PETA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH SESUDAH OTONOMI DAERAH : APAKAH MENGALAMI PERGESERAN? (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

PROPINSI KOTAMADYA/KABUPATEN TARIF KABUPATEN/KOTAMADYA HARGA REGULER. DKI JAKARTA Kota Jakarta Barat Jakarta Barat

INFORMASI UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) TAHUN 2010, 2011, 2012

KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAN RELEVANSINYA DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

Summary Report of TLAS Trainings in Community Forest on Java Year of Implementation :

Jumlah No. Provinsi/ Kabupaten Halaman Kabupaten Kecamatan 11. Provinsi Jawa Tengah 34 / 548

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

MENTERI KEUANGAN, AGUS D.W. MARTOWARDOJO.

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

Lampiran 1 Nomor : 7569 /D.3.2/07/2017 Tanggal : 26 Juli Daftar Undangan

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis

Lampiran Surat No : KL /BIII.1/1022/2017. Kepada Yth :

2011, Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara R

KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAN RELEVANSINYA DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali) 1

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

KANAL TRANSISI TELEVISI SIARAN DIGITAL TERESTERIAL PADA ZONA LAYANAN IV, ZONA LAYANAN V, ZONA LAYANAN VI, ZONA LAYANAN VII DAN ZONA LAYANAN XV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nomor : 04521/B5/LL/ Maret 2018 Lampiran : 1 (satu) eksemplar Perihal : Permohonan ijin

C. REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN)

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

KAWASAN PERKEBUNAN. di sampaikan pada roundtable pengembangan kawasan Makasar, 27 Februari 2014

Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kota Jambi. Oleh:

Pemetaan Kinerja Pendapatan Asli Daerah dan Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi

DAFTAR KUOTA PELATIHAN KURIKULUM 2013 PAI PADA MGMP PAI SMK KABUPATEN/KOTA

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

4 KINERJA PDAM Kantor BPPSPAM

ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2011 NO PROVINSI/KABUPATEN/KOTA JUMLAH

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. mengurus dan mengatur keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai

ALOKASI TRANSFER KE DAERAH (DBH dan DAU) Tahun Anggaran 2012 No Kabupaten/Kota/Provinsi Jenis Jumlah 1 Kab. Bangka DBH Pajak 28,494,882, Kab.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

UPDATE HASIL MONITORING EL NINO DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN AGUSTUS DESEMBER 2015

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

RINCIAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA PROVINSI/KABUPATEN/KOTA DALAM APBN T.A. 2018

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN KONTRIBUSI DANA BAGI HASIL TERHADAP PENDAPATAN DAERAH (Studi pada Kabupaten/Kota se Jawa-Bali)

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

P E N G A N T A R. Jakarta, Maret 2017 Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang rendah dan cenderung mengalami tekanan fiskal yang lebih kuat,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

LAMPIRAN IV SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /SEOJK.03/2016 TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI ASPEK KEUANGAN/FISKAL

Nama Penyedia Alamat Penyedia Lokasi Pabrik (Provinsi) Merk : PT. LAMBANG JAYA : JL. RAYA HAJIMENA KM 14 NO. 165 NATAR - LAMPUNG SELATAN - LAMPUNG

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 51/Menhut-II/2009 TENTANG

LAMPIRAN XVII PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 DATA KABUPATEN/KOTA PENERIMA PENGALIHAN PENGELOLAAN PBB-P2 SEBAGAI SAMPEL PENELITIAN

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode statistik. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang

Kode Lap. Tanggal Halaman Prog.Id. : 09 Maret 2015 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 018 KEMENTERIAN PERTANIAN ESELON I : 04 DITJEN HORTIKULTURA

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. LAMPIRAN

ANALISIS KINERJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA (APBD) DITINJAU DARI RASIO KEUANGAN (Studi Kasus di Kabupaten Sragen Periode )

PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH DI JAWA TIMUR PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

UPAH MINIMUM TAHUN 2005 PROPINSI KABUPATEN - KOTAMADYA DI INDONESIA No Propinsi Kabupaten / Kotamadya Sektor Industri Upah Minimum 2005 (Rp)

LAMPIRAN XV PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2016

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

DAFTAR SATUAN KERJA TUGAS PEMBANTUAN DAN DEKONSENTRASI TAHUN 2009 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.


BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

GUBERNUR JAWA TENGAH

Transkripsi:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH SESUDAH OTONOMI DAERAH : APAKAH MENGALAMI PERGESERAN? (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali) Wirawan Setiaji Priyo Hari Adi Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana ABSTRACT Regional Autonomy Implementation gives large opportunity for regions to improve their own financial performance. Regions have authority to manage and aptimize their own local resources. But, unfortunately, the regional autonomy started when regions had difference of readiness facing the era because of the impact of monetary crisis. The objective of the research is to find the map of the regional financial performance before and after the regional autonomy. The regions with good financial performance before the era are indicated have better readiness than the others. It is also indicated that the regions will have better financial performance during the regional autonomy. The indicators used to find the map are the share of regional own revenue to regional expenditure and the growth of regional own revenue. The sample of the research used are the regions (kabupaten/kota) in Java and Bali, which the data used during the year 1999 until 2004. The result shows that the the share of regional own revenue to regional expenditure during autonomy era have no improvement, not better than the one before the era. The regions still have strong dependence on the central government. But conversly, the growth of the regional own revenues during autonomy have positive difference than before Keyword : Regional Autonomy, Financial Performance, Share of Regional Own Revenue and Growth of Regional Own Revenue ASPP-09 1

Latar Belakang Masalah Pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah. Mardiasmo (2002) mengatakan bahwa sebelum era otonomi harapan yang besar dari pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai belanja daerah. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui PAD. Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat ASPP-09 2

kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PAD-nya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya (Sidik, 2002). Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manausia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraannya (Adi, 2005). Akan tetapi bagi daerah yang tidak memiliki potensi yang memadai, kebijakan tersebut sangat memberatkan. Karena bagi daerah yang tidak mempunyai sumber dana yang melimpah akan kesulitan dalam membiayai belanja mereka (Bappenas, 2003). Berdasarkan kondisi diatas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan suatu kajian terhadap kemampuan keuangan daerah, yang akan digambaran melalui suatu peta kemampuan keuangan. Peta tersebut akan menggambarkan kesiapan daerah dalam menghadapi otonomi daerah, selain hal tersebut peta tersebut juga akan menggambarkan tentang pergeseran kemampuan keuangan daerah selama era otonomi daerah. Adanya kewenangan yang lebih besar memberikan peluang kepada daerah menggali berbagai potensi daerah dan mengoptimalisasi berbagai sumber daya yang dimiliki, dan pada gilirannya dapat mendorong tercapainya kemampuan keuangan yang lebih baik. Persoalan Penelitian Dari latar belakang tersebut maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: ASPP-09 3

