Gambar 19. Variasi suhu input udara

dokumen-dokumen yang mirip
Production. Factory I. Operator Proses. Operator Shovel. Truck Driver. Cleaner. Packer. Petugas Gudang

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban

METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengeringan Untuk Pengawetan

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

BAB II DASAR TEORI 0,93 1,28 78,09 75,53 20,95 23,14. Tabel 2.2 Kandungan uap air jenuh di udara berdasarkan temperatur per g/m 3

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.

BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EKSPERIMEN PENGARUH UKURAN PARTIKEL PADA LAJU PENGERINGAN PUPUK ZA DALAM TRAY DRYER

SIMPULAN UMUM 7.1. OPTIMISASI BIAYA KONSTRUKSI PENGERING ERK

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

Teknologi pengeringan bed fluidasi (fluidized Bed)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL UJI UNJUK KERJA

METODOLOGI PENELITIAN

MEKANISME PENGERINGAN By : Dewi Maya Maharani. Prinsip Dasar Pengeringan. Mekanisme Pengeringan : 12/17/2012. Pengeringan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer.

I. PENDAHULUAN. Mesin pengering merupakan salah satu unit yang dimiliki oleh Pabrik Kopi

5/30/2014 PSIKROMETRI. Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB. Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

V. ASPEK PRODUKSI. Warna kulit luar Coklat muda Coklat muda Tekstur kulit luar

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

BAB III METODE PENELITIAN

Percobaan pendahuluan dilakukan pada bulan Januari - Maret 2012 dan. pecobaan utama dilakukan pada bulan April Mei 2012 dengan tempat percobaan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2015, bertempat di

Laporan Tugas Akhir BAB II TEORI DASAR

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Ahmad Zaki Mubarok Kimia Fisik Pangan. Silika

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING

III. METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992)

I. Pendahuluan. A. Latar Belakang. B. Rumusan Masalah. C. Tujuan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN II PERHITUNGAN

JENIS-JENIS PENGERINGAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA. Gambar 4.1. Fenomena case hardening yang terjadi pada sampel.

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGUJIAN THERMAL ALAT PENGERING PADI DENGAN KONSEP NATURAL CONVECTION

PENGOLAHAN PRODUK PASCA PANEN HASIL PERIKANAN DI ACEH MENGGUNAKAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. penjemuran. Tujuan dari penjemuran adalah untuk mengurangi kadar air.

sampel pati diratakan diatas cawan aluminium. Alat moisture balance ditutup dan

Sistem pengering pilihan

bakey, burnt, dan overfried yaitu suatu keadaan dimana air seduhan teh

MESIN PENGERING HANDUK DENGAN ENERGI LISTRIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diketahui kandungan airnya. Penetapan kadar air dapat dilakukan beberapa cara.

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH UKURAN PARTIKEL BATUBARA PADA SWIRLING FLUIDIZED BED DRYER TERHADAP KARAKTERISTIK PENGERINGAN BATUBARA

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PENYEBARAN PANAS PADA ALAT PENGERING JAGUNG MENGGUNAKAN CFD (Studi Kasus UPTD Balai Benih Palawija Cirebon)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

BAB II LANDASAN TEORI

Pati ubi kayu (tapioka)

BAB I PENDAHULUAN. kedua terbesar setelah padi, sehingga singkong mempunyai potensi. bebagai bahan baku maupun makanan ringan. Salah satunya dapat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. (a) Singkong(Anonim, 2008a), (b) Taksonomi Singkong (Anonim, 2009a)

PERANCANGAN DAN PENGUJIAN ALAT PENGERING KOPRA DENGAN TIPE CABINET DRYER UNTUK KAPASITAS 6 kg PER-SIKLUS

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN

Transkripsi:

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Proses Pengamatan proses dilakukan pada empat parameter proses, yaitu sifat psikrometri udara, kecepatan udara, kecepatan pemasukan pati basah, dan sifat dehidrasi pati basah. a. Sifat Psikrometri Udara Pengering Pengamatan sifat psikrometri udara dilakukan enam kali pada tiga shift produksi yang berbeda, dua kali pengamatan pada shift siang (- WIB), dua kali pada shift sore (- WIB), dan dua kali pada shift malam (- WIB). Parameter psikrometri yang diamati meliputi suhu input udara, RH input udara, volume spesifik input udara, suhu udara kering, dan suhu udara basah. Hasil pengamatan sifat psikrometri udara pengering pada flash dryer 1 dan flash dryer 2 dapat dilihat pada Lampiran 7a dan 7b. Suhu input udara ( o C) 39 37 35 33 31 29 27 25 X=32,7 X=33,3 FD 1 FD 2 25-May-09 26-May-09 27-May-09 29-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09 Waktu pengamatan Keterangan : FD = Flash Dryer Gambar 19. Variasi suhu input udara Hasil pengamatan suhu input udara dapat dilihat pada Gambar 19. Suhu input udara pengering bervariasi selama 24 jam pengamatan pada kisaran suhu 27 o C hingga 38,9 o C. Tidak ada perbedaan yang nyata antara suhu input udara pada FD 1 dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value sebesar 0,57 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 8. Tidak adanya perbedaan suhu input udara FD 1 dan FD 2 dikarenakan kedua 50

