4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan

dokumen-dokumen yang mirip
3. METODE PENELITIAN. Daerah penelitian berlokasi di Laut Timor di sekitar Platform Montara dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN TUMPAHAN MINYAK MONTARA DI LAUT TIMOR BERDASARKAN METODE PENGENALAN POLA SPEKTRAL CITRA SATELIT ALOS-PALSAR ANSTAYN NAMBERON SARAGIH

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Diagram TS

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah pengamatan pada penelitian ini adalah perairan Laut Timor yang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB II IDENTIFIKASI DAERAH TERKENA BENCANA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

SAMPLING DAN KUANTISASI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

LAMPIRAN 1 Daftar Istilah

III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ISTILAH DI NEGARA LAIN

Pertemuan 2 Representasi Citra

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB II LANDASAN TEORI

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

MKB3383 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA Pemrosesan Citra Biner

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Citra Digital. Petrus Paryono Erick Kurniawan Esther Wibowo

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel pengujian menggunakan sebanyak 1 buah sampel beras A, 7 buah

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

IDENTIFIKASI MACAN TUTUL DENGAN METODE GREY LEVEL COOCURENT MATRIX ( GLCM) Zuly Budiarso Fakultas teknologi Informasi, Univesitas Stikubank Semarang

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Citra Digital

2.Landasan Teori. 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data.

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

36 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lokasi Penelitian Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan minyak Montara yang dipasang di Laut Timor. Laut Timor merupakan perairan yang dibatasi oleh kepulauan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste di bagian utara, laut Arafura di bagian timur, negara Australia di bagian selatan dan Samudera Hindia di bagian barat. Perairan ini merupakan perairan yang dilewati oleh lintasan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) dimana arus ini mengangkut massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati laut dan selat-selat perairan Indonesia (Illahude dan Nontji,1999). Angin yang bergerak di atas perairan Laut Timor merupakan salah satu faktor eksternal pembentuk arus permukaan. Angin musim peralihan II adalah angin yang membentuk arus permukaan di perairan Laut Timor pada saat satelit mengamati fenomena tumpahan minyak. Pada tipe angin musim peralihan II pergerakan arah angin didominasi oleh pergerakan arah angin yang berasal dari tenggara dengan melintasi Laut Arafuru, Laut Banda, Laut Jawa dan Samudera Indonesia menuju ke Barat, kemudian akan berbelok ke Utara setelah melintasi Ekuator. Angin muson juga dapat menimbulkan arus arus laut muson di Kepulauan Indonesia yang disebut Arus Monsun Indonesia atau ARMONDO (Illahude dan Nontji,1999). Arus ini mengalir dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa lewat Laut Natuna dan Selat Karimata, dari Laut Jawa arus ini masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Sesuai dengan angin muson sebagai pembentuknya, maka ARMONDO juga mengalami perubahan arah.

37 4.2 Penggabungan Citra ALOS yang Dikaji Upaya pendeteksian daerah tumpahan minyak Montara yang terjadi di laut Timor pada tahun 2009 yang lalu dilakukan dengan memanfaatkan data satelit ALOS PALSAR yang mengorbit bumi pada ketinggian 691,65 km di atas permukaan bumi. Satelit ALOS PALSAR diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) pada Januari 2006. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua scene citra tanggal 2 September 2009 pukul 14:36 sampai 14:37, dengan scene ID citra ALPSRP192186940 dan ALPSRP192186930 path 218. Penggabungan kedua scene citra tipe polarisasi HHHV dilakukan sebelum koreksi nilai digital dan belum dapat diidentifikasi obyek pengamatan berupa minyak atau non minyak. Penggabungan data bertujuan untuk memperoleh cakupan obyek pengamatan lebih luas dan menormalisasi nilai digital dan kenampakan kedua scene citra tersebut. Gambar 10 menunjukkan tampilan citra sebelum dan sesudah penggabungan data citra. a b c Gambar 10. Citra ALOS PALSAR Pada Tanggal 2 September 2009 di Laut Timor (a). Citra dengan Path 6940, (b). Citra dengan Path 6930 dan (c). Citra Hasil Penggabungan Dua Citra dengan Path yang Berbeda

38 4.3 Analisa Area Hitam (Detection of Dark Slick) Citra ALOS PALSAR Tahapan analisis area hitam dilakukan setelah nilai digital pada citra ALOS PALSAR dikoreksi menjadi nilai intensitas hambur balik (db) dengan formula NRCS. Analisis area hitam dikonsentrasikan menjadi dua kriteria pengamatan yaitu obyek berupa non minyak dan minyak. Kriteria obyek non minyak dibagi menjadi dua macam yaitu perairan dan platform. Obyek minyak dikelaskan menjadi tiga jenis berdasarkan massa jenis minyak yaitu (1) minyak ringan, (2) minyak sedang dan (3) minyak berat. Secara visual ketiga kriteria ini dapat diasumsikan sebagai obyek minyak dengan melihat rona gelap dan pola penyebaran tumpahan minyak tersebut di atas permukaan laut, semakin dekat jarak antara minyak yang satu dengan yang lain maka obyek tersebut tergolong sebagai minyak dengan ikatan karbon yang berat begitu juga sebaliknya. Pada citra tampak beberapa tampilan pewarnaan target dengan tingkat keabuan yang berbeda yaitu abu-abu, hitam dan putih. Wilayah perairan yang tertupi oleh lapisan minyak akan memiliki pergerakan arus atau riak yang kecil akibat redaman dari lapisan minyak yang menutupi perairan sehingga nilai hambur balik akan semakin kecil dibandingkan lingkungan sekitar dan menyebabkan tampilan pada citra berona gelap. Hal ini merupakan landasan dalam analisis area hitam di suatu perairan, dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah ini yang menunjukkan perbedaan tampilan visual obyek non minyak dan minyak.

39 Gambar 11. Tampilan Obyek Minyak dan Non Minyak (Lautan dan Platform) Pada Citra Gambar 11 menunjukkan tahap pertama yang dilakukan pada analisis area hitam yaitu mengasumsikan daerah pengamatan menjadi obyek pengamatan berupa minyak dan non minyak yang didasarkan pada visualisasi kerapatan partikel zat dan warna grayscale yang dihasilkan dari nilai hambur balik obyek. Nilai hambur balik obyek minyak dan non minyak di suatu wilayah perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena angin dapat mempengaruhi penyebaran tumpahan minyak sehingga muncul riak-riak berupa gelombang yang tidak beraturan pada permukaan perairan. Nilai toleransi kecepatan angin dalam pengamatan wilayah perairan berada pada selang 1,5-6 m/s (Hu et al., 2003). Gambar 11 di atas citra yang ditandai dengan lingkaran diasumsikan sebagai obyek berupa anjungan karena obyek ini memiliki pewarnaan yang paling terang dan berdasarkan Brekke dan Solberg (2005) obyek dengan permukaan yang kasar akan menghambur balikkan sinyal dengan kuat. Asumsi adanya platform pada citra pengamatan didasari oleh informasi posisi koordinat anjugan Well Head Montara yang terletak pada 12 40 20,5 LS dan 124 32 22,3 BT (Asia Pacific

