BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUA N A.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

I. PENDAHULUAN. sains siswa adalah Trends in International Mathematics Science Study

I. PENDAHULUAN. kita lakukan. Bukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

I. PENDAHULUAN. jenjang pendidikan menengah, sehingga tanggung jawab para pendidik di

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di Indonesia dewasa ini kurang berhasil meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui. pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah seperti tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada rendahnya kualitas pendidikan, dengan adanya kenyataan bahwa

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari peranan dunia

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sering dimunculkan dengan istilah literasi sains (scientific literacy). Literasi

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

I. PENDAHULUAN. penyampaian informasi (transfer of knowledge) dari guru ke siswa. Padahal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Rumpun ilmu IPA erat kaitannya dengan proses penemuan, seperti yang. dinyatakan oleh BSNP (2006: 1) bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berorientasi pada kecakapan hidup (life skill oriented), kecakapan berpikir,

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

PENGARUH METODE INKUIRI TERBIMBING PADA PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA DALAM PRAKTIKUM ANIMALIA

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Julia Artati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukmadinata (2004: 29-30) bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Nuri Annisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prima Mutia Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. (BSNP, 2006). Pendidikan sains ini diharapkan dapat memberikan penguasaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yossy Intan Vhalind, 2014

BAB I PENDAHULUAN. dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar. menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar.

I. PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. menyebabkan arus informasi menjadi cepat dan tanpa batas.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

IDENTIFIKASI KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI DITINJAU DARI ASPEK-ASPEK LITERASI SAINS

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) merupakan ilmu yang berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Dunia pendidikan Indonesia masih menunjukan kualitas sistem dan mutu

BAB I PENDAHULUAN. sarana dalam membangun watak bangsa. Tujuan pendidikan diarahkan pada

BAB I PENDAHULUAN. secara maksimal. Keberadaan buku ajar memberikan kemudahan bagi guru dan. siswa untuk dapat memahami konsep secara menyeluruh.

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP) merumuskan 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

BAB I PENDAHULUAN. optimum hendaknya tetap memperhatikan tiga ranah kemampuan siswa yaitu

Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Unsyiah Volume 2 Nomor 4, Desember 2017

benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, siswa perlu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan keterampilan sepanjang hayat (Rustaman, 2006: 1). Sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Ismail, 2016

BAB I PENDAHULUAN. kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsipprinsip

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

2015 PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. agar teori dapat diterapkan pada permasalahan yang nyata (kognitif), melatih

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK TERHADAP PENCAPAIAN LITERASI KUANTITATIF SISWA SMA PADA KONSEP MONERA

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Literasi sains merupakan salah satu ranah studi Programme for Internasional Student Assessment (PISA). Pada periode-periode awal penyelenggaraan, literasi sains belum menjadi fokus utama, yaitu pada PISA 2000 dan 2003. Namun, pada PISA 2006 literasi sains merupakan ranah utama studi PISA (Ekohariadi, 2009). Dalam konteks PISA, literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami dan membuat keputusan berkenaan dengan alam serta perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (Firman, 2007). PISA mengukur seberapa baik peserta didik usia 15 tahun atau mendekati akhir wajib belajar yang telah dipersiapkan untuk menghadapi tantangan masyarakat modern yang berbasis pengetahuan dan mendeskripsikan seberapa jauh siswa mampu mengaplikasikan pengetahuan dalam konteks yang terkait kehidupannya. Literasi sains saat ini dianggap sebagai hal yang penting, karena merupakan suatu kompetensi dasar bagi siswa dalam memahami berbagai aspek dalam kehidupan. Indonesia termasuk salah satu negara yang mengikuti PISA. Kemampuan literasi sains siswa Indonesia pada tahun 2000 (tahun pertama diselenggarakan PISA), berada di urutan ke-38 dari 41 negara peserta. Pada periode kedua (2003), Indonesia tetap berada pada urutan ke-38 dari 40. Pada periode ketiga yaitu tahun 2006, Indonesia berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta. Hasil survei terbaru yaitu pada tahun 2009, kemampuan literasi sains anak Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 65 negara peserta (Zuriyani, 2011). Menurut Firman (2007), tingkat literasi sains peserta didik pada usia 15 tahun di Indonesia rendah. Rendahnya kemampuan literasi sains siswa tersebut disebabkan oleh kurikulum, pembelajaran, dan asesmen IPA di Indonesia yang mengedepankan dimensi konten dan melupakan dimensi konteks serta proses sebagaimana yang dituntut dalam PISA. Hal tersebut dapat mengindikasikan