1. Bagaimana peta kemampuan keuangan kabupaten dan kota sebelum diberlakukannya otonomi daerah? 2. Bagaimana kemampuan keuangan kabupaten dan kota sesudah diberlakukanya otonomi daerah? 3. Bagaimana peta kemampuan keuangan kabupaten dan kota sesudah diberlakukannya otonomi daerah? TELAAH TEORITIS PENGEMBANGAN HIPOTESIS Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tanggal 1 Januari 2001 lalu, telah terjadi pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari pemerintah pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat (Mardiasmo, 2002). Otonomi daerah tersebut juga termasuk didalamnya desentralisasi fiskal yang mengharuskan daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi. Desentralisasi fiskal dilakukan pada saat daerah mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (Adi, 2006). beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Bappenas, 2003). Dengan adanya kondisi ini, diperlukan pemetaan terhadap kemampuan keuangan daerah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan keuangan daerah dalam ASPP-09 4

membiayai belanja pemerintah kabupaten dan kota. Peta kemampuan keuangan daerah akan disajikan dalam jangka waktu dari sebelum dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah. Pembuatan peta kemampuan daerah untuk tahun dimana sebelum otonomi daerah diberlakukan dimaksudkan untuk mengetahui persiapan kemampuan keuangan daerah dalam rangka menghadapi otonomi daerah. Peta kemampuan keuangan daerah juga akan dibuat pada periode setelah diberlakukannya otonomi daerah dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan kemampuan keuangan daerah selama diberlakukannya otonomi daerah. Untuk membuat peta kemampuan keuangan digunakan sejumlah parameter yaitu: Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalui ukuran share dan growth. Share merupakan rasio PAD terhadap total belanja daerah. Rasio ini mengukur seberapa jauh kemampuan daerah membiayai kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Rasio ini dapat digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan daerah. Sedangkan growth merupakan angka pertumbuhan PAD pada periode APBD dari tahun sebelumnya. Dengan parameter tersebut kemudian digambarkan dalam bentuk suatu peta kemampuan keuangan dengan menggunakan metode kuadran (Bappenas,2003). Yang dimaksud metode kuadran adalah salah satu cara menampilkan peta kemampuan keuangan daerah. Masing-masing kuadran ditentukan oleh besaran nilai growth dan share. Dengan nilai growth dan share maka masing-masing provinsi dapat diketahui posisinya (pada kuadran berapa). Kondisi di masing-masing kuadran dijelaskan pada tabel 1 TABEL 1 DI SINI Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi (Tinjauan Atas Kinerja PAD) Desentralisasi Fiskal (dalam otonomi daerah) ditujukan untuk menciptakan kemandirian daerah. Sidik (2002) menyatakan bahwa dalam era ini, pemerintah daerah ASPP-09 5

diharapkan mampu menggali dan mengoptimalkan potensi (keuangan lokal), khususnya pendapatan Asli Daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat mengingat ketergantungan semacam ini akan mengurangi kreatifitas lokal untuk mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal yang lebih efisien (Oates 1995) Otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas, akuntabilitas sektor publik di Indonesia (www.ekonomirakyat.org). Oleh sebab itu peran pemerintah daerah dalam era otonomi sangat besar, karena pemerintah daerah dituntut kemandiriannya dalam menjalankan fungsinya dan melakukan pembiayaan seluruh kegiatan daerahnya (Susilo dan Adi, 2007). Upaya peningkatan (pertumbuhan) PAD dapat dilakukan dengan intensifikasi pemungutan pajak dan retribusi yang sudah ada (Sidik, 2002). Peningkatan PAD melalui kedua penerimaan ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan publik. Kenyataan menunjukkan kualitas layanan publik masih banyak yang memprihatinkan, akibatnya produk yang seharusnya bisa dijual justru direspon secara negatif (Mardiasmo, 2002). Hal ini berarti peningkatan kemandirian ini tidak akan mungkin terjadi apabila tidak terjadi peningkatan peran serta masyarakat yang tercermin dalam pembayaran pajak ataupun retribusi (Heriansyah,2005). Hasil penelitian Bappenas (2003) menunjukkan adanya peningkatan PAD di seluruh Propinsi dalam era otonomi daerah. Lewis (2003) menemukan hal yang sama, yaitu terjadi peningkatan PAD, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Susilo dan Adi (2007) menemukan hal yang sama adanya peningkatan PAD pada kabupaten dan Kota di Jawa- Tengah. Peningkatan PAD ini disebabkan karena meningkatnya penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini memberikan indikasi adanya upaya yang keras dari daerah untuk mengoptimalkan potensi lokal yang sangat mengandalkan kontribusi langsung masyarakat (untuk membayar), ASPP-09 6

Namun demikian, pemerintah daerah harus mencegah eksploitasi yang berlebihan terhadap upaya peningkatan PAD ini. Eksplotasi pajak secara berlebihan justru akan dapat menyebabkan masyarakat semakin terbebani, menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian secara makro (Mardiasmo,2002; Saragih, 2003). Akibatnya bukan peningkatan PAD yang terjadi tetapi justru sebaliknya. Lewis (2003) menemukan bahwa dalam era otonomi ini, pemerintah daerah sangat agresif dalam mengeluarkan produk-produk perundangan terkait dengan pajak maupun retribusi daerah. Upaya peningkatan PAD melalui pajak ataupun retribusi daerah akan berhasil bila pemerintah daerah menunjukkan itikad yang sungguh untuk meningkatkan pelayanan publiknya. Peningkatan pelayanan publik ini tercermin dengan meningkatnya proporsi belanja pembangunan. Wong (2004) memberikan bukti empiris adanya kenaikan pajak ketika pemerintah menaikkan belanja pembangunan untuk sektor industri. Temuan Adi (2006) menunjukkan hal yang sama adanya kenaikkan proporsi belanja pembangunan yang cukup besar dalam era otonomi daerah. Kenaikan PAD yang ditunjukkan penelitian sebelumnya (Bappenas, 2003; Lewis, 2003; Susilo dan Adi, 2007) bisa terus berlanjut apabila terdapat upaya serius pemerintah daerah sebagaimana disebutkan. Seiring dengan meningkatnya PAD, diharapkan tingkat kemandirian pemerintah Daerah semakin meningkat. Tingkat kemandirian ini ditunjukkan dengan kontribusi PAD (share) untuk mendanai belanja-belanja daerahnya. Ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat harus semakin kecil (Sidik, 2002). Senada dengan hal ini, Bappenas (2003) menyatakan bahwa dalam era otonomi seharusnya peran PAD semakin besar dalam membiayai berbagai belanja daerah. Seiring dengan peningkatan (pertumbuhan) meningkatnya pemberian pelayanan publik, diharapkan kontribusi masyarakat semakin meningkat pula, penerimaan PAD menjadi semakin tinggi. Kontribusi pemerintah pusat semakin menurun, seiring dengan meningkatnya ASPP-09 7

