PENGARUH AKSEN JAWA DAN BANJAR DALAM PELAFALAN BEBERAPA KATA BERBAHASA INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. Penelitian yang dilakukan dengan membanding-bandingkan unsur. segmental BDN dan BI, serta BBK dan BInd sebagai bahasa pendukung, telah

ANIS SILVIA

Krisis Kepercayaan Diri Mahasiswa dalam Berkomunikasi Menggunakan Bahasa Inggris

Nama : Hari Agus Prasetyo NIM : Tataran Linguistik (1) : fonologi

Angkatan 2010 Universitas Padjadjaran Oleh Dini Ratna Sari Putri. Abstrak

TATARAN LINGUISTIK FONOLOGI

FONOLOGI MAKALAH. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Bahasa Indonesia Dosen : DR. Prana Dwija Iswara, S. Pd. M.

BAB I I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemelajar bahasa Inggris yang berlatar belakang bahasa Jawa (Javanese

ANALISIS TUTURAN KERNET BUS SUGENG RAHAYU Aditya Wicaksono 14/365239/SA/17467

SISTEM FONOLOGI BAHASA LAMALERA

BAB I PENDAHULUAN. Bagi pemelajar Bahasa Inggris yang berlatar belakang bahasa Jawa atau

LAPORAN BACA. OLEH: Asep Saepulloh ( ) Hikmat Hamzah Syahwali ( ) Suherlan ( )

: Ortografis dalam Register Seabreg SMS Gaul

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debby Yuwanita Anggraeni, 2013

SILABUS FONOLOGI BAHASA INDONESIA BIL002. Ardhana Reswari, MA.

TUTURAN PADA ANAK PENYANDANG TUNAGRAHITA TARAF RINGAN, SEDANG, DAN BERAT (KAJIAN FONOLOGI)

BAB 4 4. TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI

Assalamu alaikum Wr. Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia

BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM

BAB 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB IV TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI

PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI PONDOK PESANTREN HADZIQIYYAH KABUPATEN JEPARA

FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN. Pendahuluan

Nama : MAOIDATUL DWI K NIM : BAB 4 FONOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki sistem fonologi dan tata bahasanya sendiri, yang membedakannya dari bahasa lain. Oleh karena itu, masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi berartikulasi yang. mark having understood meanings.

SISTEM FONOLOGI BAHASA MINANGKABAU DI KENAGARIAN SINGKARAK KECAMATAN X KOTO SINGKARAK KABUPATEN SOLOK

HAVE YOU CHECKED YOUR PRONUNCIATION? Oleh : Hj. Sri Mudjiwarti, Dra., M.Si

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

PENGARUH SISTEM FONOLOGI BAHASA PERTAMA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA: STUDI KASUS PADA PENUTUR BAHASA JEPANG

ARTIKEL PENELITIAN PERBEDAAN DIALEK DESA SUNGAI LINTANG DENGAN DIALEK DESA TALANG PETAI KECAMATAN V KOTO KABUPATEN MUKOMUKO PROVINSI BENGKULU

BAB 4 TATARAN LINGUISTIK (1): FONOLOGI

Pendahuluan. 4-Nov-16 Adi Yasran, UPM

PENGGUNAAN BUNYI SEGMENTAL MELALUI PENERAPAN TEKNIK SHOW NOT TELL (MENUNJUKKAN BUKAN MEMBERITAHUKAN)

BAB I PENDAHULUAN. bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Tujuan. Tujuan pembuatan makalah ini salah satunya adalah untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia dan bertujuan untuk :

PEMEROLEHAN BAHASA JAWA PADA ANAK USIA DINI DI LINGKUNGAN PENUTUR MULTIBAHASA SERTA STRATEGI PEMERTAHANANNYA SEBAGAI PENGUAT JATI DIRI BUDAYA BANGSA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal- hal lain (Alwi,

Pengantar. Aspek Fisiologis Bahasa. Aspek Fisik Bahasa 13/10/2014. Pengantar Linguistik Umum 01 Oktober Aspek Fisiologis Bahasa

Disusun Oleh : Nama : Siti Mu awanah NIM : Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Dosen : Drs. Umar Samadhy, M.Pd.

BAB I PENDAHULUAN. sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia

BAB VII KESIMPULAN. penyerapan mengalami penyesuaian dengan sistem bahasa Indonesia sehingga

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

PENGARUH CAMPUR KODE DALAM BAHASA INDONESIA DI KALANGAN MAHASISWA IKIP SILIWANGI BANDUNG

BAB I Pendahuluan. a. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan memiliki luas wilayah sekitar km 2. Klasifikasi geografis

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Anggota masyarakat bahasa biasanya

Tahap Pemrolehan Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

REALISASI FONETIS KONSONAN GETAR ALVEOLAR BAHASA INDONESIA PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DEWASA

FONOLOGI BAHASA KANAUMANA KOLANA

CAMPUR KODE TUTURAN GURU BAHASA INDONESIA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR: Studi Kasus di Kelas VII SMP Negeri 20 Padang

APLIKASI TRANSKRIPSI FONETIK BAHASA INDONESIA BERDASARKAN IPA (THE INTERNATIONAL PHONETIC ASSOCIATION) UNTUK BIPA

METODE PENGAJARAN BAHASA BERBASIS KOMPETENSI

BAB I PENDAHULUAN. bagi masyarakat. Bahasa merupakan ciri yang paling khas dari manusia

PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. memiliki bahasa daerahnya masing-masing. Hal tersebut sejalan dengan hakikat

BAB I PENDAHULUAN. negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang

ARTIKEL PENELITIAN PERBEDAAN DIALEK DESA BUNGA TANJUNG DENGAN DIALEK DESA PASAR BANTAL KECAMATAN TERAMANG JAYA KABUPATEN MUKOMUKO PROVINSI BENGKULU

Pelafalan Bunyi Konsonan Nasal Bahasa Inggris Siswa Kelas IX SLB-B Negeri Sidakarya Denpasar

BAB II KONSEP, LANDASARN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46). Untuk

2015 KAJIAN FONETIK TERHADAP TUTURAN

BAB I PENDAHULUAN. berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa dihasilkan dari alat ucap

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti

CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat untuk berkomuniksai yang tak pernah lepas dalam

MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FKIP UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU

PENGHILANGAN FONEM, PENAMBAHAN FONEM DAN PERUBAHAN MAKNA BAHASA INDONESIA DARI BAHASA MELAYU DIALEK DESA NEREKEH KABUPATEN LINGGA

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai makna tertentu. Sebagai sistem lambang bunyi yang mempunyai makna,

SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Fonologi DR 411. Dr. Yayat Sudaryat, M.Hum. Hernawan, S.Pd., M.Pd.

fonem, kata dan rangkaian kata, misalnya bunyi [0 dilafalkan [0], bunyi [oe]

PENINGKATAN KEMAMPUAN LISTENING COMPREHENSION MELALUI STRATEGI TOP-DOWN DAN BOTTOM-UP

ANALISIS MAKNA DALAM RAGAM DIALEK LOKAL ACEH BESAR DALAM BAHASA ACEH

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR FONOLOGI BAHASA NUSANTARA

Menyetujui Komisi Pembimbing. ,?;., ----~~-=~=~~:~ i '---0. rograzi

Pengertian Universal dalam Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. berekspresi. Selain itu, dalam membangun pertumbuhan mental seseorang

Bahasa Indonesia 1. Untuk SMK/MAK Semua Program Kejuruan Kelas X. Mokhamad Irman Tri Wahyu Prastowo Nurdin

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon dalam bidang fonologi, morfologi, dan

A STUDY ON WORD FORMATION PROCESSES OF REGISTER USED BY DELTA AIRSOFT TEAM COMMUNITY THESIS DWI ESTI JANUARI NINGTYAS

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gejala kelainan..., Dian Novrina, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun

BAB X SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, simpulan hasil penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut.

Asep Jejen Jaelani & Ani Indriyani Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan

OBJEK LINGUISTIK = BAHASA

PROSES FONOLOGIS DALAM PENGADOPSIAN KATA BAHASA INDONESIA KE DALAM BAHASA CIACIA DI KABUPATEN BUTON, SULAWESI TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN. istilah. Berikut diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan pendahuluan.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. kemudian dijadikan acuan bagi para guru untuk lebih menekankan aspek

Alih Kode Pada Masyarakat Sosial Kelas Atas

BAB I PENDAHULUAN. alam pikiran sehingga terwujud suatu aktivitas. dalam pikiran pendengar atau pembaca.

RAGAM BAHASA PEDAGANG KAKI LIMA DI TERMINAL PURABAYA SURABAYA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK. Ratna Dewi Kartikasari Universitas Muhammadiyah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Indonesia terletak pada posisi silang jalur lalu-lintas dunia. Hal

Kata Kunci: prokem, masyarakat Desa Giri, sosiolinguistik.

1. Menjelaskan Alat Ucap Manusia Dalam Proses Pembentukan Bunyi a. Komponen subglotal b. Komponen laring c. Komponen supraglotal

Transkripsi:

Linguistika Akademia Vol.1, No.2, 2012, pp. 151~168 ISSN: 2089-3884 PENGARUH AKSEN JAWA DAN BANJAR DALAM PELAFALAN BEBERAPA KATA BERBAHASA INDONESIA Azian Septianhardini A. R e-mail: syadzalia08@gmail.com ABSTRACT Unlike English and Arabic language, Indonesian language has still no standardized phonological system in pronouncing words. It is closely related to the diversity of the local languages owned by Indonesia. The existence of both local languages and accents throughout Indonesia has finally led to the diversity of pronunciation of Indonesian language itself. Therefore, this paper is aimed to explain how these differences influence Indonesian language and how far those differences affect the language system of Indonesian language itself. The theory applied in this paper is theory of phonology of the Prague School. The method applied in this paper is the allophonic analysis method since this paper discusses how those sounds alter and also it uses sociolinguistic approach. The analysis shows that the accents of Java and Banjar are very influential in those different pronunciations. In its progress, accent does not essentially influence the lexical meaning of words. Nevertheless, this kind of research that observes the pronunciations affected by accent is very important to do in order to standardize the phonological system of Indonesian Language so that it can standardize the pronunciations and avoid ambiguity due to those different pronunciations. ABSTRAK Berbeda dengan bahasa Inggris dan Arab, bahasa Indonesia belum memiliki standarisasi lafal atau bunyi dalam pengucapan. Hal ini berkaitan erat dengan keragaman bahasa daerah yang dimiliki oleh Indonesia. Adanya variasi bahasa daerah serta aksen yang terdapat di seluruh penjuru Indonesia menyebabkan pelafalan beberapa kosa-kata dalam bahasa Indonesia menjadi beragam pula. Oleh karena itu, paper ini akan membahas bagaimana aksen-aksen itu mempengaruhi pelafalan bahasa Indonesia serta sejauh mana pengaruh tersebut mempengaruhi sistem kebahasaan bahasa Indonesia. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori fonologi aliran Praha. Metode yang digunakan dalam paper ini adalah metode analisis alofon karena penelitian ini berdasar pada bagaimana bunyi-bunyi fonem yang dihasilkan dapat berbeda serta dengan pendekatan sosiolinguistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa aksen (khususnya aksen Jawa) sangat berpengaruh dalam pelafalan bunyi yang berbeda dengan bunyi yang seharusnya. Dalam perkembangannya, aksen tersebut tidak

152 terlalu berpengaruh pada rusaknya makna leksikal kata. Meskipun demikian, penelitian mengenai bunyi-bunyi yang terpengaruh oleh aksen ini sangat perlu dilakukan dalam upaya penyusunan standarisasi lafal bahasa Indonesia agar tercipta keseragaman bunyi dan menghindari ambiguitas makna akibat perbedaan bunyi. Kata kunci: aksen, alofon, fonologi, pelafalan A. PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki kekayaan budaya dan suku-bangsa. Di dalamnya, termasuk pula bahasa daerah yang beragam. Di Indonesia sendiri, diperkirakan terdapat ratusan bahasa daerah yang digunakan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam perkembangannya, adanya keragaman bahasa daerah tersebut justru menyebabkan sulitnya upaya standarisasi fonologis pada pelafalan bahasa Indonesia itu sendiri. Permasalahan kebahasaan dalam tataran fonologis ini mutlak menjadi hal yang perlu dipertimbangkan karena sampai saat ini belum ada pembakuan bunyi bahasa Indonesia. Keanekaragaman bahasa daerah tentu sangat mempengaruhi bagaimana bahasa dibunyikan atau dilafalkan, terlebih bila bahasa daerah itu menjadi bahasa ibu yang cenderung lebih sering digunakan dalam percakapan seharihari. Sebagai contoh, di Yogyakarta, bahasa Jawa menjadi bahasa ibu yang lebih umum digunakan sehari-hari mengingat penduduk Yogyakarta sebagian besar adalah etnis Jawa. Lain halnya di Samarinda, bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Banjar, mengingat banyaknya etnis Banjar yang mendiami wilayah tersebut. Penggunaan bahasa ibu yang sudah melekat pada pola pikir masyarakat tertentu mengakibatkan adanya perbedaan dalam melafalkan kata-kata berbahasa Indonesia. Sebagai contoh, ujaran tahukah kamu?, pelafalan bunyi tahu itu sendiri akan berbeda. Perbedaan pelafalan itu sebagaimana terlihat pada transkripsi fonetis kata tahu di bawah ini: Aksen Jawa Transkripsi yang dianggap benar Aksen Banjar /t/: [t h ] /t h ʌʊ/ /tʌʊ / /h/:[h] /tʌhʊ/ Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 151 168

