PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. saling terkait. Peristiwa banjir, erosi dan sedimentasi adalah sebagian indikator

Oleh : Sri Wilarso Budi R

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Menurut Baldiviezo et al. (2003 dalam Purnomo, 2012) kelerengan dan penutup lahan memiliki peran dalam tanah longsor,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN KONFLIK SOSIAL KEHUTANAN PT WIRAKARYA SAKTI 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda hampir di seluruh daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi, demikian halnya peristiwa kebakaran terjadi di beberapa fungsi kawasan hutan menurut wilayah Tata Guna Hutan Kesepakaan (TGHK) yang terdistribusi pada kawasan hutan lindung, hutan konservasi, area penggunaan lain serta kawasan hutan produksi (tetap, terbatas dan yang dapat dikonversi), tak terkecuali terjadi pada kawasan hutan produksi yang menjadi areal perijinan Hutan Tanaman Indsutri (HTI) PT. Wirakarya Sakti. Kebakaran hutan telah menimbulkan dampak kerugian yang cukup berarti, baik segi ekonomi, sosial maupun ekologi, bahkan peristiwa kebakaran hutan dapat dikategorikan sebagai bencana karena telah mengganggu dan mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat yang mengakibatkan kerugian materi, kerusakan harta benda bahkan korban jiwa. Dampak dari kebakaran hutan tersebut antara lain asap yang ditimbulkan yang sangat membahayakan kesehatan dan mengganggu transportasi darat, udara dan perairan. Peristiwa kebakaran hutan pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena faktor lingkungan fisik hutan yang mendukung serta adanya aktivitas manusia di sekitar hutan sebagai pemicu terjadinya kebakaran. Kegiatan masyarakat dalam penyiapan lahan secara tradisional dengan tahapan tebang, tebas, tumpuk dan bakar pada umumnya dididuga sebagai penyebab awal terjadinya kebakaran hutan. Sebagaimana menurut Suratmo dkk. (23) bahwa penyebab utama kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera dipengaruhi oleh faktor manusia, baik dikarenakan kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan / slash and burning) dan kecil kemungkinannya oleh faktor alamiah seperti fenomena iklim, petir, gesekan kayu dan benturan batu. Aktivitas masyarakat di hutan pada awalnya diyakini sebagai suatu cara untuk mendapatkan penghidupan bagi diri dan keluarganya karena hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat menghasilkan pendapatan bagi

2 masyarakat dari hasil hutan berupa kayu dan non-kayu seperti rotan, damar, gaharu, jelutung, lebah madu dan lain-lain. Selanjutnya, aktivitas masyarakat di sekitar hutan berubah orientasinya dengan keharusan dan keinginan mendapatkan lahan hutan untuk dijadikan ladang, kebun dan mata pencaharian lainnya sebagai sumber penghidupannya. Semakin tingginya intensitas untuk mendapatkan lahan hutan diduga disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan; antara lain tingkat pendapatan yang rendah, taraf pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan masih rendah, adanya pertambahan penduduk masyarakat sekitar hutan serta lapangan pekerjaan yang terbatas. Kurangnya upaya-upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan ke arah kemapanan kehidupan sosial dan peningkatan ekonomi masyarakat akan meningkatkan alternatif aktivitas masyarakat berbasis lahan ke arah penguasaan lahan hutan. Adanya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kontribusi ekonomi sektor kehutanan melalui pembangunan Hutan Tanaman Industri telah melahirkan perijinan pemanfaatan hutan kepada pihak swasta atas kawasan hutan yang pada kenyataannya sebagian dari areal perijinan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat. Hal ini berpotensi menimbulkan benturan kepentingan karena menghadapkan perusahaan dan masyarakat atas penguasaan lahan hutan. Berdasarkan hukum formal yang berlaku telah ada pembatasan akses masyarakat atas sumberdaya hutan, yang pada hakekatnya terjadi pengekangan untuk mendapatkan penghidupan bagi masyarakat. Dengan tidak terakomodasinya peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan pada faktanya melahirkan reaksi yang meningkatkan aktivitas masyarakat di kawasan hutan. Dalam areal perijinan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Wirakarya Sakti seluas ± 293. Ha, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 346/Menhut-II/24 tanggal 1 September 24, ditemukan beragam wujud penggarapan lahan hutan oleh masyarakat berupa kebun dan ladang. Penguasaan lahan hutan oleh masyarakat di HTI meliputi areal seluas ± 55. Ha atau sekitar 18% dari luas total areal perijinan HTI PT. Wirakarya Sakti. Upaya-upaya penyelesaian permasalahan status lahan di areal HTI telah dilakukan antara lain dengan pengelolaan lahan pola kemitraan, yaitu kerjasama Hutan Rakyat Pola