40 Applied Science Associates, 2010). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan memanfaatkan software Er Mapper koordinat yang diperoleh untuk anjungan yang berada di Laut Timor berada pada titik koordinat 11 55 LS dan 125 0 BT serta 12 7 LS dan 125 0 BT. Dua koordinat ini menunjukkan bahwa anjungan yang berada pada titik koordinat 11 55 LS dan 125 0 BT merupakan anjungan yang dijadikan perusahaan PTTEP Australia sebagai penampung sementara minyak yang tidak tumpah. Hal ini diduga dilakukan untuk meminimalisir jumlah minyak yang dapat tumpah ke perairan. Perbedaan titik koordinat anjungan ini diasumsikan karena adanya kesalahan koreksi geometrik atau pada saat dilakukan tahapan registrasi citra. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan hasil pengolahan citra tanpa adanya koreksi nilai digital dengan citra yang dikoreksi nilai digital menjadi nilai intensitas hambur balik (db). Garis training area berwarna kuning dibuat pada visualisasi citra pada Gambar 12 di bawah ini untuk dijadikan acuan pengamatan nilai ekstraksi target pengamatan. Garis ini di buat pada daerah dengan visualisasi pewarnaan citra dengan rona gelap yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah dan diasumsikan obyek yang diamati berupa minyak ringan. Gambar 12 di bawah menampilkan grafik hasil ekstraksi citra berupa nilai hambur balik dan digital obyek pengamatan dari garis training area yang telah dibuat pada citra dengan obyek minyak yang diasumsikan sebagai minyak ringan (transek 1).

41 a b c Gambar 12. Visualisasi Area Gelap Pada (a). Citra, (b). Nilai Intensitas Hambur Balik (db) vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Hasil Koreksi Nilai Digital dan (c). Nilai Digital vs Jumlah Data Pengamatan Piksel Pada Citra Tanpa Koreksi Nilai Digital Pendugaan obyek berupa minyak pada citra didasari oleh tingkatan rona gelap dan nilai hambur balik obyek di sekitar sumber tumpahan minyak. Perairan dengan tumpahan minyak berat akan tertutupi lapisan minyak yang pekat

42 sehingga energi gelombang mikro radar tidak dapat dihamburkan oleh permukaaan laut yang rata (massa jenis minyak lebih ringan dari air, sehingga minyak cenderung mengapung di atas air). Pendeteksian tumpahan minyak dengan memanfaatkan sistem penginderaan jauh tidak dapat mengetahui besaran massa jenis obyek yang diamati dan luasan penyebaran tumpahan minyak secara vertikal di perairan karena penelitian ini tidak disertai dengan sampel lapangan dan pengamatan hanya dilakukan secara jarak jauh. Oleh karena itu hal yang diamati pada penelitian ini yaitu prinsip dari massa jenis itu sendiri dimana massa jenis suatu obyek dipengaruhi oleh tingkat kerapatan antara molekul suatu zat. Pembuatan garis transek pada citra untuk mengekstrak nilai hambur balik dilakukan pada citra dengan dua hasil pengolahan yang berbeda yaitu dengan koreksi nilai digital dan tanpa adanya koreksi nilai digital. Sumbu y pada Gambar 12 b menunjukkan nilai intensitas dengan satuan db karena nilai digital pada citra terkoreksi dengan formula NRCS, sedangkan sumbu y pada Gambar 12 c menunjukan nilai digital citra tidak terkoreksi. Sumbu x pada kedua grafik mewakili informasi mengenai jumlah data pengamatan dengan posisi piksel bersebelahan secara berurut. Pada kedua grafik hasil ekstraksi nilai digital citra direpresentasikan oleh nilai digital hasil polarisasi HH (garis biru) dan HV (garis merah). Pada Gambar 12 b di atas diperoleh informasi bahwa garis transek di daerah minyak ringan menampilkan nilai hambur balik sebesar -32,5 db s.d. 20 db pada polarisasi HH dan -36 db s.d. 29,5 db pada polarisasi HV. Gambar 12 c di atas menampilkan nilai digital tanpa ada satuan pengukuran, informasi nilai digital obyek pengamatan yang ditandai dengan pembuatan garis transek memiliki

43 kisaran nilai digital sebesar 400 1450 pada polarisasi HH dan nilai digital untuk polarisasi HV sebesar 250 450. Menurut Brekke dan Solberg (2005) tipe polarisasi sinyal radar sangat mempengaruhi sifat nilai hambur balik dari suatu materi atau obyek pada citra SAR. Hal ini terbukti pada tampilan kedua grafik tersebut bahwa nilai sinyal hambur balik ataupun nilai digital dari polarisasi HH (ditransmisikan dan diterima datar) cenderung lebih besar dibandingkan dengan polarisasi HV (ditransmisikan datar dan diterima tegak). Perbedaan nilai hambur balik dari polarisasi HH dan HV diasumsikan terjadi karena bidang pemancar dan penerima sinyal yang tidak sama sehingga mengakibatkan adanya keterbatasan sinyal yang diterima oleh sensor. Grafik 12 di atas menunjukkan bahwa semakin besar nilai selang hambur balik yang terekam maka visualisasi citra semakin jelas. Oleh karena itu nilai hambur balik yang dijadikan acuan pembentukan selang kelas berasal dari nilai yang ditampilkan oleh polarisasi HH. Nilai digital dan sinyal hambur balik hasil pengamatan garis transek di daerah minyak ringan tidak dapat dijadikan acuan secara langsung dalam membuat nilai selang kelas obyek minyak, karena penentuan nilai kelas membutuhkan tahapan perbandingan antara tampilan grafik nilai hambur balik dengan visualisasi wilayah pengamatan citra. Semakin gelap tampilan citra maka nilai rekaman hambur balik akan semakin kecil dan semakin terang tampilan citra maka nilai rekaman hambur balik akan semakin besar. Nilai hambur balik berupa intensitas dan nilai digital yang ditampilkan menunjukkan bahwa tahapan koreksi nilai digital merupakan tahapan yang perlu dilakukan agar menghasilkan nilai hambur balik yang sesuai dengan kenyataan

44 dan memiliki satuan yang terukur sehingga data yang digunakan dapat dijadikan acuan dalam pengolahan citra. Keputusan yang diambil pada penelitian ini yaitu sumber data citra yang digunakan untuk tahap penyaringan dan pengolahan data citra adalah citra yang telah dikoreksi nilai digital menjadi nilai intensitas hambur balik (db). Citra hasil koreksi ini akan disalin sebanyak tiga kali untuk mempermudah tahap penyaringan dengan tiga macam ukuran jendela pengamatan yang berbeda yaitu 3x3, 5x5 dan 7x7 pada tiap tahapan penyaringan dan analisis tekstur (Gambar 13). Nilai intensitas hambur balik yang akan diolah merupakan data polarisasi HH oleh satelit ALOS PALSAR. Hasil salinan data kemudian diberikan nama yang berbeda untuk meminimalisir adanya kesalahan peneliti dalam tahap ekstraksi nilai intensitas hambur balik dari citra hasil penyaringan yang berbeda. Hal ini dikarenakan setiap data hasil salinan hanya akan diolah sebanyak satu kali dengan ukuran jendela penyaringan yang berbeda dari metode penyaringan yang serupa misal frost atau gamma. Hasil pengolahan dengan ketiga jendela pengamatan yang berbeda kemudian dijadikan bahan perbandingan tipe penyaringan terbaik dalam memberikan tampilan visual dan nilai hambur balik obyek dalam bentuk grafik dengan speckle terendah dan tampilan yang halus.