Linguistika Akademia ISSN: 2089-3884 153 Transkripsi fonetis bunyi tahu di atas menunjukkan perbedaan pada tataran segmental fonem /t/ dan /h/. Pada pelafalan yang terpengaruh aksen Jawa, bunyi alveolar frikatif /t/ dibunyikan secara aspirated (terdengar ada sisipan [h] di dalam pelafalan) menjadi [t h ]. Sementara bunyi glottal /h/ dihilangkan. Di dalam pelafalan yang terpengaruh aksen Banjar, pelafalan fonem /t/ tidak mengalami proses aspirasi, sementara fonem /h/ benar-benar dilafalkan sebagai bunyi glotal frikatif. Pada tingkat pelafalan yang terpengaruh aksen Jawa, perbedaan pelafalan bunyi alveolar /t/ dianggap tidak mempengaruhi makna kata tahu itu sendiri, sehingga lafal [t h ] hanya dianggap sebagai alofon dari fonem /t/ itu sendiri. Sementara dalam pelafalan fonem /h/ yang terpengaruh oleh aksen Banjar, akan menimbulkan ambiguitas, sebab kata tahu itu sendiri memiliki dua makna. Sebagaimana tercantum dalam KBBI, yakni: satu, sebagai verba, ia dapat diartikan sebagai mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dsb); kedua, sebagai nomina, ia dapat berarti sebagai makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus, dan dicetak. Kasus di atas sejalan dengan yang tercantum dalam Linguistics: An Introduction (2009: 47), yang menyatakan bahwa perbedaan fonologis dapat disebabkan tidak hanya oleh perbedaan kelas sosial, perbedaan tingkat edukasi penutur, dan jenis kelamin penutur, akan tetapi adanya kelompok etnis tertentu juga dapat mempengaruhi bagaimana perbedaan dalam tataran fonologis ini terjadi. Adanya variasi bunyi bahasa dalam pelafalan bahasa Indonesia ini tentu saja terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang memiliki bahasa lokal yang beragam. Namun penelitian ini difokuskan pada perbedaan pelafalan yang dipengaruhi aksen Jawa dan Banjar. Penelitian ini juga dikhususkan untuk menjawab dua permasalahan utama, yaitu: (1) bagaimana aksen-aksen tersebut mempengaruhi perbedaan fonologis bahasa Indonesia, dan (2) sejauh mana aksen mempengaruhi sistem kebahasaan bahasa Indonesia itu sendiri. Berdasarkan fokus penelitian yang terbatas pada bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan secara berbeda, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis alofon. Sebagaimana yang telah dikemukakan Claire Bowern dalam Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan (Azian Septianhardini A.R.)

154 bukunya Linguistic Fieldwork: A Practical Guide (2008: 67), bahwa dalam penelitian fonologi, setidaknya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu (1) pernyataan kontrastif segmental bahasa, (2) deskripsi alofoni. Metode analisis alofonis didasarkan pula pada proses fonologi bahasa, menurut Davenport dan Hannah (1998: 114), yang dinyatakan sebagai kontrol fonologis bahasa, yaitu hubungan antarunit pada tataran atau tingkat yang berbeda pada komponen-komponen fonologis. Selain itu, pendekatan sosiolinguistik juga diperlukan dalam penelitian ini karena bagaimana aksen mempengaruhi bahasa tak lepas dari kajian sosiolinguistik. Sementara itu, data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik wawancara personal, di mana wawancara dilaksanakan secara langsung dan santai. Setelah data terkumpul, maka dibentuklah daftar kata-kata yang dirasa berbeda pelafalannya. B. SEKILAS TENTANG FONOLOGI DAN PERBEDAAN ALOFON Teori fonologi yang digunakan adalah teori fonologi yang diprakarsai oleh linguis Aliran Praha (The Prague School) yang telah berkontribusi dalam bidang fonologi secara umum. Dalam aliran ini, fonologi dibahas sebagai suatu pola bunyi yang mempunyai arti fungsional. Abdul Chaer dalam bukunya Linguistik Umum mengatakan bahwa aliran inilah yang pertama kali membedakan tataran fonetik dan fonologi. Fonetik, menurut aliran ini, adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem. (Chaer, 2007: 351) Sejalan dengan definisi fonologi dari Aliran Praha, Gerald Delahunty juga mendefinisikan fonologi sebagai disiplin ilmu yang berbicara tentang cara bahasa menggunakan bunyi untuk membedakan satu kata dengan yang lainnya, sementara fonetik diartikan sebagai suatu sistem yang digunakan untuk merekam bahasa ke dalam bentuk tulisan secara objektif (Delahunty, 2010: 89). Secara khusus, Delahunty (2010: 108) juga menjelaskan bahwa fonologi terfokus pada dua bahasan, yakni (1) bagaimana bunyi bahasa digunakan dalam bahasa tertentu dalam upaya pembeda makna, dan (2) bagaimana bunyi tersusun dalam bahasa. Sedangkan fonologi menurut David Odden didefinisikan sebagai Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 151 168