3 Kemitraan (HRPK) untuk areal masyarakat di luar HTI dan kerjasama Hutan Tanaman Kehidupan Pola Kemitraan (HTPK) untuk areal kebun masyarakat di dalam areal perijinan HTI PT. Wirakarya Sakti. Walaupun penyelesaian permasalahan lahan di areal HTI antara pihak perusahaan dan masyarakat melalui pola kemitraan telah diupayakan namun masih belum banyak menunjukkan keberhasilan. Masyarakat masih mengusahakan lahan sendiri/berkelompok untuk menggarap kebun dengan cara tradisional. Penggunaan api dalam penyiapan lahan oleh masyarakat sebagai cara yang paling mudah dan murah yang akan menjadi pemicu terjadinya kebakaran hutan. Motif dan tindakan masyarakat dalam melakukan pembakaran lahan juga sebagai alternatif yang dipilih untuk mempertahankan eksistensi penguasaan lahan hutan oleh masyarakat atas lahan hutan, kondisi ini sangat berpotensi meningkatkan kerawanan kebakaran di areal HTI PT. Wirakarya Sakti. Pembangunan Hutan Tanaman Industri pada kawasan hutan produksi mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan berupa kayu tanaman. Pemanfaatan kawasan hutan produksi sebagai wujud pemanfaatan ruang yang penetapannya lebih ditujukan pada pembagian ruang dalam suatu wilayah sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. Padahal permasalahan yang muncul terkait dengan ruang tidak dapat dilepaskan dari penegasan terhadap hak penguasaan terhadap ruang tersebut. Menurut Djajono (26), kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang ternyata telah berpengaruh besar pada proses penetapan perencanaan tata ruang suatu wilayah (kawasan hutan) dalam hal sulitnya penataan ruang yang akan ditetapkan menjadi acuan pihak-pihak yang akan memanfaatkan ruang tersebut. Beragam alasan dapat disebutkan sebagai penyebabnya, antara lain : kepentingan ekonomi terhadap ruang yang bersangkutan, belum ditampungnya kondisi riil masyarakat yang mendiami ruang tersebut dalam peraturan perundangan serta berbagai konflik penguasaan lahan yang terdapat di kawasan hutan. Penunjukkan kawasan hutan sebagai implementasi pemanfaatan ruang, penetapannya lebih ditujukan pada pembagian ruang (kawasan hutan) sesuai dengan fungsi dan manfaatnya yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Pengaturan Tata Ruang

