BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahapan dan tatacara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), menyebutkan bahwa RPJMD merupakan rencana pembangunan suatu daerah untuk jangka waktu 5 tahun yang sering disebut dengan Rencana Strategis (Renstra). Secara operasional RPJMD diuraikan untuk kegiatan atau program pemerintah setiap tahun dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau sering juga disebut Rencana Kerja (Renja) Pemerintah (Permendagri No 54 Tahun 2010). Berdasarkan penjelasan Permendagri No 54 Tahun 2010, bahwa kedudukan RPJMD Kota/Kabupaten merupakan dokumen yang akan menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan demikian RKP Kota Binjai yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kota Binjai merupakan implementasi dari RPJMD Kota Binjai. Keberhasilan RPJMD dalam upaya pelaksanaan pembangunan di suatu daerah sangat ditentukan oleh kualitas dari RKP yang disusun untuk program kerja selama satu tahun. Oleh karena itu pengukuran kualitas suatu rencana kerja pembangunan lebih tepat di ukur pada rencana kerja operasional yaitu RKP melaui penilaian pada setiap fase atau tahapan proses perencanaan (Dunn, 1998). Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan telah dinyatakan didalam Bab II Pasal 4 Huruf d yang menyatakan
bahwa perencanaan pembangunan bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, Undang-Undang tersebut telah menjamin bahwa dalam setiap langkah perencanaan pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah partisipasi masyarakat wajib untuk didengar dan dipertimbangkan oleh pemerintah. Perencanaan dilakukan dengan tahapan: agenda setting, policy formulation dan budgeting. Beberapa kendala dan hambatan dalam perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja antara lain (1) struktur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) belum memberikan ruang yang cukup bagi penyusunan perencanaan dan penganggaran secara terintegrasi (2) tim anggaran belum terlibat secara penuh pada setiap tahapan perencanaan (3) kurangnya pengetahuan, pemahaman dan juga motivasi dari para pegawai untuk menerapkan anggaran kinerja secara optimal (4) keterbatasan anggaran daerah (Utari, 2009). Redjo (2001), mengemukakan pandangan mengenai prasyarat-prasyarat institusional bagi pemerintahan yang demokratis dalam mengekspresikan kepentingan publik, diantaranya adalah pandangan yang menyebutkan bahwa demokrasi pada dasarnya menunjuk pada hak berpartisipasi dalam mempengaruhi atau menentukan pembuatan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan individu anggota masyarakat, sementara itu partisipasi hanya dapat terjadi apabila terdapat proses pemberdayaan oleh suatu kekuatan politik yang memiliki hak, dalam hal ini pemerintah.
Kajian yang lebih mendalam tentang proses perumusan kebijakan perencanaan yang demokratis dalam pelaksanaan otonomi daerah, dilakukan oleh Maskun (2001). Kesimpulan dari studi ini adalah aspek perencanaan memiliki peranan penting dalam membina serta mengembangkan otonomi daerah, karena melalui perencanaan, jauh sebelum terjadi perwujudan pembangunan, masyarakat lebih banyak mengerti tentang situasi daerahnya dan peranannya untuk berpartisipasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa perencanaan akan menjadi katalisator pembangunan daerah yang didukung oleh masyarakat setempat, masyarakat memahami tentang kebijakan pemerintah dan dapat memperhitungkan kemampuannya dalam mendukung pembangunan daerah atas dasar otonomi yang dimilikinya Utari (2009), menemukan bahwa praktek penyusunan anggaran masih banyak ditemukan gejala penggunaan pendekatan traditional budget atau line item, antara lain adanya pencatuman indikator kinerja (input, output dan outcome), yang tidak jelas ukuran dan stándar biayannya. Dengan kata lain proses penyusunan anggaran belum menggunakan indikator utama pendekatan anggaran kinerja. Disamping itu dalam penganggaran juga masih didasarkan pada anggaran tahun sebelumnya, bukan didasarkan pada indikator capaian kinerja yang akan dicapai. Salah satu proses yang paling penting adalah perencanaan pembangunan. Oleh karena itu didalam proses perencanaan peran serta masyarakat mutlak diperlukan sebab didalam pembangunan masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan saja tetapi juga subjek pembangunan.