cerobong pemasukan untuk kedua unit flash dryer terletak pada ruangan yang sama. Berdasarkan data, suhu udara tertinggi pada siang hari, puncaknya pada kisaran pukul WIB, sedangkan suhu terendah pada dini hari, sekitar pukul WIB. Rata-rata suhu udara pengering berkisar pada suhu 33 o C (32,7 untuk FD 1 dan 33,3 pada FD 2). Perbedaan suhu input udara pada waktu pengamatan yang berbeda ini dipengaruhi perbedaan suhu antara siang dan malam. RH(%) 100 90 80 70 60 50 40 30 X=64,7 X=64.2 FD 1 FD 2 25-May-09 26-May-09 27-May-09 29-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09 waktu pengamatan Keterangan : FD= Flash Dryer Gambar 20. Variasi RH input udara Hasil pengamatan RH input udara dapat dilihat pada Gambar 20. RH input udara pada keadaan normal bervariasi dengan kisaran 34,6% hingga 76,1%. Nilai RH tinggi pada tanggal 2 juni 2009 dikarenakan terjadi kebocoran pada pipa aliran steam pada FD 1, sehingga steam keluar dan bercampur dengan input udara. Nilai RH input udara FD 1 lebih tinggi dari FD 2 pada saat itu dikarenakan lokasi pemasukan udara FD 1 lebih dekat ke lokasi kebocoran dibandingkan FD 2. Rata-rata RH udara adalah 64% (64,2% pada FD 1 dan 64,5 pada FD 2). Secara statistik, RH udara pada cerobong pemasukan FD 1 tidak berbeda nyata pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih besar dari 0.05, yaitu sebesar 0,92 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat 51

pada Lampiran 9. Variasi RH pada keadaan normal terjadi karena adanya pergantian siang dan malam. 0.9100 Volume spesifik (m3/kg u.k.) 0.9050 0.9000 0.8950 0.8900 0.8850 0.8800 0.8750 X=0,8963 X=0,8942 FD 1 FD 2 25-May-09 26-May-09 27-May-09 29-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09 Keterangan : FD = Flash Dryer waktu pengamatan Gambar 21. Variasi volume spesifik input udara Hasil pengamatan volume spesifik input udara dapat dilihat pada Gambar 21. Pengamatan volume spesifik udara bertujuan untuk mengetahui massa udara kering yang masuk ke dalam cerobong flash dryer selama proses pengeringan. Dengan mengetahui debit pemasukan udara dan volume spesifik udara, dapat diketahui massa udara yang masuk per satuan waktu tertentu. Hasil pengamatan menunjukkan volume spesifik udara nilainya berada pada kisaran 0,8775 hingga 0,9075. Nilai rata-rata adalah pada kisaran 0,8963 pada FD 1 dan 0,8942 pada FD 2. Secara statistik, volume spesifik pada cerobong pemasukan FD 1 tidak berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih besar dari 0.05, yaitu sebesar 0,58 ketika dilakukan uji t (independent t- test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 10. Volume spesifik udara bervariasi selama waktu pengamatan berkaitan dengan variasi suhu udara dan kandungan air udara (RH udara). Semakin tinggi suhu, udara akan semakin mengembang, sehingga volume spesifiknya akan semakin besar. Begitu pula dengan kandungan air, semakin besar kandungan air maka volume spesifik pun akan semakin 52

besar karena setiap kilogram udara kering mengandung semakin banyak partikel air yang berkontribusi pula pada volume spesifik udara. suhu udara kering ( o C) 220 210 200 190 180 170 160 150 X=200 X=192 FD 1 FD 2 25-Mei-09 26-Mei-09 27-Mei-09 29-Mei-09 02-Jun-09 03-Jun-09 waktu pengamatan Keterangan : FD = Flash Dryer Gambar 22. Variasi suhu udara kering Flash dryer yang ada di PT. UJA 1 menggunakan dua jenis pemanas (heater), yaitu heater dengan pemanas steam dan heater dengan pemanas oli. Hasil pengamatan suhu udara kering dapat dilihat pada Gambar 22, dapat lihat bahwa suhu setelah melewati pemanas steam berkisar 160 0 C untuk FD 1 dan 150 0 C untuk FD 2. Suhu udara lebih besar pada FD 1 karena udara yang mengalir lebih lambat, sehingga waktu kontak dengan heater lebih lama. Akan tetapi setelah melewati heater oli, suhu udara kering FD 1 selalu lebih rendah dari FD 2. Ini menunjukkan adanya kemungkinan permasalahan pada unit penukar panas heater oli pada FD 1, karena oli yang digunakan pada kedua heater sama, begitu pula dengan distribusi oli untuk kedua heater oli juga sama. Data hasil pengamatan suhu setelah melewati Steam Heat Exchanger (Heater uap) dan Oil Heat Exchanger (Heater oli) dapat dilihat pada Lampiran 11. Nilai rata-rata suhu udara kering FD 1 adalah 192 o C sedangkan FD 2 adalah 200 o C. Secara statistik, suhu udara kering pada cerobong pemasukan FD 1 berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil dari 0.05, yaitu sebesar 0,047 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 12. Suhu udara kering pada tanggal 27 Mei 2009 turun drastis 53

hingga 155 o C dikarenakan unit pemanas oli dimatikan, sehingga pemanasan hanya dilakukan dengan pemanas steam. Suhu udara kering sangat berpengaruh terhadap kapasitas penangkapan air oleh udara pengering. Hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu udara kering, kelembaban mutlak udara kering akan semakin rendah, sehingga selisih tekanan uap antara bahan dengan udara pengering pun semakin besar. Menurut Toledo (1991), transfer uap air dari permukaan yang lembab ke aliran udara analog dengan pindah panas konveksi, dimana fluks uap air proporsional dengan driving force yaitu perbedaan tekanan uap pada permukaan bahan dengan tekanan uap lingkungan, dalam hal ini udara pengering. suhu udara basah (0C) 80 75 70 65 60 55 50 45 40 X=62 X=60 FD 1 FD 2 25-May-0926-May-0927-May-0929-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09 waktu pengamatan Keterangan : FD = Flash Dryer Gambar 23. Variasi suhu udara basah Hasil pengamatan suhu udara basah dapat dilihat pada Gambar 23. Penurunan suhu udara dari udara kering menjadi udara basah berkaitan dengan perpindahan panas sensibel udara pengering menjadi panas laten penguapan air dari bahan. Menurut Earle (1983) panas yang dipindahkan ke dalam bahan pangan untuk proses pengeringan bahan pangan sebanding dengan penurunan suhu udara pengering. Pada proses pengeringan tapioka, penurunan suhu ini bervariasi terutama tergantung pada kadar air pati basah dan kecepatan pemasukan pati basah. Pati basah adalah 54