Linguistika Akademia ISSN: 2089-3884 155 one of the core fields that composes the discipline of linguistics, which is defined as the scientific study of language structure (Odden, 2005: 18) yaitu salah satu bidang inti yang membentuk disiplin ilmu linguistik, yang didefinisikan sebagai studi ilmiah terhadap struktur kebahasaan. Sementara itu, teori fonologi yang dijelaskan oleh Aliran Praha adalah struktur bunyi yang dijelaskan memakai kontras atau oposisi, dimana yang menjadi penentunya adalah perbedaan makna. Menurut aliran ini, adanya perbedaan bunyi yang distingtif dapat mengacu pada dua hal: (1) bersifat fonemis, dan (2) merupakan alofon dari satu fonem. Pada tataran fonemis, perbedaan bunyi pada sebuah kata akan menimbulkan perbedaan makna, seperti dalam kata bintang dan lintang. Sama seperti aliran Praha, perbedaan dalam bunyi tersebut, menurut Delahunty (2010: 110), dibedakan menjadi dua bentuk: (1) perubahan yang mengindikasikan adanya perubahan makna, disebut sebagai perubahan fonemis, distingtif, atau kontrastif, dan (2) perubahan yang tidak mengindikasikan perubahan makna, disebut perubahan non-distingtif atau nonkontrastif. Fonem /b/ dan /l/ yang distingtif secara bunyi mengakibatkan keduanya memiliki arti yang berbeda. Sementara dalam kata jawab dan jawap, perbedaan fonem /b/ dan /p/ sama sekali tidak mengubah arti yang ada, sehingga fonem /p/ hanya dianggap sebagai sebuah alofon dari fonem /b/ atau disebut sebagai arkifonem sebagai wujud dari adanya asimilasi fonem. Perbedaan pengucapan terhadap suatu kata yang sama dimana tidak mengubah makna sebelumnya yang sudah ada, juga ditemukan dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk dalam bahasa Indonesia. Terlebih lagi, dikarenakan banyaknya variasi aksen dan bahasa adat di Indonesia yang berbeda-beda, menyebabkan pelafalan bunyi terhadap suatu kata bisa saja beragam. Karena itu, penelitian ini adalah untuk melihat contoh-contoh kasus dimana suatu fonem pada suatu kata dapat memiliki beberapa alofon atau arkifonem yang berbeda-beda. Berkenaan dengan permasalahan alofon ini, seperti yang dikemukakan oleh Geoffrey Sampson (1980: 111), bahwa aliran Praha beranggapan bahwa perbedaan alofon pada sebuah fonem dapat ditentukan secara fonologis atau dikatakan sebagai sebuah variasi bebas saja. Di Indonesia sendiri, terdapat 5 fonem vokal, Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan (Azian Septianhardini A.R.)

156 yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/, dan 21 fonem konsonan yaitu /b/, /c/, /d/, /f/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /q/, /r/, /s/, /t/, /v/, /w/, /x/, /y/, dan /z/, serta masih ada 3 jenis diftong yang telah dibakukan yaitu /ai/, /oi/, dan /au/. Semua fonem tersebut akan memiliki variasi pelafalan yang beragam seperti yang akan dibahas lebih lanjut pada bab pembahasan. C. HUBUNGAN DIALEK, AKSEN, DAN PERBEDAAN PELAFALAN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLINGUISTIK Jika membicarakan aksen, maka kita tidak lepas dari aspek-aspek sosiolinguistik. Wacana tentang korelasi antara fonologi dan sosiolinguistik pun telah berkembang. Seperti yang telah dikemukakan Paul Kerswill dan Linda Shockey (2007: 53), bahwa fonologi lebih tertarik pada pembahasan mengenai perubahanperubahan bunyi sepanjang zaman dan memformulasikan rumus dalam upaya penentuan aturan fonologis bunyi, sementara sosiolinguistik berkecimpung dalam ranah bagaimana bahasa berubah dalam tataran sosial. Ditinjau dari aspek-aspek sosiolinguistik, permasalahan perbedaan bunyi bahasa dipandang sebagai variasi fonetik atau fonologi. Di dalam tinjauan ini, fonologi difokuskan pada adanya variasi dalam bahasa itu sendiri (adanya dialek, sosiolek, dll), variasi bahasa antar penutur secara individu (menyangkut idiolek), antar penutur dalam satu bahasa (menyangkut style dan register), dan juga perubahan bunyi bahasa secara historis. (Kerswil and Shockey, 2007: 57) Dalam perkembangannya, sosiolinguistik mengamati berbagai gejala bahasa yang timbul di masyarakat bahasa. Gejala berbahasa yang ditimbulkan pun bisa bermacam-macam, tergantung pada beberapa faktor di dalam masyarakat itu sendiri. Adanya variasi berbahasa disebut pula sebagai keragaman bahasa. Seperti yang dikemukakan Chaer dan Kristina (2010: 65), bahwa keragaman bahasa dapat disebabkan oleh empat faktor, yakni dari segi penutur, segi penggunaan, segi formalitas, dan segi media yang digunakan. Dialek, sebagai salah satu fenomena keragaman bahasa, merupakan salah satu keragaman yang lahir dari tataran penutur atau pengguna bahasa itu sendiri. Pengertian mengenai dialek itu sendiri sebenarnya masih sulit didefinisikan secara pasti karena sulitnya menemukan batasan-batasan yang dapat membedakan Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 151 168