Rencana stratejik pembangunan (Renstra) disusun berdasarkan Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan diikuti dengan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang menetapkan prioritas anggaran pembangunan nasional. Renstra menekankan program untuk mencapai misi yang telah dinyatakan dalam Propenas, sedangkan RKP memberikan program dan kegiatan yang lebih terperinci untuk menghubungkan rencana pembangunan pemerintah dengan anggaran pembangunan pusat untuk tahun yang akan datang (Kuncoro, 2004). Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai upaya menghubungkan pengetahuan atau teknik yang dilandasi kaidah-kaidah ilmiah ke dalam praksis (praktik-praktik yang dilandasi oleh teori) dalam perspektif kepentingan orang banyak atau publik (Nugroho & Dahuri, 2004). Pada era desentralisasi, daerah otonom diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemerintahan daerah otonom merupakan pemerintahan daerah yang badan pemerintahannya dipilih oleh penduduk (masyarakat) setempat dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri (Nurcholis, 2005). Lech dalam Muluk (2002) menyatakan local authorities are not only providers of services: they also political institutions for local choice and local voice. Penyerahan wewenang yang diberikan kepada daerah berupa kewenangan untuk mengatur (rules making = regelling) dan kewenangan mengurus (rules aplication =
bestuur). Menurut Hoessein (2001, dalam Nurcholis 2005) fungsi pembentukan kebijakan (policy making function) yang dilakukan oleh pejabat yang dipilih melalui pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function) dilakukan oleh pejabat yang diangkat/birokrat lokal, sehingga dalam pemerintahan daerah terdapat tiga aktor utama yaitu (1) masyarakat, (2) elected official/pejabat politik (kepala daerah dan DPRD), dan (3) appointed official/birokrasi. Penyerahan kewenangan yang diterapkan dalam otonomi daerah bersifat open end arrangement atau general competence. Daerah diberi keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan dan inisiatifnya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki oleh pusat. Dalam konsep otonomi tersebut, pemerintah pusat hanya menyisakan kewenangan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sampai saat ini masih berlaku, mempunyai corak system penyelenggaraan pemerintahan dan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sebagai mana tersebut di atas. Penyerahan kewenangan politik dan administrasi yang bersifat terbuka kepada daerah tersebut berimplikasi pada perencanaan pembangunan daerah. Sebelum otonomi daerah, pemerintah pusat memegang kewenangan politik, sedangkan pemerintah daerah melaksanakan kewenangan administratif. Namun dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diharapkan mampu membentuk kebijakan (policy making function) dan mampu melaksanakan kebijakan (policy executing function). Daerah diharapkan mampu untuk mengidentifikasi kebutuhannya sendiri,
merumuskan tujuan pembangunan sendiri dan mampu mengkreasi rencana strategi pencapaian tujuan. Praktek pendekatan perencanaan bottom up ini dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sering dihadapi masalah-masalah sebagai berikut: (1) RKP bukanlah rencana yang kontinu sebab hanya dipersiapkan untuk satu tahun, (2) masih tidak jelasnya bagaimana dan kapan perencanaan top-down dan bottom up terintegrasi. Begitu juga siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan integrasi atau apa yang terjadi jika daerah otonom memutuskan untuk mengabaikan Propenas dari pusat, (3) perencanaan di lapangan menunjukkan kesenjangan yang besar dalam memperhitungkan kemampuan finansial. hanya perencanaan daerah tahunan yang memasukkan kemampuan fiskal tersebut, (4) bahwa perencanaan tersebut terlalu memfokuskan diri pada anggaran dan proyek pembangunan dari pada memandang anggaran secara keseluruhan (Nugroho 2004). Meskipun telah ditegaskan bahwa yang didesentralisasikan menyangkut penyerahan kewenangan politik dan administrasi, namun masih banyak yang beranggapan bahwa perencanaan pembangunan merupakan wujud dari policy executing function yang menjadi tanggungjawab dari pemerintah/eksekutif khususnya birokrasi (Bappeda). Tugas Legislatif/DPRD hanya mengkritisi dan melegitimasi sedangkan tugas masyarakat hanya mendukung kebijakan yang telah ditetapkan. Model perencanaan pembangunan daerah seharusnya dibangun sejalan dengan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Perencanaan pembangunan yang didominasi oleh birokrasi sudah tidak relevan lagi
dengan sistem pemerintahan daerah saat ini. Partisipasi semua stakeholders setempat diperlukan agar rencana sesuai dengan aspirasi dan prakarsa daerah. Untuk itulah suatu sistem perencanaan pembangunan partisipatif sangat diperlukan. Penyusunan rencana pembangunan dirumuskan melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Dalam musrenbang tersebut seluruh pelaku/aktor pembangunan dilibatkan dalam penyusunan rencana pembangunan. Dalam sistem perencanaan pembangunan ini, rencana dibagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Pembangunan Tahunan. Rencana Pembangunan Tahunan merupakan bentuk rencana operasional dari RPJP dan RPJM. Rencana Pembangunan Tahunan atau yang disebut sebagai Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) inilah yang menjadi pedoman untuk penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah berdasarkan PP No. 8 Tahun 2008 disebutkan bahwa, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Di dalam RAPBD ini terdapat berbagai kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat/ stake holders yang relevan dengan bidang tugasnya dalam rangka mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan apa yang digariskan dalam visi dan misi daerah.