suspensi pati yang telah mengalami penurunan kadar air sehingga kadar airnya sekitar 34%. Suhu udara basah rata-rata adalah 60 o C untuk FD 1 dan 62 o C pada FD 2. Secara statistik, suhu udara kering pada FD 1 tidak berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih besar dari 0.05, yaitu sebesar 0.21 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 13. Suhu udara basah FD 2 tinggi (74 o C) pada tanggal 27 Mei jam WIB karena terjadi kekosongan pada saat pemasukan pati basah pada feeder oven sehingga banyak panas yang tidak digunakan untuk menguapkan air dan terbuang bersama udara basah. Sedangkan pada pukul WIB, suhu udara basah FD 2 rendah (49 o C) karena kecepatan pemasukan pati basah yang tinggi sehingga banyak panas yang terserap bahan dan digunakan untuk penguapan air bahan. H (kg air/kg u.k.) 0.0700 0.0650 0.0600 0.0550 0.0500 0.0450 0.0400 X=0,0580 X=0,0553 FD 1 FD 2 25-Mei-09 26-Mei-09 27-Mei-09 29-Mei-09 02-Jun-09 03-Jun-09 Keterangan : FD = Flash Dryer waktu pengamatan Gambar 24. Variasi kapasitas penangkapan air udara pengering Hasil pengamatan kapasitas penangkapan air udara pengering dapat dilihat pada Gambar 24. Kapasitas penangkapan air udara pengering dihitung berdasarkan sifat psikrometri udara pengering, yaitu selisih kelembaban mutlak udara kering dengan kelembaban mutlak udara basah. Nilai rata-ratanya adalah 0,0553 pada FD 1 dan 0,0580 pada FD 2. Kapasitas penangkapan udara pada FD 2 lebih tinggi dari FD 1 karena suhu udara kering pada FD 2 lebih tinggi dari FD 1 sehingga driving force pada FD 2 pun lebih tinggi dari FD 1. Data lengkap mengenai kapasitas 55

penangkapan air udara pengering dapat dilihat pada Lampiran 14a dan 14b. Secara statistik, kapasitas penangkapan air udara pengering pada FD 1 tidak berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih besar dari 0.05, yaitu sebesar 0,074 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 15. b. Kecepatan Udara Pengering Pengamatan kecepatan udara pengering dilakukan pada cerobong pemasukan udara. Dengan menggunakan alat anemometer, dapat diketahui kecepatan dari udara pengering. Kecepatan udara ini kemudian dikalikan dengan luas penampang cerobong pemasukan untuk mengetahui debit pemasukan udara pengering. Hasil pengamatan kecepatan udara pengering dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil pengamatan kecepatan udara Flash Dryer Kecepatan udara (m/s) Luas Penampang cerobong pemasukan udara (m 2 ) Debit udara masuk (m 3 /jam) 1 3,08 2,08 23.063,04 2 9,87 0,75 26.649,00 Kecepatan pemasukan udara sangat berpengaruh terhadap kapasitas pengeringan dari flash dryer. Hal ini berkaitan dengan massa udara pengering yang kontak dengan bahan yang dikeringkan per satuan waktu tertentu. Semakin cepat pemasukan, berarti semakin banyak massa udara pengering yang kontak dengan bahan yang dikeringkan dan semakin banyak pula air yang dapat dihilangkan dari bahan setiap satuan waktunya. Berdasarkan pengamatan, udara pada FD 2 lebih cepat dari FD 1. Hal ini karena pada cerobong pemasukan FD 2 ada penambahan kipas untuk mempercepat pemasukan udara. c. Kapasitas Pengeringan Kapasitas pengeringan dihitung dengan mengkalikan kapasitas penangkapan air udara pengering dengan massa udara pengering yang melewati bahan yang dikeringkan per satuan waktu tertentu, dalam hal ini dihitung pada basis satu Jam. Hasil perhitungan kapasitas pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 16. 56

Kapasitas pengeringan (Kg air/jam) 1800 1700 1600 1500 1400 1300 1200 1100 1000 X=1554.55 X=1479.10 FD 1 FD 2 25-May- 09 26-May- 09 27-May- 09 29-May- 09 2-Jun-09 3-Jun-09 Waktu pengamatan Keterangan : FD = Flash Dryer Gambar 25. Kapasitas pengeringan udara Hasil pengamatan kapasitas pengeringan udara pengering dapat dilihat pada Gambar 25. Kapasitas pengeringan udara pengering dipengaruhi dua faktor, yaitu debit udara dan kapasitas penangkapan air udara. Semakin besar debit udara, semakin besar kapasitas pengeringan. Begitu juga, semakin tinggi kapasitas penangkapan air udara, kapasitas pengeringan pun semakin tinggi. Oleh karena itu usaha untuk meningkatkan kapasitas pengeringan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua faktor tersebut, yaitu dengan meningkatkan kecepatan udara atau meningkatkan kapasitas penangkapan air udara pengering. Peningkatan kapasitas penangkapan air udara pengering sendiri dapat ditingkatkan dengan meningkatkan suhu udara kering. Berdasarkan hasil pengamatan, kapasitas pengeringan udara pada FD 1 (1479.10 kg air/jam) lebih rendah dari FD 2 (1554.55 kg air/jam). Hal ini dikarenakan selain kapasitas penangkapan air udara pada FD 2 lebih tinggi, kecepatan udara pada FD 2 juga lebih tinggi dari FD 1. Secara statistik, kapasitas pengeringan pada FD 1 tidak berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih besar dari 0.05, yaitu sebesar 0,079 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 17. 57

