VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN. rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan

dokumen-dokumen yang mirip
VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN

PENGARUH BIAYA TRANSAKSI TERHADAP PERILAKU EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI PETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN MINAHASA 1)

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian menggunakan metode survei pada sampel rumahtangga petani

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VI. STRUKTUR BIAYA TRANSAKSI. produksi serta rasio biaya transaksi dan penerimaan, rasio biaya transaksi dan

V. DESKRIPSI WILAYAH DAN RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN. umum rumahtangga petani peternak sapi sebagai responden. Keadaan umum wilayah

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

KAJIAN ANALISA SKALA USAHATANI TANAMAN JAHE SEBAGAI TANAMAN SELA PADA TANAMAN KELAPA ( Studi Kasus Kecamatan Kewapante )

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK. partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap

III. KERANGKA TEORI. Integrasi usaha sapi pada kawasan persawahan bertujuan untuk. memanfaatkan potensi sumberdaya wilayah dalam rangka mempertahankan

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

2. TINJAUAN PUSTAKA. π = f (Py; Pxi; ;Pzj)

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK. umum perilaku ekonomi rumahtangga petani di wilayah penelitian.

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

X. KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. Semua konsep dan defenisi operasional ini mencakup pengertian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DISERTASI FEMI HADIDJAH ELLY

II. TINJAUAN PUSTAKA. dua atau lebih input (sumberdaya) menjadi satu atau lebih output. Dalam

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN. elastisitas, konsep return to scale, konsep efisiensi penggunaan faktor produksi

IV. METODE PENELITIAN

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada Tabel 14 juga diperlihatkan besar total pengeluaran rumahtangga. Besaran

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian pada setiap tahap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. A. Kesimpulan. 1. Pada daerah sentra produksi utama di Indonesia, perkembangan luas panen,

V1. ANALISIS USAHATANI PETANI PESERTA DAN NON-PESERTA PRIMA TAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

III. KERANGKA PEMIKIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

KUISIONER PRAKTIKUM LAPANG ILMU USAHATANI (Responden : Petani)

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil

PENDAHULUAN. dimiliki oleh petani masih dalam jumlah yang sangat terbatas.

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

I. PENDAHULUAN. perekonomian di Bali. Sektor ini menyumbang sebesar 14,64% dari total Produk

III. METODE PENELITIAN. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan pada subsistem budidaya (on farm) di Indonesia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

DAFTAR PUSTAKA. Allen, D.W and D. Lueck The Nature of The Farm. Contracts, Risk and Organization in Agriculture. The MIT Press.

ANALISIS EFISIENSI ALOKATIF PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI USAHATANI UBIKAYU

III. KERANGKA PEMIKIRAN

DAMPAK PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK TERHADAP PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PETANI: ANALISIS SIMULASI EKONOMI RUMAH TANGGA 1)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi opersional ini mencakup pengertian yang digunakan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii

Transkripsi:

VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN Untuk menjawab tujuan penelitian ini telah dilakukan analisis perilaku rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan program SAS 9.0. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dalam bab ini akan dibahas hasil estimasi model ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara. Perilaku ekonomi rumahtangga dipelajari berdasarkan usaha ternak sapi jagung dan usaha ternak sapi tanaman kelapa. Usaha ternak sapi-jagung spesifik untuk Minahasa dan usaha ternak sapi - kelapa spesifik untuk Bolaang Mongondow. Pembahasan bab ini mencakup (1) perilaku produksi (sapi, jagung, kelapa); (2) perilaku penggunaan input produksi; (3) perilaku penggunaan tenaga kerja; (4) perilaku biaya transaksi, dan (5) perilaku pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi. Data yang digunakan adalah data cross section, dengan analisis pertama dilakukan adalah analisis estimasi parameter. Model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara yang dibangun merupakan model persamaan simultan. Hasil estimasi parameter diperoleh berdasarkan hasil respesifikasi yang berulang-ulang sehingga tanda-tanda parameter dari setiap variabel sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hal ini model yang dibangun merupakan model yang bermakna sesuai kriteria ekonomi. Kriteria ekonomi dimaksud yaitu dengan memperhatikan arah (sign) dan besaran (size) dari parameter yang diduga (Koutsoyiannis, 1977). Model yang dibangun merupakan model yang bermakna sesuai kriteria ekonomi, walaupun belum memuaskan menurut kriteria statistik. Kriteria statistik

209 dilihat dari nilai koefisien determinasi (R 2 ) dan uji t statistik. Nilai R 2 persamaan perilaku di Kabupaten Minahasa lebih besar 0.50 hanya sebanyak 52.63 persen dari jumlah persamaan perilaku dan sisanya 47.37 persen nilai R 2 lebih kecil 0.50. Sedangkan untuk Kabupaten Bolaang Mongondow, nilai R 2 lebih besar 0.50 hanya sebanyak 46.67 persen dan sisanya 53.33 persen nilai R 2 lebih kecil 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas pada sebagian besar persamaan struktural hanya mampu menjelaskan variasi peubah endogennya dalam proporsi yang lebih kecil. Kenyataan ini disebabkan karena data yang digunakan merupakan data cross section yaitu data yang diambil pada saat yang bersamaan (data satu titik waktu) menyebabkan variasi datanya kecil. Hasil ini terjadi juga untuk penelitian yang dilakukan oleh Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007) dan Priyanti (2007). Menurut Kusnadi (2005), hasil estimasi parameter dengan menggunakan data cross section sulit memperoleh R 2 yang tinggi. Dalam hal ini tanda parameter hasil estimasi yang dipentingkan dan telah sesuai harapan. Berdasarkan nilai uji t statistik yang telah dilakukan baik untuk model ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa maupun Bolaang Mongondow menunjukkan sebagian besar peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh terhadap peubah endogennya pada taraf nyata 15 persen. Selanjutnya, nilai uji F sesuai hasil estimasi menunjukkan bahwa sebagian besar model regresi secara statistik nyata pada taraf nyata <.0001. Beberapa penelitian yang telah dikaji menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga dalam beternak masih merupakan keputusan rumahtangga sebagai produsen. Penelitian ini, baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow mempelajari keputusan rumahtangga sebagai produsen sekaligus konsumen dan

