GAMBARAN RESPON VAKSINASI IBD MENGGUNAKAN VAKSIN IBD INAKTIF PADA AYAM PEDAGING KOMERSIAL DEVA PUTRI ATTIKASARI

dokumen-dokumen yang mirip
GAMBARAN RESPON VAKSINASI IBD MENGGUNAKAN VAKSIN IBD INAKTIF PADA AYAM PEDAGING KOMERSIAL DEVA PUTRI ATTIKASARI

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Kata Kunci : Bursa Fabrisius, Infectious Bursal Disease (IBD), Ayam pedaging

EVALUASI HASIL PENGUJIAN UJI KEAMANAN VAKSIN GUMBORO AKTIF DI BBPMSOH TAHUN

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

GAMBARAN TITER ANTIBODI ANTI H5 PADA SERUM DAN KUNING TELUR AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN INAKTIF H5N2 WA ODE YUSRAN

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

EVALUASI HASIL VAKSINASI AVIAN INFLUENZA (AI) DI KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG ANI SITI NURFITRIANI

UJI TANTANG DENGAN VIRUS IBD ISOLAT LAPANG PADA AYAM YANG MENDAPATKAN VAKSIN IBD AKTIF DAN INAKTIF KOMERSIL

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam subfamily Paramyxovirinae, family Paramyxoviridae (OIE, 2009).

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Seleksi Bibit

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK

PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2 KUNTO WIDYASMORO

HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

RINGKASAN. Kata kunci : Titer antibodi ND, Newcastle Disease, Ayam Petelur, Fase layer I, Fase Layer II

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari -- Maret 2013 di unit kandang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur. Ayam bibit bertujuan untuk menghasilkan telur berkualitas tinggi

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA BIDANG KEGIATAN PENELITIAN VAKSIN LOKAL AYAM ASAL FESES TEPAT GUNA

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

HASIL DAN PEMBAHASAN

EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

Vaksinasi adalah imunisasi aktif secara buatan, yaitu sengaja memberikan

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Usaha pembibitan ayam merupakan usaha untuk menghasilkan ayam broiler

HASIL. berjumlah. coli) yang. jantung broiler.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggul dari tetuanya. Ayam pembibit terbagi atas 4 yaitu ayam pembibit Pure

RESPON TITER ANTIBODI PASCAVAKSINASI AVIAN INFLUENZA PADA AYAM YANG DIBERI EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza Roxb.)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT

METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODELOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( )

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

TINJAUAN PUSTAKA Probiotik

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk menyeleksi pejantan dan betina yang memiliki kualitas tinggi

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

KONDISI BIOSEKURITI PETERNAKAN UNGGAS SEKTOR 4 DI KABUPATEN CIANJUR ALI YATMIKO B

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang secara ekonomi paling penting pada babi di dunia (Fenner et al., 2003)

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI

TINJAUAN PUSTAKA Ayam kampung

PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS

TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease (ND)

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari -- Maret 2013 di kandang percobaan

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena

Veterinaria Vol 6, No. 1, Pebruari 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 25 September 17 Oktober 2012 di unit kandang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. badan yang bertujuan untuk memproduksi daging. Ayam pedaging dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tetelo yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ini

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH

Kajian Vaksin Avian Influesa (AI) pada Ayam Buras dengan Sistem Kandang Kurung di Gunung Kidul Yogyakarta

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dapat disebabkan oleh kausa infeksius, non-infeksius dan nutrisional (Ali dkk.,

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Skematis virus ND. (FAO 2004)

AKABANE A. PENDAHULUAN

DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT)

Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

ABSTRAK Uji coba vaksinasi ND-AI dan Gumboro dilakukan pada ayam pedaging berumur satu hari. Pengamatan patologi anatomi dilakukan pada periode dua

Proses Penyakit Menular

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

Transkripsi:

