Catatan tambahan untuk Bangkitnya Pertanian di Sulawesi Selatan sebelum 1600



dokumen-dokumen yang mirip
Kenyataan, anakronisme dan fiksi : Arkeologi bersejarah dan pusatpusat kerajaan La Galigo. Oleh: Ian Caldwell

SITUS-SITUS MEGALITIK DI KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN. Megalithic Sites in Wajo, South Sulawesi

ORYZA SATIVA DAN ASAL-USUL KERAJAAN DI SULAWESI SELATAN Bukti dari Phytolith sekam padi

Tiga benda perunggu buatan Sulawesi Selatan: Bukti alih budaya dari Jawa sekitar 1000 M?

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu paradigma arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masa

MENEMUKAN CINA Paradigma Baru Masa Awal Sejarah Bugis

KURIKULUM JURUSAN SEJARAH (PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH)

Kuasa, Negara dan Masyarakat Bugis Pra-Islam

Nama Kelompok: Agnes Monica Dewi Devita Marthia Sari Dilla Rachmatika Nur Aisah XI IIS 1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

Negeri Besi: Tafsir Historis Leluhur Masyarakat Kompleks di Sulawesi Selatan 1 Ian Caldwell dan David Bulbeck

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA (INDONESIAN NUTRITION ASSOCIATION) PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi

JEJAK BAHASA MELAYU (INDONESIA) DALAIV- BAHASA BUGIS, MAKASSAR, MANDAR, DAN TORAJA (TINJAUAN LEKSIKOSTATISTIK)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH KOMPETENSI JUDUL PENELITIAN MODEL REKONSTRUKSI TRADISI BERNEGARA DALAM KONSTITUSI PASCAAMANDEMEN UUD 1945

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. (sumberdaya Arkeologi) maupun yang non-material (tradisi-tradisi tradisional

BAB 1 PENDAHULUAN. Negara Jepang banyak menghasilkan berbagai macam karya. Baik berupa

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA (ABAD M): MASALAH DI SEKITAR KAPAN, SIAPA, DAN DARI MANA? *)

BOX UMKM : PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN KOMODITAS 'GERBANG EMAS' OLEH PERBANKAN SULAWESI SELATAN

MUHAMMAD AHLUL AMRI BUANA

BAB II TINJAUAN LITERATUR. Menurut ALA Glossary of Library and Information Science (1983, 43), yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

Dampak Pendampingan Terhadap Penghidupan Petani Agroforestri di Sulawesi Selatan

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok,

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan. mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda.

LAPORAN ANALISIS HASIL EVALUASI DIRI SEKOLAH (EDS) PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2011

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI SELATAN

J.G.S.M. Vol. 15 No. 2 Mei 2014 hal

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan adalah ibukota Kecamatan Bandar 1. di Selat Malaka, tepatnya di Kuala Tanjung Kabupaten Batu Bara.

BAB I. PENDAHULUAN BAB. II PANDUAN CRITICAL BOOK REVIEW / REPORT

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara Timur. Di pulau ini ditemukan banyak tinggalan arkeologis yang

I. PENDAHULUAN. adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun. Masyarakat adat

PANDUAN PELAKSANAAN PENUGASAN CRITICAL BOOK REPORT

I. PENDAHULUAN. Bangsa Barat datang ke Indonesia khususnya di Bengkulu sesungguhnya adalah

Naskah-Naskah Koleksi Merapi-Merbabu Mata Rantai Sejarah Kesusastraan Jawa

KERAGAAN SUMBERDAYA LAHAN, PEMANFAATAN DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PERTANIAN BERBAGAI DAERAH DI SULAWESI SELATAN

Klasifikasi Kabupaten-Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Menggunakan Logika Fuzzy

IV. TAHAP-TAHAP PERTUMBUHAN EKONOMI ANDRI HELMI M, SE., MM.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kondisi negara Indonesia akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan.