[ Dalam 210 penyedia tenaga kerja. Model pemecahan yang dilakukan karena tidak berlakunya salah satu asumsi separable yaitu adanya biaya transaksi. Adanya biaya transaksi pada aktivitas rumahtangga dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan pasar (market failure). Biaya transaksi dinyatakan sebagai penentu harga. Hal ini sejalan dengan penelitian Dutilly-Diane, et al., (2003). Biaya transaksi yang tinggi sangat mempengaruhi pasar input dan pasar output (Matungul, et al., 2006). Lofgren and Robinson (1999) membahas pengembangan model rumahtangga usahatani nonseparable dengan biaya transaksi dan regim pasar apakah rumahtangga surplus, self sufficient atau defisit untuk produksi dan konsumsi. Selanjutnya, penelitian Kusnadi (2005) memasukkan harga input dan harga output sebagai peubah endogen. Dalam penelitian Kusnadi harga output maupun harga input adalah harga bayangan. Harga bayangan diukur dari nilai produktivitas marjinal input yang diturunkan dari fungsi produksi usahatani. penelitian ini, data yang digunakan merupakan data cross section sehingga harga output dan harga input maupun upah tenaga kerja tidak bervariasi. Dengan biaya transaksi menyebabkan harga output dan upah tenaga kerja bervariasi. Harga output dan upah tenaga kerja dalam penelitian ini adalah peubah endogen yang dinyatakan sebagai harga dan upah bayangan. Komponen biaya transaksi penjualan sapi yaitu biaya perantara penjualan sapi maupun biaya transpor penjualan jagung dan biaya transpor penjualan kelapa juga dinyatakan sebagai peubah endogen. Model yang dibangun menunjukkan biaya transaksi mempengaruhi keputusan produksi, pengalokasian tenaga kerja serta pengeluaran konsumsi. Adanya biaya transaksi tersebut melanggar asumsi separable (Sadaulet and de

211 Janvry, 1995). Dalam keputusan produksi, biaya transaksi mempengaruhi harga output yang dinyatakan sebagai harga bayangan. Kemudian harga bayangan mempengaruhi produksi. Biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga untuk penggunaan input produksi. Dalam pengalokasian tenaga kerja, biaya transaksi mempengaruhi upah tenaga kerja dinyatakan sebagai upah bayangan. Selanjutnya, upah bayangan mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam penawaran dan permintaan tenaga kerja. Secara teori, biaya transaksi mempengaruhi pasar tenaga kerja. Biaya transaksi mempengaruhi keputusan konsumsi yang dinyatakan sebagai total pendapatan rumahtangga. Untuk menjawab tujuan kedua telah dibangun model ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara. Model ekonomi rumahtangga di Minahasa dalam penelitian ini terdiri dari 19 persamaan struktural dan 24 persamaan identitas. Sedangkan model ekonomi rumahtangga di Bolaang Mongondow terdiri dari 15 persamaan struktural dan 20 persamaan identitas. Untuk menjawab tujuan ketiga telah dianalisis estimasi perilaku masingmasing peubah endogen. Peubah endogen untuk Minahasa yaitu : produksi sapi, penjualan sapi, produkivitas jagung, luas lahan garapan jagung, jumlah permintaan rumput, permintaan benih jagung, permintaan pupuk urea dan TSP, penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi dan jagung, permintaan tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak sapi untuk jagung, curahan tenaga kerja untuk buruh tani, biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan jagung, konsumsi pangan dan non pangan, investasi pendidikan dan konsumsi jagung. Peubah endogen dalam model rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow yaitu : produksi sapi, penjualan sapi, produktivitas kelapa,

212 jumlah permintaan rumput, penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi dan penawaran tenaga kerja untuk usaha kelapa, permintaan tenaga kerja sewa, tenaga kerja ternak sapi untuk usaha kelapa, curahan tenaga kerja sebagai buruh tani, biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan kopra, konsumsi pangan, konsumsi non pangan, investasi pendidikan dan surplus produksi kelapa. Perilaku ekonomi rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow dengan mempelajari biaya transaksi dan faktor lain yang mempengaruhi peubah endogen dan respon masing-masing peubah endogen. 7.1. Perilaku Produksi Perilaku produksi yang dianalisis untuk rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa adalah produksi sapi dan produksi jagung. Produksi sapi terdiri dari dua persamaan perilaku dan satu persamaan identitas. Persamaan perilaku terdiri dari persamaan produksi ternak sapi (PROS) dan penjualan sapi (PROSJ). Kemudian produksi jagung terdiri dari dua persamaan perilaku yaitu persamaan perilaku produktivitas jagung (PRODJ), persamaan luas lahan garapan jagung (LHNJ) dan persamaan identitas untuk produksi jagung (PROJ). Perilaku produksi rumahtangga di Bolaang Mongondow adalah produksi sapi dan produksi kelapa. Produksi sapi terdiri dari dua persamaan perilaku dan satu persamaan identitas. Persamaan perilaku terdiri dari persamaan produksi sapi (PROS) dan penjualan sapi (PROSJ). Untuk usaha kelapa terdapat satu persamaan perilaku yaitu produktivitas kelapa (PRODK) dan satu persamaan identitas untuk produksi buah kelapa (PROB) (Tabel 37). Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 37, selanjutnya dibahas respon masing-masing peubah endogen perilaku produksi.

213 Tabel 37. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Produksi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Variabel Kode Parameter Estimasi Minahasa Elastisitas Bolaang Mongondow Parameter Elastisitas Estimasi Produksi Sapi PROS Intersep - -89.799 Harga Bay Sapi HTSB 0.00717* 0.62256 0.00238 0.1433 Kons Rumput JRUM 0.00416* 0.21088 0.03697* 1.0003 Kons Jagung KONJ 0.00729 0.01496 - - Lama Beternak LBS 2.39987* 0.14605 - - TK Kel utk Sapi TKDS - - 0.03604 0.0332 Penjualan Sapi PROSJ Intersep -24.028-48.698 Harga Bay Sapi HTSB 0.00009 0.00261 0.00094 0.3324 Produksi Sapi PROS 0.71466* 1.96163 0.12766* 0.7471 Total Biaya TB - - 4.36E-6* 0.4818 Produktivits Jagung PRODJ Intersep -31020.3 - Harga Bay Jagung HJGB 20.8556 0.52305 - - TK Luar utk Jagung TKLJ 47.2051* 0.58039 - - TK Sapi utk Jagung TKSJ 190.736* 2.28325 - - Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 4.125E-6 0.01150 - - Pendapatn Luar UT PLUT 0.00013* 0.29769 - - Produktivita Kelapa PRODK Intersep - -32437.3 Harga Bay Kopra HKOB - - 2.52877* 0.0665 Jumlah Pohon Kelapa JPK - - 347.096* 3.1216 Pupuk Urea JPUK - - 26.9665* 0.1564 TK Luar utk Kelapa TKLK - - 11.3689* 0.3136 TK Sapi utk Kelapa TKSK - - 221.573 0.3713 Luas Lahan Jagung LHNJ Intersep -0.3042 - TK Kel utk Jagung TKDJ 0.00037* 0.16210 - - TK Luar utk Jagung TKLJ 0.00136* 0.08325 - - Benih Jagung JBJ 0.00366* 0.04970 - - Pupuk Urea JPUJ 0.00099* 0.97086 - - Pupuk TSP JPTJ 0.00264* 0.55465 - - Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 8.0E-09* 0.11231 - - Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas

214 7.1.1. Produksi Sapi Produksi sapi (PROS) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB), jumlah konsumsi rumput (JRUM), konsumsi jagung (KONJ) dan pengalaman beternak sapi (LBS). Sedangkan produksi sapi (PROS) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB), jumlah konsumsi rumput (JRUM) dan penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi (TKDS). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa harga bayangan diperoleh dari selisih antara harga ternak sapi hidup dan biaya transaksi. Peubah harga bayangan dinyatakan apabila kondisi rumahtangga surplus (Minot, 1999). Dalam penelitian ini rumahtangga petani peternak menjual ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga dinyatakan rumahtangga surplus. Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007), produksi sapi selain dipengaruhi harga ternak sapi hidup, juga dipengaruhi oleh jumlah jerami segar, jumlah bakalan, jumlah konsentrat dan jumlah obat sapi. Hal ini disebabkan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara merupakan usaha ternak rakyat yang dipelihara secara tradisional. Dalam hal ini ternak sapi dibiarkan merumput sendiri sehingga konsumsi rumput adalah rumput yang tumbuh liar ataupun limbah pertanian ditambah dengan konsumsi jagung (untuk Minahasa). Pada penelitian ini jumlah rumput di proxy dari jumlah rumput yang dikonsumsi apabila petani peternak membeli rumput. Selain itu, perilaku beternak sapi sebagai usaha turun temurun sehingga jumlah bakalan tidak bisa diperhitungkan dalam penelitian ini. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen produksi sapi (PROS) di Minahasa telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-

215 masing peubah harga bayangan ternak sapi (HTSB), jumlah rumput (JRUM), konsumsi jagung (KONJ) dan pengalaman beternak sapi (LBS) menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ternak sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi pada Tabel 37 juga menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen produksi sapi (PROS) di Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan sapi (HTSB), jumlah rumput (JRUM) dan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi (TKDS) menyebabkan terjadinya peningkatan produksi sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi menunjukkan peubah harga bayangan ternak sapi, jumlah permintaan rumput dan pengalaman beternak sapi di Minahasa masing-masing berpengaruh nyata terhadap produksi sapi pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan peubah harga bayangan ternak sapi dan penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak sapi di Bolaang Mongondow masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap produksi sapi pada taraf nyata 15 persen. Peubah jumlah konsumsi rumput berpengaruh nyata terhadap produksi sapi pada taraf nyata 15 persen. Biaya transaksi dalam penelitian ini mempengaruhi harga bayangan. Peningkatan biaya transaksi menyebabkan harga bayangan semakin kecil, akibatnya ada kecenderungan menurunnya produksi sapi. Hal ini disebabkan usaha sapi merupakan usaha sambilan sehingga biaya transaksi yang semakin tinggi menyebabkan harga yang diterima rumahtangga semakin kecil. Kondisi tersebut mengakibatkan kemauan berusaha semakin menurun, rumahtangga tidak berusaha meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara. Secara teoritis, biaya transaksi mempengaruhi perilaku rumahtangga dalam keputusan produksi.

216 Hasil analisis menunjukkan kenaikan harga bayangan ternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow masih bisa mendorong rumahtangga meningkatkan produksi ternaknya. Perbedaannya, harga bayangan ternak sapi memberikan pengaruh sangat besar terhadap produksi sapi di Minahasa sedangkan di Bolaang Mongondow pengaruhnya kecil. Jumlah permintaan rumput berdampak cukup besar terhadap produksi ternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow. Semakin banyak permintaan rumput untuk konsumsi maka produksi sapi diharapkan semakin meningkat. Dalam hal ini pakan utama ternak sapi adalah rumput. Peubah konsumsi jagung di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap produksi ternak sapi. Dalam hal ini, jumlah konsumsi jagung pengaruhnya kecil terhadap produksi ternak sapi. Hal ini disebabkan karena ternak sapi dibiarkan merumput sendiri atau diberikan rumput liar dan limbah pertanian. Jagung dikonsumsi ternak pada saat musim tanam dan dalam setahun dua sampai tiga kali tanam. Sebaliknya di Bolaang Mongondow ternak sapi tidak mengkonsumsi jagung kecuali limbah jagung. Seperti telah dijelaskan di Minahasa rumahtangga petani peternak sapi menanam jagung khusus untuk diberikan ke ternak. Demikian pula pengalaman dalam beternak sapi di Minahasa mendorong rumahtangga meningkatkan produksi sapi dan pengaruhnya cukup besar. Sedangkan di Bolaang Mongondow pengalaman berusaha dianggap tidak mempengaruhi peningkatan produksi ternak sapi. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak sapi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi sapi. Ketersediaan tenaga kerja keluarga pada usaha ternak sapi yang semakin tinggi di Bolaang Mongondow akan

217 mendorong rumahtangga meningkatkan produksi sapi. Walaupun ketersediaan tenaga kerja keluarga tersebut pengaruhnya kecil dalam peningkatan produksi. Sedangkan di Minahasa penawaran tenaga kerja keluarga di anggap tidak mempengaruhi produksi sapi. Hal ini disebabkan tenaga kerja sudah tertentu dengan jumlah ternak sapi lebih besar dibanding di Bolaang Mongondow. Besarnya nilai elastisitas produksi sapi terhadap peubah harga bayangan sapi, jumlah konsumsi rumput, konsumsi jagung dan pengalaman beternak sapi di Minahasa masing-masing lebih kecil satu. Hasil ini menunjukkan produksi sapi tidak responsif terhadap harga bayangan sapi. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa walaupun usaha sapi merupakan usaha sambilan namun pemeliharaan sapi dilakukan rumahtangga secara turun temurun. Disini peningkatan biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan penurunan produksi. Sejalan dengan penelitian Priyanti (2007), produksi sapi tidak responsif terhadap peubah harga sapi hidup dan jumlah jerami segar. Demikian pula produksi sapi tidak responsif terhadap konsumsi rumput. Kenyataan di Minahasa menunjukkan bahwa rumput yang dikonsumsi merupakan rumput liar atau limbah pertanian, sehingga peningkatan konsumsi rumput kurang direspon dengan peningkatan produksi sapi. Secara teori, kualitas rumput liar ataupun limbah pertanian belum bisa menjamin apakah sudah memenuhi standar nilai nutrisi hijauan. Rumahtangga berusaha menambah jagung muda sebagai konsumsi ternak sapi. Namun, penanaman jagung dalam setahun sangat terbatas. Hal inilah yang menyebabkan produksi sapi juga tidak responsif terhadap konsumsi jagung. Selanjutnya, hasil analisis juga menunjukkan bahwa produksi sapi tidak responsif terhadap pengalaman beternak sapi. Kondisi ini disebabkan dalam meningkatkan produksi dipengaruhi oleh

218 penggunaan input. Selain penggunaan input dan kondisi sosial, peningkatan produksi sapi juga dipengaruhi oleh ketersediaan dana. Permintaan rumput sebagai salah satu input yang mempengaruhi peningkatan produksi sapi di Bolaang Mongondow. Jumlah permintaan rumput berdampak cukup besar terhadap produksi sapi. Semakin banyak permintaan rumput untuk konsumsi maka produksi sapi diharapkan semakin meningkat. Kenyataan menunjukkan produksi sapi sangat responsif terhadap permintaan rumput. Hal ini disebabkan pakan utama bagi ternak sapi adalah rumput, sehingga respon permintaan rumput sangat tinggi bagi produksi sapi. Kondisi ini berbeda dengan penelitian Priyanti (2007), bahwa produksi sapi tidak responsif terhadap peubah harga sapi hidup dan jumlah jerami segar. Di Bolaang Mongondow, rumput yang dikonsumsi sapi sebagian besar rumput liar dan limbah pertanian. Berbeda dengan di Minahasa yang menanam jagung sebagai pakan sapi. 7.1.2. Penjualan Ternak Sapi Penjualan Sapi (PROSJ) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB) dan produksi sapi (PROS). Sedangkan penjualan Sapi (PROSJ) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB), produksi sapi (PROS) dan total biaya (TB). Rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow menjual ternaknya apabila ada kebutuhan yang mendesak apakah karena kebutuhan pendidikan, konsumsi, kesehatan ataupun untuk kebutuhan proses produksi usahatani (pembelian bibit atau upah tenaga kerja) dan sebagainya. Apalagi bila ada peningkatan harga ternak akan mendorong rumahtangga menjual ternaknya. Namun bila terjadi peningkatan

