BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. kesejahteraan rakyatnya, baik itu dari sisi keuangan, human capital (modal

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Perhatian terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal telah berlangsung baik di

BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Analisis Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

KEBIJAKAN FISKAL MENURUT FUNGSI DI REGIONAL SULAWESI DAN NUSA TENGGARA TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Lampiran 1 Nomor : 6517 /D.3.2/06/2017 Tanggal : 22 Juni Daftar Undangan

Lampiran Surat Nomor : 331/KN.320/J/07/2016 Tanggal : 14 Juli 2016

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

Lampiran Surat No : KL /BIII.1/1022/2017. Kepada Yth :

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. terutama negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan terjadi tatkala

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

Gitta Dewi (Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Tadulako)

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

TUJUAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanpa di sadari hingga saat ini proses reformasi sudah satu dasawarsa telah dilalui, perjalanan sejarah ini merupakan suatu proses arah pembangunan dan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam upaya untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya, baik itu dari sisi keuangan, human capital (modal manusia), perubahan institusi, politik dan sebagainya. Reformasi telah berdampak pada sistem pemerintahan yang dulunya sentralistik menjadi desentralistik, dengan maksud agar daerah otonomi dapat menentukan keputusan, mengatur dan memberikan pelayanan umum yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Perwujudan dari desentralisasi dengan adanya pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melakukan pembelanjaan, pengaturan pemugutan pajak, adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat. Menurut Kuncoro (2004: 3-7) menjelaskan bahwa sistem yang mengatur hubungan fiskal (keuangan) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah telah diatur dalam undang-undang pertama yaitu Undang-undang Nomor 32 tahun 1956. Sebelum terjadinya reformasi di Indonesia, konsep desentralisasi telah ada tetapi masih terbatas pada sistem hubungan antara pusat dan daerah yang berada pada struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi. Sistem hubungan pusat dan daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip berdasarkan Undang-undang Nomor 5/1974, yaitu: Pertama, desentralisasi yang mengadung 1

2 arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenangan dari pemerintah atau kepala atau instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabatpejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan (medebewind) yang berarti pengkordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Ditekankan juga bahwa titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II (Dati II), dengan dasar pertimbangan: Pertama, dimensi politik, Dati II dipadang kurang mempunyai fanastisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatism dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim. Kedua, dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif. Ketiga, Dati II adalah daerah ujung tombak pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II- lah lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Terjadinya otonomi dan desentralisasi fiskal di Indonesia menjadi suatu fenomena yang hingga saat ini menjadi suatu isu yang strategis yang selalu menjadi perbincangan, karena ini menyangkut tentang hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dalam hal keleluasan bertindak pemerintah daerah untuk membuat keputusan penting terhadap kebijakan pembangunan daerah. Selanjutnya untuk memberikan ruang yang jelas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perubahan terhadap pembangunan di daerahnya, maka dirancanglah dan ditetapkan suatu Undang-undang sebagai payung hukum untuk mengatur sistem hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan

3 diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, tambahan Lembaran Negara Nomor 4548) tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 diubah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan lembaran Negara Nomor 4438). Undang-undang ini membawa perubahan pada berbagai aspek, antara lain pada aspek kelembagaan (hubungan antara pemerintah pusat dan daerah) dan aspek keuangan (perimbangan keuangan). Perubahan dalam hubungannya dengan keuangan daerah, dicerminkan pada dana dan program yang sebelumnya dilakukan dengan mekanisme tertutup melalui Inpres dengan arahan penuh dari Pemerintah Pusat, sebagian besar dialihkan menjadi dana alokasi umum yang penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai prioritas daerah. Pembentukan kedua UU ini dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, di mana pendanaan tersebut menganut prinsip money follow function, yang berarti pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah pada setiap tingkatan. Desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan suatu mekanisme pendanaan melalui APBN pada pemerintah pusat dan APBD pada pemerintah daerah yang berkaitan dengan kebijakan keuangan dalam mewujudkan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam jangka panjang dan termasuk didalamnya menjaga ketahanan utang yang berkelanjutan (debt