PERTEMUAN 3 PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI MATA KULIAH ANTROPOLOGI BUDAYA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kamaludin Gumilar, 2013

Dampak Pendampingan Terhadap Penghidupan Petani Agroforestri di Sulawesi Tenggara

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang

Ethnic Integration and Spatial Segregation of the Chinese Population By DAVID W.S. WONG. Asian Ethnicity, Volume 1, Number 1, March 2000

BAB I PENDAHULUAN. Kemenangan Klan Tokugawa dalam Perang Sekigahara (Sekigahara no

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCA SARJANA TESIS

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kota Tanjung Balai adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Utara.

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau besar dan Pulau Sumatera salah satunya. Pulau Sumatera memiliki

5. PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA MENURUT KYAI KAMPUNG DI CIREBON

TUGAS MEMBUAT RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP ) Mata pelajaran pendidikan IPS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014

Lampiran 1. Nilai Indeks Williamson PDRB per. (fi/ fi)/(yi- ỳ)^2. Kabupaten/K ota PDRB (000) (fi/ fi) (yi-ỳ) (yi-ỳ)^2.

2015 RELEVANSI GAYA BAHASA GURIND AM D UA BELAS KARYA RAJA ALI HAJI D ENGAN KRITERIA BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA D AN SASTRA IND ONESIA D I SMA

Menelisik Tumbangnya Koalisi Pemerintah di Malaysia

BAB I PENDAHULUAN. Jepang disebut Nihon dalam bahasa Jepang. Kata Nihon berarti. "negara/negeri matahari terbit". Nama ini disebut dalam korespondensi

BAB I PENDAHULUAN. Serikat. 2 Hingga kini belum diketahui secara pasti sejak kapan orang-orang di dunia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

Pengaruh Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) terhadap Isu One China antara Cina dan Taiwan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika dalam standar isi adalah agar peserta

INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA

BAB 8 PENUTUP. Bondowoso dan Jember, Jawa Timur merupakan bentuk perwujudan manusia dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Disparitas antar Kabupate/kota di Provinsi Sulawesi Selatan :

ECHO Asia Notes, Issue 23 February 2015 BEKERJA BERSAMA PETANI DI MALAYSIA oleh Tan Swee Lian, Ph.D.

BAB 7 PENUTUP. Visi Museum La Galigo belum menyiratkan peran museum sebagai pembentuk identitas Sulawesi Selatan sedangkan misi

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau

06/11/12. Satu bulan kemudian

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dunia pasti dihadapkan dengan dua keadaan yaitu

STRATEGI DAN KESIAPAN SEKTOR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN SULAWESI SELATAN MENGHADAPI AEC 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kisaran terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kisaran Timur dan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama. Penggalian

METODE EDISI: STEMMA

BAB I PENDAHULUAN. seseorang akan mampu menilai banyak hal mengenai budaya seperti gaya hidup,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

Penggunaan tanah (land use) untuk sintesis regional. Geografi regional Indonesia

IDENTIFIKASI POTENSI GEOGRAFIS DESA

BAB I PENDAHULUAN. dituturkan di sejumlah wilayah di Indonesia, dan ada pula bahasa-bahasa etnik

TURKEY, EUROPE, AND PARADOXES OF IDENTITY

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

Community Development di Wilayah Lahan Gambut

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

Transkripsi:

Catatan tambahan untuk Bangkitnya Pertanian di Sulawesi Selatan sebelum 1600 Kini telah lewat dua puluh tahun sejak saya menulis artikel ini, mengajukan hipotesis tentang sebuah perubahan basis ekonomi negara-negara di Sulawesi Selatan seputar tahun 1400. Saya mengaitkannya dengan semakin meningkatnya arti penting pertanian (Macknight 1983). Gagasan ini bersandar pada bukti-bukti yang tersedia pada waktu itu, khususnya berbagai rincian dari beberapa kronik (sejarah kerajaan) yang muncul tanpa disengaja, dan data arkeologis serta data jenis lain yang relevan. 1 Bagaimana penelitian mutahkir tentang fajar sejarah Sulawesi Selatan mempengaruhi hipotesis saya? Penelitian ini, yang kebanyakan merujuk pada artikel tahun 1983 itu, mencakup berbagai bidang dan memang menjadi sangat luas. Dua warna argumen saya sebaiknya dipaparkan terlebih dahulu. Pertama, gagasan utama artikel tersebut adalah untuk mengidentifikasi perubahan di periode awal; yakni, dunia yang menghadap-hadapkan Islam dan pendatang awal Eropa di akhir periode ini mempunyai sejarah yang dapat dijejaki. Masyarakat masa itu bukan produk stabilitas tradisional yang berlangsung selama berabad-abad. Kedua, meski bukti-bukti memungkinkan kita mengidentifikasi perubahan dalam bidang ekonomi, untuk bisa menjelaskan perubahan juga penting untuk memperhatikan interaksi beberapa faktor: populasi, geografi, teknologi produksi makanan, status sosial, fungsi religi, dan kekuatan militer (Macknigt 1983: 100). Dalam menjelaskan tentang perubahan saya masih menjadi pendukung berat multiplier effect : perubahan di satu aspek mendukung perubahan di aspek lain, yang pada gilirannya akan mempromosikan perubahan yang pertama atau perubahan aspek yang lebih jauh lagi, begitu seterusnya dalam sebuah rangkaian yang senatiasa memperkuat diri. (lihat Macknight 1975.) Perkembangan terpenting yang berlangsung sejak penulisan artikel ini adalah pesatnya kemajuan bukti-bukti arkeologis yang kini tersedia dan berhubungan dengan masa yang dibahas, yakni seputar tahun 1000 hingga 1600. Di akhir dekade 1980-an, Bulbeck bersama rekannya dari Indonesia, khususnya Karaeng Demmanari, Bahru Kaluppa dan Iwan Sumantri, mengembangkan metode survei lapangan dan penanggalan keramik yang mendasari banyak karya selanjutnya. Hasil pertama mereka berlokasi di Soppeng (Bahru Kaluppa dkk. 1989), dan proyek ini diikuti dengan karya Bulbeck yang jauh lebih luas di dataran Gowa (Bulbeck 1992). Proyek OXIS selanjutnya memusatkan diri di daerah di sekitar pangkal Teluk Bone, serta daerah selatan Sungai Cenrana (Bulbeck & Caldwell 2000; Fadillah & Sumantri 2000), sementara di tahun-tahun 1 Ciri terpenting dari seluruh bukti ini adalah sifatnya yang kebetulan, yakni sejatinya tidak diciptakan untuk memperlihatkan atau mendukung makna yang coba saya tarik darinya. Karena itu, ambil contoh, Kronik Bone, sumber awal dari gagasan saya, juga dipaparkan untuk banyak maksud lain (Macknight); awalnya dia tidak dimaksudkan untuk menjelaskan tentang ekspansi pertanian. 1