4 Hutan Tanaman Industri sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 7/Kpts-II/1995 (sebagaimana diubah dengan Kepmenhut No.246/Kpts- II/1996 dan Peraturan Menteri No. P.21/Menhut-II/26), didasarkan atas pertimbangan aspek-aspek kepastian lahan, kontinuitas sumberdaya hutan, konservasi/fungsi lindung serta sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Penataan ruang HTI bertujuan untuk mengatur penggunaan suatu unit areal HTI sesuai peruntukannya, yaitu untuk areal tanaman pokok, tanaman unggulan, tanaman kehidupan, kawasan lindung serta sarana prasarana. Kesesuaian pelaksanaan pembangunan Hutan Tanaman Industri dengan rencana tata ruang HTI diharapkan akan menjadi suatu pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pada proses perencanaan tata ruang HTI juga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana, antara lain mempertimbangkan kawasan rawan kebakaran hutan. Sehingga diharapkan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang HTI merupakan suatu upaya untuk meminimalkan kejadian kebakaran hutan dan pada akhirnya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan bagi kehidupan dan penghidupan pada umumnya. Upaya meminimalisir terjadinya kebakaran hutan antara lain dengan menginventarisir lokasi rawan kebakaran hutan berdasarkan faktor-faktor penyebabnya sehingga dapat disusun suatu model kerawanan kebakaran hutan serta memetakan wilayah-wilayah yang rawan terjadinya kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti Perumusan Masalah Kebakaran hutan yang terjadi dipengaruhi oleh faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia, meskipun hingga saat ini informasi tentang seberapa besar pengaruh faktor biofisik dan faktor aktifitas manusia yang dapat menyebabkan kebakaran hutan belum banyak diketahui. EEP (1998) melaporkan bahwa faktor utama penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah perilaku manusia, sementara kondisi iklim dan lingkungan dapat memperbesar dan meningkatkan intensitas kebakaran. Berkembangnya sektor kehutanan dan ekstraksi sumberdaya hutan telah menarik masyarakat ke kawasan hutan yang kemudian membangun ladang, kebun bahkan permukiman, dengan demikian menghadapkan hutan pada potensi bahaya kebakaran besar yang dapat timbul setiap saat. Beberapa studi

5 mengidentifikasikan bahwa kebakaran pada umumnya terjadi di sekitar permukiman (desa/kampung/transmigrasi), jalur jalan atau akses masuk ke hutan konversi dan lahan perkebunan, serta di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kondisi biofisik lingkungan hutan yang diduga berpengaruh terhadap kebakaran hutan antara lain adalah: kuantitas bahan bakar, curah hujan dan kondisi iklim setempat, keadaan permukaan bumi (topografi), jenis tanah, kondisi tutupan lahan serta tipe lahan pada areal Hutan Tanaman Industri. Pembukaan hutan sebagai desakan kebutuhan akan lahan untuk dijadikan kebun atau ladang mendorong terjadinya perubahan peruntukkan lahan hutan menjadi areal budidaya, konsekuensinya, terjadi interaksi yang lebih intensif antara aktivitas masyarakat dengan lingkungan hutan. Interaksi masyarakat atas lahan hutan dalam penyiapan lahan dengan menggunakan api dapat menimbulkan terjadinya kebakaran hutan. Faktor-faktor pendukung aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan dan diduga berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan adalah kemudahan atau akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan antara lain disebabkan oleh faktor jarak dari jalan, jarak dari sungai serta jarak dari lahan hutan yang dikuasai oleh masyarakat,. Kejadian kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Wirakarya Sakti yang terjadi dari tahun 25, 26 dan 27, menurut data dari pihak perusahaan terjadi berturut-turut sebanyak 61 kasus, 127 kasus serta 33 kasus yang tersebar di setiap distrik, seperti disajikan pada Gambar 1. 35 33 3 Frekuensi 25 2 15 1 5 23 21 18 17 15 14 11 1 9 9 9 7 6 4 4 4 3 2 1 1 I II III IV V VI VII VIII 25 26 27 Distrik Gambar 1 Sebaran Kejadian Kebakaran di setiap Distrik pada Areal Kerja HTI.

