Inovasi Kultur Jaringan Kelapa Sawit

dokumen-dokumen yang mirip
GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1)

Regenerasi Tanaman secara In Vitro dan Faktor-Faktor Yang Mempenaruhi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

13/10/2012 PENDAHULUAN. REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.)

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

LAMPIRAN. Lampiran 1. Persentase Data Pengamatan Kultur yang Membentuk Kalus. Ulangan I II III. Total A 0 B

PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN

BAB III METODE PENELITIAN

LAMPIRAN. Persiapan alat dan bahan. Sterilisasi alat. Pembuatan media. Inisiasi kalus. Pengamatan. Penimbangan dan subkultur.

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan

Lampiran 1. Data Pengamatan Jumlah Muncul Tunas (Tunas) PERLAKUAN ULANGAN

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara.

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

Kontaminasi No Perlakuan U1 U2 U3 U4 U5 U6 Total 1 B B B B B

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

III. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TEKNOLOGI KULTUR JARINGAN PERBANYAKAN TANAMAN SELAIN BENIH. Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Pertama BBP2TP Surabaya

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai lebih dari 800 juta US$ dan meningkat menjadi lebih dari 1.2 milyar

Lampiran 1. Deskripsi Varietas Kedelai. Varietas Anjasmoro

I. PENDAHULUAN. di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di

BAB I PENDAHULUAN. Tumbuhan tegakan berkayu banyak tumbuh dalam ekosistem hutan.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tugas Akhir - SB091358

DAFTAR LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE. Histodifferensiasi Embrio Somatik

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS

BAB I PENDAHULUAN. memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Bagi Indonesia, kakao merupakan sumber

KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

Tentang Kultur Jaringan

Isi Materi Kuliah. Pengertian Kalus. Aplikasi Kultur Kalus. Kultur Kalus 6/30/2011

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASA. Proses Pengadaan Bahan Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahun mencapai US$ 681 juta pada tahun 2011 (FAO, 2013). Kopi memegang

Membuat Larutan Stok A. Teori kepekatan jumlah larutan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi tinggi. Pada tahun 2014, total produksi biji kopi yang dihasilkan

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis

BAB I PENDAHULUAN. yang produknya digunakan sebagai bahan baku industri serta sangat penting

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya

LAMPIRAN K1.5 K4.5 K1.3 K3.3 K3.5 K4.4 K2.3 K4.3 K3.2 K5.2 K2.1 K5.3 K3.1 K4.1 K5.4 K1.2 K4.2 K5.5 K3.4 K5.1 K1.4 K2.5 K2.2 K1.1 K2.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas

Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

I. PENDAHULUAN. sebutan lain seruni atau bunga emas (Golden Flower) yang berasal dari

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN

PENGARUH FASE PERKEMBANGAN EMBRIO SOMATIK KOPI ROBUSTA (C

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Jati Emas (Cordia subcordata) kultur in vitro dengan induk tanaman pada mulanya berasal dari Myanmar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. keunggulan dalam penggunaan kayunya. Jati termasuk tanaman yang dapat tumbuh

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

Inovasi Kultur Jaringan Kelapa Sawit Perluasan lahan kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya, bahkan perusahaan perkebunan negara yaitu PT. Perkebunan Nusantara berencana untuk mengembangkan sekitar 1,8 juta hektar perkebunan kelapa sawit di kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia. Dengan demikian diperlukan bibit dalam jumlah yang sangat banyak. Perbanyakan secara generatif akan menghasilkan tanaman yang beragam karena kelapa sawit merupakan tanaman yang menyerbuk silang. Dengan demikian harus dilakukan perbanyakan secara vegetatif. Teknologi perbanyakan klonal secara konvensional tidak mungkin dilakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan bibit yang banyak dalam waktu yang singkat. Salahsatu teknologi alternatif yang menjanjikan adalah teknologi kultur jaringan. Melalui teknologi tersebut telah banyak tanaman yang dapat diperbanyak secara masal, seragam dan dengan waktu yang relatif singkat. Penelitian perbanyakan melalui kultur jaringan sebenarnya telah mulai dirintis sejak lebih dari tiga dasawarsa yang lalu oleh ORSTORM-IRHO/CIRAD Perancis (Rabechault et al., 1972) dan Unilever Inggris (Smith dan Thomas, 1973). Sejak itu teknologi perbanyakan kelapa sawit banyak dilakukan dengan regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik. Di masa mendatang khususnya untuk tanaman kehutanan dan tanaman berkayu lainnya, perbanyakan melalui embriogenesis somatik lebih banyak mendapat perhatian terutama untuk produksi benih somatik. Jumlah bibit