akhir ini, Ali Fadillah dan rekan-rekannya telah melakukan penelitian penting di Wajo, sebelah utara Cenrana, sebagaimana akan di bahas di bawah. Dalam banyak hal, karya-karya arkeologis ini dapat dihubungkan dengan buktibukti dari sumber tertulis. Karya filologis Caldwell yang dibuat dengan cermat tentang kronik Soppeng memberi petunjuk bagi para arkeolog di sana, dan analisis Bulbeck terhadap survei arkeologisnya di Gowa benar-benar menggunakan data yang diambil dari Kronik-kronik Makassar. Karya yang lebih baru tentang Wajo berhubungan langsung dengan tempat-tempat yang disebutkan pada sumber-sumber awal (lontara) yang telah diedit oleh Noorduyn (1955) dan Zainal Abidin (1985), di mana saya juga mengambil contoh (Macknight 1983:102-3). Hanya di Luwu posisinya agak berbeda, sebagaimana akan kita lihat di bawah. Kembali ke bukti-bukti arkeologi, data baru ini mendukung kasus pertumbuhan penduduk, dan ternyata berhubungan dengan kemungkinan adanya pertanian padi basah. Kasus yang paling jelas terlihat di Wajo, di mana sejumlah situs di perbukitan rendah tepat di utara Tosora, berlokasi di dekat dangkalan danau atau rawa-rawa. Daerah rawa seperti itu memungkinkan adanya adopsi, dalam skala kecil, pertanian padi basah; tetapi tak perlu membayangkan bahwa langkah awal ini langsung mengarah pada persawahan moderen yang luas. Terdapat bukti-bukti keramik untuk menentukan masa pemukiman ini pada abad ke-15 dan 16, tanpa memperhatikan peninggalan arkeologis Tosora yang menjadi pusat Wajo pada abad ke-17 dan awal abad ke-18. Jelas terdapat banyak potensi di sini untuk penggalian lebih lanjut, dan ada kemungkinan munculnya bukti tentang pemukiman yang sedikit lebih awal. Namun yang menonjol dari wilayah ini adalah kemungkin lanskapnya untuk ditafsir dan dihubungkan dengan proses perkembangan pertanian dan kekuatan politik. 2 Bukti arkeologis baru ini membuka kemungkinan penetapan masa yang lebih akurat dibandingkan yang tersedia di tahun 1983. Usulan saya pada waktu itu bahwa pertumbuhan penduduk dan perluasan sawah basah terjadi sekitar tahun 1400, sebagian besar bersandar pada sumber tertulis. Bukti keramik dari Soppeng, dan khususnya survei di Gowa yang berlangsung ekstensif, memperlihatkan bahwa permulaan proses perubahan ini dapat di dorong mundur satu abad lebih awal. Sebagai contoh, situs Tinco Tua, di bukit tepat sebelah utara Watansoppeng memperlihatkan adanya pemukiman di abad ke-13 (Bahru Kaluppa dkk. 1989). 3 Dalam survei Bulbeck di Gowa, data memperlihatkan perkembangan pertanian padi yang cukup intensif di daerah pedalaman [pantai] pada abad ke-14. Pada masa inilah mungkin pengalihan tepitepi sungai matang di tanjung-tanjung sekitar Tallok menjadi sawah-sawah yang luas telah dimulai. (Bulbeck 1992: 463). Untuk masa abad ke-14 dan tempat jauh 2 Tahun 2002, saya beruntung dibawa berkunjung ke daerah ini oleh Dr. Ali Fadillah dan rekannya dalam proyek Origin and Development of Wanua Village Community in the Kingdom of Wajo, South Sulawesi (Asal-usul dan Perkembangan Komunitas Wanua di Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan), yang didanai Toyota Foundation. Saya belum melihat laporan akhir proyek ini, namun Mahmud dkk. 2001, memuat sejumlah detil yang berharga. Lihat juga Mahmud 2001. 3 Lihat juga Macknight 1993: 42. Bulbeck (1996-7:1047, n.45) memodifikasi penanggalan sebelumnya dan kini mengklaim bahwa tidak ada apa-apa sebelum abad ke-13. 2