Sebelum kegiatan-kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diusulkan oleh masyarakat dan stake holders yang lain menjelma menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang siap dioperasionalkan, sesungguhnya telah melalui proses perencanaan yang sangat panjang, baik itu yang berkaitan dengan perencanaan yang bersifat fisik seperti pembangunan berbagai fasilitas umum, sarana dan parasara umum dan lain sebagainya, serta pembangunan yang bersifat non fisik seperti pembinaan ketrampilan teknis sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Dalam kaitannya dengan tesis ini yang akan dibahas adalah mengenai proses perencanaan pembangunan dari tingkat di Kelurahan, yang dilanjutkan di tingkat Kecamatan dan sampai dengan tingkat Kota yang pada akhirnya bermuara pada rencana kegiatan tersebut mendapatkan kepastian dibiayai dari APBD yang siap dioperasionalkan. Di dalam proses inilah seringkali berbagai muatan dan kepentingan stake holders akan senantiasa mengedepankan aspirasi dan kepentingannya sendirisendiri. Kondisi inilah yang memunculkan bias dan deviasi aspirasi yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat luas dikalahkan oleh kepentingan kelompok-kelompok kecil yang tentunya hanya menguntungkan kelompok tersebut dan melupakan kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Sementara itu sesuai dengan Pengantar Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disebutkan bahwa Kebijakan Umum belanja daerah Kota Binjai Tahun 2010 adalah:
1. Belanja daerah diprioritaskan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan baik wajib dan pilihan. 2. Belanja dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah dalam rangka memenuhi pelayanan dasar: pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. 3. Belanja daerah disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja, yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan, dalam rangka peningkatan akuntabilitas perencanaan anggaran serta memperjelas efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran. 4. Pembiayaan pembangunan yang bersifat investasi dan strategis. 5. Menunjang efektifitas pelaksanaan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan daerah yang menjadi tanggungjawabnya. Berdasarkan hal di atas menggambarkan bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terlibat secara langsung dalam proses perencanaan dan perumusan anggaran akan mempunyai keleluasaan membuat kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang relatif besar dan didukung oleh anggaran yang cukup. SKPD itu antara lain DPKAD (Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) dan Bappeda. Sementara Satuan Kerja Perangkat Daerah lain yang secara faktual tidak terlibat secara langsung dalam proses perencanaan dan perumusan anggaran akan mempunyai jumlah kegiatan dan dukungan anggaran yang relatif kecil.