yang dihasilkan per satuan wadah per satuan waktu lebih banyak daripada cara perbanyakan lainnya. Untuk mendukung program pemuliaan tanaman khususnya rekayasa genetik, jalur embriogenesis somatik lebih disukai karena tanaman dapat berasal dari satu sel somatik, sehingga akan memberikan kepastian hasil yang lebih tinggi dengan mengurangi resiko dihasilkannya khimera (Mariska, 1997). Di samping keuntungan, terdapat beberapa kendala penerapan embriogenesis yaitu: peluang terjadinya mutasi lebih tinggi, metoda lebih sulit, masalah dormansi, daya morfogenesis dari kalus embrionik menurun karena berulang serta memerlukan penanganan yang lebih intensif karena kultur lebih rapuh. Untuk mengatasinya diperlukan penguasaan teknologi perbanyakan yang efisien dengan mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan regenerasi. Dari hasil penelitian sebelumnya telah diperoleh formulasi media untuk pendewasaan dan perkecambahan. Telah diperoleh pula struktur globular yang banyak jumlahnya tumbuh di atas permukaan kalus serta struktur embrio somatik dewasa, kecambah dan tunas. Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan dilakukan dengan regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik. Melalui jalur tersebut sampai saat ini banyak dilaporkan adanya kendala abnormalitas yang dikenal dengan istilah buah bersayap ( mantled ) (Corley et al., 1986), dapat terjadi sekitar 5-10% pada populasi bibit asal kultur jaringan, bahkan menurut Subronto et al., (1995) dapat menurunkan produksi sampai 40%. Namun demikian dapat terjadi pemulihan kembali seiring dengan waktu, dan kondisi ini disebut epigenetik (Tregear et al., (2002). Untuk tingkat abnormalitas yang rendah pemulihan menjadi fenotipe yang normal kembali dapat mencapai 100% dan 50% untuk tingkat abnormalitas yang berat dengan waktu pemulihan 9 tahun (Rival et al., 1998). Perubahan sifat genetik atau epigenetik dapat disebabkan oleh frekuensi dan umur kalus (Paranjothy et al., 1993; Euwens et al., 2002), jenis eksplan dan kecepatan proliferasi kalus (Skirvin et al., 1984; Karp, 1995), serta zat pengatur tumbuh (Euwens et al., 2002). Di antara zat pengatur tumbuh auksin yang banyak dilaporkan dapat menyebabkan perubahan genetik adalah 2,4-D (Deambrogio dan Dale, 1980). Dengan interval 8 minggu terjadi pembentukan 2-5% buah bersayap, tetapi dengan yang pendek 2 minggu persentase abnormalitas dapat mencapai 42-60%. Dengan umur embrioid yang pendek masa inkubasinya maka persentase buah bersayap menurun secara drastis, kecuali dengan perlakuan interval 4 minggu dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi (Euwens et al., 2002). Umur embrioid yang lama (1 tahun) dapat menyebabkan tingginya abnormalitas (Euwens et al., 2002). Di samping itu pengggunaan daun muda dapat mempengaruhi tanggap eksplan terhadap perlakuan tergantung pada letaknya terhadap apeks. Penggunaan media dasar dapat pula berpengaruh terhadap keberhasilan perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan (Muniran et al., 2001). Untuk induksi kalus embriogenik kelapa sawit, Sianipar et al., (2007) menggunakan media MS yang diperkaya 2,4-D 100 mg/l, kinetin 0-1 mg/l, air kelapa