219 biaya transaksi mengakibatkan rumahtangga mengurangi jumlah penjualan ternak sapi. Hal ini disebabkan dengan biaya transaksi yang semakin tinggi maka harga yang diterima semakin kecil, akibatnya penerimaan rumahtangga makin kecil. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen penjualan sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan sapi dan produksi sapi di Minahasa menyebabkan terjadinya peningkatan penjualan ternak sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Demikian pula peubah harga bayangan ternak, produksi sapi dan total biaya di Bolaang Mongondow menyebabkan naiknya penjualan ternak sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah harga bayangan sapi di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Hal ini disebabkan rumahtangga menjual ternak apabila ada kebutuhan mendesak. Kenaikan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap penurunan penjualan sapi. Atau sebaliknya peningkatan harga memotivasi rumahtangga untuk meningkatkan penjualan ternak sapi. Sedangkan produksi sapi di Minahasa berpengaruh nyata terhadap penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Produksi sapi berdampak cukup besar terhadap penjualan sapi. Rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitasnya dengan cara meningkatkan pengeluaran konsumsi terutama untuk kebutuhan pokok. Pengeluaran konsumsi tergantung pada pendapatan yang diterima rumahtangga. Kondisi ini menunjang rumahtangga untuk meningkatkan penjualan apabila produksi sapi terus meningkat. Kenyataan ini menunjukkan perubahan produksi sapi sangat berpengaruh terhadap penjualan sapi.

220 Peubah harga bayangan sapi di Bolaang Mongondow juga berpengaruh tidak nyata terhadap penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Hal ini disebabkan rumahtangga menjual ternak apabila ada kebutuhan mendesak. Rumahtangga didatangi perantara kemudian perantara menawarkan untuk membeli ternak sapi mereka. Pada saat tertentu rumahtangga mencari pembeli tetapi melalui perantara, namun hal tersebut jarang terjadi. Apalagi bila ada peningkatan harga akan mendorong rumahtangga menjual ternaknya. Peningkatan biaya transaksi mengakibatkan rumahtangga mengurangi jumlah penjualan ternak sapi. Hal ini disebabkan dengan biaya transaksi yang semakin tinggi maka harga yang diterima semakin kecil dan penerimaan rumahtangga semakin kecil. Matungul, et al., (2006) mengemukakan tingkat pendapatan penjualan produk usahatani termasuk usaha ternak, salah satunya dipengaruhi biaya transaksi. Sebaliknya peningkatan harga memotivasi rumahtangga untuk meningkatkan penjualan sapi. Produksi sapi dan total biaya masing-masing berpengaruh nyata terhadap penjualan ternak sapi pada taraf nyata 15 persen. Seperti di Minahasa, rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitasnya dengan cara meningkatkan pengeluaran konsumsi terutama untuk kebutuhan pokok. Pengeluaran konsumsi baik konsumsi kebutuhan pokok maupun non pokok tergantung pada pendapatan yang diterima rumahtangga. Kondisi ini menunjang rumahtangga untuk meningkatkan penjualan apabila produksi sapi terus meningkat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan produksi sapi sangat berpengaruh terhadap penjualan sapi. Faktor lain yang menentukan penjualan sapi adalah total biaya usaha kelapa dan usaha sapi. Selain pengeluaran konsumsi kebutuhan pokoknya, rumahtangga juga membutuhkan budget untuk melakukan proses produksi. Pada

221 kondisi ini total biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk proses produksi usahataninya sangat berpengaruh terhadap penjualan sapi. Besarnya nilai elastisitas penjualan sapi di Minahasa terhadap masingmasing peubah harga bayangan sapi dan produksi sapi lebih kecil satu. Penjualan sapi tidak responsif terhadap harga bayangan sapi. Artinya peningkatan biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan penjualan sapi. Seperti telah dijelaskan di atas, kondisi ini disebabkan rumahtangga di Minahasa menjual sapi apabila ada kebutuhan apakah untuk pendidikan, kesehatan, atau untuk proses produksi. Penjualan sapi juga tidak responsif terhadap produksi sapi. Walaupun produksi sapi mempunyai pengaruh sangat besar terhadap penjualan sapi namun perubahannya agak lambat. Hal ini disebabkan penjualan sapi tergantung kebutuhan rumahtangga. Penjualan sapi di Bolaang Mongondow tidak respons terhadap peningkatan biaya transaksi. Usaha sapi merupakan usaha sambilan namun ternak sapi dapat dijual sewaktu-waktu bila rumahtangga membutuhkan uang dan dapat dijual dengan cepat. Sehingga walaupun biaya transaksi cukup tinggi tidak mempengaruhi rumahtangga untuk tidak menjual ternaknya. Demikian pula penjualan sapi di Bolaang Mongondow tidak responsif terhadap produksi sapi. Hal ini disebabkan penjualan sapi untuk sebagian besar rumahtangga di Bolaang Mongondow tergantung kebutuhan rumahtangga. Selanjutnya penjualan sapi juga tidak responsif terhadap total biaya yang dikeluarkan rumahtangga. Dalam hal ini, rumahtangga di Bolaang Mongondow seperti di Minahasa lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Untuk biaya produksi bersumber dari pendapatan usahatani yang lain.

222 7.1.3. Produktivitas Jagung Produksi jagung khusus dipelajari di Minahasa. Produktivitas jagung (PRODJ) secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan jagung (HJGB), tenaga kerja luar keluarga untuk usaha jagung (TKLJ), tenaga kerja ternak sapi untuk lahan jagung (TKSJ), penerimaan penjualan sapi (RUTSJ) dan pendapatan luar usahatani (PLUT). Harga bayangan seperti telah dijelaskan sebelumnya merupakan selisih antara harga jagung dengan biaya transaksi untuk usaha jagung. Dalam melakukan proses produksi rumahtangga memerlukan budget yang diperoleh dari penerimaan rumahtangga apakah bersumber dari usaha jagung, usahatani lain, usaha ternak, maupun penerimaan lainnya. Dalam penelitian ini produksi jagung dibangun sebagai persamaan identitas. Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007) yang membangun persamaan produksi padi sebagai persamaan struktural. Asmarantaka (2007) membangun model produktivitas padi sebagai fungsi harga urea, tenaga kerja keluarga dan dummy pendidikan. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen produktivitas jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan jagung, tenaga kerja luar keluarga (sewa) untuk usaha jagung, tenaga kerja ternak sapi untuk lahan jagung, penerimaan penjualan ternak sapi serta pendapatan luar usahatani menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Semakin tinggi biaya transaksi menyebabkan harga jagung yang diterima rumahtangga semakin kecil. Hal ini mengakibatkan ada kecenderungan penurunan produktivitas jagung.

