BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Tanaman cabai merupakan salah satu komoditas holtikultura yang banyak digemari masyarakat. Salah satu spesies cabai yang banyak dibududayakan adalah cabai merah. Selain dapat dikonsumsi segar, cabai dapat dikonsumsi kering sebagai bumbu masakan dan juga sebagai bahan baku industri (Piay et al. 2010). Alur penyebaran cabai diawali dari manusia primitif di Amerika, diketahui dari data-data sejarah. Bagi orang-orang Indian, cabai merupakan jenis tumbuhan yang sangat dihargai dan menempati urutan kedua setelah jagung dan ubi kayu. Selain itu cabai juga mempunyai peranan penting dalam upacara keagamaan dan kultur budaya orang-orang Indian. Proses domestikasinya sendiri diwujudkan dalam bentuk adanya perubahan-perubahan terutama pada tipe buah misalnya bentuk liarnya berukuran kecil, posisinya tegak, bila sudah berwarna merah mudah luruh, berubah menjadi buah yang berukuran besar, seringkali posisinya menggantung, tidak mudah luruh serta mempunyai variasi warna merah pada buahnya (Djarwaningsih, 2005). Pertumbuhan dan perkembangan cabai dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barus (2006) diketahui bahwa perlakuan penggunaan mulsa memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman, produksi per tanaman serta produksi per hektar. Mulsa dapat meningkatkan proses fotosintesis tanaman dan dapat mempertahankan kesuburan tanah sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Mulsa dapat menekan laju evaporasi sehingga kandungan air tanah cukup bagi pertumbuhan tanaman. Pada umumnya penyakit yang sering menyerang tanaman cabai merah disebabkan oleh jamur patogen, terutama disebabkan oleh lahan yang selalu lembab sehingga memungkinkan jamur berkembang dengan baik. Beberapa jenis
penyakit penting yang sering menyerang tanaman cabai merah rebah kecambah akibat F.oxysporum dan S. rolfsii. Gambar 2.1 Penyakit rebah kecambah pada cabai (Tanijogonegoro, 2013) 2.2 Bakteri Kitinolitik Bakteri kitinolitik merupakan kelompok bakteri penghasil kitinase yang dapat mendegradasi senyawa kitin. Mikroorganisme ini dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti rizosfer, filosfer, tanah atau dari lingkungan air seperti laut, danau, kolam atau limbah udang dan sebagainya. Selain lingkungan mesofil, mikroorganisme kitinolitik juga telah berhasil diisolasi dari lingkungan termofilik seperti sumber air panas, daerah geotermal dan lain-lain (Herdyastuti et al. 2009). Berbagai laporan menyebutkan bahwa bakteri kitinolitik sangat potensial digunakan dalam bidang pertanian sebagai agen biokontrol yang efektif terhadap sejumlah kapang fitopatogenik. Hasil uji antagonisme yang dilakukan oleh Ferniah et al. (2008), menunjukkan interaksi antara jamur F. oxysporum dengan bakteri kitinolitik. Hal ini disebabkan oleh adanya bakteri kitinolitik pada media yang mampu menghasilkan enzim kitinase yang dapat menghambat dan mengganggu proses pertumbuhan jamur F. oxysporum. Pertumbuhan miselium yang cenderung serong ke atas (menjauhi media) merupakan mekanisme pertahanan diri untuk menghindari bakteri kitinolitik dan untuk mencari oksigen yang ada di udara. Bakteri kitinolitik menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat
merusak komponen struktural kapang. Adanya enzim hidrolitik, misalnya kitinase pada bakteri kitinolitik, mampu mendegradasi kitin penyusun dinding sel kapang (Ferniah et al. 2008). Singh et al. (1999) menunjukkan bahwa kitinase dari Streptomyces mampu melisiskan dinding sel dan menghambat pertumbuhan F. oxysporum. Jamur F. oxysporum yang menyerang tanaman penyebab busuk rimpang yang ditandai dengan layu dan menguningnya daun serta berujung pada kematian tanaman sebelum panen. Bakteri kitinolitik juga telah diketahui dapat menghambat pertumbuhan dan menghambat serangan jamur patogen S. rolfsii penyebab rebah kecambah. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman kedelai yang terserang oleh S. rolfsii dan yang diberi perlakuan inokulum bakteri kitinolitik (Malinda et al. 2013). Hardaningsih (2011) juga melaporkan enam isolat Trichoderma telah diuji daya hambatnya terhadap S. rolfsii dengan zona hambat antara 32,1-70%. Dari beberapa penelitian yang yang telah dilakukan selain bakteri kitinolitik pada pengendalian secara hayati, beberapa mikroorganisme seperti cendawan T. harzianum (Tindaon 2008), P. flourescens (Rismawan, 2011), B. subtilis, G. virens, Penicillium spp. (Ferreira & Boley, 2006), dan S. nigrifaciens (Reddy, 2010) juga dapat digunakan sebagai pengendali patogen S. rolfsii. Selain itu Widyanti (2012) mengemukakan isolat aktinomiset memiliki potensi sebagai agen pengendalian hayati terhadap S. rolfsii dengan nilai penghambatan sebesar 91.73% pada inkubasi minggu ketiga. Streptomyces sp. dan jamur mikoriza arbuskula digunakan sebagai pengendali hayati pada tanaman kedelai (Sastrahidayat et al. 2009). Bakteri kitinolitik juga memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan Curvularia sp. penyebab penyakit bercak daun pada tanaman mentimun hingga mencapai 43,75% (Hanif et al. 2012), bakteri kitinolitik berpotensi dalam menghambat pertumbuhan R. solani penyebab rebah kecambah pada kentang varietas granola hingga mencapai 37,5% (Novina et al. 2012), bakteri kitinolitik berpotensi dalam pengendalian A. niger penyebab penyakit
busuk pangkal akar pada tanaman kacang tanah hingga mencapai 58,82% (Ayu et al. 2012). 2.3 Fusarium Fusarium merupakan jamur patogen penyebab penyakit layu Fusarium pada tanaman termasuk pada tanaman cabai. Jamur Fusarium dapat berada pada lahan dalam waktu yang lama melalui benih yang terkontaminasi atau tanaman yang terinfeksi. Ketika terkontaminasi, jamur dapat hidup bertahun-tahun. Gejala yang tampak pada penyakit ini adalah tepi daun bawah berwarna kuning tua, dimulai dari tepi daun bagian pangkal. Daun bergejala kemudian menjadi coklat dan mengering dan akhirnya seluruh tanaman mati. Secara internal, tanaman dengan infeksi yang berlanjut memperlihatkan perubahan warna pada rizoma dan nekrosis pada xilem. F. oxysporum memiliki bentuk konidium lonjong atau agak memanjang, mikrokonidium bersel satu atau dua, tanpa warna (Soesanto et al. 2012). Gambar 2.2. a. Penyakit Layu Fusarium pada tanaman Cabai Merah dan b. Nekrosis pada xylem (Suwandi, 2009). Gejala serangan yang dialami, daun yang terserang mengalami kelayuan mulai dari bagian bawah, menguning dan menjalar ke atas ke ranting muda. Bila infeksi berkembang tanaman menjadi layu. Warna jaringan akar dan batang menjadi coklat. Tempat luka infeksi tertutup hifa putih seperti kapas. Bila serangan terjadi pada saat pertumbuhan tanaman maksimum, maka tanaman