45 a. 3x3 b. 5x5 c. 7x7 Gambar 13. Data Nilai Intensitas Hambur Balik (db) vs Jumlah Data Pengamatan Piksel untuk Pengolahan Citra dengan Jendela Pengamatan Ukuran (a).3x3, (b).5x5 dan (c). 7x7 4.4 Hasil Penyaringan Data Citra Satelit ALOS PALSAR Tahap kedua identifikasi minyak yaitu proses penyaringan atau dikenal sebagai adaptive filter. Fungsi tahap penyaringan nilai piksel pada citra untuk menghilangkan nilai gangguan dengan frekuensi tinggi (speckle noise) dan

46 mengetahui efek dari ukuran jendela pengamatan terhadap proses penghalusan dari karakteristik dan sisi-sisi obyek yang teramati. Penyaringan nilai piksel citra dilakukan pada dua tipe polarisasi yaitu polarisasi HH dan HV. Proses penyaringan citra dapat dilakukan pada dua macam piranti lunak yang berbeda yaitu ENVI 4.5 ataupun ER Mapper 6.4. Metode penyaringan citra pada penelitian kali ini berupa metode filter frost dan gamma dengan ukuran jendela pengamatan sebesar 3x3, 5x5 dan 7x7. 4.4.1 Hasil Penyaringan Frost (Filter Frost) Metode penyaringan frost dengan ukuran jendela pengamatan sebesar 3x3, 5x5 dan 7x7 diaplikasikan terhadap citra hasil koreksi nilai digital tipe polarisasi HH. Tujuan dilakukan penyaringan data dengan tiga ukuran jendela pengamatan yang berbeda yaitu untuk membandingkan nilai intensitas hambur balik dengan nilai speckle yang rendah dari masing-masing pengamatan sehingga dapat dijadikan acuan data sumber ekstraksi nilai intensitas hambur balik obyek minyak maupun non minyak. Penentuan ukuran jendela pengamatan ditentukan oleh pengamat, dengan catatan semakin besar jendela pengamatan yang digunakan maka semakin lama waktu pengolahan yang dibutuhkan, semakin besar kapasitas penyimpanan data yang dibutuhkan dan semakin sempit selang nilai hambur balik yang terekam. Semakin sempit nilai selang hambur balik maka semakin baik nilai tersebut digunakan pada tahap penentuan tampilan klasifikasi obyek. Gambar 14 berikut menampilkan perbandingan hasil penyaringan data citra dengan metode penyaringan filter frost.

a b 3x3 Frost 3 x 3 5x5 7x7 Gambar 14. Hasil Penyaringan Data Filter Frost Secara (a). Spasial dan (b). Grafik Nilai Intensitas Hambur Balik (db) Obyek

48 Pada Gambar 14 menunjukkan tiga macam ukuran jendela pengamatan filter frost. Gambar di atas merupakan salah satu perwakilan contoh tampilan hasil penyaringan citra. Ketiga grafik pada Gambar 14 b mewakili informasi nilai intensitas hambur balik obyek dengan satuan db pada sumbu y dan pada sumbu x berupa jumlah data piksel pengamatan. Nilai intensitas hambur balik obyek pada citra hasil penyaringan frost pada polarisasi HH memiliki nilai kisaran sebesar - 32,5 s.d. -20 db untuk ukuran pengamatan 3x3, -32 s.d. -21 db untuk jendela pengamatan 5x5 dan -32 s.d. -22,5 db untuk jendela pengamatan 7x7. Berdasarkan tampilan grafik pada ketiga gambar tersebut, dapat dilihat bahwa semakin besar ukuran jendela pengamatan dalam menentukan suatu obyek di citra maka tampilan grafik akan lebih halus yang tampak pada masing masing puncak dan memiliki nilai selang kelas lebih kecil sehingga memudahkan pengamat untuk membaca dan menentukan nilai hambur balik obyek pengamatan untuk tahap segmentasi berikutnya. Penentuan jenis penyaringan pada tahap pengolahan citra ALOS PALSAR didasarkan pada dua faktor, yaitu (1) tingkat kejernihan atau kejelasan visualisasi citra hasil penyaringan dan (2) tingkat kehalusan pola grafik nilai hambur balik obyek pengamatan pada citra. Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa hasil penyaringan citra frost 7x7 menghasilkan tampilan citra paling jelas dan halus baik secara visual maupun grafik nilai intensitas hambur balik. 4.4.2 Hasil Penyaringan Gamma (Filter Gamma) Metode penyaringan kedua pada penelitian ini yaitu filter gamma 3x3, 5x5 dan 7x7 ditunjukkan pada Gambar 15 di bawah ini.

a b 3x3 5x5 7x7 ambar 15. Hasil Penyaringan Data Filter Gamma Secara (a). Spasial dan (b). Grafik Nilai Intensitas Hambur Balik (db) Obyek

50 Gambar 15 a menunjukkan visualisasi citra hasil penyaringan gamma dengan ukuran jendela pengamatan 3x3, 5x5 dan 7x7, dapat dilihat bahwa tampilan citra tampak semakin bertambah halus pada puncak grafik seiring bertambahnya ukuran jendela pengamatan. Tampilan grafik pada Gambar 15 b menunjukkan bahwa semakin besar ukuran jendela pengamatan maka puncak grafik akan terlihat lebih halus dan jelas. Pada tampilan pertama Gambar 15 b, dapat dilihat bahwa pola puncak grafik yang dihasilkan oleh gamma 3x3 memiliki tampilan yang kasar dan kurang jelas untuk diamati nilai hambur balik yang dimiliki oleh setiap obyek. Pada tampilan grafik 7x7, nilai hambur balik pada puncak grafik dari obyek pengamatan terlihat lebih halus dan teratur sehingga mempermudah pengamat dalam menentukan selang nilai intensitas hambur balik obyek. Penggunaan ukuran jendela pengamatan pada tahapan penyaringan memberikan informasi bahwa ukuran jendela pengamatan dalam tahap penyaringan data mempengaruhi hasil visualisasi dan nilai hambur balik obyek pengamatan. Kelebihan penggunaan ukuran jendela pengamatan yang semakin besar yaitu semakin akurat dan jelas data yang dihasilkan. Namun berdasarkan pengamatan jendela pengamatan juga memiliki batas toleransi maksimal untuk menghasilkan nilai intensitas hambur balik, karena ukuran jendela pengamatan yang telah melewati batas maksimum akan menghasilkan citra dengan visualisasi yang tidak jelas atau kabur. Kekurangan yang dimiliki oleh data dengan ukuran jendela yang besar yaitu semakin besar kapasitas penyimpanan data dan semakin lama waktu pengolahan data citra tersebut.