4 sustainability). Implementasinya diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terdiri dari pajak daerah (Tax Assignment), dana bagi hasil (Revenue Sharing), dan dana alokasi umum serta dana alokasi khusus. Dalam dataran konsep, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada prinsipnya sudah menjadi pilihan strategis yang tepat dalam pergerakan pembangunan di Indonesia sesuai dengan menguatnya arus demokrasi dan partisipasi publik secara luas. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memiliki tujuan ganda, yaitu: Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagai respon atas tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan, yaitu sharing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal juga sebagai strategi memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional (Mardiasmo, 2003). Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bahwa pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyerahan kewenangan tersebut harus diikuti oleh sumbersumber pendanaan atau penganggaran, berarti anggaran daerah memiliki peran yang penting dalam mendukung perencanaan strategi di daerah. Anggaran daerah adalah desain teknis atau cetak biru (blue print) pelaksanaan strategi untuk mencapai visi dan misi daerah dengan cara-cara benar (Mardiasmo, 2002: 176). Implikasi dari otonomi daerah, kewenangan pemerintah pusat kepada

5 pemerintah daerah bukan hanya pada kewenangan administrasi tetapi juga pada desentralisasi fiskal yang menjadi keharusan dalam pelaksanaan keuangan. Dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan pendapatan lain-lainnya yang sah. Dana perimbangan tersebut menurut Undangundang Nomor 33 tahun 2004, yaitu: 1. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. Dana bagi hasil berasal dari pajak dan sumber daya alam, di mana pembagiannya diatur dan ditentukan oleh undang-undang antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang bersumber dari sumber daya alam yaitu pertambangan, minyak bumi dan gas, kehutanan dan perikanan, sedangkan yang berasal dari pajak adalah pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB); 2. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada daerah yang disesuiakan dengan kondisi dan potensi daerah tersebut agar tidak terjadi ketimpangan antardaerah. Pada prinsipnya DAU diberikan untuk menghindari terjadinya fiscal gap antardaerah, menurut Halim (2009: 32) bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (provinsi, kabupaten/kota) ditentukan dengan konsep fiscal gap yaitu kebutuhan DAU daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity), dengan maksud agar dapat menutupi celah tersebut karena

6 kebutuhan suatu daerah melebihi dari penerimaan yang ada; 3. Dana Alokasi Khusus (DAK) menurut Halim (2009: 32) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Kegiatan khusus tersebut telah diatur dalam fungsi yang ditetapkan APBN, dalam pelaksanaannya DAK yang disepakati dengan daerah bersangkutan wajib memberikan dana pendampingan sekurang-kurangnya sebesar 10 persen dari DAK yang dialokasikan di APBD. Perkembangan realisasi dana perimbangan pada Tabel 1.1 yang merupakan transfer pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota melalui APBN yang dialokasikan untuk pelaksanaan desentralisasi. Perkembangan tersebut dapat di lihat pada realisasi APBD kabupaten/kota di Sulawesi dalam waktu 12 tahun terakhir.

7 Tabel 1.1 Perkembangan Dana Perimbangan di Sulawesi dan Indonesia Tahun 2000-2011 Transfer Kabupaten/Kota di Transfer Pusat ke Seluruh Sulawesi Indonesia Tahun DBH DAU DAK DBH DAU DAK (Triliun) (Triliun) (Triliun) (Triliun) (Triliun) (Triliun) 2000 0,15 0,83 0,55 4,45 14,86 9,78 2001 0,45 5,41 0,07 21,18 60,52 0,70 2002 0,44 6,75 0,08 25,50 69,20 0,63 2003 0,61 7,93 0,33 31,37 76,98 2,72 2004 0,70 8,07 0,52 37,90 82,13 2,84 2005 0,86 8,95 1,02 27,98 88,77 4,01 2006 0,92 16,27 1,42 51,64 145,66 11,57 2007 1,55 17,58 2,89 60,50 164,79 17,05 2008 2,06 19,18 3,79 76,59 179,51 21,20 2009 2,38 21,02 3,87 66,07 186,41 24,82 2010 2,44 22,33 3,00 89,62 203,61 21,14 2011 2,20 25,36 3,55 83,56 225,53 25,23 Jumlah 14,78 159,70 21,10 576,36 1.497,96 141,70 Sumber: Dirjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan dan Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, 2000-2011. Berdasarkan Tabel 1.1 di atas menunjukkan perkembangan dana transfer dari tahun 2000-2011 bahwa Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) mengalami peningkatan cukup baik setiap tahunnya, secara kabupaten/kota di Sulawesi maupun nasional. Komponen dana transfer dari Tabel 1.1 menunjukkan bahwa secara nasional dana transfer terbesar adalah DAU sebesar 1.497,96 triliun, kemudian DBH sebesar 576,36 trilliun dan DAK sebesar 141,70 trilliun, sedangkan dana transfer terbesar kabupaten/kota di Sulawesi adalah DAU sebesar 159,70 trilliun, kemudian DAK sebesar 21,10 trilliun dan DBH sebesar 14,78 trilliun. Kenaikan DAU kabupaten/kota di Sulawesi sejak tahun 2000 hingga 2011 sebesar 9,3 persen dari total DAU secara nasional selama dua belas tahun terakhir,