kemampuan daerah untuk meningkatkan PAD-nya. Kinerja keuangan daerah sesudah dilaksanakannya otonomi daerah seharusnya mengalami perbaikan yang ditandai dengan pergeseran peta ke kuadran yang lebih baik. Hal tersebut disebabkan oleh semakin luasnya kesempatan yang diberikan kepada daerah untuk menggali potensi potensi yang daerah miliki. Dari pemaparan ini dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut : Hipotesis 1 (H1) : Pertumbuhan (Growth) PAD setelah otonomi daerah lebih baik daripada pertumbuhan PAD sebelum otonomi Hipotesis 2 (H1) : Kontribusi (Share) PAD terhadap Belanja setelah otonomi lebih baik daripada kontribusi PAD terhadap Belanja sebelum Otonomi METODE PENELITIAN Sampel Dan Data Sampel dari penelitian ini adalah seluruh Kabupaten dan Kota se Jawa Bali yang tidak merupakan daerah pemekaran selama periode penelitian. Alasan peneliti memilih sampel tersebut adalah daerah kabupaten dan kota ini memiliki karakteristik ekonomi dan geografis yang sama dan secara teoritis dan empiris berbeda di luar Jawa Bali (Abdullah dan Halim 2005). Data yang ingin diperoleh oleh peneliti adalah data mengenai seberapa besar peran Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai belanja daerah sebelum diberlakukannya otonomi daerah (tahun 1999 dan 2000) dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah (tahun 2001 sampai dengan tahun 2004). Teknik Analisis Dalam penelitian ini akan digunakan sejumlah parameter, yaitu: 1. Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalu ukuran share dan growth. PAD Share = 100% (1) Total Belanja ASPP-09 8

Growth PAD i = PADi 1 100% (2) Keterangan : PADi = Pendapatan Asli Daerah periode i PADi-1 = Pendapatan Asli Daerah periode i-1 2. Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dengan Metode Kuadran menurut Bappenas (Gambar 1) GAMBAR 1 DI SINI 3. Pengujian Hipotesis (Hipotesis 1 dan Hipotesis 2) Pengujian hipotesis menggunakan uji t berpasangan (paired sampled t test). Pengujian dengan alat uji ini digunakan untuk membandingkan antara (1) Growth sebelum dan share sesudah otonomi dan (2) share sebelum dan sesudah otonomi. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Statistik Deskriptif Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Daerah Pada tabel 2 berikut ini akan dijelaskan perbandingan dan perubahan dari variabel share dan growth antara sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah. TABEL 2 DI SINI Pada tabel 2 menunjukkan rata-rata Pendapatan Asli Daerah dimana PAD periode sebelum pelaksanaan otonomi lebih kecil daripada periode sesudah otonomi, berarti rata-rata PAD di kabupaten dan kota se Jawa Bali mengalami peningkatan yang cukup tinggi dalam era otonomi. Hal ini dapat diartikan bahwa pemerintah daerah dalam era otonomi mulai menggali potensi-potensi pendapatan asli dari daerahnya sehingga PAD dapat meningkat cukup tinggi. Penyimpangan PAD setelah otonomi daerah meningkat cukup tinggi, dilihat dari Standar Deviasi yang meningkat hal ini menandakan bahwa perbedaan penerimaan PAD antar daerah di kabupaten dan kota se Jawa Bali sesudah otonomi semakin tinggi. Perbedaan penerimaan tersebut dapat ASPP-09 9

dikarenakan karena beberapa daerah mulai menggali potensi daerah mereka masingmasing. Rata-rata Total Belanja sebelum otonomi lebih kecil di bandingkan sesudah otonomi, sehingga rata-rata Total Belanja sesudah pelaksanaan otonomi daerah meningkat daripada sebelum pelaksanaan otonomi daerah. Peningkatan Belanja Pembangunan di era otonomi cukup besar, ini di pengaruhi oleh adanya inisiatif pemerintah daerah yang cukup tinggi untuk meningkatkan kualitas layanan publik (Adi, 2006), untuk membangun sarana dan prasarana yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jumlah Belanja Pembangunan disesuaikan dengan kemampuan tiap daerah untuk membiayai pembangunan tersebut, sehingga antar daerah dapat berbeda-beda (Susilo dan Adi, 2007). Kenaikan total belanja juga disebabkan oleh adanya transfer pegawai dari pemerintah pusat ke daerah sehingga mengakibatkan kenaikan dari belanja rutin daerah. Penyimpangan yang terjadi dalam Total Belanja sesudah otonomi daerah semakin meningkat hal ini berarti perbedaan jumlah Total Belanja antar daerah di seluruh kabupaten dan kota se Jawa Bali semakin tinggi. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sebelum Otonomi Daerah Pada tabel 3 berikut ini akan ditunjukkan Kinerja Keuangan APBD sebelum pelaksanaan otonomi Daerah yaitu pada tahun 1999 dan 2000 yang dihitung dengan menggunakan share dan growth TABEL 3 DI SINI Dari tabel 3 dapat di simpulkan bahwa kinerja keuangan yang ditunjukkan oleh growth dan share pada seluruh kabupaten dan kota se Jawa Bali sebelum pelaksanaan otonomi daerah mengalami penurunan di tahun 2000, hal ini berarti kinerja keuangan pemerintah daerah tidak mengalami peningkatan. ASPP-09 10