10% serta arang aktif. Dengan formulasi media di atas terjadi variasi struktur yang sangat tinggi pada pembentukan embrio somatik mulai dari tahap globular sampai dengan kotiledon. Untuk proliferasi kalus embriogenik digunakan media De Fossard. Pada tahap pendewasaan embrio somatik, Sumaryono et al., (2007) menanam kalus pada media MS ditambah 2,4-D 1 mg/l, kinetin 0,1 mg/l, air kelapa 10% dan kasein hidrolisat 100 mg/l. Kalus yang terbentuk kemudian diproliferasi pada media De Fossard yang diberi 2,4-D 5 mg/l dan kinetin 0,1 mg/l. Pada tanaman yang sama yaitu kelapa sawit, Duval et al., (1994) berhasil mendapatkan kalus embriogenik dengan memakai garam makro MS, garam mikro Nitsch s (1969), vitamin Morel dan Vettmore (1951) yang diberi adenine sulfat 30 mg/l, 2,4-D 99,5 mg/l dan BA 1 mg/l. Dari percobaan tersebut di atas umumnya menggunakan arang aktif dan auksin 2,4-D dengan konsentrasi yang tinggi. Dengan demikian penentuan formulasi media merupakan salahsatu faktor penting dalam perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan. Strategi penetapan teknologi yang baik sangat penting dilakukan, antara lain penggunaan formulasi media yang tepat sehingga dapat mempercepat proses produksi, jumlah bibit yang dihasilkan, serta dapat menekan tingkat abnormalitas buah bersayap. Demikian pula subkultur harus diatur dengan tepat agar masalah abnormalitas dapat ditekan. Beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik antara lain produksi kalus embriogenik, tahap pendewasaan

kalus, tahap perkecambahan, tahap kotiledon dan pembentukan benih somatik (Mariska, 1997). Setiap tahapan tersebut memerlukan formulasi media yang berbeda. Pada tahap awal yaitu pembentukan kalus embriogenik diperlukan auksin dengan konsentrasi yang tinggi dan kondisi ini dapat menyebabkan gangguan ekspresi gen yang diakibatkan zat pengatur tumbuh (Paranjothy et al., 1993). Struktur kalus yang remah dan pertumbuhan yang cepat dapat menyebabkan abnormalitas yang sangat tinggi (Duran et al., 1993; Jaligot et al., 2000). Perbaikan metoda kultur jaringan telah dilakukan dengan berbagai teknik untuk menekan terjadinya buah bersayap. Walaupun memberikan hasil yang cukup baik tapi masih ada yang menunjukkan abnormalitas buah bersayap (Soh, 2006). Di Malaysia, buah bersayap meningkat sampai 80% selama 3-4 tahun proses regenerasi kultur (Euwens et al., 2002). Terjadinya abnormalitas pada tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan cukup tinggi namun tetap diminati karena berdasarkan satuan tanaman, produktifitas tanaman hasil kultur jaringan terbukti lebih tinggi 23 sampai 39% dibandingkan tanaman asal benih (Subronto et al., 1995). Dengan jaminan tingkat abnormalitas yang rendah (5-10%) bibit asal kultur jaringan tetap diminati. Oleh karena itu diperlukan protokol teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan kelapa sawit dengan tingkat abnormalitas yang rendah, yaitu mencoba jenis auksin lain pada konsentrasi yang optimal, dengan frekuensi yang rendah dan kombinasi jenis auksin yang daya aktifitasnya lebih rendah. Penggunaan auksin dengan daya aktifitas yang tidak sekuat 2,4-D, tetap mampu menginduksi pembentukan kalus embriogenik meskipun pertumbuhannya tidak secepat pada media dengan menggunakan 2,4-D. Penambahan auksin jenis NAA, pikloram dan dicamba tetap mampu menginduksi pembentukan kalus. Penelitian Penelitian kultur jaringan kelapa sawit ini merupakan kerjasama dengan PT. Katingan Indah Utama yang telah berjalan sejak tahun 2008 dan direncanakan hingga 2013. Penelitian dilakukan di laboratorium kultur jaringan, Kelompok

Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, BB-BIOGEN, Bogor. Langkah pertama dari penelitian ini adalah pengambilan sumber eksplan dari ortet (tanaman terpilih) yang berupa umbut (daun muda) atau spear yang belum membentuk klorofil. Ortet merupakan tanaman D x P asal Costa Rica dan Socfindo yang terletak di Kebun Santilik, PT. Intiga Prabakara Kahuripan dan Kebun Mentaya, PT. Katingan Indah Utama. Langkah sebelum penanaman eksplan yaitu umbut dipotong dengan ukuran 2-4 cm kemudian disterilisasi berturut-turut dengan alkohol 70% selama 5 menit, klorox 20% selama 5 menit, larutan glukosa selama 30 menit dan terakhir dibilas dengan aquades steril sebanyak 3 kali. Eksplan yang ditanam berupa daun muda yang dipotong-potong dengan ukuran 1-1.5 cm tanpa dibuka sehingga terdiri dari 2 helaian daun yang saling menutupi. Eksplan kemudian ditanam di dalam botol yang terdiri atas 4 potongan daun. Botol kultur selanjutnya disimpan dalam ruang kultur bersuhu ± 25 o C 27 o C dalam kondisi gelap hingga terbentuk kalus. Setiap 8 minggu setelah tanam dilakukan subkultur pada formulasi media yang sama. Tabel 1. Komposisi media dasar MS modifikasi dan Vitamin MV NO. GARAM MINERAL MS HARA MAKRO mg/l 1. KNO 3 600 2. NH 4 NO 3 650 3. CaCl 2.2H 2 O 180 4. MgSO 4.7H 2 O 150 5. KH 2 PO 4 350 HARA MIKRO mg/l 1. MnSO 4. 4H 2 O 18,9 2. ZnSO 4.7H 2 O 10 3. H 3 BO 3 10 4. KI 0,83 5. Na 2 MoO 4.2H 2 O 0,25 6. CuSO 4.5H 2 O 0,025 7. CoCl 2.6H 2 O 0,025 8. FeSO 4.7H 2 O 27,85 9. Na 2 EDTA.2H 2 O 37,25 VITAMIN MV mg/l 1. Inositol 100

2. Thiamine-HCl 1,0 3. Nicotinic Acid 1,0 4. Pyridoxine-HCl 1,0 5. Ca pantothenate 1,0 6. Biotin 0,01 Keterangan : Vitamin MV = Vitamin Morel & Vettmore Media dasar yang digunakan adalah media MS modifikasi, vitamin MV (Tabel 1), arang aktif dan media dipadatkan dengan penambahan gelrite 2 g/l. Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan adalah pikloram dan NAA untuk media induksi kalus, 2,4-D dan BA untuk proliferasi kalus, serta BA dan kinetin untuk media perkecambahan. Kemasaman (ph) media diatur pada skala 4.5-5 dengan KOH atau HCl 0,1 N. Media yang sudah dimasukkan dalam botol kultur kemudian disterilkan dengan autoclave pada suhu 121 o C dengan tekanan 1 kg/cm 2 selama 20 menit. Setelah media steril, dibiarkan selama beberapa hari (1-7 hari). Setelah itu, eksplan yang berupa potongan daun muda segera ditanam di media. Eksplan yang ditanam adalah spear 12, spear 13, spear 14 dan spear 15. Selain menanam eksplan daun muda pada media induksi kalus KS 40, penelitian juga meneruskan kegiatan tahun sebelumnya yaitu subkultur kalus embrionik dan struktur embrio somatik (globular, torpedo) dari spear 1-10 dan menguji reproduksibilitas spear 1-b. Penelitian tersebut bertujuan untuk induksi dan proliferasi kalus serta subkultur struktur embrio somatik yang mulai dewasa dari spear 1-3. Metode Penelitian kultur jaringan kelapa sawit dimulai sejak tahun 2008. Pada tahun pertama dan kedua mencari metoda untuk pertumbuhan kalus embriogenik dan regenerasinya membentuk struktur embrio somatik tahap awal (globular dan hati). Tahun ketiga penelitian diarahkan menggunakan media terbaik yang dihasilkan tahun pertama dan kedua untuk mengetahui reproducibility metoda yang dihasilkan dan regenerasinya membentuk struktur embrio dewasa dan pembentukan kecambah serta tunas. Pada tahun yang sama diharapkan tunas dapat memanjang sehingga dapat diakarkan pada media perakaran. Pada tahun keempat kalus dan embrio somatik yang belum beregenerasi membentuk kecambah dan tunas disubkultur pada media baru. Apabila pada tahun ketiga sudah dapat dihasilkan plantlet maka dilakukan aklimatisasi serta akan dilakukan pula perakaran secara ex vitro. Kegiatan penelitian di laboratorium dan lapangan. Kegiatan di laboratorium untuk melakukan perbanyakan melalui kultur jaringan (pembuatan dan sterilisasi media tanam), penanaman eksplan, penyimpanan botol kultur pada ruang inkubasi serta pengamatan biakan. Untuk kegiatan lapang antara lain pengambilan