masih dapat menghasilkan buah. Namun bila serangan sudah sampai pada batang, maka buah kecil akan gugur (Suwandi, 2009). Fusarium merupakan salah satu jamur patogen tanaman yang sulit dikendalikan (Singh et al. 1999). Jamur ini merupakan patogen tanaman yang penting secara ekonomi karena dapat menyebabkan busuk dan layu pada akar, batang maupun kecambah pada lebih dari 100 jenis tanaman. Genus ini terdiri atas berbagai spesies, seperti F. oxysporum, F. affine, F. culmorum, F. dimerum, F. ginearum, F. moniliforme, F. radicicola, F. roseu dan F. solani. 2.4 Sclerotium Sclerotium sp. merupakan salah satu jamur patogen yang mempunyai kisaran inang yang luas. Namun serangan Sclerotium sp. dilaporkan serius hanya pada beberapa jenis tanaman saja. Sclerotium sp. merupakan jamur tular tanah yang dapat bertahan lama dalam bentuk sclerotia di dalam tanah, pupuk kandang, dan sisa-sisa tanaman sakit. Disamping itu jamur tersebut dapat menyebar melalui air irigasi dan benih. Pada lahan yang ditanami secara terus menerus dengan tanaman inang dari Sclerotium sp. akan beresiko tinggi terserang oleh Sclerotium sp. yang dapat berakibat turunnya produksi (Timper et al. 2001). A B Gambar 2.3. (A) Gejala penyakit busuk leher akar dan (B) karakteristik morfologi miselium jamur S. rolfsii miselium pada permukaan batang tanaman (Sukamto et al. 2013). Penyakit busuk leher akar ini disebabkan oleh jamur S. rolfsii. Pada tanaman terlihat gejala layu dan pada pangkal batangnya terlihat luka berwarna
coklat lembut. Pada luka tersebut tumbuh jamur berbentuk butiran kecil-kecil lonjong atau bulat yang berwarna putih, selanjutnya butiran akan berubah warna menjadi coklat. Pada akhirnya tanaman akan layu dan mati. Akar merupakan bagian yang sangat penting bagi pertumbuhan suatu tanaman terutama untuk penyerapan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman, oleh sebab itu upaya perlindungan sangat dibutuhkan sejak awal. Sehat tidaknya akar akan mempengaruhi tingkat produksi tanaman itu sendiri. Gejala yang ditimbulkan oleh jamur patogen seperti S.rolfsii yang diuji pada kecambah wijen menunjukkan gejala layu yang diikuti kematian kecambah. Ciri khas serangan S. rolfsii adalah adanya miselia berwarna putih kapas di sekitar luka (Yulianti et al. 2001). Brooke dan Mark (2003) menyatakan bahwa lingkungan yang mendukung ketahanan hidup S. rolfsii selain aerasi, suhu, dan kelembapan tanah juga adanya bahan organik. Selain itu keberadaan asam fenolat di dalam tanah diperlukan oleh S. rolfsii untuk pertahanan diri dari serangan mikroorganisme lain didalam tanah dimana asam fenolat ini diproduksi oleh S. rolfsii jika memperoleh nutrisi yang cukup (Sarma dan Singh, 2002). Penghambatan yang dilakukan oleh isolat bakteri kitinolitik mengakibatkan terbentuknya pertumbuhan abnormal pada hifa S. rolfsii, hal ini akibat aktivitas antagonis bakteri tersebut (Malinda et al. 2013) 2.5 Media Pembawa Bahan pembawa atau carrier merupakan bahan tempat membawa sel hidup atau mikroba tertentu yang diinokulasikan di dalamnya dengan tujuan agar tetap hidup selama jangka waktu tertentu. Pupuk hayati merupakan pupuk yang telah diinokulasikan dengan mikroba hidup yang kemudian akan membantu tanaman dalam menyediakan unsur hara tertentu yang diperlukan. Itu sebabnya pupuk hayati disebut juga sebagai pupuk mikrob atau sebagai media pembawa inokulan. Bahan pembawa perlu disterilisasi untuk menghindari adanya pertumbuhan mikrob indigenus (Putri, 2011). Gambut merupakan bahan pembawa yang banyak digunakan untuk pupuk hayati. Lahan gambut dapat dijumpai dalam suatu lingkungan rawa yang