Dari profil kemampuan keuangan dengan metode kuadran diketahui persebaran kabupaten dan kota pada masing-masing kuadran tidak merata. Pada kuadran I (kondisi ideal) hanya ditempati oleh 11 daerah, sedangkan terdapat 39 daerah yang berada di kuadran IV. Gambaran ini paling tidak memberikan indikasi ketidaksiapan hampir sebagian besar kabupaten dan kota memasuki era otonomi daerah. Dari gambar 3 dapat diketahui bahwa proporsi persebaran kabupaten dan kota sebelum era otonomi paling besar terdapat pada kuadran IV, yaitu sebanyak 39 daerah atau 39.80%. Proporsi yang cukup merata dapat diketahui dari kuadran II dan III. Yaitu sebanyak 25 daerah (25.51%) yang berada di kuadran II dan sebanyak 23 daerah (23.47%) yang berada pada kuadran III. Sedangkan pada kuadran I hanya ditempati oleh 11 daerah (11.22%). Hal tersebut menunjukkan bahwa kurangnya kemandirian daerah pada saat sebelum otonomi daerah yang disebabkan daerah masih tergantung kepada Dana Perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. GAMBAR 2 DISINI Apabila dianalisis lebih lanjut, kabupaten dan kota di Propinsi Bali relatif lebih siap menghadapi era otonomi daerah. Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa pada kuadran I proporsi paling banyak ditempati oleh kabupaten dan kota yang berada pada Propinsi Bali, yaitu sebanyak 5 daerah (45%) dari 11 daerah. Hal tersebut menandakan bahwa pada era sebelum otonomi daerah yang paling siap menghadapi otonomi daerah adalah daerah-daerah yang berada di Propinsi Bali. Kesiapan daerah-daerah yang berada di Propinsi Bali dikarenakan kedudukannya yang lebih strategis (khususnya sebagai daerah wisata), pemerintah daerah di Bali mempunyai peluang yang lebih besar untuk meningkatkan penerimaan dari berbagai pajak yang diperkenankan di pungut (Adi, 2006). Sedangkan pada kuadran IV paling banyak ditempati oleh daerah-daerah yang berada pada Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang menunjukkan bahwa terdapat 15 kabupaten dan kota yang berasal dari Jawa Timur dan 14 kabupaten dan kota yang TABEL 4 DISINI ASPP-09 11

berasal dari Jawa Tengah yang belum memiliki kesiapan dalam menghadapi otonomi daerah. Sedangkan untuk kabupaten dan kota yang berada pada propinsi Banten dan DI Yogyakarta tersebar cukup merata di semua kuadran. Pengujian Hipotesis Hasil pengujian hipotesis 1 (H1) menunjukkan bahwa nilai t uji adalah sebesar 8,887 dengan signifikansi 0,000 (lihat tabel 5). Nilai t uji 8,887 menunjukkan bahwa growth setelah otonomi daerah mengalami perubahan secara positif (lebih baik) dan signifikansi sebesar 0,000 memberikan gambaran perbedaan growth antara sebelum dan sesudah otonomi sangat nyata (signifikan). Dengan demikian hipotesis 1 yang menyatakan Pertumbuhan (Growth) PAD setelah otonomi daerah lebih baik daripada pertumbuhan PAD sebelum otonomi diterima (terbukti). Sedangkan pengujian hipotesis 2 menunjukkan hal yang sebaliknya. Nilai t uji menunjukkan arah yang berlawanan (negatif) yaitu sebesar -7.081. Hal ini berarti share (peran) PAD terhadap belanja setelah otonomi justru mengalami penurunan. Penurunan ini secara statistik sangat nyata (nilai signifikansi 0,000). Dengan demikian hipotesis 2 yang menyatakan Kontribusi (Share) PAD terhadap Belanja setelah otonomi lebih baik daripada kontribusi PAD terhadap Belanja sebelum Otonomi ditolak (tidak terbukti). TABEL 5 DISINI Interpretasi Hasil Pengujian Hipotesis Hipotesis 1 Hasil pengujian menunjukkan bahwa growth (pertumbuhan) PAD setelah otonomi lebih baik dari pada sebelum otonomi. Hasil penelitian ini mendukung temuantemuan penelitian sebelumnya bahwa terjadi peningkatan PAD yang cukup besar dalam era otonomi dibanding dengan sebelum otonomi (Bappenas, 2003; Lewis, 2003; Susilo dan Adi, 2007). Hal ini memberikan indikasi yang kuat adanya upaya ASPP-09 12

yang kuat dari daerah untuk meningkatkan berbagai layanan publik yang ada. Bisa jadi, kenaikan belanja ini merupakan ekses dari peningkatan belanja pembangunan sebagaimana temuan penelitian Adi (2007). Bisa jadi agresifitas pemda untuk menerbitkan perundangan terkait dengan pajak daerah maupun retribusi memberikan andil yang cukup besar juga terhadap peningkatan PAD ini (Lewis,2003). Bila dianalisis lebih lanjut perubahan peningkatan PAD disajikan dalam tabel 6. TABEL 6 DISINI Tabel 6 memperlihatkan daerah-daerah yang berada di kuadran I justru menunjukkan penurunan pertumbuhan PAD sebesar ± 0,25 (25%). Namun demikian, disparitas pertumbuhan PAD antar daerah yang berada dikuadran ini justru semakin kecil. Rata-rata pertumbuhan PAD kabupaten dan kota pada kuadran ini lebih kecil dibanding rata-rata pertumbuhan daerah secara keseluruhan. Hal ini memberi indikasi peta kemampuan keuangan beberapa daerah ini akan mengalami pergeseran. Daerah-daerah yang berada kuadran lain (II-IV) menunjukkan peningkatan rata-rata pertumbuhan PAD, namun demikian disparitas pertumbuhan antar daerah pada tiap kuadran justru lebih besar dibanding disparitas yang terjadi pada daerah di kuadran I. Hal menarik yang perlu dicermati adalah tingkat pertumbuhan PAD pada semua daerah, tidak ada satupun daerah yang mengalami pertumbuhan PAD yang lebih kecil dibanding rata-rata pertumbuhan PAD untuk seluruh daerah pada era sebelum otonomi. Fakta empirik ini menunjukkan sinyal positif adanya upaya keras daerah untuk mencari sumber-sumber potensial melalui PAD. Hipotesis 2 Berbeda dengan hipotesis sebelumnya, hipotesis 2 justru menunjukkan hal yang sebaliknya.meskipun rata-rata pertumbuhan PAD mengalami kenaikan yang berarti, ASPP-09 13