8 sedangkan perkembangan kenaikan DBH kabupaten/kota di Sulawesi sejak tahun 2000 hingga 2011 mencapai 38,9 persen dari total DBH secara nasional selama dua belas tahun terakhir dan DAK kabupaten/kota di Sulawesi sejak tahun 2000 hingga 2011 hanya sebesar 6,7 persen dari total DAK secara nasional selama dua belas tahun terakhir. Perkembangan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan pendapatan domestik bruto, sedangkan perkembangan ekonomi suatu daerah dapat diukur dengan pendapatan domestik regional bruto (PDRB). PDRB per kapita dihitung untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah baik kabupaten maupun kota per penduduk selama satu tahun. Rerata pertumbuhan PDRB per kapita atas harga konstan 2000 setiap tahunnya mengalami peningkatan yang baik secara nasional dalam kurung waktu 12 tahun sebesar 3,84 persen sedangkan di Sulawesi rerata pertumbuhan PDRB per kapita selama 12 tahun terakhir sebesar 4,94 persen. Meskipun rerata pertumbuhan PDRB per kapita di Sulawesi mengalami peningkatan cukup baik, namun PDRB per kapita provinsi di Sulawesi masih berada di bawah rata-rata nasional sebesar Rp8,2 juta/orang sedangkan PDRB per kapita provinis di Sulawesi hanya sebesar Rp4,9 juta/orang. PDRB per kapita provinsi di Sulawesi sebagaimana terlihat pada Gambar 1.1.

Ribu Rupiah 9 12,000 10,000 8,000 8,2 Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan 6,000 4,000 2,000 4,9 Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Sulawesi - Indonesia Rerata Indonesia Tahun Rerata Sulawesi Sumber: BPS, PDRB Provinsi di Indonesia, tahun 2000-2011 Gambar 1.1 PDRB Per Kapita Indonesia dan Sulawesi, 2000-2011 (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan cita-cita yang diharapkan oleh pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam hal ini peningkatan pertumbuhan ekonomi, untuk itu diperlukan tujuan yang dapat menjadi acuan dalam mencapai cita-cata tersebut. Oleh karena itu, tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus menjamin/dapat (Sidik, 2002): 1. kesinambungan kebijaksanaan fiskal dalam konteks kebijaksanaan ekonomi makro dengan tetap memberikan ruang bagi pemerinth pusat untuk mengadakan koreksi atas ketimpangan antardaerah; 2. dapat mengoreksi vertical imbalance; 3. dapat mengoreksi horizontal imbalance;

10 4. meningkatkan efesiensi pengalokasian sumberdaya nasional maupun kegiatan pemerintah daerah; 5. dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan mobilisasi pendapatan secara maupun nasional; 6. meningkatkan akuntabilitas, transparansi, efesiensi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik; 7. memperbaiki keseimbangan fiskal antardaerah dan memastikan adanya peningkatan kualitas pelayanan masyarakat di setiap daerah; 8. menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia menjadi hal yang menarik bagi daerah kabupaten/kota untuk memekarkan diri dengan maksud memberikan pelayanan publik agar lebih dekat dengan masyarakatnya. Pada dasarnya pemekaran daerah merupakan keinginan daerah untuk melakukan pendekatan dalam upaya mempercepat peningkatan kesejateraan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan dalam penerapan kebijakan desentralisasi. Pada Tabel 1.2 menunjukkan perkembangan daerah sebelum pemekaran terdiri dari 26 provinsi, 234 kabupaten dan 59 kota di Indonesia. Dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 sejak tahun 1999 sampai 2009, bertambah menjadi 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota baru. Setelah dikeluarkannya memorandum pemerintah untuk sementara menghentikan pemekaran daerah pada tahun 2010, hingga tahun 2011 jumlah provinsi di Indonesia menjadi 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Ringkasan hasil pemekaran daerah otonom baru dapat di lihat pada Tabel 1.2.