GAMBARAN RESPON VAKSINASI IBD MENGGUNAKAN VAKSIN IBD INAKTIF PADA AYAM PEDAGING KOMERSIAL DEVA PUTRI ATTIKASARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan Judul Gambaran Respon Vaksinasi IBD Menggunakan Vaksin IBD Inaktif pada Ayam Pedaging Komersial adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi. Bogor, September 2009 Deva Putri Attikasari NIM B04051810

ABSTRACT DEVA PUTRI ATTIKASARI. Response of IBD Killed Vaccination in Commercial Broiler Chicken. Under direction of SRI MURTINI and OKTI NADIA POETRI. The aim of the study is to investigated the immune response of broiler chicken against IBD killed vaccine. Fifteen hundred broilers strain Cobb were divided into three groups. Group 1 vaccinated with IBD killed vaccine half dose, group 2 vaccinated with IBD killed vaccine single dose, while the group 3 as a positive control vaccinated with IBD live vaccine. IBD killed vaccine was given at day 4 and IBD live vaccine for group three were given at day 12. Serum sample was taken before vaccination, second, and fourth week post vaccination. All samples tested using indirect ELISA test. The results showed that antibody titers of vaccinated group higher than control group. The antibody titers on all groups in the fourth week was showed significantly different (P<0,05). The antibody titer was detected in each group in the fourth week 1648.16±3996.29 (group 1), 2201.52 ± 2804.95 (group 2), and 141.02±449.93 (group 3). Based on this research conclude that antibody against IBD produced by vaccination using IBD killed vaccine half or single dose higher than vaccination using IBD live vaccine.

ABSTRAK DEVA PUTRI ATTIKASARI. Gambaran Respon Vaksinasi IBD Menggunakan Vaksin IBD Inaktif pada Ayam Pedaging Komersial. Dibimbing oleh SRI MURTINI dan OKTI NADIA POETRI. Penelitian ini bertujuan untuk melihat respon tanggap kebal ayam pedaging komersial yang divaksinasi dengan vaksin IBD inaktif dosis setengah dan penuh (satu dosis). Seribu lima ratus ekor ayam pedaging strain Cobb digunakan sebagai hewan coba dipelihara sejak masa DOC sampai umur empat minggu dan dibagi dalam tiga kelompok dengan masing-masing kelompok berisi 500 ekor ayam. Kelompok 1 divaksinasi dengan vaksin IBD inaktif dosis setengah, kelompok 2 divaksinasi dengan vaksin IBD inaktif dosis penuh (satu dosis), sedangkan kelompok 3 sebagai kontrol positif divaksin dengan vaksin IBD aktif. Vaksinasi menggunakan vaksin IBD inaktif dilakukan pada hari ke-4 dan vaksin aktif diberikan pada hari ke-12. Sampel serum diambil sebelum vaksinasi, minggu ke-2, dan ke-4. Seluruh sampel serum diuji dengan metode ELISA tidak langsung. Hasil pemeriksaan serum menunjukkan bahwa titer antibodi pada kelompok ayam yang divaksin dengan vaksin inaktif baik setengah maupun satu dosis lebih tinggi dibandingkan kontrol positif yang divaksin dengan vaksin aktif. Titer antibodi pada minggu ke-4 untuk semua kelompok menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Titer antibodi terdeteksi pada masing-masing kelompok di minggu ke-4 yaitu 1648.16±3996.29 untuk kelompok 1, 2201.52±2804.95 untuk kelompok 2, dan 141.02±449.93 untuk kelompok 3. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa antibodi terhadap IBD yang terbentuk akibat vaksinasi dengan vaksin IBD inaktif dosis setengah maupun dosis tunggal lebih tinggi daripada vaksin aktif.