2 rendahnya kualitas siswa Indonesia, terutama dalam memecahkan masalahmasalah secara ilmiah dalam situasi nyata dan dalam memecahkan permasalahan lingkungan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ekohariadi (2009: 37), tinggi rendahnya literasi/kemampuan sains siswa juga dipengaruhi secara positif oleh sikap siswa terhadap sains. Salah satu penyebab dari rendahnya skor literasi sains siswa Indonesia adalah pada proses pembelajaran IPA di sekolah (Firman: 2007). Transfer pengetahuan dari guru ke siswa sebagian besar disampaikan dengan mendengarkan penjelasan ataupun ceramah mengenai suatu konsep yang bersifat abstrak. Sehingga siswa sulit untuk memahami konsep tersebut. Padahal suatu konsep dapat disajikan dengan metode lain, yaitu siswa dapat mengamati objek secara langsung. Selain itu, ketika siswa dihadapkan pada objek secara langsung, dalam prosesnya banyak kemampuan yang dapat muncul. Pengamatan objek secara langsung dapat memberikan pengalaman yang berbeda terhadap siswa dibandingkan dengan hanya mendengarkan penjelasan saja. Pengalaman tersebutlah yang akan membentuk pengetahuan siswa. Pada hakikatnya IPA dibangun atas dasar proses ilmiah, produk ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, IPA dipandang pula sebagai suatu prosedur. IPA sebagai proses, diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru. IPA sebagai produk, diartikan sebagai hasil dari proses yaitu berupa pengetahuan. IPA sebagai prosedur, diartikan sebagai suatu cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (Donosepoetro dalam Trianto, 2010). Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) erat kaitannya dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis. Sehingga IPA tidak hanya merupakan penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006). Pendidikan IPA diarahkan untuk berinkuiri sehingga dapat membantu peserta didik dalam memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry), agar dapat menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja

3 dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di SMP menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (BSNP, 2006). Sikap ilmiah merupakan salah satu hasil yang paling penting dari pembelajaran sains. Sebagian orang berpendapat bahwa sikap ilmiah sama pentingnya dengan aspek pengetahuan. Untuk mengembangkan sikap ilmiah, guru harus selalu memperhatikan adanya pertanyaan-pertanyaan dan semangat penyelidikan, sehingga pembelajaran sains tidak hanya berupa penerimaan dogma (Rani dan Rao, 2007). Pada saat ini, pembelajaran IPA di sekolah lebih cenderung bersifat teachercentered, dimana guru mengajarkan IPA hanya sebagai suatu produk. Siswa hanya menghafalkan konsep, teori, dan hukum. Selain itu, pembelajaran pun hanya berorientasi pada tes/ujian. Sehingga, IPA sebagai proses, sikap, dan aplikasi tidak dikuasai oleh siswa. Akibatnya, siswa hanya mempelajari IPA pada domain kognitif terendah (Trianto, 2010). Padahal, perkembangan kognitif siswa dilandasi oleh gerakan dan perbuatan (Semiawan, 1990). Guru sebagai pendidik harus berperan menyiapkan kegiatan pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk bertanya, mengamati, melakukan percobaan, dan menemukan fakta dan konsep sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diadakan perubahan pada cara pembelajaran IPA di sekolah. Pembelajaran IPA yang semula hanya guru yang aktif, dan siswa pasif menjadikan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Untuk membuat siswa aktif, maka sebaiknya pembelajaran IPA diajarkan dengan cara inkuiri ataupun praktikum sesuai dengan yang tercantum dalam BSNP (2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Humaira (2012), penerapan discovery learning memberikan pengaruh pada sikap siswa dalam pembelajaran guided inquiry, seperti rasa keingintahuan yang tinggi dan keaktifan siswa dalam bertanya saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Hal tersebut juga mempengaruhi pada kemampuan literasi inkuiri ilmiah. Namun, model

4 pembelajaran berbasis inkuiri dalam pembelajaran sains tidak efektif jika tidak diimplementasikan secara keseluruhan dari tingkatan inkuiri. Oleh karena itu, sebaiknya terlebih dahulu siswa terbiasa dengan pembelajaran yang bersifat penemuan (discovery learning), interactive demonstration, dan inquiry lesson (Wenning, 2012 dalam Humaira 2012). Pada salah satu tingkatan inkuiri terdapat pembelajaran inquiry lesson. Pembelajaran pada tingkatan ini, guru mulai menunjukkan proses ilmiah secara eksplisit kepada siswa dengan menekankan pada penjelasan yang dapat membantu siswa untuk memahami bagaimana cara melakukan eksperimen, mengidentifikasi, mengontrol variabel, dan yang lainnya. Pada tahap ini, siswa sudah diarahkan pada kegiatan percobaan ilmiah, namun masih terdapat bimbingan langsung dari guru (Wenning, 2004). Pemilihan materi fotosintesis dikarenakan bahwa materi tersebut merupakan topik yang penting dalam kurikulum pembelajaran biologi. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariandini (2013), terjadi miskonsepsi pada konsep fotosintesis yang sumbernya berasal dari diri siswa, salah satunya adalah cara belajar siswa yang termasuk hapalan, dan minat belajar siswa yang kurang. Sehingga sebaiknya materi fotosintesis disampaikan kepada siswa dengan pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman belajar secara langsung kepada siswa, salah satunya yaitu dengan praktikum. Kegiatan praktikum fotosintesis tersebut dapat diarahkan untuk praktikum inkuiri. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti melakukan penelitian untuk mengukur literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP pada sub konsep fotosintesis dengan menggunakan salah satu tingkatan inkuiri yaitu inquiry lesson. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimana peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap lmiah siswa SMP yang mendapatkan pembelajaran inquiry lesson dengan pembelajaran konvensional pada materi fotosintesis?