223 Hasil estimasi juga menunjukkan peubah harga bayangan jagung dan penerimaan penjualan sapi masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas jagung pada taraf nyata 15 persen. Fenomena ini menunjukkan peningkatan biaya transaksi jagung pengaruhnya kecil terhadap penurunan produktivitas jagung. Hal ini disebabkan sebagian produksi jagung yaitu sekitar 20-25 persen (dalam bentuk jagung muda) diberikan kepada sapi sebagai pakan. Selain itu, rumahtangga membutuhkan budget untuk dialokasikan sebagai pengeluaran konsumsi mereka. Kondisi ini menyebabkan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap produktivitas jagung. Dalam hal ini walaupun biaya transaksi untuk usaha jagung meningkat, rumahtangga tetap menanam jagung. Rumahtangga memerlukan budget untuk meningkatkan produktivitas jagung. Namun pendapatan yang diperoleh rumahtangga bersumber dari berbagai kegiatan yang menghasilkan uang, sehingga penerimaan penjualan ternak sapi pengaruhnya kecil terhadap produktivitas jagung. Penggunaan tenaga kerja sewa, tenaga kerja ternak sapi dan pendapatan luar usahatani masing-masing berpengaruh nyata terhadap produkivitas jagung pada taraf nyata 15 persen. Dalam pengelolaan usaha jagung, rumahtangga menyewa tenaga kerja luar. Beberapa kegiatan dalam usaha jagung membutuhkan banyak tenaga luar diantaranya penyiangan dan panen jagung. Pengaruh tenaga kerja sewa ini sangat besar terhadap produktivitas jagung. Kondisi ini disebabkan ketersediaan tenaga kerja rumahtangga terbatas dan jam kerja keluarga juga dialokasikan untuk kegiatan usahatani lain. Tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk membajak lahan usaha jagung. Pengaruhnya sangat besar terhadap produktivitas jagung. Untuk pengolahan lahan

224 membutuhkan biaya tenaga kerja yang cukup besar, sehingga karena keterbatasan budget maka rumahtangga memanfaatkan tenaga kerja ternak sapi. Pendapatan rumahtangga bersumber dari berbagai usahatani yang dikelola, luar usahatani, usaha lain dan sebagainya. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga selain dialokasikan untuk kebutuhan pokok rumahtangga, juga dialokasikan untuk proses produksi usahatani. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam pengelolaan usaha jagung membutuhkan budget. Salah satu sumber budget adalah pendapatan luar usahatani. Dalam penelitian ini pendapatan luar usahatani cukup berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas jagung. Produktivitas jagung sangat responsif terhadap perubahan jam kerja ternak sapi. Rumahtangga di Minahasa berusaha meminimumkan biaya produksi dengan memanfaatkan tenaga ternak sapi. Penggunaan tenaga ternak sapi berdampak sangat besar terhadap produkivitas jagung. Selanjutnya nilai elastisitas produktivitas jagung terhadap peubah harga bayangan jagung, tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung, penerimaan penjualan sapi dan pendapatan luar usahatani lebih kecil satu. Produktivitas jagung tidak responsif terhadap harga bayangan jagung. Hal ini disebabkan sebagian jagung dikonsumsi ternak sehingga naiknya biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan produktivitas. Priyanti (2007) melaporkan bahwa produksi padi tidak responsif terhadap harga padi. Sedangkan Asmarantaka (2007) tidak menganalisis pengaruh harga padi terhadap produktivitas padi. Produktivitas jagung tidak responsif terhadap tenaga kerja luar keluarga untuk usaha jagung, penerimaan penjualan ternak sapi dan pendapatan luar usahatani. Penggunaan tenaga kerja sewa sangat berpengaruh terhadap

225 produktivitas jagung. Namun karena keterbatasan budget, produktivitas jagung tidak responsif terhadap perubahan permintaan tenaga kerja sewa. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga sebagian juga dialokasikan untuk kebutuhan pokok rumahtangga. Kondisi inilah yang menyebabkan produktivitas jagung tidak responsif terhadap pendapatan dari penjualan ternak sapi. Semua pendapatan yang diperoleh rumahtangga termasuk pendapatan luar usahatani dialokasikan untuk kebutuhan pokok. Pendapatan luar usahatani cukup berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas jagung. Walaupun demikian produktivitas jagung tidak responsif terhadap pendapatan luar usahatani. Hal ini disebabkan semua pendapatan yang diperoleh rumahtangga dialokasikan juga untuk usaha jagung. 7.1.4. Produktivitas Kelapa Dalam penelitian ini produksi kelapa dipelajari dari perilaku produktivitas kelapa di Bolaang Mongondow. Perilaku penggunaan lahan untuk kelapa tidak dipelajari karena dalam jangka waktu pendek dianggap rumahtangga tidak melakukan ekspansi lahan kelapa. Dalam melakukan ekspansi memerlukan modal besar. Berbeda dengan penelitian Bakir (2007) yang mempelajari perilaku produktivitas kelapa sawit dan luas arealnya. Produktivitas kelapa (PRODK) secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan kopra (HKOB), jumlah pohon kelapa (JPK), jumlah pupuk urea untuk kelapa (JPUK), tenaga kerja sewa (TKLK) dan tenaga kerja ternak sapi untuk usaha kelapa (TKSK). Harga bayangan kopra merupakan selisih antara harga kopra dengan biaya transaksi penjualan kopra. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen produktivitas kelapa telah sesuai

226 kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan kopra, jumlah pohon kelapa, jumlah pupuk urea untuk kelapa, tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak sapi untuk usaha kelapa menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas kelapa sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan harga bayangan kopra, jumlah pohon kelapa, jumlah urea untuk kelapa dan tenaga kerja sewa untuk kelapa masingmasing berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan tenaga kerja ternak sapi untuk kelapa berpengaruh tidak nyata. Semakin tinggi biaya transaksi menyebabkan harga yang diterima rumahtangga semakin kecil akibatnya ada kecenderungan penurunan produktivitas kelapa. Biaya transaksi dihitung berdasarkan biaya transpor penjualan kopra yang ditanggung rumahtangga dan biaya penyimpanan kopra. Biaya-biaya tersebut ditentukan oleh pedagang. Brithal et al. (2006) mengkuantitatifkan biaya transaksi pada tingkat produsen termasuk biaya penyimpanan dan penurunan kualitas suatu produk. Peningkatan biaya transaksi tersebut pengaruhnya cukup besar terhadap penurunan produktivitas kelapa. Disisi lain rumahtangga membutuhkan penerimaan yang lebih tinggi untuk menanggulangi kebutuhan mendesak. Rumahtangga menyewakan pohon kelapanya ke pedagang untuk mengatasi kebutuhan yang mendesak tersebut. Walaupun produktivitas kelapa tidak responsif terhadap biaya transaksi. Pendapatan rumahtangga bersumber dari berbagai kegiatan yang menghasilkan uang, sehingga produktivitas kelapa tidak responsif terhadap naiknya biaya transaksi. Jumlah pohon kelapa berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas kelapa. Semakin banyak pohon kelapa yang dimiliki atau yang dikelola