11 Tabel 1.2 Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) Setelah berlakunya UU No. 22/1999 di Indonesia Prov/Kab/ No Tahun Provinsi Kabupaten Kota Kota DOHP Sebelum 1999 26 234 59 319 1 1999 2 34 9 45 2 2000 3 3 3 2001 12 12 4 2002 1 33 4 38 5 2003 47 2 49 6 2004 1 1 7 2005 8 2006 9 2007 21 4 25 10 2008 27 3 30 11 2009 2 2 DOHP Pasca UUNo.22/1999 7 164 34 205 Total Pemda (2009) 33 398 93 524 Sumber: Kuncoro (2012: 300) Tabel 1.3 Daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) juga terjadi pada provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi yaitu sebelum UU No. 22/1999 terdiri dari 4 provinsi, 34 kabupaten, dan 6 kota. Setelah pemekaran bertambah 2 provinsi, 29 kabupaten, dan 4 kota, sehingga menjadi 6 provinsi, 63 kabupaten, dan 10 kota.

12 Tabel 1.3 Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) Setelah berlakunya UU No. 22/1999 di Sulawesi No Tahun Provinsi Kabupaten Kota Prov/Kab/ Kota DOHP Sebelum 1999 4 34 6 44 1 1999 5 5 2 2000 1 1 3 2001 1 1 4 2002 3 1 4 5 2003 11 1 12 6 2004 1 1 7 2005 8 2006 9 2007 6 1 7 10 2008 4 4 11 2009 DOHP Pasca UUNo.22/1999 2 29 4 35 Total Pemda (2009) 6 63 10 79 Sumber: Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri (data diolah) Pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota di Sulawesi serta induk pemekaran daerah setelah UU No. 22/1999 berdasarkan undang-undang secara ringkas dapat dijabarkan pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 Daerah Otonom Baru (DOB) di Sulawesi Tahun 2000-2013 No Daerah Otonom Undang-undang Ibukota Induk Provinsi Baru Pembentukan 1 Kab. Boalemo Tilamuta Kab. Gorontalo Gorontalo No. 50 No. 1999 2 Kab.Banggai Salakan Kab. Banggai Sulteng No. 51 Tahun 1999 Kepulauan 3 Kab. Buol Buol Kab. Buol Toli-Toli Sulteng No. 51 Tahun 1999 4 Kab. Morowali Bungku Kab. Poso Sulteng No. 54 Tahun 1999 5 Kab Luwu Utara Masamba Kab. Luwu Sulsel No. 13 Tahun 1999 6 Prov. Gorontalo * Gorontalo Prov. Sulawesi Sulut No. 38 Tahun 2000 Utara 7 Kota Bau-Bau ** Kab. Buton Sultra No. 13 Tahun 2001 8 Kab. Kepulauan Talaud Melonguane Kab. Sangihe Sulut No. 8 Tahun 2002 Talaud 9 Kab Parigi Moutong Parigi Kab. Donggala Sulteng No. 10 Tahun 2002 10 Kota Palopo ** Palopo Kab. Luwu Sulsel No. 11 Tahun 2002 11 Kab. Mamasa Mamasa Kab. Polewali Sulbar No. 11 Tahun 2002 Mamasa