GAMBARAN RESPON VAKSINASI IBD MENGGUNAKAN VAKSIN IBD INAKTIF PADA AYAM PEDAGING KOMERSIAL DEVA PUTRI ATTIKASARI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Judul Skripsi Nama NIM : Gambaran Respon Vaksinasi IBD Menggunakan Vaksin IBD Inaktif pada Ayam Pedaging Komersial : Deva Putri Attikasari : B04051810 Disetujui, Dr. drh. Sri Murtini, M.Si Pembimbing I drh. Okti Nadia Poetri, M.Si Pembimbing II Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. Nastiti Kusumorini NIP 19621205 198703 2 001 Tanggal Lulus :

PRAKATA Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya dan tak lupa, shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW dan para sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat menyelesaikan program sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tak lepas dari bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak dan Ibu tercinta yang tak henti-hentinya memberikan kasih sayang, semangat, dukungan, dan doa yang tak pernah kurang diberikan kepada penulis, 2. Dr. drh. Sri Murtini, M.Si sebagai pembimbing I sekaligus pembimbing akademik atas segala bimbingan, arahan, kesabaran, dan motivasi serta kesediaannya menjadi orang tua penulis selama di FKH, 3. drh. Okti Nadia Poetri, M.Si sebagai pembimbing II atas segala bimbingan, arahan, motivasi, dan bantuannya selama ini kepada penulis, 4. Prof. Dr. drh. Retno D Soedjodono, MS atas pinjaman laboratoriumnya dan kesabaran menghadapi penulis selama penelitian, 5. Saudara-saudaraku terkasih, Mas Gigih, Mbak Yuyun, dan Erdin serta keponakanku tercinta, Nasywa, atas dukungan dan hiburannya, 6. Nenekku tercinta yang dalam keadaan sehat dan sakit tak pernah lupa memberi nasehat, 7. Saudara-saudara di Bekasi, Jakarta, Tangerang, dan Cirebon yang tak pernah lupa mengingatkan dan memberi semangat, 8. Bang Ivan, Mas Wahyu, Pak Nur, dan Pak Lukman atas bantuannya, 9. Pak Lasmino dan bapak-bapak di Farm Sahri, 10. Teman-temanku sepenelitian, IBD Team Acil dan Charjo serta ND Team Tata, Lia, Atun, dan Dilla, 11. Sahabat-sahabatku (Epha, Cude, Nidji, Betha, Burung, Sarah, Bu Nono, Komti, Mizwar, Wenny, Jayanti, Rina),

12. Teman-temanku di luar Bogor (Esti, Arlita, Bayu, Syaecha, Maya, Arsi, Fitri, Rizqo, Rangga) atas dukungan jarak jauhnya, 13. Teman-teman dan adik-adikku di KAMAJAYA (Keluarga Mahasiswa Jayabaya), 14. Seluruh pengurus IMAKAHI, RUMINANSIA, BEM FKH, DKM An- Nahl tahun 2006-2007 dan 2007-2008, 15. Seluruh GOBLETERZ 42, 16. Angkatan 40, 41, 43, dan 44 atas bantuan yang begitu besar, dan 17. Seluruh civitas akademika FKH IPB yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas segala kebersamaannya selama ini. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Bogor, September 2009 Deva Putri Attikasari