227 rumahtangga maka produksi kelapa yang dipanen semakin banyak. Berbeda dengan penelitian Bakir (2007), yang menunjukkan jumlah pohon kelapa sawit pengaruhnya kecil terhadap produktivitas kelapa sawit. Hasil analisis menunjukkan produktivitas kelapa di Bolaang Mongondow responsif terhadap jumlah pohon kelapa. Kenyataan di lapangan menunjukkan produktivitas kelapa semakin menurun yang disebabkan lahan di bawah kelapa merupakan lahan marjinal dengan tingkat kesuburan yang rendah. Selain itu umur pohon kelapa yang ada berkisar 8-90 tahun sehingga produksinya masih sedikit ataupun buah kelapanya kecil-kecil untuk umur kelapa lebih tua. Dalam usaha peningkatan produktivitas kelapa, rumahtangga dapat melakukan integrasi usaha ternak sapi dengan usaha kelapa. Integrasi ini dapat bermanfaat bagi kesuburan lahan kelapa. Kotoran ternak dapat dijadikan sebagai pupuk, disisi lain lahan di bawah pohon kelapa dapat ditanami hijauan (rumput atau leguminosa) yang berfungsi sebagai pakan sekaligus dapat menyuburkan lahan. Dalam hal ini produktivitas kelapa responsif terhadap jumlah pohon kelapa. Penggunaan pupuk urea berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kelapa. Kenyataan di lapangan menunjukkan sebagian besar lahan di bawah pohon kelapa di Bolaang Mongondow merupakan lahan marjinal, namun sebagian besar rumahtangga tidak melakukan upaya untuk meningkatkan kesuburan lahannya. Kondisi tersebut berdampak terhadap produktivitas buah kelapa. Sebagian rumahtangga menggunakan pupuk urea sebagai upaya meningkatkan produktivitas kelapa. Semakin banyak pupuk urea yang digunakan maka produktivitas kelapa semakin meningkat. Perlakuan tersebut menunjukkan produktivitas kelapa tidak responsif terhadap peningkatan permintaan pupuk urea.

228 Permintaan tenaga sewa dapat mempengaruhi peningkatan produktivitas kelapa. Dalam proses produksi usaha kelapa sangat dibutuhkan tenaga terampil, terutama untuk panjat kelapa. Untuk pekerjaan panjat kelapa, rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa. Hal ini disebabkan panjat kelapa merupakan pekerjaan yang mempunyai risiko tinggi. Selain itu, panen buah kelapa sebaiknya dilakukan tepat pada waktunya yaitu tiap tiga bulan sekali panen. Walaupun produktivitas kelapa tidak responsif terhadap permintaan tenaga kerja sewa. Penawaran tenaga kerja ternak sapi sangat menentukan dalam usaha kelapa. Sebagian lokasi kebun kelapa di Bolaang Mongondow agak jauh dari perkampungan yaitu sekitar 1-15 km. Kondisi tersebut sangat membutuhkan tenaga ternak sapi sebagai pengangkut. Walaupun produktivitas kelapa tidak responsif terhadap penawaran ternak sapi tersebut. Hal ini disebabkan tenaga ternak sapi dimanfaatkan sebagai tenaga sewa oleh rumahtangga lain untuk mengangkut output pertanian, angkut material bangunan (batu, krikil), angkut kayu dan bajak lahan. 7.1.5. Luas Lahan Garapan Jagung Luas lahan garapan jagung (LHNJ) secara bersama-sama dipengaruhi penggunaan input baik input tenaga kerja maupun input produksi dan penerimaan penjualan ternak sapi (RUTSJ). Input tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja keluarga (TKDJ) dan tenaga kerja sewa (TKLJ) untuk usaha jagung. Sedangkan input produksi terdiri dari jumlah penggunaan benih jagung (JBJ), jumlah penggunaan pupuk urea (JPUJ) dan pupuk TSP untuk usaha jagung (JPTJ). Hal ini sejalan dengan penelitian Priyanti (2007) bahwa luas areal panen padi

229 diantaranya dipengaruhi jumlah benih padi, jumlah pupuk urea, jumlah obat dan jumlah tenaga kerja keluarga untuk padi. Luas areal padi dalam Asmarantaka (2007) dipengaruhi harga padi, harga urea, traktor dan total pendapatan. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi peubahpeubah yang mempengaruhi peubah endogen luas lahan garapan jagung (LHNJ) telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masingmasing peubah tenaga kerja keluarga (TKDJ) dan tenaga kerja sewa untuk usaha jagung (TKLJ), jumlah benih jagung (JBJ), jumlah pupuk urea (JPUJ), pupuk TSP (JPTJ) dan penerimaan penjualan ternak sapi (RUTSJ) menyebabkan terjadinya peningkatan luas lahan garapan sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja sewa untuk jagung, jumlah benih jagung, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk TSP dan penerimaan penjualan sapi masing-masing berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan jagung pada taraf nyata 15 persen. Hal ini disebabkan sebagian produksi jagung (dalam bentuk jagung muda) diberikan kepada sapi sebagai pakan. Kenyataan ini menunjukkan perubahan penawaran tenaga kerja keluarga berdampak cukup besar bagi rumahtangga untuk memperluas lahan jagung atau menambah periode tanam jagung. Permintaan tenaga kerja mempunyai pengaruh cukup besar terhadap luas lahan garapan jagung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya jagung ditanam untuk kebutuhan pakan sapi. Dalam hal ini rumahtangga berusaha untuk menambah jam kerja sewa walaupun harus mengeluarkan dana untuk pembayaran upah. Kemampuan untuk menambah benih jagung mendorong rumahtangga memperluas lahan garapan jagung. Semakin luas lahan jagung diharapkan

230 produksi jagung meningkat, sehingga rumahtangga tidak kesulitan memperoleh pakan sapi. Kemampuan dalam membeli benih berpengaruh sangat besar bagi pengembangan usaha jagung. Kemampuan rumahtangga dalam membeli pupuk juga dapat mendorong rumahtangga memperluas lahan garapan jagung. Pengaruhnya cukup besar yang disebabkan kebutuhan pakan bagi sapi. Input pupuk TSP berpengaruh sangat besar bagi rumahtangga untuk melakukan ekspansi usaha jagung. Ekspansi tersebut membutuhkan budget cukup besar. Salah satu sumber budget adalah pendapatan penjualan sapi. Pendapatan ini cukup berpengaruh terhadap perluasan lahan jagung. Nilai elastisitas luas lahan garapan jagung terhadap peubah tenaga kerja keluarga, tenaga kerja sewa untuk usaha jagung, jumlah benih jagung, jumlah pupuk urea dan pupuk TSP masing-masing lebih kecil satu. Perluasan lahan garapan jagung dipengaruhi tenaga kerja keluarga. Namun rumahtangga mengalokasikan tenaganya untuk berbagai kegiatan menyebabkan penambahan lahan jagung ini tidak responsif terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga. Permintaan tenaga kerja sewa cukup berpengaruh terhadap perluasan lahan jagung. Rumahtangga petani peternak sapi mempunyai keterbatasan budget untuk membayar upah sehingga perluasan lahan garapan jagung tidak responsif terhadap permintaan tenaga kerja sewa. Tersedianya budget menyebabkan rumahtangga mempunyai kemampuan untuk membeli input produksi, termasuk kemampuan membeli benih jagung dan pengaruhnya cukup besar terhadap perluasan usaha jagung. Namun penambahan lahan jagung ini tidak responsif terhadap penambahan benih jagung. Pupuk urea juga sebagai salah satu input yang mempengaruhi peningkatan produksi jagung. Kemampuan rumahtangga dalam