d. Kecepatan pemasukan pati basah Kecepatan pemasukan pati basah merupakan aspek yang paling mungkin dapat diubah-ubah selama proses pengeringan tapioka karena pengaturannya menggunakan variable speed pada feeder oven. Pengaturan kecepatan pemasukan pati basah dilakukan oleh operator dengan menggatur suhu udara basah yang dinginkan pada panel kontrol. Operator mengaturnya berdasarkan uji sensori terhadap kekeringan menggunakan telapak tangan. Apabila dirasa kurang kering, operator akan meningkatkan setting suhu udara basah pada panel kontrol, dan begitu sebaliknya apabila terlalu basah. Hal ini menunjukkan belum ada ketentuan yang pasti mengenai pengaturan pemasukan pati basah, dan tentunya diperlukan usaha untuk mengetahui pengaturan pemasukan pati basah yang paling tepat, sesuai untuk proses yang sedang berjalan. Hasil pengamatan kecepatan pemasukan pati basah dapat dilihat pada Lampiran 18 dan Gambar 26. Kecepatan pemasukan (Kg/Jam) 7000.00 6500.00 6000.00 5500.00 5000.00 4500.00 4000.00 3500.00 3000.00 2500.00 X=6651.99 X=5371.26 FD 1 25-May-09 26-May-09 27-May-09 29-May-09 2-Jun-09 3-Jun-09 FD 2 Keterangan : FD = Flash Dryer waktu pengamatan Gambar 26. Kecepatan pemasukan pati basah Rata-rata pemasukan pati basah adalah 5371.26 kg/jam pada FD 1 dan 6651.99 kg/jam pada FD 2. Secara statistik, kapasitas pengeringan pada FD 1 berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil dari 0.05, yaitu sebesar 0,0003 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada 58

Lampiran 19. Pemasukan pada FD 2 lebih cepat dari FD 1 karena kapasitas pengeringan pada FD 2, meskipun secara statistik tidak berbeda dengan FD 1 pada taraf signifikasi 5%, lebih tinggi dari FD 1 yaitu lebih tinggi sebesar 75.45 kg/jam, sehingga FD 2 mampu menghilangkan air lebih banyak (1280 kg air/jam). Kecepatan pemasukan pati basah yang lebih tinggi pada FD 2 juga berakibat kadar air pati kering rata-rata FD 2 lebih tinggi dari FD 1. e. Sifat Dehidrasi Pati Basah Pengamatan sifat dehidrasi pati basah dilakukan untuk mengetahui tahapan pengeringan dari pati basah. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan Kett FD-600, yaitu dengan mengukur penurunan kadar air setiap menitnya. Hasil pengamatan sifat dehidrasi pati basah dapat dilihat pada Lampiran 20 dan Gambar 27. laju pengeringan (g air/100 g bahan kering.menit) 0.14 0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 0.00% % 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% kadar air (g air/100 g bahan kering) ulangan 1 ulangan 2 Poly. (ulangan 1) Poly. (ulangan 2) Gambar 27. Kurva hubungan kadar air pati basah (b.k.) dengan laju pengeringan pada suhu 120 o C Pengamatan laju pengeringan pada suhu 120 o C dilakukan untuk mengetahui fase pengeringan dari pati basah. Tampak bahwa pengeringan pati basah telah mencapai tahap falling rate. Hal ini menunjukkan air yang tertinggal pada bahan tinggal air terikat, dan air bebas telah dihilangkan dari bahan dengan proses pada DC. 59

Menurut Fellows (2000), ketika kadar air bahan pangan turun hingga di bawah kadar air kritis, kecepatan pengeringan secara perlahan akan turun hingga mendekati nol pada kadar air kesetimbangan. Falling rate periode ini merupakan tahap paling panjang dari operasi pengeringan, dan pada beberapa bahan pangan (seperti pengeringan biji-bijian) kadar air awal bahan yang dikeringkan dan hanya tahap falling rate yang merupakan tahap pengeringan yang diamati. Menurut Earle (1983), kurva laju pengeringan falling rate periode ini dipengaruhi oleh sifat spesifik bahan dan kondisi proses. B. Kualitas Produk Pengamatan kualitas produk dilakukan untuk melihat pengaruh perbedaan suhu proses pada flash dryer 1 dengan flash dryer 2 terhadap kualitas berupa kadar air, derajat putih, persentase kerak, dan retained on 100 mesh. Pengamatan dilakukan pada pati kering pada valve cyclone. a. Kadar air Penggukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan alat FD-600 untuk sampel pati kering dan Moisture Meter KETT F1-B untuk sampel pati basah. Penggunaan alat uji yang berbeda untuk pati kering dan pati basah ini menyesuaikan dengan metode analisis yang digunakan perusahaan. Hasil pengamatan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 21. dan Gambar 28. kadar air (%) 40 35 30 25 20 15 10 5 25-Mei-09 26-Mei-09 27-Mei-09 29-Mei-09 02-Jun-09 03-Jun-09 waktu pengamatan Keterangan : FD = Flash Dryer Gambar 28. Hasil pengamatan kadar air x=34,4 x=11,0 x=10,6 k.a. pati sagu basah basah k.a. sagu pati kering FD kering 1 FD 1 k.a.sagu pati kering FD kering 2 FD 2 60