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 09 Desember 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Winarto dan Sopiyah dengan nama lengkap Deva Putri Attikasari. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1991 dengan masuk ke Taman Kanak-Kanak Perwanida I. Kemudian pada tahun 1993, penulis melanjutkan ke SD Negeri Mrican 1 selama enam tahun. Tahun 1999 sampai tahun 2002 bersekolah di SLTP Negeri 1 Kediri dan dilanjutkan ke SMA Negeri 2 Kediri mulai dari tahun 2002 sampai tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selama menjalani masa perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan di antaranya menjadi staf Departemen Komunikasi dan Informasi BEM FKH IPB tahun 2006-2007 dan tahun 2007-2008, staf Bidang Media Pers Islami DKM An-Nahl FKH-IPB tahun 2006-2007 dan tahun 2007-2008, staf Divisi Eksternal Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Ruminansia tahun 2006-2007, dan staf Bidang Informasi dan Komunikasi Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) cabang IPB tahun 2006-2007. Penulis diberi amanah sebagai Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi IMAKAHI tahun 2006-2007 dan tahun 2007-2008 dan Kepala Divisi Pendidikan dan Pelatihan Himpro Ruminansia tahun 2007-2008. Selain itu, penulis pernah menjadi bagian dari beberapa kepanitiaan antara lain PEMIRA FKH-IPB 2006, Open House FKH-IPB 2007, Kampanye Gizi WAMAPI 2008, Munas XII dan PHLI XXV IMAKAHI 2008, serta INTROVET 2007 dan 2008.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...xii PENDAHULUAN...1 Latar Belakang...1 Tujuan...3 Manfaat...3 TINJAUAN PUSTAKA...4 Ayam Pedaging (Broiler)...4 Dampak Immunosupresi Infeksi Virus Infectious Bursal Disease (IBD)...4 Vaksin dan Vaksinasi Infectious Bursal Disease (IBD)...9 Pemakaian Teknologi ELISA dalam Perhitungan Titer Antibodi...11 MATERI DAN METODE...13 Waktu dan Tempat Penelitian...13 Bahan dan Alat...13 Metode Penelitian...13 Rancangan Penelitian...13 Prosedur pengukuran titer antibodi pada serum dengan uji ELISA...14 HASIL DAN PEMBAHASAN...16 KESIMPULAN...20 Kesimpulan...20 DAFTAR PUSTAKA...21

DAFTAR TABEL 1 Rancangan Percobaan...14 2 Interpretasi hasil ELISA.15 3 Rataan Titer Antibodi pada Serum dengan Uji ELISA..17

DAFTAR GAMBAR 1 Partikel virus IBD...5 2 Perubahan pada bursa Fabricius...8 3 ELISA tidak langsung 12 4 Gambaran Grafik Rataan Titer Antibodi Serum 19

DAFTAR LAMPIRAN 1 Perhitungan Titer Antibodi dengan T-Test untuk Perlakuan Minggu ke-2 23 2 Perhitungan Titer Antibodi dengan T-Test untuk Perlakuan Minggu ke-4 24

PENDAHULUAN Latar Belakang Infectious bursal disease (IBD) atau dikenal dengan penyakit Gumboro merupakan penyakit virus sangat akut dan menjadi momok seluruh peternakan ayam di pelosok dunia (Polana & Roni 2004). Penyakit IBD menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar pada industri perunggasan, terutama bila penyakit ini dalam bentuk subklinis. Industri peternakan ayam ras cukup pesat perkembangannya di Indonesia baik peternakan ayam petelur maupun pedaging. Sampai saat ini peternak cukup sulit untuk keluar dari masalah yang ditimbulkan oleh penyakit Gumboro. Penyakit ini secara ekonomis sangat merugikan karena dampaknya pada gangguan pertumbuhan, kurangnya efisiensi pakan dan kematian yang ditimbulkannya serta meningkatnya biaya pemakaian obat-obatan dan desinfektan (Wiryawan 2007). Penyakit Gumboro disebabkan oleh virus dari famili Birnaviridae. Organ target utama virus IBD adalah jaringan limfoid, terutama bursa Fabricius. Virus IBD menyerang bursa Fabricius dan bereplikasi di sel-sel yang sedang proliferasi aktif seperti sel limfosit B muda atau sel prekursor sehingga menyebabkan nekrosa pada bursa Fabricius dan lisisnya sel limfosit B. Lisisnya sel limfosit B mengakibatkan penurunan jumlah sel tersebut di perifer sehingga terjadi penurunan pembentukan antibodi yang berperan dalam respon kekebalan humoral (Lukert & Saif 1997). Manajemen sanitasi tetap menjadi syarat mutlak dalam kesehatan kandang yang merupakan kunci pengendalian penyakit Gumboro. Pemberian vaksinasi semata tanpa dibarengi perbaikan biosekuriti dan sanitasi, tidak akan pernah mampu menekan kejadian dan keparahan IBD. Dengan demikian pemberian vaksin pada anak ayam harus juga diimbangi dengan pengelolaan biosekuriti dan sanitasi baik dan benar (Lastiati 2008). Tindakan paling tepat dalam pengendalian penyakit IBD adalah melakukan vaksinasi lebih awal dan kontinyu tergantung dengan titer antibodi yang ada dalam tubuh. Kekebalan yang seragam pada semua anggota kelompok ayam dapat diperoleh dengan melakukan vaksinasi lebih dari satu kali karena