Linguistika Akademia ISSN: 2089-3884 157 antara bahasa dengan aksen itu sendiri. Namun Wardhaugh (2006: 40) menyimpulkan pengertian dialek secara singkat yakni bahwa dialek merupakan subordinat dari variasi bahasa itu sendiri. Sementara aksen, sebagai suatu bagian dari dialek, merupakan hal yang umum dijumpai di dalam dialek regional. Wardhaugh juga menjelaskan lebih lanjut mengenai aksen (2006: 46) sebagai sebuah pelafalan yang telah diterima (Received Pronunciation). Pelafalan yang telah diterima oleh masyarakat bahasa menjadi salah satu sumber penyebab timbulnya variasi bunyi bahasa. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan berbahasa yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tanpa sengaja terbawa dalam pelafalan bahasa Indonesia yang tidak sebagaimana seharusnya. Dalam penelitian ini, aksen Jawa dan Banjar yang dibahas memiliki pengaruh yang berbeda pada pelafalan bunyi bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pada kata berjongkok. Meskipun secara tertulis dan ejaannya sama, namun pada tataran fonologis dapat dilihat perbedaannya sebagaimana transkripsi fonetis berikut: Aksen Jawa Bahasa Indonesia Baku Aksen Banjar /bɜr. ndʒɒŋ.kɑ?/ /j/: [ ndʒ] /k/: [?] Berjongkok: /bɜr.dʒɒŋ.kɑk/ /bʌ.dʒɒŋ.kɑk/ /e/: [ʌ] /r/: [ø] Dari transkripsi di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan bunyi pada tiap aksen. Pelafalan yang dipengaruhi aksen Jawa akan muncul bunyi nasal [n] di sela-sela fonem /r/ dan /j/ dan fonem /k/ tidak dibunyikan secara velar plosive, melainkan menjadi glottal stop [?]. Sehingga bunyi yang dihasilkan akan terdengar menjadi bernjongko. Sementara pada pelafalan yang beraksen Banjar, fonem /e/ dilafalkan [ʌ], sementara fonem /r/ tidak dibunyikan atau dihilangkan. Bagi komunitas Jawa, pelafalan berjongkok seperti yang tertulis di atas mungkin sudah diterima menjadi suatu bentuk yang tidak menyalahi aturan dan dipahami oleh semua kalangan masyakarat Jawa pada umumnya, begitu pula dalam komunitas Banjar. Pelafalan berjongkok menjadi bajongkok pun menjadi suatu pelafalan yang diterima dalam masyarakat. Hal inilah yang Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan (Azian Septianhardini A.R.)

158 dimaksud Wardhaugh sebagai pelafalan yang telah diterima. Meskipun pada kenyataannya, bunyi-bunyi tersebut, baik yang dipengaruhi oleh aksen Jawa dan Banjar, terlihat berbeda dengan pelafalan yang seharusnya. D. PEMBAHASAN Di dalam tataran fonologi, perubahan bunyi dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu segmen internal (segmental) dan suprasegmental (Ewen, Collin, 2001: xi). Akan tetapi, dalam penelitian ini, penulis tidak memasukkan unsur-unsr suprasegmental sebagai salah satu bagian yang perlu dibahas di dalam paper ini. Unsur-unsur fonologi suprasegmental seperti penekanan (stressing), kualitas (tone) serta tinggi-rendah bunyi (pitch), atau intonasi (intonation) sengaja dihindari dari penelitian ini. Penelitian ini hanya difokuskan untuk menjawab bagaimana bunyi-bunyi dihasilkan secara internal, bukan secara suprasegmental, mengingat aksen yang berpengaruh pada tinggirendah bunyi, intonasi, serta penekanan ucapan, tidak bisa dijadikan dasar terhadap benar atau salah sebuah pelafalan selama unsurunsur suprasegmental tersebut tidak mengacaukan tatanan gramatika bahasa yang ada. Sehingga, pembahasan penelitian ini hanya dalam lingkup pelafalan fonem vokal, konsonan, dan diftong dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tidak semua fonem dilafalkan secara berbeda. Oleh karena itu, data yang ada dalam penelitian ini adalah representasi data yang dirasa paling dimungkinkan menunjukkan perbedaan. 1. Fonem Vokal Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahasa Indonesia memiliki 5 fonem vokal, yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/. Kelima fonem vokal ini ternyata dapat memiliki bunyi yang berbeda-beda saat diucapkan, baik dalam pengucapan yang terpengaruh aksen Jawa dan aksen Banjar. Namun pada tabel di bawah ini, tidak semua fonem vokal diikutkan sebagai data melainkan hanya fonem-fonem yang kemungkinan paling umum berbeda pengucapannya. Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 151 168

Linguistika Akademia ISSN: 2089-3884 159 Penempatan fonem Bahasa Indonesia Aksen Jawa 1. awal Aku /ʌkʊ/ /a/: [ w ʌ] Aksen Banjar /a/: [ɑ:] Aku / w ʌkʊ/ Aku /ɑ:kʊ/ Empat /əmpʌt/ /əmpʌt/ /e/: [ʌ] Empat /ʌmpʌt/ Orang /ɒrʌŋ/ /ɒrʌŋ/ /o/: [ʊ] 2. tengah Sandal /sɑndɑl/ Sempat /səmpʌt/ Bus /bʊs/ /a/: [ə] Sandal /səndɑl/ /a/: [ə] Sempat /səmpət/ /u/: [e] Orang /ʊrʌŋ/ Sandal /sɑndɑl/ /e/: [ʌ] Sempat /sʌmpʌt/ /u/: [ɪ] Bus /bes/ Bus /bɪs/ 3. akhir Mau /mʌʊ/ Mau /mʌʊ/ /u/: [ h ʊ] Mau /mʌ h ʊ/ Pada tabel di atas, nampak perbedaan fonetis pada pelafalan kata-kata. Pada posisi inisial (fonem di awal), fonem /a/ pada kata aku dilafalkan dengan bunyi [ w ʌ]. Pada bunyi [ʌ], dalam bunyi yang ditimbulkan terkesan adanya proses labialisasi sehingga terdengar seolah ada bunyi labial-velar approximant [w] yang mengawali bunyi [ʌ] itu sendiri. Bunyi labial-velar [w] itu sendiri terkesan lemah sehingga nyaris tidak terdengar perbedaannya. Sementara pada aksen Banjar, fonem /a/ dibunyikan sebagai [ɑ:] dengan bunyi fonem /a/ yang cenderung agak panjang. Lain halnya dengan kata empat. Pada pelafalan dengan aksen Jawa terdengar sama dengan pelafalan bahasa Indonesia yang seharusnya. Namun pada pelafalan dengan aksen Banjar, fonem /e/ tidak lagi dibunyikan sebagai bunyi [ə] melainkan menjadi [ʌ]. Pengaruh aksen Banjar ini sudah melekat pada cara mereka Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan (Azian Septianhardini A.R.)