Data hasil pengamatan kadar air menunjukkan kadar air pati basah bervariasi mulai dari 33,1% hingga 35,5%, dengan rata-rata 34,3%. Variasi ini dikarenakan pati basah disuplai oleh delapan unit Dewatering Centrifuge (DC) yang berbeda. Variasi juga dapat disebabkan oleh waktu pengisian DC dan penurunan pati basah yang berbeda antar operator. Variasi kadar air pati basah ini sangat berpengaruh terhadap variasi proses pengeringan dan juga variasi kadar air pati kering. Kadar air pati kering valve cyclone bervariasi dari 8,6% hingga 14,2% pada FD 1 dan 9,0 hingga 12,4 pada FD 2. Target kadar air pati kering valve cyclone adalah 11.42%. Variasi kadar air pati kering valve cyclone ini disebabkan variasi kadar air pati basah dan variasi kecepatan pemasukan pati basah. Variasi kadar air pati kering valve cyclone ini menunjukkan pengaturan pemasukan pati basah belum efisien karena mengakibatkan penggunaan energi untuk penghilangan air yang tidak perlu. Nilai rata-rata kadar air pati kering valve cyclone adalah 10,6% pada FD 1 dan 11,0% pada FD 2. Secara statistik, kadar air pati kering valve cyclone pada FD 1 tidak berbeda nyata dengan FD 2 pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil dari 0.05, yaitu sebesar 0,39 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 22. b. Derajat putih, Persentase kerak, dan Retained on 100 mesh Pengamatan derajat putih, persentase kerak, dan retained on 100 mesh dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu flash dryer 1 dan flash dryer 2 terhadap ketiga parameter kualitas tersebut. Hasil pengamatan derajat putih, persentase kerak, dan retained on 100 mesh dapat dilihat pada Lampiran 23. dan Gambar 29. 61

Derajat putih (%) 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 95.6 95.7 1 2 Persentase kerak (%) 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 3.2 3.4 1 2 Rerained on 100 mesh 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 1.4 1.3 1 2 FD FD FD (a) (b) (c) Gambar 29.. Pengaruh perbedaan suhu proses pada kualitas produk : (a) derajat putih, (b) persentase kerak, (c) retained on 100 mesh. Hasil pengamatan derajat putih, persentase kerak dan retained on 100 mesh menunjukkan perbedaan suhu proses pengeringan tidak secara nyata menyebabkann perbedaan kualitas produk (derajat putih, persen kerak, dan retained on 100 mesh). Hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil dari 0.05 ketika dilakukan uji t (independent t-test), yaitu sebesar 0.94 untuk derajat putih (Lampiran 24), 2.04 untuk persentase kerak (Lampiran 25), dan 2.04 untuk retained on 100 mesh (Lampiran 26). Derajat putih diukur dengan menggunakan alat Whitenessmeter berdasarkan perbandingan tingkat keputihan produk dibandingkan dengan standar BaSO 4. Dibandingkan suhu proses, umur singkong lebih berpengaruh terhadap derajat putih. Menurut Alves (2002) umbi singkong sangat mudah rusak dan biasanya menjadi tidak layak makan setelah 24-72 jam setelah panen akibat proses kerusakan fisiologis yang cepat, dimana terjadi sistesis komponen fenolik sederhana terjadi membentuk pigmen biru, coklat dan hitam. Diduga komponen polifenol pada umbi teroksidasi membentuk substansi kuinon yang membentuk kompleks dengan molekul kecil seperti asam amino untuk kemudian membentuk pigmen warnaa yang disimpan dalam jaringan vascular. 62

Persentase kerak dan Retained on 100 mesh diukur dengan menggunakan shieve shaker. Kerak adalah pati yang tidak lolos saringan 80 mesh, sedangkan Retained on 100 mesh adalah pati yang lolos saringan 80 mesh tetapi tidak lolos saringan 100 mesh. Terbentuknya kerak dan kasarnya tapioka (Retained on 100 mesh tinggi) pada proses pengolahan tapioka sangat berpengaruh baik pada kualitas tapioka maupun produktivitas tapioka. Persentase kerak lebih berpengaruh pada produktivitas, yang mana apabila kerak tinggi maka jumlah produksi akan turun karena banyak tapioka yang seharusnya menjadi ptoduk jadi justru menjadi kerak. Sedangkan Retained on 100 mesh lebih berpengaruh kepada kualitas, dan dipersyaratkan harus lebih rendah dari 2%. c. Sifat Gelatinisasi Tapioka Pengamatan sifat gelatinisasi tapioka bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu proses pengeringan antara flash dryer 1 dan flash dryer 2. Sifat gelatinisasi pati tapioka dapat diamati dengan menggunakan alat Brabender Amylograph/Viscograph, yaitu dengan mengamati perubahan viskositas pati akibat terjadinya gelatinisasi pati. Tabel 6. Sifat Gelatinisasi Tapioka a PT. UJA Sifat Gelatinisasi Tapioka FD 1 Tapioka FD 2 1. Suhu awal gelatinisasi 2. Suhu gelatinisasi 3. Viskositas Puncak 4. Viskositas pada suhu 93 o C 5. Suhu setelah holding selama 20 menit pada suhu 93 o C 6. Viskositas setelah pendinginan hingga suhu 50 o C 7. Viskositas setelah holding selama 20 menit pada 50 o C 61 o C 70 o C 880 BU 440 BU 310 BU 280 BU 260 BU 62 o C 71 o C 880 BU 440 BU 310 BU 260 BU 260 BU a Kondisi pengamatan : konsentasi suspensi pati 5% w/v, masuring box 350 cmg Sifat gelatinisasi pati tapioka dapat dilihat pada Tabel 6. Terlihat bahwa pada setiap parameter yang diamati relatif tidak ada perbedaan antara tapioka FD 1 dengan FD 2. Hal ini menunjukkan perbedaan suhu antara FD 1 (192 o C) dengan FD 2 (200 o C) tidak berpengaruh nyata terhadap sifat gel pati yang terbentuk. 63