peran PAD untuk mendanai belanja daerah (share) justru mengalami penurunan yang signifikan. Selama empat tahun pelaksanaan otonomi fiskal, daerah-daerah tidak mengalami peningkatan kemandirian; yang terjadi justru sebaliknya daerahdaerah mempunyai ketergantungan yang lebih besar terhadap pemerintah pusat. Fakta empirik ini tidak mendukung argumentasi Sidik (2002) maupun Bappenas (2003) yang menyatakan bahwa dalam era otonomi daerah ketergantungan terhadap pemerintah pusat harus semakin kecil, yang ditandai dengan meningkatnya PAD. Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Susilo dan Adi (2007) yang menunjukkan adanya penurunan kemandirian daerah di era otonomi. Hasil penelitan Abdullah dan Halim (2004) secara implisit menjelaskan mengapa terjadi penurunan kemandirian. Hasil penelitian ini menunjukkan belanja daerah sangat dipengaruhi oleh transfer dari pemerintah pusat (DAU). Konsekuensinya, daerah-daerah akan meningkatkan jumlah belanjanya secara signifikan, sebagai upaya untuk memperoleh transfer yang lebih besar (Gamkhar dan Oates, 1996). Namun demikian, bila dilakukan analisis lebih lanjut, tidak semua daerah menunjukkan adanya penurunan share PAD. TABEL 7 DISINI Tabel 7 memberikan gambaran bahwa daerah-daerah yang (sebelumnya) berada di kuadran I dan III masih menunjukkan nilai rata-rata share yang lebih tinggi dibanding dengan rata-rata share seluruh daerah sebelum era otonomi. Namun demikian, terdapat beberapa daerah di kuadran ini yang mengalami penurunan share yang cukup tajam, bahkan lebih kecil dibanding rata-rata share seluruh daerah sebelum otonomi (lihat nilai minimum pada kuadran I dan III). Yang lebih memprihatinkan adalah tidak adanya satu daerahpun yang berada di kuadran II dan IV yang mengalami peningkatan share lebih besar dibanding rata-rata share daerah sebelum otonomi (lihat nilai maksimun pada kuadran II dan IV). Artinya apabila ASPP-09 14

dipetakan, maka tidak ada satu daerahpun dikuadran ini yang akan mengalami pergeseran ke kuadran I ataupun III. Daerah-daerah ini masih menunjukkan ketergantungan yang sangat besar besar terhadap pemerintah pusat. Hasil penelitian ini mendukung sinyalemen Adi (2006) yang mengindikasikan kecenderungan untuk tetap mempertahankan (bahkan meningkatkan) transfer dari pemerintah pusat yang jumlahnya sangat besar, yaitu DAU. Menurut BPS (2004) ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin kecilnya kontribusi PAD terhadap total belanja : 1. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada di luar wewenang Pemda. 2. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan per kapita. 3. Kurang mampunya Pemda dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Setelah Otonomi Daerah Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan keuangan daerah setelah dilaksanakannya otonomi daerah bila dibandingkan dengan kemampuan daerah sebelum era otonomi daerah, maka disusun peta kemampuan keuangan dengan titik tengah rata-rata growth dan share kabupaten dan kota se Jawa Bali tahun 1999-2000. Pemetaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah kabupaten dan kota se Jawa Bali setelah otonomi daerah dilaksanakan mengalami pergeseran kuadran atau tidak bila dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah diberlakukan. GAMBAR 3 DISINI Dari gambar 3 dapat diketahui bahwa semua daerah mengalami pertumbuhan PAD daripada sebelum era otonomi yang ditandai dengan bergesernya daerah ke kuadran I dan II. Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa sebagian besar daerah berada pada ASPP-09 15

kuadran II yaitu sebesar 84.69 %. Sedangkan pada kudran I terdapat 15 daerah atau 15.39%. Sedangkan tidak ada kabupaten atau kota yang menempati kuadran III maupun kuadran IV. Pergeseran kabupaten dan kota yang sebelum otonomi daerah berada pada kudran III dan IV kemudian bergeser ke kuadran II bahkan ke kuadran I merupakan suatu hal yang positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah berlangsung, semua kabupaten dan kota telah meningkatkan PAD mereka. Pada gambar 5 juga dapat diketahui bahwa kuadran I sebagian besar ditempati oleh daerah-daerah yang pada gambar 1 (peta kemampuan keuangan sebelum otonomi daerah) berada pada kuadran III. Pergeseran itu memberikan indikasi bahwa pada setelah otonomi berlangsung daerah-daerah tersebut telah memacu PAD mereka sehingga terjadi pertumbuhan PAD yang diatas rata-rata dan menjadikan peningkatan peran dari PAD terhadap total belanja mereka. Akan tetapi pada peta kemampuan keuangan tersebut juga dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah masih mempunyai peran PAD terhadap total belanja yang rendah, yaitu terdapat 83 daerah yang berada pada kuadran II. Hal tersebut berarti bahwa walaupun pertumbuhan PAD tinggi tapi tidak sebanding dengan kenaikan belanja daerahnya. Dengan kata lain walaupun terjadi kenaikan pertumbuhan PAD, kemandirian daerah-daerah tersebut setelah otonomi daerah tidak meningkat bahkan dapat dikatakan menurun. Dikatakan menurun karena masih tingginya transfer dana dari pusat. Prosentase kenaikan PAD tidak lebih besar daripada prosentase kenaikan dari transfer (Adi, 2006). TABEL 8 DISINI Dari tabel 8 diketahui bahwa untuk kuadran I didominasi oleh daerah yang berada pada propinsi Jawa Timur, yaitu dengan 4 daerah yang berada pada kuadran I. Propinsi Bali justru mengalami hal sebaliknya. Sebelum otonomi daerah, terdapat 5 ASPP-09 16