dari pantai dia dapat mengidentifikasi 32 situs (Bulbeck 1992: tabel 13-8 dan gambar 13-7). Hingga ukuran tertentu, penanggalan baru ini bersandar pada bukti-bukti keramik yang ditemukan di 32 situs tersebut; akan tetapi harus kita camkan bahwa keramik yang mengidentifikasi dan menentukan masa situs-situs ini bukanlah buatan orang setempat. Barang-barang ini diimpor dari seberang dan dengan begitu tidak serta-merta mewakili permulaan dari sebuah perubahan sosial. Meski demikian, besarnya jumlah serpihan keramik dari abad ke-15 dan 16, bersama dengan beberapa serpihan dari abad ke-14 atau 13 mendukung penafsiran tentang berlangsungnya sebuah perubahan besar pada sekitar tahun 1300. Ciri menonjol lain dari hipotesis umum ini adalah konsistensi gambaran di beragam tempat di seluruh semenanjung ini. Contoh-contoh utama telah disebutkan, tetapi secara esensial, proses serupa juga diklaim terjadi di Siang (Fadillah dan Mahmud 2000:57), Bantaeng (Bougas 1998) dan daerah Jeneponto (Caldwell & Bougas 2004). Ironisnya, meski kroniknya amat penting dalam membangun hipotesis awal, belum ada penelitian arkeologis baru di Bone yang berhubungan dengan masa ini. Tetapi, sebagaimana dinyatakan Bulbeck (1996-7:1047) terdapat serpihan-serpihan kuno yang pernah dikumpulkan di Watampone pada dekade 1940-an. Laporan akhir dari survei Stephen Druce di wilayah Ajattappareng masih harus kita tunggu-tunggu; sebuah artikel pembuka yang dia tulis mengajukan beberapa variasi yang menarik (Druce 2001). Subyek yang akhir-akhir ini mendapatkan banyak perhatian adalah cerita La Galigo. Tahun 1983, saya menyatakan bahwa bahan ini merujuk, paling tidak secara umum, pada periode sekitar tahun 1000 hingga 1500. (Macknight 1983: 97). Dalam pandangan ini, teks La Galigo menggambarkan masyarakat yang berbasis dagang, bergantung pada berbagai bahan makanan yang dikumpulkan; teks ini mencitrakan sebuah masyarakat sebelum terjadinya perubahan yang didorong oleh ekspansi pertanian padi basah. Kini saya meragukan pendapat ini. Keraguan ini berangkat dari pemahaman yang lebih baik tentang sifat La Galigo dan konteks historis secara umum. Kini saya percaya bahwa teks tertulis yang kita lihat sekarang dibuat tidak lebih awal dari abad ke-18. Memang betul bahwa sebagai ensiklopedi kesukuan (tribal encyclopedia) teks ini memuat ingatan tentang masa yang lebih awal, khususnya tentang posisi penting Luwu, namun pengetahuan arkeologis terbaru kami tentang sejarah pantai utara Teluk Bone, akan dibahas di bawah, menggambarkan sebuah masyarakat yang berbasis perdagangan, menyantap sagu sebagai makanan pokok, dari pada beras, dan bertahan paling tidak hingga akhir abad ke-16. Jadi, masyatakat ini hidup bersamaan dengan, dan bukan lebih dulu dari, negara-negara di selatan semenanjung ini, yang hidup dengan pertanian padi basah mereka. Ingatan tentang posisi penting Luwu tidak mesti lebih tua dari gambaran kemakmuran Cina di pusat pertanian di Lembah Cenrana. 4 Saya masih berpegang pada 4 Untuk melihat kemungkinan penentuan masa naskah La Galigo, lihat Macknight 2000. Untuk topik lain yang berhubungan dengan La Galigo, lihat Nurhayati dkk. 2003, khususnya dalam konteks ini Macknight 2003 dan Fahruddin 2003, juga lihat Macknight 1993: 25-37. 3