6 Areal perijinan yang diberikan kepada perusahaan HTI (PT. Wirakarya Sakti) berupa kawasan hutan produksi oleh pemerintah pusat pada kenyataannya secara fakta di lapangan sebagian telah dikuasai oleh masyarakat, lahan garapan milik perorangan atau kelompok, berupa kebun atau ladang. Akan tetapi ada juga sebagian penguasaan lahan hutan oleh masyarakat terjadi setelah perijinan diberikan kepada perusahaan serta pihak perusahaan telah menjalankan operasional di lapangan. Penguasaan lahan oleh masyarakat, di setiap distrik pada areal HTI disajikan pada Gambar 2. 3 26 25 2 17 Kasus 15 12 15 12 Klaim 1 9 5 4 6 I II III IV V VI VII VIII Ditsrik Gambar 2 Penguasaan Lahan Hutan oleh Masyarakat di setiap Distrik pada Areal HTI PT. Wirakarya Sakti. Dari gambaran pada Gambar 2 terlihat bahwa jumlah penguasan lahan pada areal HTI terdata 11 kasus yang tersebar di setiap distrik. Terdapat suatu indikasi bahwa semakin banyak jumlah penguasaan lahan maka semakin besar peluang terjadinya kebakaran, seperti terlihat pada Gambar 1. Pengelolaan kawasan hutan oleh perusahaan berdasarkan asas legalitas hukum formal pada areal perijinannya dimanfaatkan untuk membangun hutan tanaman. Sistem silvikultur yang diterapkan dalam pembangunan HTI adalah sistem Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) yaitu dengan menebang habis (land clearing) tegakan hutan atau semak belukar untuk kemudian diganti dengan tanaman pokok (Akasia sp., Eucalypthus sp. serta tanaman unggulan dan kehidupan). Penyiapan lahan untuk penanaman dilakukan dengan cara Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Akan tetapi sisa kayu sebagai hasil limbah

7 pembalakan akan menjadi bahan bakar sebagai salah satu unsur terjadinya kebakaran. Semakin banyak sisa kayu yang tertinggal di areal bekas penebangan maka akan sangat berpotensi meningkatkan kerawanan kebakaran. Sampai saat ini, meskipun kejadian kebakaran hutan di HTI terjadi hampir setiap tahun, namun informasi mengenai wilayah-wilayah yang mudah terjadi kebakaran belum banyak tersedia. Oleh karena itu pengembangan wilayah yang rawan terjadi kebakaran hutan dan terintegrasi dengan mempertimbangkan faktor kondisi biofisik serta faktor pendukung aktivitas masyarakat khususnya pada areal Hutan Tanaman Industri akan sangat diperlukan. Apabila dilihat dari uraian rumusan masalah di atas, maka dapat dirangkum suatu pertanyaan umum penelitian yaitu bagaimana model spasial dan pemetaan kerawanan kebakaran hutan pada areal Hutan Tanaman Industri. Sedangkan pertanyaan khusus penelitian adalah sebagai berikut : 1. Apa faktor-faktor biofisik hutan yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan? 2. Sampai sejauh mana kebakaran hutan dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal Hutan Tanaman Industri? 3. Sampai sejauh mana karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal Hutan Tanaman Industri mempunyai keterkaitan dengan kebakaran hutan? 4. Sampai sejauh mana kesesuaian Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri dengan peruntukkannya serta pengaruhnya terhadap kebakaran hutan? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah tersebut diatas maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi faktor biofisik yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri. (2) Mengidentifikasi faktor pendukung aktivitas masyarakat yang menguasai lahan hutan dalam kaitannya dengan kebakaran hutan di areal Hutan Tanaman Industri.

8 (3) Menganalisis karakteristik dan tindakan masyarakat yang menguasai lahan hutan pada areal Hutan Tanaman Industri dalam kaitannya dengan kebakaran hutan. (4) Mengidentifikasi kesesuaian Rencana Tata Ruang Hutan Tanaman Industri dengan peruntukkannya dan pengaruhnya terhadap kebakaran hutan. (5) Membangun model spasial serta memetakan kerawanan kebakaran hutan pada areal Hutan Tanaman Industri. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan bahan pertimbangan bagi perusahaan dan masyarakat agar dapat mengurangi tindakantindakan yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan serta memberikan data dan informasi sebagai bahan pertimbangan kepada pemerintah daerah/provinsi dalam perumusan kebijakan pembangunan secara umum.