160 melafalkan bahasa, sehingga meskipun bunyi yang seharusnya adalah [ə], mereka justru melafalkannya sebagai [ʌ]. Bagi masyarakat yang memiliki aksen semacam ini, perbedaan pelafalan fonem /a/ tidak mempengaruhi makna yang ada. Sementara pada kata orang, fonem /o/ seharusnya dibunyikan dengan lafal [ɒ]. Pada kata ini, pada pelafalan yang dipengaruhi aksen Jawa tidak menunjukkan perbedaan. Tetapi pada pelafalan dengan aksen Banjar, fonem inisial /o/ justru dibunyikan dengan bunyi [ʊ]. Sama kasusnya dengan kata empat, kata orang yang diucapkan dengan bunyi /ʊrʌŋ/ sudah diterima sebagai suatu bunyi yang sama maknanya dengan kata orang itu sendiri. Sebab, dalam bahasa Banjar sendiri, kata orang itu disebut urang. Namun pada perkembangannya, meskipun mereka menggunakan tatanan gramatika bahasa Indonesia, mereka akan tetap mengucapkan kata orang menjadi urang, meskipun secara tertulis mereka tetap menuliskan kata tersebut dengan fonem /o/ dan bukan /u/ sebagai fonem inisial. Pada kasus fonem vokal dengan posisi di tengah, fonem /a/ dapat dilafalkan secara berbeda oleh pelafalan aksen Jawa. Pada pelafalan dengan aksen Jawa, fonem /a/ setelah fonem /s/ pada kata sandal, tidak dibunyikan dengan lafal [ɑ] melainkan [ə]. Sementara pada aksen Banjar tidak terlihat adanya perbedaan pelafalan. Perbedaan bunyi fonem /a/ yang dilafalkan dengan bunyi [ə] pada kasus ini tidak menimbulkan perbedaan makna. Sehingga [ə] hanya dianggap sebagai alofon dari fonem /a/. Sementara pada kata bus, terdapat perbedaan pelafalan baik dari aksen Jawa maupun aksen Banjar. Pada kata bus, fonem /u/ yang seharusnya dilafalkan sebagai [ʊ], justru dibunyikan sebagai [e] pada pelafalan aksen Jawa dan dibunyikan sebagai [ɪ] pada pelafalan aksen Banjar. Untuk perbedaan bunyi yang ditimbulkan karena adanya aksen Jawa, dalam kasus ini, tidak menimbulkan perbedaan makna. Namun untuk perbedaan bunyi [ʊ] menjadi [ɪ] pada aksen Banjar justru menimbulkan ambiguitas pada bahasa Indonesia. Sebab, menurut KBBI, bus dan bis adalah leksikon yang berbeda. Kata bus, menurut KBBI, adalah kendaraan bermotor angkutan umum yang besar, beroda empat atau lebih, yang dapat memuat penumpang banyak; sementara kata Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 151 168

Linguistika Akademia ISSN: 2089-3884 161 bis berarti kotak kecil (di tepi jalan, di depan kantor pos), milik kantor pos, tempat memasukkan surat yang akan dikirimkan melalui jasa kantor pos. Kedua makna yang berbeda ini menunjukkan bahwa fonem /u/ dan /i/ adalah perbedaan yang bersifat fonemis. Namun pada kasus pelafalan yang berbeda karena pengaruh aksen, perbedaan bunyi [ʊ] dan [ɪ] hanya merupakan perbedaan dalam tataran alofon saja. Bunyi fonem /u/ pada posisi final (akhir) terlihat tidak ada perubahan untuk pelafalan aksen Jawa. Tetapi pada pelafalan aksen Banjar, fonem /u/ yang seharusnya dilafalkan dengan bunyi [ʊ], dilafalkan dengan bunyi [ h ʊ]. Tampak adanya bunyi sisipan [h] tipis sebelum bunyi [ʊ]. Namun adanya penambahan bunyi [h] ini tidak sampai mengubah makna kata mau yang ada. Dari tabel di atas, dapat terlihat beberapa hal mengenai pelafalan fonem vokal ditinjau dari beberapa posisi. Pada aksen Jawa, fonem /a/ cenderung berubah bunyinya. Sementara pada aksen Banjar, fonem /a/ cenderung tidak berubah. Fonem /e/ pada aksen Jawa juga tidak terlalu menunjukkan perubahan, mengingat dalam bahasa Jawa sendiri, penggunaan fonem /e/ sudah umum dijumpai. Sementara pada aksen Banjar, fonem /e/ cenderung berubah bunyi. Fonem /u/ pada aksen Jawa sebenarnya tidak terlalu mengalami perubahan. Hanya pada kasus kata bus, fonem /u/ dilafalkan sebagai bunyi [e] namun tidak sampai mengubah makna bus itu sendiri. Sementara untuk pelafalan aksen Banjar, fonem /u/ cenderung berubah bunyi. Biasanya, fonem /u/ dibunyikan dengan sisipan bunyi [h]. Pada kasus kata bus, fonem /u/ justru dibunyikan sebagai bunyi [ɪ], karena adanya pengaruh bahasa Indonesia lama, di mana bus dilafalkan dengan bunyi bis. Sementara saat ini, dalam KBBI, bus dan bis adalah dua kata berbeda. Pada fonem /o/ yang dilafalkan dengan aksen Jawa tidak terlalu menunjukkan perubahan. Karena di dalam bahasa Jawa sendiri, penggunaan fonem /o/ umum digunakan dalam leksikon-leksikonnya. Sementara pada aksen Banjar, fonem /o/ cenderung berubah bunyi menjadi [ʊ]. Di dalam bahasa Banjar sendiri, penggunaan bunyi fonem /o/ memang cenderung berubah menjadi [ʊ]. Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan (Azian Septianhardini A.R.)

162 2. Fonem Konsonan Bahasa Indonesia memiliki 21 fonem konsonan yang terdiri atas fonem /b/, /c/, /d/, /f/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /q/, /r/, /s/, /t/, /v/, /w/, /x/, /y/, dan /z/. Tabel di bawah ini akan menunjukkan bagaimana konsonan-konsonan tersebut dibunyikan oleh aksen Jawa dan Banjar. Namun perlu diingat bahwa tidak semua konsonan dijadikan data pada pembahasan ini dan berbeda dengan pembahasan fonem vokal, pembahasan fonem konsonan tidak dibagi berdasarkan posisi, mengingat tidak terlalu banyak perbedaan pelafalan pada posisi inisial. No. Bahasa Indonesia Aksen Jawa Aksen Bajar 1. Alhamdulillah /ælhəmdʊlɪllə/ /h/: [k], [k h ] Alhamdulillah /ælhəmdʊlɪllə/ Alhamdulillah /ælkəmdʊlɪllə/ Atau /ælk h əmdʊlɪllə/ 2. Bodoh /bodoh/ b/: [b h ] /d/: [d h ] /h/: [ø] Bodoh /b h od h o/ 3. Dari /dʌrɪ/ /d/: [d h ] /h/: [h], [ø] Bodoh / bodoh/ Atau /bodo/ Dari /dʌrɪ/ Dari /d h ʌrɪ/ 4. Ganteng /gʌntəŋ/ /g/: [g h ] /t/: [t h ] Ganteng /g h ʌnt h əŋ/ 5. Pojok /podʒok/ /p/: [p h ] /k/: [?] Pojok /p h odʒo?/ 6. Azan /ʌzʌn/ /z/: [d] Azan /ʌdʌn/ Ganteng /gʌntəŋ/ Pojok /podʒok/ /z/: [dʒ] Azan / ʌdʒʌn/ Pada tahap fonem konsonan, terlihat bahwa yang jauh lebih banyak berubah pelafalannya adalah pada pelafalan aksen Jawa. Pada kata alhamdulillah, fonem /h/ pertama diucapkan dengan bunyi [k] atau [kh]. Sementara pada pelafalan aksen Banjar tidak Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 151 168