masing-masing ayam memiliki tingkat antibodi asal induk yang berbeda-beda. Vaksinasi tunggal menyebabkan hanya sebagian dari kelompok ayam yang divaksin kebal terhadap IBD sedangkan sebagian lainnya tidak (Lukert & Goundry 1992 dalam Nurhidayah 2003). Saat ini belum ada program vaksinasi IBD yang sepenuhnya efektif. Hewan bibit divaksinasi dengan menambahkan virus vaksin ke dalam air minum, dengan harapan bahwa antibodi asal induk yang dialihkan secara pasif dapat mencegah infeksi dari anak ayam baru menetas pada saat mereka rentan. Praktek yang sering dilakukan adalah vaksinasi ayam indukan dengan virus hidup. Pada umur sekitar 18 minggu, dengan injeksi vaksin inaktif dalam ajuvan minyak sebelum mulai bertelur, vaksinasi diulang setahun kemudian. Ini mengakibatkan antibodi terus dapat dipertahankan tinggi sepanjang masa bertelur. Antibodi asal induk tersebut memberikan perlindungan efektif pada anak ayam selama 4-7 minggu setelah menetas. Pada kondisi anak ayam memiliki tingkat antibodi induk yang rendah atau tidak konsisten, vaksinasi sebaiknya dilakukan dengan vaksin aktif, dimulai pada umur 1-2 minggu (Fenner et al. 1995). Program vaksinasi pada ayam dapat dilakukan pada tingkat manajemen ayam pembibitan dan komersial. Vaksinasi IBD dapat dilakukan dengan pemberian beberapa kali vaksin aktif ataupun gabungan beberapa kali vaksin aktif dan inaktif. Berdasarkan virulensi dan struktur antigenik virus vaksin IBD, dikenal beberapa vaksin aktif yaitu mild, intermediate, dan hot. Vaksin inaktif antigennya dilarutkan dengan adjuvan minyak sehingga diperlukan jumlah antigen dengan titer tinggi (Lukert & Saif 1997). Hal ini menyebabkan harga vaksin inaktif lebih tinggi dibandingkan vaksin aktif. Penggunaan vaksin aktif tergantung pada titer awal antibodi asal induk. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa vaksin inaktif biasa diberikan pada saat ayam berumur 3 sampai 4 minggu tergantung dari titer antibodi asal induk. Vaksinasi diberikan bila pada saat titer antibodi asal induk masih tinggi maka vaksin yang digunakan akan ternetralisasi oleh antibodi asal induk (Mazariegos et al. 1990). Pada ayam pedaging komersial biasanya digunakan vaksin aktif karena ayam pedaging dipanen pada umur 4-5 minggu sehingga memerlukan vaksin yang

mampu membentuk antibodi lebih cepat post vaksinasi. Vaksin inaktif jarang digunakan karena harga yang relatif mahal dan antibodi terbentuk 3-4 minggu post vaksinasi. Kekurangan dari penggunaan vaksin aktif adalah merusak bursa Fabricius sehingga respon kebal terhadap program vaksinasi yang lain tidak optimal. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk melihat respon tanggap kebal ayam pedaging terhadap vaksin inaktif sehingga dapat dilakukan penentuan jadwal pemberian vaksinasi yang tepat. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat respon tanggap kebal ayam pedaging komersial yang divaksinasi dengan vaksin IBD inaktif. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai gambaran titer antibodi pada ayam pedaging komersial yang divaksinasi dengan vaksin IBD inaktif dan penentuan jadwal pemberian vaksinasi menggunakan vaksin yang diuji.