daerah berada pada kuadran I, namun setelah otonomi terdapat 6 daerah yang berada pada kuadran II. Pergeseran tersebut menunjukkan bahwa setelah era otonomi daerah berlangsung, sebagian besar daerah-daerah yang berada pada propinsi Bali mengalami kesulitan dalam meningkatkan peran PAD terhadap total belanja mereka. Sedangkan untuk sebagian besar kabupaten dan kota yang berada di propinsi Jawa Tengah berada pada kuadran II, sama halnya dengan kabupaten yang berada di propinsi Bali kabupaten dan kota di propinsi Jawa Tengah tidak dapat meningkatkan peran PAD yang mereka miliki terhadap total belanja (gambaran lebih rinci kedudukan kabupaten dan kota dalam peta kemampuan keuangan dapat dilihat pada gambar 4 dan gambar 5). PENUTUP Simpulan Pelaksanaan UU. No. 32 Tahun 2004 dan UU. No. 33 tahun 2004 tentang pelaksanaan otonomi daerah menyebabkan adanya perbedaan kinerja keuangan antar daerah sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah. Beberapa bukti empiris penting dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini, yaitu : 1. Pada peta kemampuan keuangan sebelum otonomi daerah dilaksanakan (1999-2000) persebaran daerah paling tinggi berada pada kuadran IV. Persebaran yang cukup merata berada pada kuadra II dan III. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1999 dan 2000 sebagian besar daerah yang terletak di Jawa dan Bali belum mempunyai kemandirian dalam membiayai belanja daerah mereka. 2. Terdapat perbedaan Growth (pertumbuhan) PAD yang signifikan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah. Pertumbuhan PAD setelah otonomi secara empiris lebih tinggi (lebih baik) dibanding pertumbuhan PAD sebelum otonomi. Namun demikian, perbedaan pertumbuhan ini tidak diikuti dengan kenaikan share (kontribusi) PAD terhadap belanja. Kontribusi PAD terhadap belanja justru lebih rendah dibanding kontribusi setelah otonomi. Hal ini menunjukkan dalam era otonomi ketergantungan terhadap pemerintah pusat justru menjadi lebih tinggi. ASPP-09 17

3. Pada peta kemampuan keuangan setelah otonomi daerah dilaksanakan (2001-2004) dengan titik tengah rata-rata tahun 1999-2000, sebagian besar daerah berada pada kuadran II. Hal tersebut menunjukkan bila dibandingkan dengan peta kemampuan keuangan sebelum otonomi daerah dilaksanakan menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan pertumbuhan dari PAD. Akan tetapi sebagian besar daerah walaupun mengalami peningkatan PAD, peningkatan PAD mereka tidak sebanding dengan peningkatan Total Belanja mereka. Implikasi Teoritis Implikasi teoritis yang di dapat dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada era otonomi berlangsung telah terjadi peningkatan pertumbuhan (growth) dari PAD jika dibandingkan dengan era sebelum otonomi. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Bappenas, 2003; Lewis, 2003; Susilo dan Adi, 2007) yang menunjukkan adanya peningkatan penerimaan PAD dalam era otonomi daerah. 2. Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa setelah otonomi terjadi penurunan peran (share) PAD terhadap total belanja daerah jika dibandingkan dengan era sebelum otonomi yang menyebabkan naiknya tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Penelitian ini sejalan dengan yang penelitan yang dilakukan oleh Susilo dan Adi (2007) yang membuktikan bahwa Tingkat Kemandirian Daerah setelah otonomi tidak lebih baik daripada sebelum otonomi. Temuan Abdullah dan Halim (2004) yang menunjukkan belanja daerah sangat dipengaruhi oleh transfer dari pemerintah pusat (DAU) secara implisit dapat menjelaskan mengapa daerah mengalami penurunan kemandirian. Keterbatasan Penelitian dan Saran untuk Penelitian Mendatang 1. Penelitian ini menggunakan sampel kabupaten dan kota se Jawa Bali mengingat adanya persamaan karakteristik. Oleh karena itu, bisa jadi daya generalisasi penelitian ini rendah. Pada penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan sampel ASPP-09 18

penelitian yang lebih luas, sehingga dapat memberikan gambaran kesiapan daerahdaerah di seluruh Indonesia dalam mengahadapi otonomi daerah. 2. Penelitian ini tidak memberikan gambaran secara rinci sektor PAD dan belanja daerah, sehingga tidak diketahui dari mana saja pendapatan yang diterima oleh daerah yang memberikan kontribusi pada PAD dan juga pada penelitian ini tidak diketahui belanja daerah mana saja yang menghasilkan PAD bagi daerah. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggambarkan secara rinci PAD dan belanja daerah, sehingga dapat diketahui dari mana saja pendapatan yang diterima oleh daerah yang memberikan kontribusi pada PAD dan juga dapat diketahui belanja daerah mana saja yang menghasilkan PAD bagi daerah. ASPP-09 19

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Syukriy dan Abdul Halim. 2003. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Simposium Nasional Akuntansi VI, 1140-1159 Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.. 2006. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali). Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. Ans dan Cok. 2003. Yang Primer Tertinggal. http://www.kompas.com/kompascetak/0307/21/teropong/442398.htm. 21 Juli 2003. Badan Pusat Statistik. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Tk II Tahun 1998-2004. Jakarta. Indonesia. BAPPENAS. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Dalam Era Otonomi Daerah: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah. Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. Ghamkar, Shama dan Wallace Oates. 1996. Asymetries in the Response to Increases and Decreases in Governmental Grants : Some Empirical Evidence. National Tax Journal. Hal : 510-512 Halim, Abdul, 2001. Analisis Deskriptif Pengaruh Fiskal Stress Pada APBD Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Kompak, No.2 Mei. Haryadi, Bambang, 2002. Analisis Pengaruh Fiskal Stress Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten / Kota Dalam Menghadapi Pelaksanaan Otonomi Daerah (Suatu Kajian Empiris di Propinsi Jawa Timur). Simposium Nasional Akuntansi V. Semarang. http://www.sikd.djapk.go.id Laporan Realisasi APBD Tahun 2004. Lewis, Blane D. 2003. Some Empirical Evidence on New RegionalTaxes and Charges in Indonesia. Research Triangle Institute. North Carolina. Working Paper. Mardiasmo, 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_3.htm Novitasari, Hariatni, 2007. Perubahan Tren Kinerja Pemerintah Daerah. http: //www.jawaposonline.co.id. 9 Januari 2007. Oates, Wallace E. 1995. Comment on Conflict and Dillemas of Decentralization by Rudolf Holmes. The World Bank Research Observer. Hal : 351 353 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2000 Tentang Dana Perimbangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. ASPP-09 20

Sidik, Machfud. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Makalah disampaikan Acara Orasi Ilmiah. Bandung. 10 April 2002. Susilo, Gideon Tri Budi dan Priyo Hari Adi. 2007. Analisis Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi Empiris di Propinsi Jawa Tengah). Konferensi Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik Pertama. Surabaya. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local Government Capacity. Journal of Public Budgeting., Accounting and Financial Management. Fall. 16.3. Hal : 413 423. ASPP-09 21