aforisma yang banyak dikutip: konsep tentang sebuah masa I La Galigo harus dilawan dengan keras. (Macknight 1993: 35). Penekanan pada produksi beras pada argumen awal cenderung memberikan perhatian lebih pada penjelasan ekonomi terhadap perubahan ini. Namun, seperti dipaparkan di atas, saya telah bersusah payah mengangkat tentang pentingnya banyak faktor lain yang bekerja dan saling menggandakan. Pendekatan ini menjelaskan keraguan saya terhadap tesis yang baru-baru ini diajukan oleh William Cummings (2002). Dia mencoba menjelaskan tentang asalusul status pada abad ke-17, yang memang sangat penting, dengan menggunakan metode historigrafi. Sebagaimana yang saya sampaikan pada sebuah tinjauan terhadap buku ini yang juga menyampaikan penghargaan terhadap banyak kelebihan buku tersebut argumen ini menyimpan dua masalah: mengabaikan pentingnya status pada masyarakat berbahasa Austronesia secara umum dan gagal mengangkat banyak faktor lain yang juga menentukan dalam sejarah Gowa (macknight 2002). Salah satu faktor ini, tentu saja, adalah perluasan pertanian padi basah, sebagaimana diungkap survei Bulbeck di Gowa telah dibahas di atas. Namun demikian, yang diangkat Cummings dengan sangat baik lewat karyanya tentang teks-teks Makassar adalah keutamaan status di masyarakat Sulawesi Selatan. Dalam hal ini, dia memperkuat pemahaman banyak ilmuan lain, terutama dalam pandangan saya, Susan Millar (1989). Disertasi Jennifer Gaynor (2005) tentang orang Sama atau Bajo di Sulawesi Selatan dan Teluk Bone juga berhasil menangkap gema tentang ekspresi status di masyarakat Bugis dan Makassar, dan ini bermanfaat memperlihatkan bahwa konsep ini tidak harus berkaitan dengan pertanian. Ada banyak hal lain di dunia ini selain pertanian padi basah. Tak diragukan, perkembangan paling mengejutkan sekaligus menyenangkan bagi pemahaman kita tentang fajar sejarah Sulawesi Selatan sejak tahun 1983 adalah penemuan industri barang besi di Luwu. Industri ini dimulai sebelum tahun 1000, hingga pada kisaran tahun 1200 pusat pemukiman yang kelihatannya mengendalikan ekspor dan peleburan besi berada di Malangke, di timur Palopo. Kendati demikian, industri secara keseluruhan juga mencakup situs-situs dalam wilayah yang cukup luas di seputar ujung utara Teluk Bone hingga ke pedalaman, di lembah hulu Sungai Rongkong, dan khususnya setelah kisaran tahun 1500, di tepi Danau Matano (Bulbeck & Caldwell 2000; Fadillah, Moh. Ali & Iwan Sumantri 2000). Industri barang besi mempunyai dua kaitan dengan ekspansi pertanian padi basah di tempat lain di Sulawesi Selatan. Pertama, tersedianya sumber mudah untuk mendapatkan peralatan besi yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas. Terdapat pelengkap yang mudah dalam melakukan perdagangan besi untuk ditukar beras di sepanjang Teluk Bone, sama dengan jalur pelayaran Sawerigading dalam cerita La Galigo yang kita bahas di atas. Kedua, gambaran sebuah masyarakat yang menjadikan sagu sebagai makanan pokok (sekalipun beras diutamakan sebagai makanan berstatus tinggi) dan memperoleh kemakmuran dari ekstraksi, peleburan, penempaan dan ekspor besi 4

mengingatkan kita bahwa terdapat alternatif selain pertanian. Sebaliknya, perkembangan negara-negara berbasis pertanian padi basah sebagaimana saya ajukan pada tahun 1983 adalah sebuah kejadian partikular, atau lebih tepatnya sebuah rangkaian kejadian, yang tentu saja bergantung pada kemungkinan yang disediakan alam, juga pada seluruh faktor yang telah diidentifikasi dalam tulisan ini. Sekalipun perkembangan pengetahuan arkeologis menjadi ciri terpenting dalam dua dasawarsa terakhir ini, namun aspek paling menonjol dalam mengkaji masa lalu Sulawesi Selatan adalah kemungkinan untuk menggabungkan berbagai sumber bukti. Juga terlihat kemajuan pada pemahaman kita terhadap beragam jenis sumber tertulis dan prinsip-prinsip filologi untuk mengkajinya (Macknight & Caldwell 2001). Meski sejumlah teks telah diterbitkan, masih jauh lebih banyak lagi yang menanti, dan teks-teks itu, sebagaimana survei dan penggalian arkeologis yang masih terus berlanjut, akan senantiasa memunculkan contohcontoh perkembangan sejarah di daerah-daerah tertentu. Kendati demikian, saya percaya bahwa proses utama perkembangan telah teridentifikasi, dan gagasangagasan ini tidak akan dihapuskan oleh kerja-kerja selanjutnya. 5