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging (Broiler) Ayam pedaging atau broiler baik jantan maupun betina umumnya dipanen pada umur 4-5 minggu dipelihara secara intensif untuk memperoleh produk daging yang optimal. Secara genetis, ayam broiler diciptakan sedemikian rupa sehingga dalam kurun waktu relatif singkat dapat segera dimanfaatkan hasilnya (Anonim 2001). Adapun sifat-sifat dari ayam broiler adalah ukuran badan besar dengan bentuk dada yang lebar, pendek, dan berisi, efisien terhadap pakan, pertumbuhan, penambahan berat badan sangat cepat yaitu pada umur 32 hari berat badan bisa mencapai 1,5 kg. Dagingnya lembut, bersih dan menarik, memiliki asam amino lengkap, mudah diolah, serta harganya relatif murah (Summers & Leeson 2000). Ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsabangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam perdagingan. Ayam broiler ini baru populer di Indonesia tahun 1980-an. Saat itu pemerintah mencanangkan konsumsi daging ruminansia namun ternak ini semakin sulit keberadaannya. Ayam broiler telah dikenal masyarakat luas dengan berbagai kelebihannya, yaitu waktu pemeliharaan yang relatif singkat dan menguntungkan, membuat banyak peternak baru serta peternak musiman yang bermunculan di berbagai wilayah Indonesia (Anonim 2004). Penyakit Infeksi Virus Infectious Bursal Disease (IBD) dan Dampaknya Infectious bursal disease (IBD) lebih dikenal dengan istilah penyakit Gumboro. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1962 di daerah Gumboro, Delaware, USA. Penyakit ini sangat akut dan pernah menjadi momok seluruh peternakan ayam karena tingkat kematian bisa mencapai 30% (Polana & Roni 2004).

Gambar 1 Partikel virus IBD (Baxendale & Wit 2000) Penyakit Gumboro disebabkan oleh virus dari genus Birnavirus, famili Birnaviridae. Virus IBD (Gambar 1) merupakan virus RNA berserabut ganda (double-strainded), tidak beramplop, berbentuk ikosahedral, dan berdiameter 55-65 nm. Pada partikel virus IBD terdapat empat struktur protein (Viral Protein=VP), yaitu VP 1, VP 2, VP 3, dan VP 4. Protein utama dari virus IBD adalah VP 2 dan VP 3. VP 2 merupakan serotipe spesifik, mengandung bagian yang bersifat antigenik dan bertugas untuk menetralisir antibodi, sedangkan VP 3 hanya bersifat spesifik. Virus ini dapat hidup di dalam embrio anak ayam atau pada kultur sel embrio anak ayam (Lukert & Saif 1997). Virus IBD mempunyai kecenderungan untuk mengalami modifikasi genetik secara cepat sehingga dapat muncul virus yang bersifat antigenic variant dan pathogenic variant. Virus IBD berdasarkan variasi antigeniknya terdiri dari serotipe 1 yang bersifat patogen dan serotipe 2 yang bersifat apatogen. Virus IBD berdasarkan variasi patogeniknya (patotipe), terdiri dari strain mild, intermediate, intermediate plus, classical, variant, dan very/hypervirulent. Hal tersebut menyebabkan virus IBD mempunyai tingkat virulensi dan sifat imunosupresi yang sangat beragam. Virus IBD tipe veryvirulent menyebabkan mortalitas dan imunosupresi yang tinggi. Infeksi virus IBD tipe varian tidak menimbulkan gejala klinis, tetapi menyebabkan imunosupresi yang lebih hebat (Jackwood, Saif, & Hughes 1987 dalam Nurhidayah 2003). Efek immunosupresi yang ditimbulkan, diawali dengan adanya infeksi virus IBD tipe very virulent yang secara langsung menginfeksi dan melakukan