Menurut Corbishley dan Miller (1984) viskositas tapioka tergantung pada varietas, area penanaman, waktu panen, umur umbi singkong, kesuburan tanah, dan curah hujan selama periode penanaman. Meskipun demikian, proses pengolahan tapioka juga penting. Sedangkan menurut Winarno (1984), pembentukan gel pati dipengaruhi konsentrasi pati yang digunakan, ph larutan, dan juga penambahan gula. Semakin kental larutan, suhu gelatinisasi semakin lama tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang menurun. ph optimum untuk pembentukan gel adalah 4-7. Bila ph terlalu tinggi, pembentukan gel akan makin cepat akan tetapi cepat turun lagi, sedangkan bila ph terlalu rendah gel lambat terbentuk dan bila pemanasan diteruskan viskositas akan turun lagi. Sedangkan gula berperan dalam menurunkan kekentalan, karena gula akan mengikat air sehingga pembengkakan butirbutir pati lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi semakin tinggi (Winarno, 1984). Sifat-sifat gelatinisasi pati penting didalam desain proses dan produk untuk produk-produk pasta maupun produk lain yang berbahan dasar pati. Suhu awal gelatinisasi penting untuk mengetahui mulai suhu berapa pasta pati didalam suatu proses pangan mulai terbentuk. Suhu gelatinisasi, yaitu suhu ketika viskositas puncak tercapai penting untuk melihat kualitas gel pati yang terbentuk. Pengamatan terhadap viskositas gel pati dengan melakukan holding pada suhu 93 o C penting untuk melihat konsistensi gel pati terhadap pengadukan selama proses pemasakan berlangsung. Pengamatan suhu setelah pendinginan hingga 50 o C bertujuan untuk melihat apakah ada peningkatan kembali viskositas setelah pasta didinginkan (setback). Sedangkan pengamatan terhadap viskositas gel pati dengan melakukan holding pada suhu 50 o C bertujuan untuk melihat kestabilan pasta terhadap pengadukan dalam kondisi dingin. Hasil pengamatan menunjukkan viskositas puncak pada gel tapioka cukup tinggi, yaitu 880 BU, hanya saja setelah itu viskositas dengan sangat cepat turun hingga 440 BU ketika suhu 93 o C tercapai. Selain itu ketika dilakukan holding pada 93 o C viskositas pati turun dari 440 BU ke 64

310 BU. Hal ini umum dialami gel yang berasal dari pati asli (native starch). Pada beberapa produk, sifat ini tidak diinginkan sehingga banyak digunakan pati modifikasi untuk memperoleh sifat gel yang lebih baik. Menurut Fennema (1996), produsen pangan umumnya lebih menyukai pati dengan karakteristik yang lebih baik daripada yang dimiliki native starch. Pati asli umumnya menghasilkan gel yang memiliki kerangka yang lemah (weak-bodied), lengket, kenyal ketika dimasak, dan gel yang tidak bagus ketika didinginkan. Sifat-sifat pati ini ditingkatkan dengan melakukan modifikasi. Gel tapioka yang telah diuji tidak mengalami setback ketika didinginkan, terbukti ketika didinginkan hingga 50 o C viskositas turun menjadi 280/260 BU. Selama pengadukan pada kondisi dingin, gel tapioka stabil karena viskositasnya tidak berubah setelah dilakukan holding 20 menit pada 50 o C. C. Efisiensi Energi Efisiensi energi pengeringan tapioka dihitung dengan melihat keseimbangan panas udara, yaitu dengan memperlakukan unit pengering sebagai sistem adiabatik sehingga tidak ada pertukaran panas dengan lingkungan. Panas yang dipindahkan ke dalam bahan pangan untuk proses pengeringan bahan pangan tersebut sebanding dengan penurunan suhu udara pengering, dan panas yang harus disuplai sebanding dengan peningkatan suhu dari udara lingkungan didalam pemanas udara (air heater). Efisiensi dirumuskan sebagai : ή = (T 1 -T 2 )/(T 1 -T a ), dimana T 1 adalah suhu udara kering, T 2 = suhu udara basah, dan T a = suhu input udara (Earle, 1983). Hasil pengamatan efisiensi energi dapat dilihat pada Lampiran 27 dan Gambar 30. 65

0.95 Efisiensi energi pengeringan 0.90 0.85 0.80 0.75 0.70 X=0,83 X=0,83 FD 1 FD 2 25-Mei-09 26-Mei-09 27-Mei-09 29-Mei-09 02-Jun-09 03-Jun-09 waktu pengamatan Gambar 30. Variasi efisiensi energi pengeringan Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, efisiensi pengeringan untuk flash dryer (FD) 1 dan 2 berkisar pada nilai rata-rata 0,83 (83%). Secara statistik efisiensi energi pengeringan FD 1 dan FD 2 tidak berbeda nyata pada taraf signifikasi 5%, hal ini dapat dilihat dari p-value yang lebih kecil dari 0.05, yaitu sebesar 0,62 ketika dilakukan uji t (independent t-test). Hasil uji t dapat dilihat pada Lampiran 28. Nilai efisiensi cukup jauh dari nilai rata-rata terjadi pada FD 2 pada tanggal 27 mei 2009 jam WIB dan WIB. Pada jam WIB efisiensi pengeringan hanya mencapai 0,76 cukup jauh dibawah rata-rata. Hal ini dikarenakan ketika itu terjadi kekosongan pada feeder oven, sehingga terjadi kekurangan bahan untuk dikeringkan (pati basah). Kekurangan pemasukan ini mengakibatkan benyak energi yang terbuang. Berbeda dengan pukul WIB, pukul WIB debit pemasukan pati basah lebih banyak, sehingga lebih banyak energi yang digunakan untuk menghilangkan air dari bahan. Secara teoritis, semakin besar selisih suhu udara kering (T 1 ) dengan udara basah (T 2 ) maka energi semakin efisien digunakan, akan tetapi perlu diperhatikan pula kemampuan penghilangan air dari bahan. Dua faktor yang mempengaruhi penurunan suhu udara ini adalah kadar air pati basah dan debit pemasukan pati basah. Kadar air pati basah berpengaruh karena pada kisaran 66