51 Penentuan jenis data citra hasil penyaringan yang akan digunakan untuk tahapan klasifikasi dan analisis tekstur dilakukan dengan cara dua citra hasil penyaringan antara metode yang berbeda yang menunjukkan informasi nilai intensitas hambur balik obyek terbaik dari masing-masing metode penyaringan yang telah diuji cobakan. Berdasarkan analisis hasil penyaringan citra antara dua metode, diperoleh informasi bahwa hasil penyaringan filter frost 7x7 dan gamma7x7 merupakan metode terbaik yang mewakili masing-masing metode dalam menghasilkan informasi visual dan nilai hambur balik yang jelas terhadap obyek yang diamati. Gambar 16 di bawah ini merupakan perbandingan hasil penyaringan metode frost dan gamma berupa tampilan grafik Gambar 16. Perbandingan Tampilan Grafik Nilai Hambur Balik Obyek Metode Penyaringan Frost 7x7 dan Gamma 7x7 Gambar 16 menunjukkan bahwa kedua grafik nilai hambur balik yang dihasilkan metode penyaringan frost dan gamma 7x7 menghasilkan nilai hambur

52 balik obyek dengan pola dan tingkat kehalusan yang sama. Hal ini dapat terjadi karena filter gamma memiliki fungsi penyaringan yang menyerupai dengan fungsi filter frost yaitu meminimalisir speckle ketika menghasilkan visualisasi obyek dengan nilai frekuensi yang tinggi. Speckle pada citra radar tampak sebagai tekstur dari butiran pasir pada gambar. Hal ini disebabkan oleh pembentukan yang tidak teratur dan keikutsertaan yang merusak dari gabungan nilai hambur balik yang kembali dihamburkan oleh obyek yang dapat terjadi pada setiap resolusi sel pengamatan (CCRS, 2005). Oleh karena itu dibutuhkan bahan pembanding lain dari kedua data tersebut yaitu berupa tampilan nilai intensitas hambur balik dalam tabulasi (Tabel 7). Tabel 7 di bawah ini merupakan salah satu contoh nilai HH yang terekam. Tabel di bawah ini menunjukkan selisih perbedaan yang kecil dari hasil ekstraksi nilai intensitas (db) dengan dua metode yang berbeda dimana nilai hambur balik pada metode filter gamma lebih besar dibandingkan frost. Tabel 7. Contoh Perbandingan Nilai Intensitas Hambur Balik Penyaringan Dua Filter F7_HH G7_HH SELISIH_HH -26.676-26.686-0.0095-26.734-26.741-0.007-26.762-26.766-0.0041-26.779-26.78-0.0014-26.695-26.694 0.0008-26.605-26.603 0.0027-26.431-26.427 0.0038-26.185-26.181 0.0036-25.936-25.932 0.0032-25.717-25.721-0.0033 Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat selisih nilai hambur balik antara metode frost dan gamma mencapai 0,0312 s.d. 0,0038 db. Oleh karena itu dibutuhkan data penguat pengambil keputusan mengenai jenis penyaringan yang terbaik untuk

53 pengolahan citra radar berupa perbandingan tingkat kehalusan dan tingkat kejelasan secara visual (Gambar 17). a b Gambar 17. Perbandingan Tampilan Citra Metode Penyaringan (a) Frost 7x7 dan (b) Gamma 7x7 Kedua tampilan citra secara sekilas memiliki tingkat kejelasan dan kehalusan yang sama dan cukup tinggi, hal ini akan memudahkan pengamat dalam langkah pengidentifikasian obyek yang teramati. Namun apabila diperhatikan lebih mendalam tampak pada citra gamma 7x7 tampilan citra terlihat lebih jelas dibandingkan frost 7x7 khususnya pada bagian tepian obyek. Hal yang mendukung pengambilan keputusan data penyaringan gamma 7x7 sebagai data acuan adalah fungsi dari metode penyaringan gamma yang menyaring data citra dengan mengasumsikan adanya gangguan data secara ganda. Hasil visualisasi ini menjadi landasan dalam penentuan keputusan tipe penyaringan yang digunakan dalam tahap pengolahan data citra radar sehingga nilai hambur balik dapat diekstrak dari citra tersebut. Percobaan pengolahan citra dengan tipe penyaringan frost dan gamma menunjukkan bahwa visualisasi citra pada hasil penyaringan gamma lebih jelas dibandingkan hasil penyaringan citra frost. Maka tahapan ekstraksi nilai hambur balik obyek pada citra dapat dilakukan dengan menggunakan citra radar hasil penyaringan gamma 7x7.

54 4.5 Analisa Tekstur Data Citra Satelit ALOS PALSAR Tekstur didefinisikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan piksel yang berdekatan dalam proses pengolahan data digital (Ganis Y et.al, 2008). Analisis tekstur merupakan tahapan penting yang perlu dilakukan dalam identifikasi obyek yang berada pada citra. Analisis ini dilakukan setelah tahapan penyaringan nilai citra atau dikenal sebagai SAR image adaptive speckle filtering. Nilai koefisien statistik yang dihasilkan pada adaptive speckle filtering memiliki sifat yang sensitif terhadap pola atau tekstur obyek beserta nilai speckle noisenya, namun nilai tersebut tidak memberikan informasi yang lebih jelas mengenai tekstur obyek tersebut secara langsung ataupun informasi yang terbatas mengenai hubungan antara nilai frekuensi tinggi (speckle). Selain itu nilai hambur balik yang dihasilkan pada tahapan penyaringan pertama memiliki nilai selang yang cukup besar, hal ini dapat menjadi halangan dalam penentuan nilai selang antar kelas untuk diaplikasikan dalam tahap klasifikasi obyek tumpahan minyak. Oleh karena itu tahapan analisa secara statistik tingkat kedua perlu dilakukan demi melengkapi pemulihan nilai hambur balik pada citra radar termasuk di dalamnya tingkat kekasaran dari obyek yang teramati dan nilai resolusi yang dijadikan sebagai contoh yang berhubungan dengan suatu fenomena. Analisa tekstur pada citra dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu secara struktural, statistika dan gabungan antara struktural dengan statistika (Tan, 2001). Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode Grey Level Cooccurence Matrix (GLCM) dimana matrix ini memiliki elemen-elemen yang

55 berasal dari penjumlahan beberapa pasang pixel yang memiliki tingkat kecerahan tertentu yang terpisah dengan jarak d dan dengan sudut inklinasi Ө. Penelitian mengenai matriks GLCM telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu diantaranya Nezry et.al, 1994; Septiadi dan Nasution, 2010 serta Purnomo A dan Puspitodjati, 2009, yang dibagi menjadi sembilan belas macam metode analisis tekstur untuk mengklasifikasikan obyek pada citra. Namun analisis tekstural citra yang diuji cobakan pada citra RADAR ALOS PALSAR kali ini sebanyak delapan macam antara lain (i) Second Moment, (ii) Contrast, (iii) Correlation,(iv) Dissimilarity, (v) Entropy,(vi) Homogeneity, (vii) Mean dan (viii) Variance. Setiap metode penyaringan memiliki keunikan dan batasan masing masing oleh karena itu penentuan jenis penyaringan yang akan digunakan dipengaruhi oleh kebutuhan peneliti akan data secara spesifik dan karakteristik dari data olahan. Suatu teknik penyaringan dapat digolongkan sebagai teknik yang baik untuk digunakan apabila hasil olahan teknik tersebut dapat mengurangi speckle noise tanpa menghilangkan batas tepi, informasi struktur dari obyek yang diamati dan tanpa mengubah pola nilai hambur balik obyek pengamatan. Speckle noise merupakan sebuah permasalahan paling utama dalam data citra SAR karena hal ini dapat mengurangi kualitas gambar secara serius sehingga dapat menghambat peneliti dalam menentukan nilai selang hambur balik obyek. Data citra yang dijadikan acuan dalam tahap pengolahan data analisis tekstur merupakan data citra hasil penyaringan gamma 7x7 tipe polarisasi HH. Gambar 18 di bawah ini menampilkan visualisasi hasil penyaringan citra dengan analisis tekstur dengan delapan metode yang berbeda.