Dalam proses perencanaan pembangunan dari tingkat paling bawah dibutuhkan partisipasi aktif dari semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) di daerah tersebut. Namun pada saat ini partisipasi dari stakeholders termasuk di dalamnya masyarakat masih sering diabaikan. Untuk melaksanakan sistem ini diperlukan perubahan-perubahan sikap yang cukup mendasar dari para aktor dalam perencanaan pembangunan daerah. Sistem ini memerlukan perubahan sikap masyarakat dari pasif menjadi aktif, DPRD dari mengkritisi menjadi mengkreasi serta birokrasi dari menguasai menjadi memfasilitasi. Gambaran bagaimana proses penyusunan rencana pembangunan tahunan yang dimulai dari struktur pemerintahan paling bawah yaitu Kelurahan, dilanjutkan di tingkat Kecamatan dan pada akhirnya sampai di tingkat Kota sangat diperlukan. Hal ini penting, karena di setiap level pemerintahan inilah aspirasi baik dari masyarakat, birokrasi stake holders lain yang disampaikan sangat diharapkan dapat direalisasikan. Masalah yang sering muncul dalam perencanaan pembangunan adalah masalah kualitas. Proses perencanaan yang berkulaitas akan menghasilkan rencana yang berkualitas. Rencana yang berkualitas akan cenderung bisa mengakomodir kepentingan berbagai fihak yang terkait dengan pelaksanaan dari suatu rencana. Begitu juga sebaliknya, hal yang sering terjadi pada proses penyusunan rencana pembangunan, kualitas seringkali tidak mendapatkan perhatian yang memadai, sehingga akan menghasilkan rencana yang tidak berkualitas. Perencanaan pembangunan di Kota Binjai belum menunjukkan koordinasi yang baik antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yang berdampak pada pelaksanaan pembangunan yang kurang menyentuh kepentingan atau kebutuhan
masyarakat, khususnya pada bidang kesejahteraan rakyat (kesehatan, pendidikan, tenaga kerja). Hal ini ditunjukkan fakta empiris masih tingginya persentase anak usia sekolah yang tidak mendapatkan pendidikan dasar, penduduk miskin yang tidak tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) serta angkatan kerja yang tidak terserap pada lapangan kerja (Binjai Dalam Angka, 2009). Goetsh dan Davis dalam Tjiptono (2000), menyatakan kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Kamelus (2004) menyatakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi perencanaan dan penganggaran daerah maka perlu perbaikan proses perencanaan dan penganggaran antara lain yang terkait dengan alur proses perencanaan dan penganggaran serta sekuens penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran harus konsisten. Terkait dengan hal itu maka kualitas proses dapat dinilai dari alur perencanaan dan penganggaran yang terdiri dari tahap-tahap (1). Penyusunan agenda setting, (2). Penyusunan policy formulation dan (3). Penyusunan budgeting, serta keterkaitan antara dokumen perencanaan dan penganggaran. Dalam kaitannya dengan kualitas perencanaan pembangunan, penulis berpendapat bahwa perencanaan pembangunan yang berkualitas adalah perencanaan yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan stakeholders dan konsisten dari tahap agenda setting, policy formulation dan budgeting.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan berkaitan dengan proses perencanaan pembangunan, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah yaitu sebagai berikut: (a) mekanisme proses perencanaan meskipun sudah menganut kaidah-kaidah peraturan yang berlaku, namun stakeholders yang terlibat belum mewakili masyarakat. (b) lemahnya penegakan peraturan dalam proses perencanaan pembangunan karena tidak adanya sanksi bagi yang melanggar ketentuan dalam proses perencanaan pembangunan. (c) adanya intervensi kepentingan kelompok dalam proses perencanaan pembangunan, sehingga sulit menerapkan skala prioritas dalam membiayai kegiatan yang telah diusulkan. Berangkat dari berbagai masalah yang telah teridentifikasi tersebut diatas maka permasalahan penelitian yang penulis sampaikan adalah: a. Apakah penyusunan agenda (agenda setting) berpengaruh terhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai. b. Apakah perumusan usulan kebijakan (policy formulation) berpengaruh terhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai. c. Apakah penganggaran (budgeting) berpengaruh terhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai. 1.3. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan:
a. Untuk menganalisis pengaruh agenda setting terhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai. b. Untuk menganalisis pengaruh policy formulation terhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai c. Untuk menganalisis pengaruh budgeting terhadap kualitas rencana kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah Kota Binjai 1.4. Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuan dari penelitian, maka hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan/ manfaat sebagai berikut: a. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kota Binjai khususnya dalam proses penyusunan rencana kerja pembangunan ini agar sistem dan implementasinya di masa yang akan datang menjadi lebih baik. b. Mendorong ditemukannya suatu bentuk perencanaan pembangunan dalam konteks otonomi daerah yang diharapkan menjadi praktek-praktek yang baik (best practices) serta dapat mendukung pengembangan wilayah. c. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan dan pengembangan wilayah.