberikan pembelajaran mengenai berbagai rangkaian gerakan (sequences of movements) (Ullman et al, 2010). Pelatihan yang dilakukan akan memberikan feedback berupa peningkatan body half integration, simetris dan kemudahan dalam bergerak, meningkatkan koordinasi, body awareness, flexibility dan balance yang akan meningkatkan kemampuan walking velocity (Batson dan Deutsch, 2005; Stephens et al., 2001; Pratama, 2015). 5.2.4 Pelatihan Metode Bobath Lebih Baik Daripada Pelatihan Metode Feldenkrais untuk Meningkatkan Walking Velocity Pasien Pasca Stroke Temuan utama dalam penelitian ini adalah perbedaan selisih peningkatan kemampuan fungsional walking velocity antara kelompok pelatihan Bobath dan kelompok pelatihan Feldenkrais menunjukan bahwa pelatihan metode Bobath lebih baik daripada pelatihan Feldenkrais. Karakteristik jalan pada pasien pasca stroke adalah menurunnya kecepatan berjalan, asymmetrical pattern, penurunan endurance dan kesulitan beradaptasi dengan tugas tertentu dan lingkungan (Dean et al., 2001; Said et al., 2008). Pelatihan metode Bobath lebih baik untuk meningkatkan walking velocity dibandingkan pelatihan metode Feldenkrais dikarenakan dengan pelatihan metode Bobath yang merupakan problem
92 solving approach dan memiliki fokus pada integrasi dari postural control dan task performance, selective movement untuk menghasilkan motor pattern yang terkoordinasi, dan kontribusi dari sensory input ke motor control dan motor learning. Dengan pemberian pelatihan metode Bobath yang lebih mengedepankan postural control dan task performance yang berorientasikan tugas-tugas spesifik sesuai aktivitas sehari-hari dengan mengintegrasikannya dengan postural control agar terbentuknya stabilisasi yang baik agar mengurangi timbulnya kompensasi gerak. Pelatihan postural control dan task performance tidak hanya meningkatkan motor control dan muscle strength pada sisi yang paretic lower limb tetapi juga memperbaiki normal movement pattern pada gait cycle seperti peningkatan kemampuan mempertahankan keseimbangan pada non-paretic lower limb pada saat stance phase (Den Otter et al., 2007; Kollen et al., 2005). Pelatihan metode Feldenkrais menekankan pada body awareness yang memperbaiki kinesthetic sense sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan orientasi dari body position, gerakan, dan motor control yang akan meningkatkan balance dan muscle strength pada paretic lower limb sehingga meningkatkan kemampuan walking velocity (Ullman et al., 2010). Evidence base menyebutkan pelatihan penguatan otot dapat meningkatkan motor control dan muscle strength pada paretic lower limb tetapi tidak meningkatkan kemampuan walking ability seperti berjalan menaiki tangga, berputar, walking velocity dan berjalan menempuh jarak
93 tertentu, tetapi pelatihan dengan mobility-related tasks yang dapat meningkatkan kemampuan walking velocity (Buurke et al., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Lin et al., (2006) menjelaskan bahwa pelatihan metode Bobath dengan latihan yang selective movement pada kekuatan otot ankle dorsoflexor pada sisi lesi akan menyebabkan reedukasi dan fasilitasi untuk re-establish voluntary control dari body position dan motor control pattern yang terkoordinasi saat berjalan sehingga meningkatkan walking velocity. Kondisi stroke akan mengalami abnormal muscle activation pattern dan abnormal muscle tone yang akan menyebabkan terjadinya abnormal pattern movement terutama pada paretic lower limb sehingga mengalami penurunan walking velocity. Lower limb yang sangat penting perannya selama fase berjalan adalah foot, ankle dan knee joint. Problem yang dialami pada fungsi dari ankle-foot adalah dropped foot, yang dapat menyebabkan ketidakmampuan initial contact dan mengurangi stabilitas ketika stance phase, kesulitan ankle dorsoflexor ketika swing phase dan berkurangnya fleksi lutut saat swing phase hal ini terjadi karena problem dari coactivation time dari otot agonist-antagonists ankle sehingga menurunkan kecepatan berjalan, gangguan postural stability dan penurunan stability dari ankle (Lamontagne et al., 2000). Pelatihan metode Bobath dengan selective movement untuk menghasilkan motor pattern yang terkoordinasi sehingga memperbaiki problem coactivation time dari otot agonist-antagonist ankle agar
94 terjadinya perbaikan dari problem dropped foot sehingga memperbaiki problem pada foot, ankle dan knee control agar mengembalikan gait cycle normal serta memperbaiki postural control (Lamontagne et al., 2000). Peningkatan walking velocity pada periode penelitian ini menunjukan bahwa pelatihan metode Bobath lebih baik daripada pelatihan metode Feldenkrais, tetapi dimungkinkan pada pelaksanaan pelatihan dalam periode yang lebih lama nilai walking velocity akan berada dalam kondisi yang berbeda dengan penelitian ini.