56 Second Moment Contrast Correlation Dissimilarity Entropy Homogeneity Mean Variance Gambar 18. Perbandingan Tampilan Visual Citra Hasil Analisis Tekstural GLCM Gambar 18 di atas menampilkan hasil pengolahan tekstur citra dengan obyek yang sama namun menghasilkan visualisasi yang berbeda. Tujuan utama dalam tahap penyaringan analisis tekstur GLCM yaitu untuk mengurangi speckle noise pada citra tanpa menghilangkan batas tepi, informasi struktur dari obyek yang diamati dan tanpa mengubah pola nilai hambur balik obyek pengamatan. Berdasarkan delapan macam GLCM yang telah diuji cobakan dalam penelitian ini dapat dilihat terdapat dua macam analisis tekstur yang diasumsikan menghasilkan

57 tampilan citra visual terbaik yang menyerupai tampilan awal citra radar sebelum mengalami pengolahan, yaitu analisis tekstur correlation dan mean. Analisis correlation digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan linier derajat keabuan dari piksel yang saling bertetangga. Sedangkan analisis nilai tengah (mean) berguna untuk menampilkan nilai tengah transisi pada visualisasi tekstur yang menjelaskan nilai level keabuan pada citra. Namun dalam penetuan analisis tekstural yang akan digunakan untuk diekstrak nilai hambur balik yang disimpan tiap pikselnya tidak hanya dilihat dari tingkat kemiripan visualisasi citra namun juga hasil statistik pada grafik dengan nilai hambur balik obyek sebagai informasi utama. Oleh karena itu pada penelitian ini juga ditampilkan gambar grafik nilai hambur balik hasil pengolahan analisis tekstur dengan delapan macam metode yang ditunjukkan pada Gambar 19 dan 20 di bawah ini. Nilai hambur balik yang ditampilkan pada grafik di bawah ini merupakan salah satu contoh hasil ekstraksi data pada obyek yang diasumsikan sebagai minyak ringan. Penentuan tipe analisis tekstur yang akan digunakan dalam tahap pengolahan data dapat dilakukan apabila peneliti melakukan perbandingan dan pengamatan pola grafik intensitas nilai hambur balik yang dihasilkan dari tiap-tiap metode analisis tekstur dengan pola grafik nilai hambur balik yang dihasilkan dari ekstrasksi citra tahap penyaringan gamma 7x7. Tahap ini dilakukan agar dapat dilihat bahwa fungsi dari pengolahan analisis tekstur tidak mengubah nilai intensitas hambur balik obyek yang tersimpan dalam citra sehingga meminimalisir adanya kesalahan dalam interpretasi obyek.

Gambar 19. Perbandingan Tampilan Grafik Nilai Hambur Balik Analisis Tekstural GLCM Second Moment, Contrast, Correlation, dan Dissimilarity 58

Gambar 20. Perbandingan Tampilan Grafik Nilai Hambur Balik Analisis Tekstural GLCM Entropy, Homogeneity, Mean, dan Variance 59

60 Gambar 19 dan 20 di atas menunjukkan grafik nilai hambur balik obyek yang diasumsikan sebagai minyak ringan pada citra dengan analisis tekstur. Berdasarkan perbandingan pola grafik nilai hambur balik pada Gambar 19 dan 20, dapat dilihat bahwa nilai hambur balik yang ditampilkan pada analisis tekstur mean memiliki pola nilai hambur balik serupa dengan pola nilai hambur balik hasil penyaringan data citra gamma 7x7. Pola serupa pada grafik GLCM mean menunjukkan bahwa nilai hambur balik yang dianalisis tidak mengalami perubahan informasi obyek. Sedangkan grafik yang dihasilkan oleh correlation GLCM memiliki tampilan statistik dan pola yang berbeda dengan hasil penyaringan gamma 7x7. Berdasarkan hasil visualisasi dan grafik analisis tekstur, diputuskan data citra yang akan dijadikan acuan dalam ekstraksi nilai hambur balik untuk dijadikan nilai selang klasifikasi adalah citra dengan hasil pengolahan analisis tekstur GLCM mean. 4.6 Klasifikasi Obyek Minyak dan Non Minyak Pada citra radar ALOS PALSAR dapat dilihat bahwa perairan memiliki gradasi warna yang berbeda yaitu rona gelap (hitam), rona abu-abu dan rona abuabu yang terlihat samar- samar. Selain warna keabuan, tampak pula warna putih terang pada citra ALOS PALSAR, apabila dilakukan pembesaran obyek dengan pewarnaan yang terang merepresentasikan nilai hambur balik yang tinggi dari anjungan minyak Montara. Pewarnaan citra radar berupa grayscale, hal ini membatasi peneliti dalam mengasumsikan luasan penyebaran tumpahan minyak di perairan Laut Timor. Oleh karena itu dilakukan tahap klasifikasi yang dapat mengelompokkan seluruh piksel dalam beberapa kelas yang didasarkan pada nilai

61 spektral yang dimiliki tiap obyek. Tahap klasifikasi dapat dilakukan setelah nilai digital pada citra dikonversi menjadi nilai hambur balik kemudian tersaring dengan metode penyaringan dan metode analisis tekstur yang telah ditentukan berdasarkan percobaan yang telah dilakukan pada penelitian ini. Pada penelitian ini nilai hambur balik obyek pada citra ALOS PALSAR yang dijadikan acuan dalam penentuan nilai selang kelas berasal dari citra hasil HV penyaringan gamma 7x7 yang kemudian di analisis dengan analisis tekstur GLCM mean. Penentuan nilai selang hambur balik dari tiap obyek yang diamati diperoleh melalui tampilan grafik yang dihasilkan dari pembuatan garis training area pada tiap obyek yang diamati. Nilai selang diperoleh melalui pengamatan ekstraksi nilai hambur balik yang dihasilkan oleh mode polarisasi HH, karena nilai hambur balik yang dihasilkan citra pada polarisasi HH lebih besar dibandingkan dengan polarisasi HV sehingga tampilan citra akan semakin jelas. Jenis klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini berupa klasifikasi unsupervised dikarenakan data acuan primer tidak dilengkapi dengan data pengamatan secara in situ atau ground check. Tahapan yang perlu dilakukan analis sebelum menentukan nilai selang yaitu membuat jumlah kelas yang akan dibuat dari data yang diamati berjumlah lima buah yaitu obyek minyak berat, minyak sedang, minyak ringan serta obyek non minyak berupa perairan dan anjungan. Nilai selang kelas yang diperoleh kemudian akan diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi. Penentuan kelas diamati pada penelitian kali ini ditampilkan pada Gambar 21 di bawah ini.