Bibliografi Bahru Kallupa, David Bulbeck, Ian Caldwell, Iwan Sumantri and Karaeng Demmanari 1989. Survey Pusat Kerajaan Soppeng 1100-1986, Final report to the Australian Myer Foundation. Bougas, Wayne A. 1998. Bantayan: An early Makassarese kingdom 1200-1600 A.D. Archipel 55, pp. 83-123. Bulbeck, F.D. 1996-7. The Bronze-iron age of South Sulawesi, Indonesia: mortuary traditions, metallurgy and trade, in F D Bulbeck (ed.), Ancient Chinese and Southeast Asian Bronze Age Cultures, SMC Publishing Inc., Taipei, pp. 1007-76. Bulbeck, David and Ian Caldwell 2000. Land of Iron: the historical archaeology of Luwu and the Cenrana Valley, Centre for South-East Asian Studies, University of Hull/School of Archaeology and Anthropology, Australian National University, Hull/Canberra. Caldwell, Ian and Wayne A. Bougas 2004. The early history of Binamu and Bangkala, South Sulawesi, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, deel 160, pp. 456-510. Cumming, W. 2002. Making Blood White: historical transformations in Early Modern Makassar, University of Hawai I Press, Honolulu. Druce, S.C. 2001. Exploring early political and economic ties between West Soppeng and Suppaq from about the late thirteenth century until the mid fifteenth century: myth, marriage and trade, Walennae, vol.4, no.6, pp. 35-46. Fahruddin Ambo Enre 2003. Budidaya padi berdasarkan naskah La Galigo, in Nurhayati and others 2003, pp. 303-15. Fadillah, Moh. Ali & M. Irfan Mahmud 2000. Kerajaan Siang Kuna: sumber tutur, teks dan tapak arkeologi, Balai Arkeologi Makassar dan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Fadillah, Moh. Ali & Iwan Sumantri (eds) 2000. Kedatuan Luwu; perspektif arkeologi, sejarah dan anthropologi, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Gaynor, Jennifer L. 2005. Liquid Territory: Subordination, Memory, and Manuscripts among Sama People of Sulawesi s Southern Littoral. PhD thesis (Anthropology and History), University of Michigan. Macknight, C.C. 1975. The emergence of civilization in South Celebes and elsewhere in A. Reid & L. Castles (eds), Pre-Colonial state systems in 6

Southeast Asia. Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Kuala Lumpur. Macknight, C.C. 1983. The rise of agriculture in South Sulawesi before 1600, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 17, pp. 92-116. Macknight, C.C. 1993. The early history of South Sulawesi; Some recent advances. Working Paper 81, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton. Macknight. C.C. 1998. Notes on the Chronicle of Bone in K. Robinson and Mukhlis Paeni (eds), Living through histories: culture, history, and social life in South Sulawesi, Department of Anthropology, RSPAS, ANU/ National Archives of Indonesia, Canberra, pp. 43-54. Macknight, C.C. 2000. Report on a workshop on early South Sulawesi, 18-19 August, 2000, The Asia Pasific Journal of Anthropology vol 1, pp. 117-23. Macknight, C.C. 2002. Review of Making Blood White, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 36, no. 1, pp. 105-7. Macknight, C.C. 2003. La Galigo in comparative perspectives, in Nurhayati and others 2003, pp. 349-72. Macknight, C.C. and I.A. Caldwell 2001. Variation in Bugis manuscripts, Archipel 61, pp. 139-54. Mahmud, M. Irfan 2001. Awal mula Wajo dan aspek ruang situs inti Wajo abad XV-XIX Masehi, Walennae, vol.7, no.7, pp.47-59. Mahmud, M. Irfan, Muhammad Husni and Muhaeminah 2001. Peninggalan Arkeologi di Pusat Kerajaan wajo, Tosora, Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian Arkeologi Balai Arkeologi Makassar. Millar, Susan Bolyard 1989. Bugis weddings; Rituals of social location in modern Indonesia. Berkeley: Center for South and Southeast Asia Studies, University of California. [Monograph Series 29]. Noorduyn, J. 1955. Een Achttiende-eeuwse Kroniek van Wadjo : Buginese historiographie, s-gravenhage: Smits. Nurhayati Rahman, Anil Hukma, and Idwar Anwar (eds) 2003. La Galigo: menelusuri jejak warisan sastra dunia. Pusat Studi La Galigo, Divisi ilmu Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian, Universitas Hasanuddin/ Pemerintah Kabupaten Barru, Makassar. Zainal Abidin, Andi 1985. Wajo pada awal XV-XVI; Suatu penggalian sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari lontara. Bandung: Alumni. 7