231 membeli input ini cukup mempengaruhi rumahtangga untuk melakukan ekspansi. Namun penambahan lahan tidak responsif terhadap permintaan pupuk urea. Sebagai upaya memaksimalkan pendapatan usaha jagung, rumahtangga menyediakan budget untuk membeli input pupuk TSP. Rumahtangga berusaha menambah jumlah pupuk TSP. Penggunaan pupuk TSP tersebut pengaruhnya cukup besar bagi rumahtangga untuk melakukan ekspansi. Walaupun penambahan lahan garapan jagung tidak responsif terhadap penambahan permintaan pupuk TSP ini. Budget yang disediakan rumahtangga berasal dari berbagai sumber pendapatan, diantaranya pendapatan penjualan sapi. Pendapatan ini cukup berpengaruh terhadap perluasan lahan jagung. Hasil analisis menunjukkan luas lahan garapan jagung juga tidak responsif terhadap pendapatan penjualan sapi. Kenyataan di atas sejalan dengan penelitian Priyanti (2007) yang menunjukkan luas areal lahan padi tidak responsif terhadap jumlah benih padi, jumlah urea, jumlah pestisida dan tenaga kerja keluarga. Selanjutnya Asmarantaka (2007) menyatakan areal padi tidak responsif terhadap harga padi dan pendapatan total, namun responsif terhadap harga urea dan traktor. 7.2. Perilaku Penggunaan Input Produksi Perilaku penggunaan input produksi yang dianalisis untuk Minahasa adalah penggunaan input produksi sapi dan produksi jagung. Penggunaan input produksi sapi hanya satu persamaan struktural yaitu jumlah konsumsi rumput (JRUM). Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007) yang menganalisis blok penggunaan input produksi sapi terdiri dari bakalan ternak sapi, jumlah jerami segar, jumlah konsentrat dan jumlah obat sapi. Dalam penelitian ini jumlah

232 bakalan tidak dianalisis, rumput yang diberikan rumput segar (rumput liar, limbah pertanian dan jagung muda), rumahtangga tidak memberikan konsentrat dan bila ternak sakit diberikan obat-obat tradisional ataupun disuntik apabila ternak sudah parah menurut petani peternak. Penggunaan input produksi jagung terdiri dari tiga persamaan struktural yaitu persamaan jumlah benih jagung (JBJ), jumlah pupuk urea (JPUJ) dan jumlah pupuk TSP (JPTJ). Sedangkan perilaku penggunaan input produksi yang dianalisis untuk Bolaang Mongondow adalah penggunaan input produksi sapi yaitu permintaan rumput. Hasil estimasi perilaku penggunaan input dapat dilihat pada Tabel 38. Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 38, selanjutnya akan dibahas respon masing-masing peubah endogen. 7.2.1. Permintaan Rumput Jumlah permintaan rumput (JRUM) oleh rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga rumput (HRUM), produksi sapi (PROS) dan harga jagung (HJG). Sedangkan jumlah permintaan rumput (JRUM) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga rumput (HRUM), produksi sapi (PROS), penerimaan usaha sapi (RUTS) dan penerimaan kelapa (RUK). Seperti dijelaskan sebelumnya, konsumsi rumput diproxy dari jumlah rumput yang dikonsumsi apabila rumahtangga membeli rumput. Harga rumput baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow diproxy dengan harga rumput di lokasi penelitian yaitu Rp 400 - Rp 500 per kg untuk Minahasa dan Rp 450 - Rp 500 per kg untuk Bolaang Mongondow. Berdasarkan teori produksi, penggunaan input dipengaruhi harga output, harga input produksi tersebut dan harga input lain.

233 Tabel 38. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Penggunaan Input Produksi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Variabel Kode Parameter Estimasi Minahasa Elastisitas Bolaang Mongondow Parameter Elastisitas Estimasi Jumlah Rumput JRUM Intersep 6331.25 1752.0 Harga Rumput HRUM -20.865-0.49512-0.811-0.027 Produksi Sapi PROS 7.34073* 0.144143 15.753* 0.5823 Harga Jagung HJG 14.9526 0.975773 - - Penerimaan UT Sapi RUTS - - 0.0002* 0.2674 Penerimaan Kelapa RUK - - 0.0001* 0.0515 Jumlah Benih Jagung JBJ Intersep 36.1388 - Harga Benih Jagung HBJ -0.0015* -0.07285 - - Luas Lahan Jagung LHNJ 38.0107* 0.77986 - - Biaya Transaksi Jagung BTRJ -0.5089* -1.18633 - - Jumlah Urea Jagung JPUJ Intersep -4294.4 - Harga Pupuk Urea HPUJ -4.6084* -23.3719 - - Harga Pupuk TSP HPTJ 5.68684* 43.9188 - - Luas Lahan Jagung LHNJ 148.363* 0.55520 - - Penerimaan UT Jagung RUTS 3.064E-7 0.02156 - - Biaya Transaksi Jagung BTRJ -2.4953* -1.07546 - - Jumlah TSP Jagung JPTJ Intersep -1545.6 - Rasio Harga TSP & RHPTJ -520.83* -4.55889 - - Harga Jagung Harga Pupuk Urea HPUJ 2.13351 0.35439 - - Harga Pupuk KCl HPKJ 0.02106* 0.33516 - - Luas Lahan Jagung LHNJ 143.953* 0.67314 - - Total Pengeluaran TP -1.25E-6-0.09385 - - Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas Hasil estimasi untuk rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa seperti pada Tabel 38 menunjukkan semua tanda peubah yang mempengaruhi permintaan rumput telah sesuai kriteria ekonomi. Peubah harga rumput bertanda negatif artinya naiknya harga rumput menurunkan permintaan