62 Gambar 21. Pola Garis Transek untuk Penentuan Nilai Intensitas Obyek Pengamatan Keterangan Garis: Kuning : Minyak sedang; Pink : Perairan; Cyan : Minyak Ringan; Putih : Minyak berat; dan Merah : Anjungan Pada tahapan penyaringan gamma nilai hambur balik pada citra berkisar antara -35,0 db sampai dengan 15,0 db dimana nilai hambur balik obyek berupa minyak memiliki kisaran dari -35,0 s/d -21,0 db, perairan memiliki nilai yang lebih besar yaitu -20,0 s/d -10,0 db sedangkan obyek berupa anjungan memiliki nilai hambur balik sebesar -10,0 s/d 15,0 db. Pembuatan asumsi yang didasarkan pada nilai selang hambur balik menunjukkan bahwa obyek perairan yang tertutupi lapisan minyak akan memiliki nilai hambur balik yang lebih rendah dibandingkan lingkungan sekitar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brekke dan Solberg (2005) bahwa lapisan minyak yang menutupi permukaan laut akan meredam pergerakan

63 riak air berupa gelombang maupun arus akibat tekanan yang dimiliki oleh lapisan tersebut lebih besar dibandingkan tekanan air dan juga menyebabkan sinyal gelombang mikro yang dihambur balikkan menjadi lebih rendah akibat teredamnya sinyal tersebut. Namun untuk obyek yang tidak mengalami peredaman akibat lapisan minyak yang menutupi suatu permukaan perairan akan memiliki nilai hambur balik yang lebih besar. Nilai hambur balik yang diperoleh dari tahap penyaringan gamma 7x7 tidak dapat dijadikan acuan penentuan selang kelas dalam pewarnaan klasifikasi dari tiap obyek pada citra radar ini, karena nilai hambur balik pada tahap penyaringan ini memiliki selang nilai cukup besar sehingga mempersulit pengamat dalam menentukan nilai selang kelas yang dapat menghasilkan peta tematik tumpahan minyak yang sesuai. Hal ini dikarenakan satu piksel pada citra memiliki 16 bit data penyimpanan atau sama dengan 65.536 tingkat keabuan, maka diasumsikan semakin besar nilai selang kelas suatu obyek akan mempersulit piranti untuk mengelompokkan seluruh piksel menjadi beberapa kelas. Oleh karena itu citra hasil penyaringan gamma 7x7 diolah kembali dengan analisis tekstur GLCM mean 7x7. Analisis tekstural GLCM Mean dengan ukuran jendela pengamatan sebesar 7x7 dilakukan untuk mempermudah penentuan nilai selang kelas obyek berupa minyak dan non minyak. Nilai hambur balik pada tahapan ini bernilai positif dengan informasi tambahan mengenai tipe kekasararan dari obyek yang diamati. Jumlah kelas klasifikasi pada tahapan GLCM mean kali ini sebanyak tujuh kelas dimana kelas satu menyatakan selang kelas untuk tampilan citra terkoreksi, kelas dua dan tiga merupakan selang kelas untuk minyak berat, kelas

64 empat merupakan selang kelas minyak sedang, kelas lima merupakan selang kelas minyak ringan, kelas enam merupakan selang kelas perairan dan kelas ketujuh merupakan selang kelas anjungan minyak. Pembuatan dua kelas untuk obyek minyak berat karena selang nilai hambur balik minyak berat cukup besar, yaitu 1,5 9,0 db, sehingga mempersulit tahapan klasifikasi yang dilakukan. Oleh karena itu pemecahan kelas untuk obyek minyak berat dilakukan sehingga menghasilkan tampilan yang lebih teratur dan sesuai. Pada citra hasil penyaringan tekstur GLCM ditemukan nilai hambur balik obyek sebesar 21,0 35,0 db belum terklasifikasi dengan baik, oleh karena itu dilakukan pengamatan posisi nilai hambur balik pada piksel citra. Nilai selang hambur balik ini ditemukan disekililing lokasi anjungan, sehingga diasumsikan bahwa nilai hambur balik tersebut berupa minyak berat. Perbedaan nilai hambur balik obyek minyak berat di sekitar anjugan dapat terjadi akibat pengaruh nilai hambur balik anjungan sumur Montara. Oleh karena itu dalam pengaplikasian nilai selang hambur balik obyek pada formula klasifikasi, nilai ini diklasifikasikan sebagai obyek minyak berat. Nilai selang hambur balik tiap kelas obyek pengamatan dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Kisaran Nilai Hambur Balik Klasifikasi Obyek Kelas Obyek Nilai Selang Hambur Balik (db) Kelas 1 Scene citra 0 s.d. 1,5 Kelas 2 dan 3 Minyak berat 1,5 s.d. 4,5 ; 6,0 s.d. 9,0 dan 21,0 s.d. 35,0 Kelas 4 Minyak sedang 9,0 s.d. 10,5 Kelas 5 Minyak ringan 10,5 s.d. 13,0 Kelas 6 Perairan 13,0 s.d. 21,0 Kelas 7 Anjungan 35,0 s.d. 50,5 Nilai selang hambur balik yang diperoleh pada penelitian ini tidak dapat dibandingkan dengan nilai hambur balik penelitian sebelumnya. Hal ini sesuai

65 dengan pernyataan Samad dan Mansor (2011) bahwa nilai hambur balik radar dari obyek berupa tumpahan minyak ataupun bukan minyak yang telah diidentifikasi oleh pengamat sebelumnya tidak dapat dijadikan acuan oleh peneliti selanjutnya, karena nilai hambur balik dari obyek minyak tidak selalu sama. Faktor faktor yang mempengaruhi koefisien nilai hambur balik minyak tidak konstan diantaranya tipe tumpahan minyak, ketebalan dari tumpahan minyak, metode pengolahan yang digunakan, jenis data penginderaan jauh yang digunakan berasal dari jenis satelit dan sensor dengan mode polarisasi dan cakupan satelit tertentu yang digunakan. Penentuan nilai selang hambur balik juga dilakukan pada citra hasil analisis tekstur agar memperkuat alasan pengambilan nilai selang hambur balik obyek dari satu metode analisis yang akan diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi. Tabel 9 di bawah ini menunjukkan perbedaan nilai selang hambur balik obyek yang diperoleh dari pengamatan nilai hambur balik puncak grafik hasil ekstrak citra pada garis training area yang telah dibuat. Tabel 9. Perbandingan Nilai Intensitas Hambur Balik Obyek dengan Metode Analisis Tekstur Mean dan Correlation Obyek Pengamatan Nilai selang hambur balik Nilai selang hambur balik (db) (db) pada analisis Mean pada analisis Correlation Minyak Berat 1,5 s.d. 4,5 ; 6,0 s.d. 9,0 12,5 s.d. 23,5; 23,5 s.d. 40,0; dan 21,0s.d. 35,0 dan 40,0 s.d. 74,6 Minyak Sedang 9,0 s.d. 10,5 4,5 s.d. 8,5 dan 8,5 s.d. 12,5 Minyak Ringan 10,5 s.d. 13,0 2,5 s.d. 4,5 Perairan 13,0 s.d. 21,0-4,5 s.d. 2,5 Anjungan 35,0 s.d. 50,5-33,0 s.d. -18,0 dan -18,0 s.d. - 4,0 Nilai selang hambur balik yang ditunjukkan pada analisis correlation menunjukkan nilai yang berbanding terbalik dengan teori Brekke dan Solberg (2005). Nilai hambur balik pada analisis tekstur correlation menunjukkan bahwa