umbut sebagai sumber eksplan (bahan tanaman) yang akan ditanam secara kultur jaringan. Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahun anggaran Pebruari 2011 Pebruari 2012 meliputi: 1) penanaman eksplan daun dari spear 12, 13, 14 dan 15, 2) subkultur kalus embriogenik dan struktur embrio somatik dan 3) induksi akar pada tunas in vitro. 1. Penanaman eksplan daun muda dari spear 12, 13, 14 dan 15 Isolasi dan penanaman eksplan (spear A, B, C, D dan E) spear 12 dan 13 dilakukan pada bulan Maret dan April 2011. Formulasi media yang digunakan adalah KS 40 yaitu MS + arang aktif + NAA + picloram. Eksplan daun muda yang belum mampu menginduksi kalus disubkultur pada media KS 40 setiap 2-3 bulan sekali dengan frekuensi maksimal 5-6 kali. Apabila kalus telah terbentuk maka dilakukan subkultur untuk memisahkan daun yang berkalus dan tidak, subkultur dilakukan pada media KS 40. Untuk spear 14 dan 15 penanaman dilakukan pada awal bulan Agustus 2011 dan Pebruari 2012 dengan perlakuan yang sama dengan spear 12 dan 13. 2. Subkultur kalus embriogenik dan struktur embrio somatik Kalus yang berasal dari spear 1-11 yang diinduksi pada media KS 40 disubkultur kembali pada media yang sama untuk proliferasi kalus. Subkultur dilakukan berulang setiap 2-3 bulan dengan frekuensi maksimal 5-6 kali. Apabila pembentukan kalus nodular sudah terbentuk pada media subkultur dengan frekuensi rendah (2-3 kali) maka kalus dapat langsung disubkultur pada media pendewasaan. Kalus yang menunjukkan pembentukan struktur embriosomatik globular disubkultur pada media pendewasaan yaitu media KS 75 (MS + arang aktif + 2,4-D + BA + Adenin Sulfat). Disamping itu dapat pula disubkultur pada media pendewasaan lainnya yaitu KS 40 + GA3, KS 40 ½ zat pengatur tumbuh (ZPT) + vitamin Morel dan Vettmore (MV). Vitamin MV = Meso inositol 100 mg/l + Tiamin 1 mg/l + Piridoksin 1 mg/l + Asam Nikotinat 1 mg/l + Ca pantotenat 1 mg/l + Biotin 0,01 mg/l (Tabel 1). Untuk memacu pembentukan struktur bipolar dan tunas. Struktur embrio somatik dewasa disubkultur kembali pada media MS modifikasi + BA + Kinetin + antioksidan. Apabila pertumbuhan ke arah pemanjangan lambat maka ke dalam media diberikan pula GA3. Pengamatan dilakukan pada bulan Agustus 2011 sampai dengan Pebruari 2012. Peubah yang diamati yaitu jumlah kalus, jumlah embrio somatik, jumlah tunas, serta visual biakan. Disamping itu dilakukan pula pengamatan pada jumlah eksplan yang ditanam. 3. Induksi akar pada tunas in vitro Tunas yang diperoleh pada tahap sebelumnya dan panjangnya sudah mencapai ± 4 cm disubkultur pada media perakaran yaitu MS ½ + IBA kombinasi dengan NAA