LAMPIRAN-LAMPIRAN Tabel-Tabel Tabel 1 Klasifikasi Status Kemampuan Keuangan Daerah Berdasarkan Metode Kuadran KUADRAN I II III IV Sumber : Bappenas (2003) KONDISI Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam Total Belanja dan daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini ditunjukan dengan besarnya nilai share disertai nilai growth yang tinggi. Kondisi ini belum ideal, tapi daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal sehingga PAD berpeluang memiliki peran besar dalam Total Belanja. Sumbangan PAD terhadap Total Belanja masih rendah namun pertumbuhan (growth) PAD tinggi. Kondisi ini juga belum ideal. Peran PAD yang besar dalam Total Belanja punya peluang mengecil karena pertumbuhan PAD-nya kecil. Sumbangan PAD terhadap Total Belanja tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah. Kondisi ini paling buruk. PAD belum mengambil peran yang besar dalam Total Belanja dan daerah belum punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Sumbangan PAD terhadap Total Belanja rendah dan pertumbuhan PAD rendah. Tabel 2 Perbandingan Statistik Deskriptif Variabel Share dan Growth Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah Sebelum Sesudah Rata-rata 14,674,975.43 39,054,627.28 PAD Minimum 2,585,548.00 6,949,202.00 Maksimum 210,585,164.00 312,943,090.00 Deviasi Standar 25,612,114.25 47,869,483.20 Rata-rata 89,023,000.12 334,066,745.91 Belanja Daerah Minimum 23,460,571.50 127,944,607.50 Maksimum 351,897,972.50 946,154,015.75 Deviasi Standar 46,573,505.52 134,785,742.75 Sumber: Data Sekunder (diolah). Tabel 3 Share dan Growth Sebelum Otonomi Daerah (Tahun 1999 2000) 1999 2000 Rata-rata Rata-rata 0.167 0.126 0.147 Share Minimum 0.047 0.037 0.051 Maksimum 1.323 0.762 1.042 Deviasi Standar 0.159 0.095 0.125 Rata-rata 1.170 1.170 1.170 Growth Minimum 0.434 0.385 0.716 Maksimum 2.835 4.735 2.584 Deviasi Standar 0.380 0.441 0.237 ASPP-09 22

Sumber: Data Sekunder (diolah) Count Tabel 4 Peta Kemampuan Keuangan Kabupaten dan Kota per Propinsi sebelum Otonomi Daerah PETA KEMAMPUAN SEBELUM DESENTRALISASI PROPINSI Total BANTEN JAWA BARAT JAWA TENGAH DI. YOGYAKARTA JAWA TIMUR BALI KUADRAN I KUADRAN II KUADRAN III KUADRAN IV Total 2 2 4 2 3 6 4 15 1 13 7 14 35 3 2 1 6 3 5 6 15 29 5 1 3 9 11 25 23 39 98 Tabel 5 Hasil Pengujian Hipotesis Uji Beda Berpasangan Pair 1 Pair 2 GROWTH SESUDAH DESENTRALISASI - GROWTH SEBELUM DESENTRALISASI SHARE SESUDAH DESENTRALISASI - SHARE SEBELUM DESENTRALISASI Rata-rata Deviasi Standar Nilai t uji df Sig. (2-tailed) Kesimpulan.26602.296321 8.887 97.000 H1 diterima -.042133.0589002-7.081 97.000 H2 ditolak ASPP-09 23

Tabel 6 Perbandingan Statistik Diskriptif Growth Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Menurut Kuadran) PETA KEMAMPUAN SEBELUM DESENTRALISASI KUADRAN I KUADRAN II KUADRAN III KUADRAN IV Total N Rata-rata Maksimum Minimum Deviasi Standar N Rata-rata Maksimum Minimum Deviasi Standar N Rata-rata Maksimum Minimum Deviasi Standar N Rata-rata Maksimum Minimum Deviasi Standar N Rata-rata Maksimum Minimum Deviasi Standar GROWTH SEBELUM DESENTRALISASI GROWTH SESUDAH DESENTRALISASI 11 11 1.5954 1.3246 2.584 1.535 1.177 1.189.4162.1115 25 25 1.2655 1.4601 1.546 1.839 1.170 1.260.1075.1427 23 23 1.0349 1.4071 1.158 1.856.716 1.269.1083.1337 39 39 1.0684 1.4689 1.168 1.779.934 1.258.0580.1191 98 98 1.1699 1.4360 2.584 1.856.716 1.189.2367.1346 ASPP-09 24

Tabel 7 Perbandingan Statistik Diskriptif Share Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Menurut Kuadran) PETA KEMAMPUAN SEBELUM DESENTRALISASI KUADRAN I KUADRAN II KUADRAN III KUADRAN IV Total N Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar N Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar N Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar N Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar N Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar SHARE SEBELUM DESENTRALISASI SHARE SESUDAH DESENTRALISASI 11 11.3004.1793.1480.0790 1.0430.6210.2717.1557 25 25.0896.0758.0550.0520.1330.1050.0230.0144 23 23.2395.1615.1540.0730.3610.3290.0497.0563 39 39.0859.0690.0510.0390.1470.1250.0279.0198 98 98.1470.1048.0510.0390 1.0430.6210.1251.0745 ASPP-09 25

Count Tabel 8 Peta Kemampuan Keuangan Kabupaten dan Kota per Propinsi Setelah Otonomi Daerah PROPINSI Total BANTEN JAWA BARAT JAWA TENGAH DI. YOGYAKARTA JAWA TIMUR BALI Peta Kemampuan Keuangan Setelah Otonomi KUADRAN I KUADRAN II Total 2 2 4 2 13 15 3 32 35 1 5 6 4 25 29 3 6 9 15 83 98 Gambar-Gambar Rata-rata GROWTH (%) KUADRAN III KUADRAN I Rata-rata SHARE (%) KUADRAN IV KUADRAN II Gambar 1 : Peta Kemampuan Keuangan Berdasarkan Metode Kuadran (Sumber : Bappenas) ASPP-09 26

Kwadran IV 39.80% Kwadran I 11.22% Kwadran II 25.51% Kwadran III 23.47% GAMBAR 2 PROPORSI PERSEBARAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH SEBELUM OTONOMI DAERAH Kwadran IV 0.00% Kwadran III 0.00% Kwadran I 15.31% Kwadran II 84.69% GAMBAR 3 PROPORSI PERSEBARAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH SETELAH OTONOMI DAERAH ASPP-09 27