66 obyek dengan tingkat kekasaran permukaan yang tinggi menghambur balikkan gelombang mikro yang rendah dan sedikit sedangkan obyek dengan tingkat kekasaran yang rendah, akibat adanya lapisan minyak, menghambur balikkan gelombang mikro yang tinggi. Nilai hambur balik yang dihasilkan analisis correlation akan mempengaruhi visualisasi pewarnaan pada citra sehingga akan mempersulit peneliti dalam menentukan obyek yang teramati. Hasil perbandingan nilai ekstraksi hambur balik obyek ini akan memperkuat alasan bahwa nilai selang hambur balik analisis tekstur mean merupakan nilai hambur balik yang sesuai dengan teori untuk diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi unsupervised. Gambar 22 di bawah menampilkan visualisasi pewarnaan klasifikasi obyek berdasarkan analisis tekstur mean pada citra. Gambar 22. Hasil Klasifikasi Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor

67 Gambar 22 di atas menunjukkan bahwa obyek berupa minyak ringan dengan warna pink tergolong cukup sedikit penyebarannya, sedangkan obyek berupa minyak berat dengan warna hijau dan minyak sedang dengan warna kuning lebih mendominasi penyebaran tumpahan minyak yang terekam pada tanggal 2 September 2009. Menurut Xiaojing L et.al., (2012) citra Radar ALOS PALSAR memiliki resolusi spasial yang tinggi sehingga untuk pemantauan tumpahan minyak di Laut Timor dibutuhkan tujuh buah path citra untuk melingkup daerah tersebut. Kesulitan dari penggunaan citra ini untuk kegiatan pemantauan yaitu waktu pemindaian dari masing-masing citra yang tidak dilakukan secara bersamaan. Fakta ini menyebabkan citra hanya dapat menampilkan keberadaan tumpahan minyak pada hari tertentu daripada memberikan informasi mengenai visualisasi tumpahan minyak tersebut untuk seluruh area yang tercemar. Oleh karena itu luasan tumpahan minyak dari tiap obyek yang terekam oleh satelit hanya memberikan informasi luasan penyebaran tumpahan minyak secara horizontal pada permukaan perairan dengan cakupan wilayah sesuai dengan titik koordinat citra pengamatan. Nilai kisaran luas peyebaran tumpahan minyak yang diperoleh pada citra pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Kisaran Hamburan Balik (db), Luas Tumpahan Minyak Berdasarkan Citra ALOS PALSAR Wilayah km 2 Kisaran Hambur Balik (db) Minyak Berat 3.122 1,5 s.d. 9,0 db dan 21,0 s.d. 35,0 db Minyak Sedang 3.431 9,0 s.d. 10,5 db Minyak Ringan 259 10,5 s.d. 13,0 db Perairan 1.257 13,0 s.d. 21,0 db Platform 10 35,0 s.d. 50,5 db

68 Luasan dari obyek yang diamati dapat dilihat pada Tabel 10 di atas, satuan pengukuran luasan dari obyek yaitu km 2. Tabel di atas memberikan informasi bahwa obyek berupa minyak sedang mendominasi wilayah penyebaran tumpahan minyak pada saat satelit merekam Laut Timor tanggal 2 September 2009 dibandingkan dengan obyek minyak berat yaitu seluas 3.431 km 2. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor angin yang menyebabkan adanya pergerakan permukaan laut sehingga menyebabkan minyak yang tumpah terdistribusikan secara luas. Informasi luas obyek non minyak berupa platform merupakan gabungan nilai kisaran luas obyek untuk dua buah platform, namun nilai kisaran luas obyek yang dihasilkan terlalu besar. Hal ini dapat terjadi karena selang nilai intensitas hambur balik terlalu besar akibat tercampurnya nilai hambur balik obyek minyak yang berada di sekitar platform dengan nilai hambur balik dari anjungan itu sendiri. Sedangkan luas obyek pengamatan non minyak berupa perairan tergolong rendah dikarenakan luas obyek perairan yang tidak tercemar minyak yang terekam oleh satelit tergolong sempit atau sedikit. Informasi kisaran luasan penyebaran minyak yang diperoleh dari pengolahan citra tidak dapat dijadikan acuan peneliti untuk menangani tumpahan minyak Montara di Laut Timor karena cakupan luasan wilayah pengamatan satelit ALOS PALSAR lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang terkontaminasi. Namun informasi luasan tumpahan minyak secara horisontal ini dapat dijadikan acuan arah penyebaran tumpahan minyak untuk wilayah pengamatan yang sesuai dengan titik koordinat citra. Asumsi besaran tumpahan minyak Montara yang mencemari wilayah pengamatan citra di Laut Timor dapat bertambah atau berkurang karena informasi luasan lapisan minyak berat, minyak sedang dan

69 minyak ringan yang teramati merupakan informasi secara horizontal permukaan perairan, sehingga kemungkinan adanya luasan lapisan minyak dengan massa jenis berat, sedang ataupun ringan secara vertikal tidak dapat terdeteksi. Sehingga asumsi luasan secara horizontal tumpahan minyak berupa minyak sedang yang terhitung pada program sebesar 3.431 km 2 memiliki kemungkinan pada data lapangan memiliki luas sebesar 6.553 km 2. Asumsi nilai luasan ini diperoleh melalui perhitungan luasan tumpahan minyak sedang yang terekam ditambah dengan luasan tumpahan minyak berat karena massa jenis minyak sedang lebih rendah dibandingkan minyak berat sehingga adanya kemungkinan minyak sedang tertutupi oleh lapisan minyak berat. Asumsi luasan untuk obyek minyak ringan juga memiliki kemungkinan lebih besar dibandingkan nilai luasan penyebaran tumpahan minyak yang terekam oleh citra yaitu sebesar 6.812 km 2.. Nilai akurasi suatu citra pengamatan diperoleh melalui data pengamatan secara in situ dan klasifikasi terbimbing (Prayudha, 2010). Menurut Prayudha (2010) nilai akurasi umum (Overall Accuracy) untuk hasil penafsiran visual pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m tahun 2009 adalah sebesar 62,75%. Nilai akurasi dipengaruhi oleh resolusi spasial suatu sensor, semakin tinggi resolusi spasial yang diamati maka nilai akurasi semakin tinggi begitu juga sebaliknya (Ristiana, 2011). Oleh karena itu dapat dikatakan nilai akurasi ALOS PALSAR dengan resolusi spasial 12,5 meter memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan nilai akurasi untuk resolusi 50 m namun persentase nilai ini tidak diketahui karena tidak adanya pengamatan obyek secara lapang.

