PENDAHULUAN Protein merupakan suatu zat gizi vang kehadirannya di dalam tumh mutlak diperlukan sebagai protein fungsio- nal maupun sebagai pembangun struktur (pertumbuhan), ter- utama pada anak usia di bawah lima tahun yang mana per- % 4 tumbuhan (tingkat pertamhahan) dan pengembangan sel-s31 otaknya sangat tinggi. C * Dalam ha1 ini protein hewani le- bih diutamakan oleh karena ia mengandung asam-asam amino yang lebih mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia, serta daya cernanya lebih baik sehingga lebih efisien pemanfaatannya. Denqan meningkatnya jumlah penduduk disertai dengan majunya bidang pendidikan serta pendapatan penduduk yang membaik, menyebabkan makin sadarnya masyarakat akan man- faat protein hewani, sehingga permintaan akan protein he- wani semakin meningkat. Usaha pemenuhan kebutuhan pro- tein hewani untuk menyejahterakan rakyat dan mencerdaskan bangsa seperti yang dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara akan dapat dicapai melalui peningkatan produksi daging, telur, susu dan ikan. Kebutuhan dasar protein penauduk Indonesia diperkira- kan rata-rata 55 g per kapita per hari. Dari jumlah ter- sehut 15 g asal protein hewani, yaitu 10 g asal ikan dan 5 g asal ternak (Anonim, 1982). Hal ini mempunyai arti bahwa setiap penduduk rata-rata per tahun minimum harus mengkonsumsi protein asal ternak yang terdiri dari 6.5 kg daging, 14.2 kg telur, 3 kg susu, dan 2.5 kg ikan (Anonim,
19d2). Kenyataan sampai tahun 1980 menunjukkan bahwa pen- duduk Indonesia per orang per tahun baru mengkonsumsi 3.44. kg daging, 0.96 kg telur dan 4.5 kg susu (Soehadji, 1981). Disini terlihat bahwa kebutuhan akan daging masih belum mencukupi. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein hewani hng '* semakin meningkat tersebu t, pemerintah mengambil keu jak; sanaan penyediaan protein asal ternak melalui peningkatan 2 populasi ternak dalam REPELITA IV rata-rata 3.2 % per ta- hun (Anonim, 1980). Dalam ha1 ini mengembangkan usahausaha di bidang peternakan, baik peternakan kanersial maupun peternakan tradisional. Dari berbagai usaha peternakan, ternak kambing mempunyai potensi yang baik untuk ditingkatkan di pedesaan. Pemeliharaannya relatif mudah dan tidak hegitu memeraukan pakan yang bernilai gizi tinggi. Pada umumnya kambihg da- pat memanfaatkan bahan makanan berkualitas rendah (Haryanto, dkk., 1982). Hal yang demikian sangat menguntunqkan petani peternak dalam pemeliharaannya. Pakan utamanya terdiri dari rumput-rumputan dan berbagai jenis daun-daunan (hijauan). Tanman ubi kavu yang cukup bergizi dan amat poten- sial di Indonesia merupakan salah satu jenis tanaman yang disukai oleh ternak kambing, tetapi juga dapat membahaya- kan kambing itu sendiri, oleh karena tanaman ini mengandung senyawa racun sianida. Hal ini merupakan faktor pembatas dalam penggunaannya secara lebih luas.
3 Keracunan ternak oleh sianida asal ubi kayu sering 1 terjadi di lapangan (Azhari, 1985). Demikian juga ke- racunan sianida pada ternak akibat mengkonsumsi tanaman sorgum (yang banyak mengandung sianida) telah dilaporkan (Bahri, dkk., 1985). Walaupun daun ubi kayu dapat menimbulkan keracuna*.* pada ternak, tetapi menurut pengamatan di lapangan ($amaih, 1C 2 1984) ada kecenderungan bahwa ternak yang biasa memakan daun ubi kayu lebih tahan terhadap racun sianida yang ter- dapat pada tanaman tersebut. Keadaan ini didukung oleh de Bruin (19761, Allison, dkk. (19771, dan Hooper (1985) yang mengemukakan bahwa peningkatan metabolisne terhadap senyawa beracun dapat terjadi dengan adanya rangsangan. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa daya tahan kambing terhadap sia- nida dapat dirangsanq secara lambat laun (bertahap) dengan pemberian daun ubi kayu atau sianida. Selain itu adanya kemampuan dar i cairan rumen ternak dalm mendetoksif ikasi senyawa beracun seperti nitrat (Allison, dkk., 1977) dan mikotoksin (Karl-Heinz Kiessling, 1984), maka diduga pro- ses yang sama juga dapat terjadi terhadap senyawa sianida. Keadaan ini perlu dipelajari dalam usaha menghindari terjadinya keracunan sianida asal ubi kayu yang diberikan. Di samping sianida berefek langsung sebagai racun terhadap tubuh ternak. sianida dalam proses detoksifikasinya akan banyak pula menghasilkan tiosianat. Tiosianat yang * Komunikasi pribadi
4 diketahui bersif at goitrogenik (Wollman, 1962; Scranton, dkk., 1969) diduga dapat menyganygu funysi kelenjar tiroid kambiny pada keadaan kronik. Dalam ha1 ini uptake yodium oleh kelenjar tiroid akan dihamhat, sehingya fungsi kelen- jar tiroid sebagai penyhasil honnon tiroksin dan triiodo- tironin dapat dihambat. Bila ha1 ini berlangsung ten& menerus (kronik), maka bentuk dan funysi kelenjar tifoid r dapat terganggu. Sebegitu jauh para peneliti belum banyak menpelajari efek goitrogenik dari daun ubi kayu yang diberikan secara kronik pada ternak, terutama pada ternak kambiny (Devendra, 1977). Sedanykan efek goitrogenik ini penting untuk diungkapkan sehab dapat menurunkan metabolime mum dan berakibat menghambat pertumbuhan dan produktivitas ternak. Dari uraian yang telah dikenukakan tersebut maks hi- pokesis yany diuji pada penelitian ini adalah (1) pembe- rian daun ubi kayu atau sianida kepada kambing dalam janyka waktu tertentu akan meningkatkan keaampuan kambing dalam mendetoksif ikasi sianida menjadi tiosianat, (2 ) cairan ru- men kambiny dan fraksinya dapat mendetoksifikasi sianida menjadi tiosianat dan senyawa sulfur ikut berperan dalam proses tersebut, (3) pemberian daun ubi kayu atau sianida selama 16 minygu akan mempengaruhi kelenjar tiroid serta organ hati dan ginjal kambing. Dalam hubungan ini penelitian yang dilakukan bertuju- an untuk: (1) mensetahui adanya peninykatan kemampuan kam- bing mendetoksif ikasi sianida menjadi tiosianat akibat pem- berian sianida atau daun ubi kayu terus-menerus dalam jangka
5 waktu tertentu, (2) mempelajari detoksif ikasi sianida dalam cairan rumen kambing Ban fraksinya, serta mempelajari peranan sulfur dalam meningkatkan pembentukan tiosianat dari sianida, (3) mempelajari morf ologi dan funqsi kelenjar tiroid, serta organ hati dan ginjal kambing terhadap efek pemberian sianida atau daun ubi kayu kronik..$ 4 i 1C