234 rumput sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda positif untuk produksi sapi dan harga jagung berarti naiknya produksi sapi dan harga jagung masing-masing menyebabkan permintaan rumput naik sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan harga rumput dan harga jagung masingmasing berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah permintaan rumput pada taraf nyata 15 persen. Peubah produksi sapi berpengaruh nyata terhadap permintaan rumput. Usaha ternak sapi di Minahasa merupakan usaha sambilan disebabkan rumahtangga tidak memiliki modal yang cukup untuk pembelian input termasuk pembelian rumput. Sehingga naiknya harga rumput menyebabkan rumahtangga berusaha menurunkan permintaan rumput. Walaupun pengaruh harga rumput terhadap permintaan rumput tidak nyata. Rumput yang dikonsumsi berasal dari lokasi kebun, pembelian rumput dilakukan pada waktu tertentu yaitu bila terjadi musim kemarau yang panjang. Selain itu, ternak dipelihara secara tradisional, salah satu ciri adalah ternak sapi dibiarkan merumput dilahan-lahan pertanian. Rumput yang dikonsumsi merupakan rumput yang tumbuh liar ataupun limbah pertanian yang dianggap cukup sebagai konsumsi ternak, namun kualitasnya tidak memenuhi sandar gizi bagi ternak sapi. Biaya transaksi tidak mempengaruhi permintaan rumput. Hal ini disebabkan rumput dibeli dan dibawa oleh penjual rumput, sehingga rumahtangga tidak mengeluarkan biaya transaksi. Apabila harga jagung meningkat rumahtangga memilih menjual jagungnya. Pendapatan yang diperoleh dialokasikan sebagai pengeluaran kebutuhan pokok. Namun karena sudah menjadi tradisi, sebagian jagung yang ditanam untuk konsumsi ternak, peningkatan harga jagung pengaruhnya sangat kecil bagi permintaan rumput.

235 Semakin tinggi produksi sapi kebutuhan terhadap pakan semakin tinggi. Peningkatan produksi sapi cukup berpengaruh terhadap permintaan rumput. Walaupun ternak dibiarkan merumput sendiri, namun dengan bertambahnya produksi maka ketersediaan rumput semakin tidak mencukupi. Untuk mengatasi hal ini rumahtangga terpaksa meningkatkan permintaan rumput dengan cara beli atau mencari lokasi pertanian yang lebih jauh sebagai tempat merumput sapi. Nilai elastisitas permintaan rumput terhadap peubah harga rumput, produksi sapi dan harga jagung masing-masing lebih kecil satu. Artinya permintaan rumput tidak responsif terhadap harga rumput. Hal ini disebabkan ketersediaan rumput dilahan-lahan pertanian semakin berkurang, apalagi dengan terjadinya musim kemarau yang panjang menyebabkan rumahtangga harus membeli rumput. Sesuai dengan hasil penelitian Priyanti (2007) bahwa jumlah permintaan jerami segar tidak responsif terhadap harga jerami. Semakin banyak produksi sapi kebutuhan rumput semakin meningkat. Namun perubahan permintaan rumput ini tidak responsif terhadap produksi sapi. Di Minahasa konsumsi ternak berasal dari jagung dan limbahnya sehingga pada saat musim tanam rumahtangga belum membeli rumput. Selain itu kebutuhan konsumsi rumput belum menjadi perhatian bagi rumahtangga. Konsumsi rumput seharusnya sekitar 10 persen dari berat badan ternak sapi. Rumahtangga menanam jagung selain sebagai sumber pendapatan juga untuk kebutuhan konsumsi ternak. Kenaikan harga mendorong rumahtangga menjual jagungnya. Namun harga jagung pengaruhnya sangat kecil terhadap permintaan rumput. Permintaan rumput tidak responsif terhadap harga jagung. Rumahtangga masih dapat memanfaatkan rumput liar dan limbah pertanian lain sebagai pakan.

236 Hasil estimasi sesuai Tabel 38 juga menunjukkan semua tanda untuk peubah yang mempengaruhi peubah jumlah permintaan rumput oleh rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow telah sesuai kiteria ekonomi. Harga rumput berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan rumput pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan produksi sapi, penerimaan usaha sapi dan penerimaan usaha kelapa masing-masing berpengaruh nyata terhadap jumlah permintaan rumput. Seperti di Minahasa, usaha sapi di Bolaang Mongondow merupakan usaha sambilan dan turun temurun. Rumahtangga tidak memiliki modal yang cukup untuk pembelian input termasuk pembelian rumput. Naiknya harga rumput menyebabkan rumahtangga berusaha menurunkan permintaan rumput. Rumput yang dikonsumsi berasal dari lokasi kebun, sehingga pembelian rumput dilakukan pada waktu tertentu yaitu bila terjadi musim kemarau yang panjang. Selain itu, ternak sapi dipelihara secara tradisional, salah satu ciri adalah ternak sapi dibiarkan merumput dilahan pertanian. Rumput yang dikonsumsi merupakan rumput liar atau limbah pertanian yang dianggap cukup sebagai konsumsi ternak namun kualitasnya tidak memenuhi sandar gizi bagi ternak sapi. Jumlah permintaan rumput tersebut tidak responsif terhadap harga rumput. Seperti di Minahasa, biaya transaksi dianggap tidak mempengaruhi permintaan rumput. Semakin tinggi produksi sapi kebutuhan terhadap pakan semakin tinggi. Naiknya produksi sapi berpengaruh terhadap permintaan rumput. Ternak dibiarkan merumput sendiri, namun bertambahnya produksi menyebabkan ketersediaan rumput semakin tidak mencukupi. Rumahtangga berusaha meningkatkan permintaan rumput dengan cara beli atau mencari lokasi pertanian yang lebih jauh sebagai tempat merumput sapi. Namun seperti di Minahasa,

237 permintaan rumput tidak responsif terhadap produksi sapi. Hal ini disebabkan kebutuhan konsumsi rumput belum menjadi perhatian bagi rumahtangga. Penerimaan usaha ternak sapi di Bolaang Mongondow sangat menentukan permintaan rumput untuk konsumsi ternak. Dalam melakukan proses produksi, rumahtangga membutuhkan budget. Semakin tinggi penerimaan usaha sapi mendorong rumahtangga menaikkan permintaan input termasuk permintaan rumput. Namun permintaan rumput tersebut tidak responsif terhadap penerimaan usaha sapi. Hal ini disebabkan rumput merupakan makanan utama bagi ternak dan dapat dipenuhi dari rumput-rumput yang tumbuh liar dan limbah pertanian. Penerimaan usaha kelapa merupakan sumber penerimaan utama bagi rumahtangga di Bolaang Mongondow. Penerimaan tersebut dialokasikan selain untuk kebutuhan pokok juga untuk kebutuhan proses produksi usaha sapi. Semakin tinggi penerimaan usaha kelapa, pengaruhnya cukup besar bagi peningkatan permintaan rumput. Namun permintaan rumput tidak responsif terhadap penerimaan usaha kelapa. Fenomena tersebut menunjukkan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow tetap berusaha memenuhi kebutuhan pakan sapi walaupun tidak ada peningkatan pendapatan. Pemenuhan kebutuhan pakan tersebut dilakukan dengan cara ternak sapi dilepas di kebun yang agak jauh. 7.2.2. Permintaan Benih Jagung Jumlah permintaan benih (JBJ) secara bersama-sama dipengaruhi harga benih jagung (HBJ), luas lahan garapan jagung (LHNJ) dan biaya transaksi pada usaha jagung (BTRJ). Priyanti (2007) membangun model permintaan benih padi dipengaruhi pendapatan usahatani, jumlah kredit dan tenaga kerja usahatani padi.