+ asam amino + antisoksidan). Peubah yang diamati yaitu waktu inisiasi akar, panjang dan jumlah akar serta visual biakan. Hasil Penelitian Penanaman eksplan daun muda dari spear 12, 13, 14 dan 15 Penanaman eksplan daun muda spear 12 dan 13 dilakukan pada bulan Maret dan April 2011 pada media yang telah teruji dapat menginduksi kalus embriogenik yaitu KS 40. Sampai saat ini dari spear tersebut belum ada eksplan yang membentuk kalus (Tabel 2). Untuk spear 14 penanaman dilakukan pada awal bulan Agustus 2011. Dari spear 14 sudah ada eksplan daun muda yang membentuk Gambar 1. Eksplan jaringan daun muda dari spear 14 pada KS 40 yang sudah membentuk struktur globular kalus berbentuk globular (Gambar 1) walaupun spear 14 ditanam bulan Agustus dibandingkan spear 12 dan 13 (Maret dan April) tetapi dengan pohon induk yang berbeda (dengan varietas yang sama dan berasal dari lokasi yang sama) memberikan respon yang berbeda pula. Dengan demikian kondisi fisiologis pohon induk sangat menentukan keberhasilan. Awal bulan Pebruari 2012 telah ditanam spear 15 pada formulasi media yang sama yaitu KS 40. Dari spear 11 yang ditanam pada bulan Oktober 2010 telah terbentuk sebanyak 46 kalus embriogenik (pada bulan Januari 2011) dan Pebruari 2012 sudah terbentuk sebanyak 96. Terjadi peningkatan kemampuan dalam membentuk populasi sel somatik. Kandungan zat pengatur tumbuh (ZPT) NAA kombinasi dengan picloram nampaknya mampu memacu proses dediferensiasi sel pada beberapa spear tertentu, tetapi pada spear lain yaitu 12 dan 13 tidak dapat memacu pembentukan kalus. Media KS 40 merupakan formulasi media yang sudah teruji dari hasil percobaan sebelumnya (Mariska, dkk., 2008 dan 2009 a+b ). Gaba (2005) menyatakan bahwa sifat genetik pohon induk sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan melakukan proses dediferensiasi. Kondisi tersebut dibuktikan dari hasil penelitian ini yang menunjukkan adanya spear tertentu dari pohon induk yang berbeda, ada eksplan yang tidak mampu membentuk kalus embriogenik, walaupun sudah mengalami periode kultur in vitro yang lama (Tabel 2). Nampaknya kondisi iklim sangat berpengaruh pula pada kondisi fisiologis pohon induk, hal tersebut terlihat dari kemampuan spear 1 dan 1-B melakukan proses dediferensiasi. Eksplan jaringan daun muda yang berasal dari spear 1-B pohon induknya sama dengan spear 1. Sekitar 1,5 tahun setelah isolasi bahan tanaman yang pertama (April 2008), maka tunas tumbuh kembali. Untuk mengetahui reproducibility formulasi media KS 40 maka dilakukan pemotongan kembali umbut daun muda dari pohon induk yang sama (Nopember 2009). Namun hasil yang diperoleh sangat berbeda, hanya 3 kalus embriogenik yang terbentuk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

dengan kondisi fisiologis pohon induk yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula, walaupun ditanam pada formulasi media yang sama yaitu KS 40. No Spear Tabel 2. Kondisi biakan sampai dengan bulan Pebruari 2012 (torpedo, struktur bipolar) Waktu Penanaman Jumlah Eksplan (botol)* Jumlah Kalus (botol)** Jumlah Kalus embriogenik (botol)** Jumlah Embrio Somatik (botol)** Tunas (botol) 1 April 2008 0 0 3 16 2 2 Juni 2008 0 0 3 6 0 3 Agustus 2008 0 0 23 40 8 4 Nopember 2008 0 0 1 0 0 5 Januari 2009 11 0 3 0 0 6 April 2009 0 0 31 0 0 7 Juli 2009 127 0 14 0 7 8 Oktober 2009 43 0 21 0 0 9 Nopember 2009 20 0 1 0 0 10 Juli 2010 27 0 47 0 0 1-B Nopember 2009 28 0 3 0 0 11 Oktober 2010 45 3 96 2 0 12 Maret 2011 183 5 0 0 0 13 April 2011 312 12 0 0 0 14 Agustus 2011 10 0 3 0 0 15 Pebruari 2012 A 114 0 0 0 0 B 196 0 0 0 0 C 186 0 0 0 0 D 95 0 0 0 0 E 40 0 0 0 0 F 15 0 0 0 0 Total 1452 20 310 64 17 Keterangan : * Satu botol biakan berisi empat eksplan ** Satu botol biakan berisi satu hingga puluhan kalus embrionik, embrio somatik dewasa, kecambah (struktur bipolar) Jumlah kalus yang paling banyak tetap berasal dari spear 1 yaitu 95. Dari spear 1, 2 dan 3 kalus embriogenik telah disubkultur berulang kali pada media pendewasaan, perkecambahan dan pertumbuhan tunas sehingga sampai saat terjadi penurunan jumlah kalus embriogenik. Spear 11 walaupun baru ditanam tapi kalus yang terbentuk cukup banyak yaitu 96, lebih banyak daripada spear lainnya. Bahkan dari