Linguistika Akademia ISSN: 2089-3884 163 terdapat perubahan. Dalam perubahan bunyi fonem /h/ menjadi /k/ atau /kh/ bagi masyarakat Jawa bukan suatu permasalahan dimana perubahan bunyi tersebut dapat mengubah arti. Namun karena kata alhamdulillah merupakan kata berbahasa Arab yang berarti Segala puji bagi Allah tentunya akan berubah arti jika salah satu fonemnya diganti. Untuk pelafalan beraksen Jawa, beberapa fonem konsonan cenderung berbunyi tebal sehingga terkesan ada sisipan bunyi [h] dalam pengucapan. Seperti fonem /b/, /d/, /g/, /t/, dan /p/. Pada kata bodoh, fonem /b/ dibunyikan tebal menjadi [b h ], dan fonem /d/ juga dibunyikan tebal menjadi [d h ]. Begitu pula untuk fonem /d/ inisial pada kata dari dimana fonem /d/ juga berbunyi [d h ]. Pada kata ganteng, fonem /g/ inisial juga berbunyi tebal menjadi [g h ] dan fonem /t/ dilafalkan menjadi [t h ]. Sama halnya dengan fonem /p/ inisial yang juga dibunyikan tebal menjadi [p h ]. Sementara di dalam pelafalan beraksen Banjar tidak ditemukan adanya bunyi-bunyi yang dilafalkan tebal sebagaimana terdapat pada aksen Jawa. Salah satu penyebab yang menimbulkan penebalan bunyi pada fonem-fonem tertentu untuk pelafalan beraksen Jawa adalah adanya fonem /dh/ dan /th/ dalam huruf Jawa. Di dalam aksara Jawa, fonem /dh/ dan th/ memiliki penggunaan yang berbeda dengan penggunaan fonem /d/ dan /t/ dalam leksikon. Adanya huruf Jawa yang berbunyi tebal tersebut mengakibatkan terpengaruhnya pelafalan mereka dalam membunyikan fonem-fonem bahasa Indonesia. Dalam pelafalan leksikon berbahasa Indonesia, terdapat pula delesi beberapa fonem atau fonem-fonem tertentu tidak dibunyikan. Seperti pada kata bodoh, fonem /h/ final tidak dibunyikan oleh pelafalan beraksen Jawa. Sementara pada pelafalan beraksen Banjar, fonem /h/ terkadang dibunyikan dan terkadang juga dihilangkan. Sementara pada pelafalan beraksen Jawa untuk kata pojok, fonem /k/ final tidak didelesi, melainkan berubah bunyi. Fonem /k/ yang seharusnya dibunyikan sebagai bentuk velar plosive justru dimatikan menjadi glottal stop [?]. Sebaliknya, pada pelafalan beraksen Banjar tidak terdapat perubahan bunyi. Bicara mengenai fonem-fonem konsonan bahasa Indonesia, terdapat fonem-fonem tertentu yang dianggap sulit pengucapannya oleh seseorang beraksen Jawa dan Banjar, salah satunya adalah Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan (Azian Septianhardini A.R.)

164 fonem /z/. Terlihat pada kata azan, fonem alveolar frikatif /z/ justru dibunyikan sebagai bunyi alveolar plosive [d]. Sementara bagi seseorang beraksen Banjar, fonem alveolar frikatif /z/ justru dibunyikan sebagai bunyi post-alveolar afrikatif [dʒ]. Namun, kedua perubahan bunyi alveolar /z/ ini tidak mempengaruhi perubahan makna leksikal kata azan itu sendiri. 3. Fonem Diftong Delahunty (2010: 104) mendefinisikan diftong sebagai fonem vokal yang diartikulasikan oleh konfigurasi tertentu dari lidah, bibir, dan rongga mulut, yang dibunyikan bersamaan. Dalam bahasa Indonesia, ada tiga diftong yang tercantum dalam EYD, yakni diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Pada ketiga diftong ini, terdapat perbedaan pelafalan yang dipengaruhi aksen Jawa dan Banjar seperti tertulis pada tabel di bawah ini: Penempatan Diftong Bahasa Indonesia Aksen Jawa 1. awal Aula /aʊlʌ/ /au/: [aw] Aksen Banjar /au/: [aw] 2. tengah Jauhar /dʒaʊhʌr/ 3. akhir Sampai /sʌmpaɪ/ Lampau /lʌmpaʊ/ Konvoi / kɒnvɔɪ/ Aula /awlʌ/ /au/: [ɒ] Jauhar /dʒɒhʌr/ /ai/: [e] Sampai / sʌmpe / /au/: [ɒ ] Lampau /lʌmpɒ/ /v/:[p h ] /oi/: [ɔy] Konvoi / kɒnp h vɔy] Aula /awlʌ/ /au/: [ɒ] Jauhar /dʒɒhʌr/ /ai/: [eɪ] Sampai /sʌmp eɪ/ /au/: [aw] Lampau /lʌmpaw/ /v/:[p h ] /oi/: [ɔy] Konvoi / kɒnp h vɔy] Tabel di atas menunjukkan bahwa ada beberapa perbedaan dalam pelafalan diftong baik pada pelafalan dengan aksen Jawa Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 151 168