terletak dibelakang tanggul sungai, sehingga lahan ini selalu tergenang air dan tanah yang terbentuk merupakan tanah yang belum berkembang (Noviana et al. 2009). Tanah gambut di Indonesia memiliki kisaran ph 2,8-4,5, kadar bahan organik dan nitrogen yang tinggi disebabkan tanah gambut berasal dari sisa-sisa tumbuhan. Dengan perbandingan C/N yang tinggi, apabila tanah gambut direklamasi maka sebagian besar unsur N akan diambil oleh jasad renik sebagai sumber energi dalam proses pelapukan bahan organik sehingga ketersediaan hara bagi tanaman akan berkurang (Murayama dan Abu bakar, 1996). Pemanfaatan tanah gambut sebagai medium pembawa memiliki beberapa kelebihan seperti memiliki kapasitas memegang kelembaban yang tinggi dan kandungan materi organik yang tinggi yang sangat penting untuk kehidupan naungan kultur bakteri yang lebih baik (Situmorang, 2008). Terdapat beberapa kendala yang sering dijumpai pada tanah gambut seperti (1) tanah yang memiliki ph asam yang berasal dari senyawa organik selama pelapukan sehingga dapat meracuni tanaman, terutama senyawa fenol; (2) kandungan hara mikro dan makro yang rendah; (3) kejenuhan basa yang rendah sehingga kation Ca, Mg dan K sulit tersedia bagi tanaman. Beberapa upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kesuburan tanah gambut melalui pemupukan, pengapuran, penambahan abu (serbuk gergaji atau abu vulkan), pencampuran dengan bahan mineral seperti lumpur laut. Pengapuran dapat memperbaiki kesuburan tanah gambut dengan mengurangi tingkat keasaman tanah dan meningkatkan kandungan kation basa yaitu Ca dan Mg (Nurhayati, 2008). Kapur banyak mengandung unsur Ca tetapi pemberian kapur kedalam tanah bukan hanya karena tanah kekurangan uncur Ca tetapi karena tanah terlalu asam. Bentuk kapur ini biasanya seperti tepung halus. Beberapa keuntungan penambahan kapur pada tanah masam antara lain: 1. Struktur tanahnya menjadi baik dan kehidupan mikroorganisme dalam tanah menjadi lebih giat. Akibatnya daya melapuk bahan organik menjadi humus berjalan lebih cepat 2. Kelarutan zat-zat yang sifatnya meracuni tanaman menjadi menurun dan unsur lain tidak banyak terbuang
3. Ditempat yang diberi kapur akan lebih leluasa ditanami berbagai jenis tanaman (Lingga dan Marsono, 1999) Bahan lain yang digunakan sebagai media pembawa dalam penelitian ini adalah kompos janjang sawit. Kompos janjang sawit merupakan kompos yang diolah dari tandan kosong kelapa sawit yang dicacah kemudian disiram dengan limbah kelapa sawit cair dan dibiarkan untuk beberapa waktu. Proses pengomposannya sendiri bersifat aerobik dan tanpa memerlukan mikroorganisme tambahan dari luar. Kompos yang telah diolah mengandung berbagai nutrisi penting yang dibutuhkan tanaman (Situmorang, 2008). Pemanfaatan kompos tersebut sebagai media pembawa diharapkan dapat meningkatkan daya hidup bakteri Bacillus sp. BK17 dan NR09 sekaligus dapat meningkatkan fungsi kompos janjang sawit sebagai pupuk hayati. Kandungan utama dalam kompos janjang sawit adalah bahan organik yang mampu memperbaiki kondisi tanah, memiliki unsur nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan magnesium (Lingga, 1993). Beberapa keuntungan sifat kompos janjang sawit antara lain: 1. Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan 2. Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai 3. Menambah daya ikat air pada tanah 4. Memperbaiki draenase dan tata udara dalam tanah 5. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara 6. Mengandung hara yang lengkap walaupun dengan jumlah yang sedikit 7. Membantu pelapukan bahan mineral 8. Memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba 9. Menurunkan aktifitas mikroorganisme yang merugikan (Indriani, 2000)