Gambar 2. Pembentukan embrio somatik struktur bipolar dan tunas spear 11 kalusnya sudah ada yang mampu beregenerasi membentuk embrio somatik dewasa. Sampai dengan bulan Pebruari 2012 jumlah kalus embriogenik yang ada sebanyak 310. Kalus tersebut merupakan sumber awal yang sangat potensial untuk menghasilkan struktur embrio somatik dan plantlet. Dengan semakin banyak kalus embriogenik yang dihasilkan maka peluang mendapatkan plantlet (benih somatik) semakin meningkat. KS 40 merupakan formulasi media yang terbaik dari sekitar 77 formulasi yang telah dicobakan pada awal tahun penelitian yaitu 2008-2009. Dari penelitian tersebut teramati pula pada tahun berikutnya bahwa kalus embriogenik terbentuk ± 2.5 bulan setelah tanam pada media KS 40 (Mariska, dkk., 2009 a+b ). Kalus kemudian disubkultur pada media yang sama dengan frekuensi 4-5 kali dengan tujuan untuk proliferasi kalus embriogenik dan meningkatkan kemampuan daya regenerasi Gambar 3. Pertumbuhan tunas ke arah pemanjangan pada media yang mengandung BA, Kinetin, dan GA3 Gambar 4. Pembentukan daun dari tunas pada media yang mengan dung BA, Kinetin, dan GA3

Gambar 6. Pembentukan struktur embrio somatik stadia awal (globular dan hati) yang bergerombol di atas kalus embriogenik membentuk struktur embrio somatik stadia awal (globular). Kalus yang bernodul kemudian disubkultur pada media KS 40 + Vit MV + ½ ZPT atau KS 40 + Vit MV (tanpa ZPT). Pada media tersebut di atas secara visual teramati ada nodul-nodul yang tumbuh dan berkembang membentuk struktur embrio somatik stadia lanjut. Kalus embriogenik umumnya terbentuk pada medium yang mengandung auksin terutama auksin sintetik seperti 2,4-D, picloram dan NAA dengan konsentrasi yang relatif tinggi. Auksin sintetis seperti 2,4-D mempunyai peran yang sangat penting dalam menginduksi dan memelihara kelangsungan pembelahan sel (Mahalakshmi, et al., 2003) dan mengarahkan perkembangan sel menjadi populasi sel yang

embriogenik (Chugh dan Khurana, 2002). Satu mekanisme auksin dapat mengatur proses embriogenesis somatik melalui asidifikasi pada sitoplasma dan atau dinding sel (Kutschera, 1994). Ada dua mekanisme yang penting dalam pembentukan sel embrionik yaitu pembelahan sel asimetris dan pemanjangan sel (Emons, 1994). Diharapkan dengan adanya respon awal tersebut akan diikuti dengan proses pembelahan sel secara mitosis dan akhirnya terbentuk kalus embriogenik. Setelah berumur 3-4 bulan kalus disubkultur berulang untuk memacu proses dediferensiasi membentuk struktur embrio somatik. Secara visual terlihat pula adanya perubahan warna kalus menjadi hijau yang mencirikan perubahan kalus ke fase meristemoid, Swhartz et al., (2005) menyatakan bahwa fase meristemoid merupakan perubahan ke fase proses determinasi yaitu perubahan menonjol menuju diferensiasi sel. Subkultur kalus embriogenik dan struktur embrio somatik Jumlah embrio somatik dewasa masih rendah karena kelapa sawit merupakan tanaman tahunan berkayu dan monokotil yang sangat lambat dalam proses regenerasinya. Kelapa sawit dalam kultur jaringan termasuk dalam tanaman yang rekalsitran dan sudah diketahui sejak lama sehingga sangat sulit dipacu membentuk kalus embriogenik dan regenerasinya membentuk struktur embrio somatik. Di samping kalus embriogenik dilakukan subkultur struktur embrio somatik dewasa pada media MS modifikasi + vit MV + BA + Kinetin. Pada media tersebut secara