kadar air pati basah (34.35%), kecepatan pengeringan telah mencapai falling rate. D. Rancangan Optimasi Proses Optimasi proses pengeringan disarankan untuk dilakukan dengan melakukan running proses untuk mengetahui setting pemasukan pati basah yang memberikan hasil efisiensi proses paling tinggi dan tetap menghasilkan pati kering yang sesuai/masuk spesifikasi perusahaan. Caranya yaitu dengan secara bertahap menambah kecepatan pemasukan pati basah hingga mencapai kondisi dimana efisiensi meningkat dan kadar air produk masih sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan. Kecepatan pemasukan pati basah dipilih sebagai satu-satunya faktor yang diperhatikan dalam optimasi proses karena ini merupakan komponen yang paling mungkin untuk diatur selama proses pengeringan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kadar air yang dapat diperkirakan berdasarkan pengamatan psikrometri adalah kadar air tapioka kering di valve cyclone, sehingga perlu diperhatikan peningkatan kadar air ketika distribusi tapioka dari valve cyclone ke corong pengemasan. Untuk mengetahui peningkatan kadar air ini telah dilakukan pengamatan terhadap kadar air trapioka di valve cyclone dan corong pengemasan untuk melihat adanya peningkatan kadar air tapioka. Tabel 7. Hasil pengamatan adanya peningkatan kadar air selama distribusi tapioka dari valve cyclone ke corong pengemasan No k.a. tapioka vale cyclone selisih k.a. tapioka corong (peningkatan Pengamatan FD 1 FD 2 rata-rata pengemasan kadar air) 1 9.4% 12.4% 10.90% 11.80% 0.90% 2 10.4% 11.0% 10.70% 11.80% 1.10% 3 9.4% 11.3% 10.35% 11.90% 1.55% 4 12.5% 10.9% 11.70% 12.50% 0.80% 5 11.6% 10.1% 10.85% 12.40% 1.55% 6 8.8% 12.3% 10.55% 12.10% 1.55% 7 11.2% 12.2% 11.70% 11.90% 0.20% 8 11.1% 10.9% 11.00% 12.00% 1.00% 10.97% 12.05% 1.08% 67

Berdasarkan Tabel 7, dengan target kadar air tapioka kering 12.5%, maka target kadar air tapioka valve cyclone adalah 11.42%. Rancangan optimasi proses pengeringan dibuat dengan memperkirakan kadar air yang akan diperoleh apabila sifat psikrometri dan kecepatan putar feeder oven (kecepatan pemasukan pati basah) diketahui. Rumus yang digunakan untuk menghitung kadar air adalah : Kadar air = Total air x 100% Total solid+total air = (v input pati basah x k.a. pati basah)-kapasitas pengeringan) x 100% (kadar solid x v input pati basah)+( (k.a. pati basah x v input pati)-kapasitas pengeringan)) Di dalam memperkirakan kadar air pati kering ini digunakan dua asumsi dasar. Asumsi ini dibangun berdasarkan hasil pengamatan psikrometri udara pengering yang telah dilakukan setelah data di luar kontrol (tanggal 27 Mei dan dan WIB serta tanggal 2 Juni) dihilangkan. Dua asumsi yang digunakan yaitu: 1. Dengan menganggap proses berada pada nilai rata-rata sesuai dengan hasil pengamatan yang telah dilakukan dengan menghilangkan data dari kondisi diluar kendali. Asumsi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut : 1. k.a. pati basah : 34.4% 2. suhu input udara : 34 o C 3. RH : 60% 4. Volume spesifik : 0.9007 m 3 /kg u.k. 5. suhu udara kering : 196 o C (FD1) dan 204 o C (FD2) 6. Kec. Udara : 20773.72 kg air/kg u.k (FD1) dan 24003.72 kg air/kg u.k. (FD2) 7. Tidak terjadi kekosongan pada feeder oven (kecepatan putar feeder oven benar-benar merefleksikan kecepatan pemasukan pati basah) 68