13 No Daerah Otonom Undang-undang Ibukota Induk Provinsi Baru Pembentukan 12 Kab. Minahasa Selatan Amurang Kab. Minahasa Sulut No. 10 Tahun 2003 * 13 Kab. Minahasa Utara * Airmadidi Kab. Minahasa Sulut No. 33 Tahun 2003 14 Kota Tomohon Kab. Minahasa Sulut No. 10 Tahun 2003 15 Kab. Bone Bolango * Suwawa Kab. Gorontalo Gorontalo No. 6 Tahun 2003 16 Kab. Pohuwato Marisa Kab. Boalemo Gorontalo No. 6 Tahun 2003 17 Kab. Tojo Una-Una * Ampana Kab. Poso Sulteng No. 32 Tahun 2003 18 Kab. Luwu Timur * Malili Kab. Luwu Utara Sulsel No. 7 Tahun 2003 19 Kab. Mamuju Utara * Pasangkayu Kab. Mamuju Sulbar No. 5 Tahun 2003 20 Kab. Kolaka Utara * Lasusua Kab. Kolaka Sultra No. 29 Tahun 2003 21 Kab. Konawe Selatan Andolo Kab. Konawe Sultra No. 4 Tahun 2003 (d/h Kab. Kendari) 22 Kab. Bombana * Rumbia Kab. Buton Sultra No. 29 Tahun 2003 23 Kab. Wakatobi * Wangi-Wangi Kab. Buton Sultra No. 29 Tahun 2003 24 Prov. Sulawesi Barat * Mamuju Prov. Sulawesi Sulsel No. 26 Tahun 2004 Selatan 25 Kab.Bolaang Boroko Kab. Bolaang Sulut No. 10 Tahun 2007 Mongondow Utara * Mongondow 26 Kab. Kep. Siau Ondong Siau Kab. Sangihe Sulut No. 15 Tahun 2007 Tagulandang Biaro (Sitaro) * Talaud 27 Kab. Minahasa Ratahan Kab. Minahasa Sulut No. 9 Tahun 2007 Tenggara * Selatan 28 Kota Kotamobagu Kab. Bolaang Sulut No. 4 Tahun 2007 Mongodow 29 Kab. Gorontalo Utara * Kwandang Kab. Gorontalo Gorontalo No. 11 Tahun 2007 30 Kab. Buton Utara * Buranga Kab. Muna Sultra No. 14 Tahun 2007 31 Kab. Konawe Utara * Wanggudu Kab. Konawe Sultra No. 13 Tahun 2007 32 Kab. Bolaang Tutuyan Kab. Bolaang Sulut No. 29 Tahun 2008 Mongondow Timur * Mongodow 33 Kab.Bolaang Bolaang Uki Kab. Bolaang Sulut No. 30 Tahun 2008 Mongondow Selatan * Mongodow 34 Kab. Sigi * Sigi Biromaru Kab. Donggala Sulteng No. 27 Tahun 2008 35 Kab. Toraja Utara * Rantepao Kab.Tana Toraja Sulsel No. 28 Tahun 2008 36 Kab. BanggaiLaut* Banggai Kab. Sulteng No. 5 Tahun 2013 BanggaiKepulauan 37 Kab. KolakaTimur* Tirawuta Kab. Kolaka Sultra No. 8 Tahun 2013 * Inisiatif DPR RI ** Peningkatan status dari kota administratif menjadi kota otonom Sumber: Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri (data diolah) Bertambahnya Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) akan berdampak pada alokasi dana transfer di daerah yang dari sisi keuangan akan mempengaruhi jumlah penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terjadi penurunan dan mempengaruhi daerah otonom lainnya dalam proses

14 pembangunan karena DAU dan DAK merupakan sumber yang paling besar bagi kabupaten/kota dalam membiayai pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari bukti empiris tersebut di atas menunjukkan bahwa dana perimbangan yang merupakan sumber keuangan terjadi peningkatan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berpengaruh positif. Namun pada kenyataan, kondisi tersebut berbeda dengan apa yang terjadi di Sulawesi tingkat pertumbuhannya masih berada di bawah rata-rata secara nasional. Berdasarkan uraian tersebut, maka desentralisasi fiskal dapat dikatakan belum memberikan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara efesien dan efektif. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dalam bentuk pertanyaan merumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah: 1. Seberapa jauh variasi desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi tahun 2006-2011? 2. Bagaimana desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi sebelum pemekaran tahun 2000 hingga 2005 dan setelah pemekaran tahun 2006 hingga 2011? 3. Bagaimana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tahun 2006-2011?

15 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. menganalisis variasi desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi tahun 2006-2011; 2. menganalisis perbedaan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi sebelum pemekaran tahun 2000 hingga 2005 dan setelah pemekaran tahun 2006 hingga 2011; 3. menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Sulawesi tahun 2006-2011. 1.3.2. Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1. memperkaya khasanah studi empiris bagi kalangan akademisi dalam memahami dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di Sulawesi; 2. sebagai bahan masukan bagi pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi dalam melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. 1.4 Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini secara rinci dibagi dalam lima bab utama, dan secara berurutan disajikan secara sistematis, sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

16 penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Pustaka, yang menjelaskan landasan teori tentang desentralisasi fiskal, anggaran pendapatan dan belanja, human capital, teori pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah dan studi empiris terdahulu, serta keaslian penelitian. Bab III: Metoda Penelitian, menguraikan tentang pendekatan penelitian, definisi operasional variabel yang diamati, jenis dan sumber data, alat analisis, analisis regresi data panel dan model penelitian. Bab IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang menguraikan tentang analisis koefisien variasi, analisis uji beda rata-rata dan analisis regresi data panel. Bab V: Kesimpulan dan Saran, yang menguraikan simpulan hasil penelitian yang telah dilakukan, dan memberikan saran-saran yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan oleh pihak lain sebagai pengambil kebijakan.