visual terlihat mulai adanya pembentukan kecambah (struktur bipolar) dan tunas (Gambar 2). Kecambah maupun struktur bipolar dan tunas yang terbentuk berasal dari spear 2 dan 3 sebanyak 81 (Tabel 2). Terlihat bahwa dengan kondisi fisiologis dan sifat genetik pohon induk yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda pula walaupun berasal dari varietas yang sama. Kondisi fisiologis berbeda karena pengambilan bahan tanaman yang akan dikulturkan berbeda waktunya sehingga kondisi iklim sangat berpengaruh terhadap respon eksplan terhadap formulasi media. Walaupun spear 1 paling banyak membentuk kalus embriogenik, tetapi kemampuan regenerasi membentuk kecambah dan tunas spear 3 lebih tinggi. Secara visual terlihat bahwa kecambah dan tunas pertumbuhannya sangat lambat, untuk itu dilakukan subkultur kembali pada media kombinasi BA dan kinetin dengan konsentrasi BA diturunkan dan ditambah GA3. Pada media tersebut, terlihat tunas tumbuh secara signifikan ke arah pemanjangan (Gambar 3). Dari hasil pengamatan sementara pada formulasi media baru tersebut ada tunas yang tumbuh memanjang juga daunnya mulai membuka (Gambar 4). Untuk pertumbuhan tinggi biakan Davies (2004) menyatakan bahwa sitokinin dapat berpengaruh terhadap proses pembelahan sel seperti untuk penambahan luas jaringan dan pertambahan tinggi tunas. Demikian pula Maxwell dan Keiker (2004) menyatakan bahwa sitokinin berinteraksi dengan zat pengatur tumbuh lainnya seperti GA3 (Davies, 2004) dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Dengan peningkatan konsentrasi kinetin dan penambahan GA3 diharapkan tunas dapat tumbuh memanjang dengan cepat sehingga layak untuk diakarkan secara in vitro. Sampai dengan bulan Pebruari 2012, jumlah struktur embrio somatik, torpedo dan bipolar sebanyak 64 dan akan disubkultur pada media baru dengan pengkulturan secara individu tidak bergerombol (Gambar 5). Jumlah tunas yang kondisi visualnya sangat baik dan pertumbuhannya ke arah pemanjangan relatif cepat ada 9. Pada bulan April 2012, tunas tersebut akan dipindahkan dan ditanam pada media perakaran. Dari pengamatan secara visual terlihat bahwa struktur embrio somatik globular dari setiap biakan terbentuk sangat banyak, sehingga sulit dihitung karena satu sama lain menempel dan tumbuh bergerombol (Gambar 6). Bahkan dari struktur globular yang terlihat warna putih kekuningan dan bening sudah mulai terbentuk struktur embrio somatik yang lebih lanjut seperti hati dan torpedo. Induksi akar pada tunas in vitro Apabila tunas tingginya sudah mencapai ± 4 cm akan diakarkan pada media De Fossard et al., (1974) yang diberi IBA dan NAA pada kegiatan sebelumnya. Telah dicoba mengakarkan pada media MS + IBA + NAA tapi belum ada yang mampu berakar. Tunas yang diakarkan jumlahnya masih sangat sedikit yaitu 5.

Kesimpulan 1. Kondisi biakan khususnya kalus embriogenik sampai dengan bulan Pebruari 2012 sebanyak 310, jumlah embrio somatik dewasa 64 serta jumlah tunas 17. 2. Untuk struktur embrio somatik globular dan scutellar jumlahnya sangat banyak, sangat sulit dihitung karena tumbuh bergerombol di atas kalus.

3. Kalus dari spear 3 lebih mampu beregenerasi membentuk kecambah dan tunas dibanding dengan spear 1 dan 2. 4. Formulasi media MS modifikasi (Vitamin MV) + BA + Kinetin + GA3 mampu memacu pembentukan kecambah dan tunas. 5. Pertumbuhan tunas ke arah pemanjangan sangat lambat untuk itu perlu dilakukan subkultur kembali pada media yang mengandung GA3. 6. Protokol perbanyakan melalui somatik embriogenesis yang diperoleh pada tahun 1, 2 dan 3 dapat diulang pada beberapa spear. Dengan demikian ada harapan protokol yang diperoleh dapat digunakan untuk perbanyakan vegetatif kelapa sawit. I. Mariska, S. Hutami, D. Sukmadjaja, M. Kosmiatin, S. Rahayu, S. Utami BB-BIOGEN, Bogor Petunjuk Cara Melipat: Cover Cover Cover Cover Cover 1. Ambil dua Lembar halaman 13,14, 19 dan 20 2. Lipat sehingga cover buku (halaman warna) ada di depan. 3. Lipat lagi sehingga dua melintang ke dalam kembali 4. Lipat dua membujur ke dalam sehingga cover buku ada di depan 5. Potong bagian bawah buku sehingga menjadi sebuah buku