KUADRAN III 1. Kab. Tangerang 2. Kota Tangerang 3. Kab. Karawang 4. Kab. Bekasi 5. Kota Bogor 6. Kota Sukabumi 7. Kota Bandung 8. Kota Cirebon 9. Kab. Kudus 10. Kab. Kendal 11. Kota Magelang 12. Kota Surakarta 13. Kota Salatiga 14. Kota Semarang 15. Kota Tegal 16. Kab. Sleman 17. Kota Yogyakarta 18. Kab. Sidoarjo 19. Kab. Jombang 20. Kab. Gresik KUADRAN IV 1. Kab. Pandeglang 2. Kab. Lebak 3. Kab. Cianjur 4. Kab. Majalengka 5. Kab. Indramayu 6. Kab. Subang 7. Kab. Kebumen 8. Kab. Purworejo 9. Kab. Klaten 10. Kab. Sukoharjo 11. Kab. Wonogiri 12. Kab. Karanganyar 13. Kab. Sragen 14. Kab. Rembang 15. Kab. Jepara 16. Kab. Demak 17. Kab. Semarang 18. Kab. Temanggung 19. Kab. Pemalang 20. Kota Pekalongan 21. Kota Malang 22. Kota Madiun 23. Kota Surabaya 21. Kab. Bantul 22. Kab. Blitar 23. Kab. Lumajang 24. Kab. Jember 25. Kab. Situbondo 26. Kab. Probolinggo 27. Kab. Nganjuk 28. Kab. Madiun 29. Kab. Ngawi 30. Kab. Lamongan 31. Kab. Sampang 32. Kab. Pamekasan 33. Kota Blitar 34. Kota Probolinggo 35. Kota Pasuruan 36. Kota Mojokerto 37. Kab. Jembrana 38. Kab. Bangli 39. Kab. Buleleng Growth (1.170) KUADRAN I 1. Kab. Sumedang 2. Kab. Purwakarta 3. Kab. Grobogan 4. Kab. Pasuruan 5. Kab. Mojokerto 6. Kab. Tuban 7. Kab. Tabanan 8. Kab. Badung 9. Kab. Gianyar 10. Kab. Karangasem 11. Kota Denpasar KUADRAN II 1. Kab. Sukabumi 21. Kab. Bondowoso 2. Kab. Garut 22. Kab. Magetan 3. Kab. Cirebon 23. Kab. Bojonegoro 4. Kab. Cilacap 24. Kab. Bangkalan 5. Kab. Banyumas 25. Kab. Klungkung 6. Kab. Purbalingga 7. Kab. Banjarnegara 8. Kab. Wonosobo 9. Kab. Magelang 10. Kab. Boyolali 11. Kab. Blora 12. Kab. Pati 13. Kab. Batang 14. Kab. Pekalongan 15. Kab. Tegal 16. Kab. Brebes 17. Kab. Kulon Progo 18. Kab. Gunung Kidul 19. Kab. Ponorogo 20. Kab. Banyuwangi Share (0.147) Gambar 4 : Peta Kemampuan Keuangan Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali Sebelum Otonomi Daerah Berdasarkan Metode Kuadran ASPP-09 28

Growth (1.170) KUADRAN III KUADRAN I KUADRAN I 1. Kab. Tangerang 2. Kota Tangerang 3. Kab. Bekasi 4. Kota Bandung 5. Kota Surakarta 6. Kota Semarang 7. Kota Tegal 8. Kota Yogyakarta 9. Kab. Sidoarjo 10. Kab. Tuban 11. Kab. Gresik 12. Kota Surabaya 13. Kab. Badung 14. Kab. Gianyar 15. Kota Denpasar KUADRAN II 1. Kab. Pandegalang 2. Kab. Lebak 3. Kab. Sukabumi 4. Kab. Cianjur 5. Kab. Garut 6. Kab. Cirebon 7. Kab. Majalengka 8. Kab. Sumedang 9. Kab. Indramayu 10. Kab. Subang 11. Kab. Purwakarta 12. Kab. Karawang 13. Kota Bogor 14. Kota Sukabumi 15. Kota Cirebon 16. Kab. Cilacap 17. Kab. Banyumas 18. Kab. Purbalingga 19. Kab. Banjarnegara 20. Kab. Kebumen 21. Kab. Purworejo 22. Kab. Wonosobo 23. Kab. Magelang 24. Kab. Boyolali 25. Kab. Klaten 26. Kab. Sukoharjo 27. Kab. Wonogiri 28. Kab. Karanganyar 29. Kab. Sragen 30. Kab. Grobogan 31. Kab. Blora 32. Kab. Rembang 33. Kab. Pati 34. Kab. Kudus 35. Kab. Jepara 36. Kab. Demak 37. Kab. Semarang 38. Kab. Temanggung 39. Kab. Kendal 40. Kab. Batang 41. Kab. Pekalongan 42. Kab. Pemalang 43. Kab. Tegal 44. Kab. Brebes 45. Kota Magelang 46. Kota Salatiga 47. Kota Pekalongan 48. Kab. Kulon Progo 49. Kab. Bantul 50. Kab. Gunung Kidul 51. Kab. Sleman 52. Kab. Ponorogo 53. Kab. Blitar 54. Kab. Lumajang 55. Kab. Jember 56. Kab. Banyuwangi 57. Kab. Bondowoso 58. Kab. Situbondo 59. Kab. Probolinggo 60. Kab. Pasuruan 61. Kab. Mojokerto 62. Kab. Jombang 63. Kab. Nganjuk 64. Kab. Madiun 65. Kab. Magetan 66. Kab. Ngawi 67. Kab. Bojonegoro 68. Kab. Lamongan 69. Kab. Bangkalan 70. Kab. Sampang 71. Kab. Pamekasan 72. Kota Blitar 73. Kota Malang 74. Kota Probolinggo 75. Kota Pasuruan 76. Kota Mojokerto 77. Kota Madiun 78. Kab. Jembrana 79. Kab. Tabanan 80. Kab. Klungkung 81. Kab. Bangli 82. Kab. Karangasem 83. Kab. Buleleng Share (0.147) Gambar 5 : Peta Kemampuan Keuangan Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali Sesudah Otonomi Daerah Berdasarkan Metode Kuadran ASPP-09 29