Tabel 8. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 1 dengan menggunakan asumsi 1 Kecepatan suhu udara basah pemasukan pati basah 55 57 59 60 61 62 63 64 65 rpm kg/jam 750 5391.23 8.56 9.10 9.64 9.93 10.22 10.46 10.75 10.98 11.26 800 5750.64 10.76 11.24 11.72 11.98 12.25 12.45 12.71 12.92 13.18 850 6110.06 12.61 13.05 13.48 13.72 13.96 14.14 14.38 14.57 14.80 Perkiraan kadar air tapioka kering (%) Berdasarkan Tabel 8 maka proses yang optimal diperkirakan ada pada proses dengan kecepatan pemasukan 750 rpm atau 800 rpm. Tabel 9. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 2 dengan menggunakan asumsi 1 Kecepatan suhu udara basah pemasukan pati basah 55 57 59 60 61 62 63 64 65 rpm kg/jam 650 6485.69 8.00 8.53 9.05 9.34 9.62 9.85 10.13 10.35 10.63 700 6984.59 10.57 11.04 11.49 11.75 12.00 12.20 12.44 12.64 12.89 750 7483.49 12.69 13.10 13.51 13.73 13.96 14.13 14.36 14.53 14.75 Perkiraan kadar air tapioka kering (%) Berdasarkan Tabel 9 maka proses yang optimal diperkirakan ada pada proses dengan kecepatan pemasukan 700 rpm. 2. Dengan menganggap proses terbagi menjadi dua kondisi berdasarkan perbedaan psikrometri udara siang dan non-siang. Dalam hal ini, siang adalah pengamatan pada pukul WIB dan WIB, sedangkan non-siang adalah pengamat selain kedua waktu tersebut. Asumsi yang dapat digunakan untuk kedua keadaan ini adalah : a. Siang 1. k.a. pati basah : 34.4% 2. suhu input udara : 37 o C 3. RH : 43% 4. Volume spesifik : 0.9095 m 3 /kg u.k. 5. suhu udara kering : 196 o C (FD1) dan 204 o C (FD2) 69

6. Kec. Udara : 20975.83 kg air/kg u.k (FD1) dan 24237.27 kg air/kg u.k. (FD2) 7. Tidak terjadi kekosongan pada feeder oven (kecepatan putar feeder oven benar-benar merefleksikan kecepatan pemasukan pati basah) Tabel 10. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 1 Kecepatan pemasukan pati basah Rpm dengan menggunakan asumsi 2.a kg/jam suhu udara basah 55 57 59 60 61 62 63 64 65 750 5391.23 9.20 9.73 10.25 10.54 10.77 11.06 11.28 11.56 11.79 800 5750.64 11.33 11.80 12.27 12.53 12.74 12.99 13.19 13.45 13.65 850 6110.06 13.13 13.56 13.98 14.21 14.40 14.63 14.81 15.04 15.23 Perkiraan kadar air tapioka kering (%) Berdasarkan Tabel 10 maka proses yang optimal diperkirakan ada pada proses dengan kecepatan pemasukan 750 rpm atau 800 rpm Tabel 11. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 2 Kecepatan pemasukan pati basah Rpm dengan menggunakan asumsi 2.a kg/jam suhu udara basah 55 57 59 60 61 62 63 64 65 650 6485.69 8.65 9.16 9.67 9.95 10.17 10.45 10.67 10.94 11.22 700 6984.59 11.14 11.59 12.04 12.29 12.48 12.73 12.92 13.16 13.40 750 7483.49 13.19 13.59 13.99 14.21 14.39 14.61 14.78 15.00 15.21 Perkiraan kadar air tapioka kering (%) Berdasarkan Tabel 11 maka proses yang optimal diperkirakan ada pada proses dengan kecepatan pemasukan 650 dan 700 rpm. b. Non-siang 1. k.a. pati basah : 34.4% 2. suhu input udara : 33 o C (FD1) dan 32 (FD2) 3. RH : 66% (FD1) dan 67% (FD2) 4. Volume spesifik : 0.8951 m 3 /kg u.k. (FD1) dan 0.8932 m 3 /kg u.k. (FD2) 5. suhu udara kering : 196 o C (FD1) dan 204 o C (FD2) 70

6. Kec. Udara : 20644.55 kg air/kg u.k (FD1) dan 23802.51 kg air/kg u.k. (FD2) 7. Tidak terjadi kekosongan pada feeder oven (kecepatan putar feeder oven benar-benar merefleksikan kecepatan pemasukan pati basah) Tabel 12. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 1 Kecepatan pemasukan pati basah Rpm dengan menggunakan asumsi 2.b kg/jam suhu udara basah 55 57 59 60 61 62 63 64 65 750 5391.23 8.40 8.94 9.48 9.78 10.08 10.31 10.60 10.84 11.12 800 5750.64 10.61 11.10 11.58 11.85 12.11 12.32 12.59 12.79 13.05 850 6110.06 12.48 12.92 13.36 13.60 13.83 14.03 14.26 14.45 14.69 Perkiraan kadar air tapioka kering (%) Berdasarkan Tabel 12, maka proses yang optimal diperkirakan ada pada proses dengan kecepatan pemasukan 750 dan 800 rpm. Tabel 13. Perkiraan kadar air pati kering valve cyclone Flash Dryer 2 Kecepatan pemasukan pati basah Rpm dengan menggunakan asumsi 2.b kg/jam suhu udara basah 55 57 59 60 61 62 63 64 65 650 6485.69 7.81 8.34 8.87 9.16 9.39 9.68 9.91 10.19 10.47 700 6984.59 10.40 10.87 11.33 11.59 11.79 12.04 12.25 12.50 12.74 750 7483.49 12.54 12.95 13.36 13.59 13.77 14.18 14.40 14.62 Perkiraan kadar air tapioka kering (%) Berdasarkan Tabel 13, maka proses yang optimal diperkirakan ada pada proses dengan kecepatan pemasukan 700 rpm. Penggunaan dua asumsi dasar ini bukanlah secara bersamaan, artinya dipilih salah satu yang lebih sesuai dengan kondisi proses yang diinginkan. Asumsi 1 digunakan apabila diinginkan kondisi pengaturan proses yang lebih sederhana sehingga lebih memudahkan operator di dalam melaksanakan instruksi kerja, sedangkan asumsi 2 digunakan apabila pengaturan proses diinginkan lebih sesuai dengan kondisi psikrometri udara dengan konsekuensi instuksi kerja akan lebih rumit bagi operator. 71