Linguistika Akademia ISSN: 2089-3884 165 maupun dengan aksen Banjar. Pada diftong /au/ inisial, kata aula yang seharusnya dibunyikan [aʊ], justru dibunyikan [aw]. Meskipun diftong /au/ dibunyikan /aw/, perubahan bunyi pada kedua pelafalan yang terpengaruh dengan aksen daerah ini tidak berpengaruh pada perubahan makna leksikal kata aula itu sendiri. Sehingga perubahan bunyi diftong /au/ inisial di sini hanya merupakan alofon dari diftong itu sendiri. Berbeda dengan diftong /au/ inisial yang dibunyikan [aw], ketika diftong ini berada pada posisi tengah, justru dibunyikan [ɒ] oleh kedua pelafalan berbeda aksen tersebut. Meskipun pelafalan beraksen Jawa dan Banjar tersebut tidak bermaksud mengubah makna kata jauhar, namun jika dibunyikan sebagai [ɒ], justru akan menimbulkan ambiguitas makna karena jauhar dan johar adalah dua leksikon yang berbeda. Menurut KBBI, jauhar berarti intan, sementara johar didefinisikan sebagai pohon yg tumbuh di daerah tropis, tingginya mencapai 20 m, biasa ditanam sbg pohon peneduh atau tanaman pagar, berbunga sepanjang tahun, bunganya malai, kuntumnya berwarna kuning, buahnya polong pipih dan panjang berwarna cokelat, daunnya dipergunakan sbg ramuan obat sakit malaria. Sehingga, jika diftong /au/ dibunyikan [ɒ], perbedaan bunyi yang ada termasuk dalam tataran fonemis. Sementara pada posisi final, terdapat beberapa perbedaan pada pelafalan yang beraksen Jawa dan Banjar. Seperti pada diftong /ai/ pada kata sampai, dilafalkan dengan bunyi [e] pada pelafalan beraksen Jawa, sementara diftong ini dibunyikan dengan bunyi [eɪ] pada pelafalan beraksen Banjar. Namun, meskipun kedua pelafalan ini berbeda dengan pelafalan diftong bahasa Indonesia yang seharusnya, kedua perbedaan ini tidak mengubah makna kata sampai, sehingga perbedaan ini termasuk alofon dari diftong /ai/. Begitu pula untuk diftong /au/ dalam kata lampau yang dilafalkan dengan bunyi [ɒ] pada pelafalan beraksen Jawa dan dilafalkan dengan bunyi [aw] pada pelafalan beraksen Banjar. Namun kedua perbedaan bunyi ini tidak sampai mengubah makna kata lampau. Berbeda dengan pelafalan diftong /au/ dan /ai/ yang berbeda pada pelafalan beraksen Jawa dan Banjar, untuk diftong /oi/, meskipun berbeda dengan pelafalan diftong bahasa Indonesia yang seharusnya, tidak ada perbedaan pada keduanya. Namun, Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan (Azian Septianhardini A.R.)

166 perlu juga dilihat pada fonem konsonan /v/ yang dibunyikan sebagai [p h ], sementara diftong /oi/ sendiri dibunyikan [oy]. Namun sama halnya dengan perbedaan pada kata sampai dan lampau, kedua perbedaan ini tidak mengubah makna kata konvoi. Sehingga, perbedaan bunyi tersebut dikategorikan sebagai alofon fonem diftong /oi/ saja. E. KESIMPULAN Dari penelitian di atas, penulis menemukan beberapa hal yang dapat disimpulkan, yakni: pertama, terdapat perbedaan pelafalan, khususnya dalam tataran kata berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa aksen daerah lokal sangat berpengaruh dalam perbedaan pelafalan. Hal itu terbukti bahwa pelafalan yang diucapkan dengan adanya pengaruh dari aksen Jawa berbeda dengan pelafalan yang terpengaruh aksen Banjar. Perbedaan bunyi yang paling menonjol terdapat pada fonem-fonem vokal dan diftong, sementara pada fonem-fonem konsonan tidak terlalu nampak perbedaan yang menonjol. Kedua, perbedaan bunyi tersebut dapat menimbulkan dua kemungkinan, yaitu (1) menimbulkan ambiguitas karena perbedaan bunyi bersifat fonemis, dan (2) tidak menimbulkan perbedaan makna leksikal karena perbedaan hanya bersifat alofonis. Berbeda dengan bunyi-bunyi alofonis pada bahasa Inggris yang dapat diformulasikan, bunyi-bunyi alofonis dalam bahasa Indonesia cenderung sulit dirumuskan, sebab perbedaan yang benar-benar beragam dalam pelafalan sangat dipengaruhi oleh adanya aksen dan dialek daerah yang telah melekat pada diri seseorang. Dari kesimpulan di atas, tampak bahwa perbedaan bunyi yang dipengaruhi aksen-aksen daerah cenderung menimbulkan perbedaan tidak hanya dalam tataran alofonis namun juga fonemis. Oleh karena itu, upaya standarisasi bunyi bahasa Indonesia tampaknya perlu dilakukan dalam upaya pencegahan ambiguitas makna bahasa itu sendiri. Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 151 168

Linguistika Akademia ISSN: 2089-3884 167 F. DAFTAR PUSTAKA Bowern, Claire. 2008. Linguistic Fieldwork: A Practical Guide. New York: Palgrave Macmillan. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Chaer, Abdul and Leonie Agustina. 2010.Sosiolingusitik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Davenport, Mike and S. J. Hannahs. 1998. Introducing Phonetics and Phonology. New York: Oxford University Press. Delahunty, Gerald Patrick. 2010. The English Language: From Sound to Sense. Colorado: Parlor Press. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. http://www.kbbi.web.id Kerswill, Paul, and Linda Shockey. 2007. Phonology in Context. New York: Palgrave Macmillan. Odden, David. 2005. Introducing Phonology. New York: Cambridge University Press. Owen, Collin J, and Harry van der Hulst. 2001. The Phonological Structure of Words: An Introduction. New York: Cambridge University Press. Ratford, Andrew, et al. 2009. Linguistics: An Introduction. UK: Cambridge University Press. Sampson, Geoffrey. 1980. School of Linguistics: Competition and Evolution. London: Hutchinson & Co. Ltd Wardhaugh, Ronald. 2006. Introduction to Sociolinguistics. UK: Blackwell Publishers Ltd. Pengaruh Aksen Jawa dan Banjar dalam Pelafalan (Azian Septianhardini A.R.)

168 Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 151 168