5 Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: 1. Bagaimana keterlaksanaan tahapan model pembelajaran inquiry lesson kelas eksperimen pada materi fotosintesis? 2. Bagaimana perbedaan dan peningkatan kemampuan literasi sains siswa sebelum dan setelah diterapkan pembelajaran inquiry lesson pada kelas eksperimen dan kontrol pada materi fotosintesis? 3. Bagaimana capaian siswa pada tiap kompetensi literasi sains setelah diterapkan pembelajaran inquiry lesson pada kelas eksperimen dan kontrol pada materi fotosintesis? 4. Bagaimana perbedaan dan peningkatan kemampuan sikap ilmiah siswa sebelum dan setelah diterapkan pembelajaran inquiry lesson pada kelas eksperimen dan kontrol pada materi fotosintesis? 5. Bagaimana capaian siswa pada tiap indikator sikap ilmiah setelah diterapkan pembelajaran inquiry lesson pada kelas eksperimen dan kontrol pada materi fotosintesis? C. Batasan Masalah Pelaksanaan penelitian dibatasi pada beberapa hal agar lebih terarah. Adapun masalah yang diteliti dibatasi pada hal-hal sebagai berikut: 1. Subjek penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII semester genap tahun ajaran 2012/2013 di SMP Negeri 12 Bandung. 2. Materi fotosintesis yang digunakan lebih spesifik pada faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fotosintesis, dalam hal ini pengaruh konsentrasi karbondioksida terhadap laju fotosintesis (percobaan Ingenhouz). 3. Inquiry lesson yang dimaksud merupakan salah satu tingkatan inquiry (Wenning, 2004). 4. Literasi sains yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada kerangka literasi sains PISA 2006 yang bertujuan untuk mengevaluasi kompetensi ilmiah, pengetahuan, dan sikap siswa (Organization for Economic Cooperation and Development, 2007).

6 D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP yang mendapatkan pembelajaran inquiry lesson dengan pembelajaran konvensional pada materi fotosintesis. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi siswa a. Mengembangkan pencapaian kemampuan literasi sains. b. Menumbuhkan kemampuan berpikir dan bersikap ilmiah, sehingga siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. 2. Bagi guru a. Memberikan alternatif dalam pemilihan model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan siswa. b. Memberikan informasi mengenai ketercapaian literasi sains dan sikap ilmiah siswa, sehingga dapat digunakan sebagai umpan balik untuk lebih meningkatkan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa. 3. Bagi peneliti lain Penelitian ini dapat dijadikan referensi ataupun sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian sejenis. F. Asumsi 1. Dalam strategi inkuiri, siswa dilatih memecahkan masalah ilmiah, meningkatkan pemahaman terhadap sains, mengembangkan keterampilan belajar sains, dan literasi sains (Oates dalam Arnyana, 2006). 2. Pembelajaran berbasis inkuiri dapat melatih siswa untuk memiliki sikap ilmiah, karena inkuiri melibatkan seluruh kemampuan siswa secara maksimal untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, dan analitis, sehingga siswa pun dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri (Hermawati, 2012).

7 3. Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat mendukung kegiatan siswa dalam mempelajari proses sains, dimana siswa akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai suatu konsep, sehingga dapat mengarahkan siswa untuk bersikap ilmiah dan mendapatkan pengetahuan lebih mengenai penelitian ilmiah yang sebenarnya (National Science Teacher Association, 2003). G. Hipotesis Berdasarkan asumsi yang telah dikemukakan, maka hipotesis pada penelitian ini adalah: H 0 : Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP yang mendapatkan pembelajaran inquiry lesson dengan pembelajaran konvensional pada materi fotosintesis. H 1 : Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP yang mendapatkan pembelajaran inquiry lesson dengan pembelajaran konvensional pada materi fotosintesis.