70 4.7 Pola Pergerakan Angin di Laut Timor Tampilan warna gelap pada perairan tidak dapat dijadikan sebagai landasan pernyataan bahwa obyek yang berada pada wilayah tersebut adalah tumpahan minyak tanpa adanya pengamatan lebih lanjut mengenai keadaan lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan obyek lain yang menyerupai lapisan minyak seperti sperma organisme laut (ikan paus) serta keadaan perairan yang tenang akibat kecepatan angin yang rendah dapat menyebabkan tampilan pada citra berwarna lebih gelap dibandingkan lingkungan sekitar. Kriteria untuk mengetahui obyek yang teramati tergolong ke dalam tumpahan minyak apabila obyek yang teramati tampak berwarna lebih gelap dibandingkan sekitarnya pada saat lingkungan memiliki kecepatan angin yang tergolong ideal dan tetap. Lapisan minyak tersebut pada umumnya berada di sekitar kapal, daerah pemboran atau lokasi bongkar muat dan lalu lintas kapal. Sedangkan kriteria untuk obyek yang menyerupai (misal sperma organisme, kumpulan rumput laut) dapat terdeteksi pada daerah dengan kecepatan angin yang rendah, berada di zona pesisir hingga daerah yang terlindung dari angin, daerah gelap yang panjang dan diikuti dengan perubahan bentuk spiral, lapisan yang alami membentuk gabungan dengan arus atau daerah pemusatan, menyerupai kelompok titik hujan dimana bagian pusat memiliki hambur balik yang sangat rendah dan dikelilingi oleh obyek yang memiliki hambur balik yang sangat tinggi (Susantoro TM et.al, 2010). Tipe angin musim yang terjadi di Laut Timor pada saat satelit merekam lokasi penelitian ini adalah tipe angin musim peralihan dua karena perekaman data dilakukan pada bulan September. Tipe angin musim ini dapat dibuktikan dengan

71 menampilkan hasil visualisasi pola pergerakan angin di wilayah pengamatan. Satuan yang digunakan pada visualisasi kecepatan angin dapat berupa meter per satuan detik (m/s) ataupun knot (kn). Knot adalah satuan kecepatan yang sama dengan satu mil laut per jam atau sama dengan 1,852 km / jam (Endarko et. al., 2009). Namun untuk menyesuaikan nilai 1 knot dengan satuan m/s maka perlu dilakukan konversi data dengan membagi nilai variabel kecepatan angin m/s dengan nilai 0,5144 (Endarko et.al., 2009). Penggunaan satuan knot ditujukan untuk menyesuaikan format data kecepatan yang umum digunakan dalam dunia kelautan dan pelayaran. Pengolahan data angin yang pertama kali dilakukan adalah data angin yang diunduh selama satu minggu sebelum satelit ALOS PALSAR memindai lokasi Laut Timor pada path 6930 dan 6940 (Gambar 23). a b c Gambar 23. Visualisasi Pergerakan Angin Satu Minggu Sebelum Satelit Merekam Laut Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra dan (c). Windrose Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan

72 Gambar 23 a menunjukkan bahwa pola arah angin yang terjadi pada akhir Agustus merupakan pola arah angin muson peralihan yang ditandai dengan pergerakan angin dari benua Australia menuju arah Asia yang melewati Laut Timor dan Laut Jawa dengan kecepatan maksimal angin sebesar 6 m/s atau 11,6 knot yang tergolong sebagai kecepatan angin ideal untuk identifikasi tumpahan minyak pada citra menurut Hu et al (2005). Pola pergerakan angin yang tidak menentu akibat terjadinya angin muson peralihan II saat perekaman terjadi sehingga diasumsikan akan mempengaruhi pola penyebaran tumpahan minyak di permukaan perairan menjadi tidak beraturan yang akan mempersulit pembuatan asumsi luasan penyebaran tumpahan minyak oleh peneliti. Visualisasi arah angin yang ditunjukkan pada Gambar 23 b dan c merupakan pola arah angin yang khusus difokuskan untuk pengamatan wilayah Laut Timor sesuai titik koordinat perekaman citra satelit ALOS PALSAR dengan kecepatan angin berkisar antara 0 1,7 m/s. Pada skala Beaufort, kecepatan angin yang terekam pada 24 Agustus 30 Agustus 2009 memiliki kriteria angin lemah yang dapat menyebabkan munculnya riak kecil di atas permukaan sehingga kemungkinan adanya pengadukan obyek minyak ke dalam badan perairan kecil. Hal yang mempengaruhi lemahnya pergerakan angin karena adanya asumsi kedudukan matahari yang melewati garis ekuator mempengaruhi perbedaan suhu antara benua Asia dan Australia yang tidak terlalu besar sehingga pergerakan angin minim terjadi. Pengolahan data angin kedua dilakukan untuk data angin yang diunduh selama satu minggu saat satelit ALOS PALSAR memindai lokasi Laut Timor pada path 6930 dan 6940 yaitu pada tanggal 31 Agustus 6 September 2009. Nilai

73 angin yang diolah ini merupakan nilai rata-rata angin yang berhembus selama satu minggu pengamatan yang ditampilkan pada Gambar 24 di bawah. a b c Gambar 24. Visualisasi Pergerakan Angin Satu Minggu Saat Satelit Merekam Laut Timor (a). di Sekitar Wilayah Pemindaian, (b). Pada Citra dan (c). Windrose Arah Angin Pada Titik Koordinat Citra Pengamatan Gambar 24 di atas menunjukkan pola pergerakan angin pada bulan akhir Agustus hingga awal September didominasi oleh pergerakan angin berasal dari arah tenggara dan menuju arah barat dan barat laut meskipun terdapat beberapa visualisasi pola pergerakan angin yang tidak mengikuti pola pergerakan angin musim yang terjadi di daerah Laut Timor. Pola pergerakan arah angin yang tidak beraturan ini sesuai dengan teori pergerakan angin pada angin musim peralihan II Pergerakan angin dari satu arah angin menuju arah angin lainnya disebabkan oleh perbedaan tekanan suatu wilayah yaitu dari wilayah bertekanan tinggi berhembus ke wilayah bertekanan rendah. Berdasarkan visualisasi di atas dapat dilihat bahwa tekanan angin di atas benua Australia lebih besar dibandingkan dengan tekanan

74 angin di atas benua Asia. Semakin tinggi tekanan di suatu wilayah maka suhu yang berada di atas wilayah tersebut akan rendah, hal ini dikarenakan fungsi antara tekanan dan suhu berbanding terbalik. Pola angin di atas wilayah pemindaian satelit pada bulan Agustus akhir hingga September awal ditunjukkan pada Gambar 24 b. Pergerakan pola angin yang menuju arah barat dan barat laut pada saat akhir Agustus hingga awal September 2009 mengakibatkan penyebaran tumpahan minyak menuju daerah Nusa Tenggara Timur cenderung melebar dengan kecepatan 1-6 m/s atau 1 14 knot. Pada Gambar 23 a terlihat kisaran kecepatan angin 0-8 m/s atau dalam satuan knot sebesar 15,6 knot. Pada tampilan Gambar 24 b tampak kecepatan angin yang bertiup di atas permukaan perairan di wilayah pengamatan citra memiliki kecepatan maksimum sebesar 2,4 m/s atau 4,6 knot. Berdasarkan kecepatan angin yang terekam pada tanggal 31 Agustus 6 September 2009 dikategorikan angin yang berhembus termasuk ke dalam angin ringan atau lemah dalam skala Beaufort yang berkisar antara 1.9 19.4 knot atau 1 10 m/s yang akan memberikan efek kepada permukaan laut berupa riak kecil terbentuk namun tidak pecah serta permukaan tetap seperti kaca (Tjasyono, 2007). Keadaan ini akan menyebabkan perbedaan nilai hambur balik antara obyek perairan dan minyak tidak terlalu besar serta kemungkinan akan adanya penyebaran dan percampuran lapisan minyak di atas permukaan perairan kecil. Fakta keadaan permukaan perairan yang tenang inilah yang dijadikan asumsi dalam penentuan kecepatan angin ideal dalam identifikasi obyek lapisan minyak di atas permukaan perairan menurut Sitanggang (2004) dan Hu et.al., (2003).