perbanyakan diri (depopulasi atau replikasi) pada bursa Fabricius dan timus sebagai organ target utamanya. Mekanisme terjadinya immunosupresi akibat infeksi virus Gumboro, kemungkinan besar terkait dengan adanya kematian selsel penghasil limfosit B, terutama yang terdapat pada bursa Fabricius (Wiryawan 2007). Jaringan limfoid merupakan target utama virus IBD dengan organ target utama bursa Fabricius yang bertanggung jawab dalam pembentukan antibodi pembentuk kekebalan. Selain itu, virus IBD juga menyerang organ limpa, timus, tonsil-sekum, dan kelenjar Harderian. Virus IBD bereplikasi di sel-sel yang sedang berproliferasi aktif seperti sel limfosit muda atau sel prekursor sehingga menyebabkan nekrosa pada bursa Fabricius dan lisisnya sel limfosit B (Wiryawan 2007). Kerusakan sel-sel limfoid dari bursa Fabricius sebagai akibat infeksi virus IBD, mengakibatkan penurunan jumlah produksi sel B dari bursa Fabricius. Akibatnya terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh dari perlakuan vaksinasi yang diberikan pada tahap selanjutnya. Kerusakan folikel dari bursa Fabricius juga menyebabkan kemampuan organ tersebut dalam menghasilkan zat kebal tubuh menjadi kurang optimal, sehingga ayam menjadi peka dan mudah terserang berbagai macam penyakit (Wiryawan 2007). Virus IBD terutama menyerang sel B yang mengekspresikan IgM pada permukaannya. Pengaruh terhadap tingkat serum IgG dilaporkan sangat bervariasi, hal ini terutama tergantung pada umur ayam saat terinfeksi. Selain itu, diduga terjadi hambatan fungsi sel B yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kerusakan sel-sel T helper atau sel-sel lain yang terlibat dalam proses generasi sel kekebalan (Da Silva et al. 1992 dalam Nurhidayah 2003). Penurunan jumlah limfosit terutama sel B dan aktivitas sel prekursor akibat infeksi virus IBD menyebabkan ayam mengalami imunosupresi. Efek imunosupresi terhadap respon kekebalan seluler tidak terlalu besar dan periodenya pun lebih pendek. Respon kekebalan yang terjadi akibat infeksi virus IBD, bersamaan dengan proses imunosupresi terhadap beberapa antigen dapat menyebabkan stimulasi antibodi yang tinggi terhadap virus IBD itu sendiri (Soejoedono et al. 1996).

Bursa Fabricius mengecil pada ayam yang berumur lebih dari 12 minggu. Fungsinya dalam membentuk kekebalan diambil oleh sistem kekebalan lain yang telah berkembang dengan sempurna. Oleh karena itu, penyakit ini biasanya menyerang anak ayam yang berumur kurang dari 12 minggu. Gejala penyakit Gumboro dapat dibedakan berdasarkan umur anak ayam yang terkena infeksi. Gejala pada anak ayam yang berumur 1-12 hari di antaranya tidak memperlihatkan gejala-gejala penyakit yang nyata sebab anak ayam masih memiliki maternal antibodi (kekebalan yang berasal dari induk tetapi sebenarnya terjadi kerusakan dan pembinasaan sel B yang terdapat pada bursa Fabricius. Rusaknya bursa Fabricius bersifat permanen, sel B tidak berkembang dan menjadi masak dalam bursa. Anak ayam tidak mampu lagi memproduksi antibodi sehingga tidak mempunyai kekebalan terhadap infeksi beberapa penyakit menular, misalnya Marek, ND, dan IB sehingga terjadi kegagalan vaksinasi untuk menghasilkan antibody (Polana & Roni 2004). Gejala penyakit Gumboro yang menyerang anak ayam umur 3-6 minggu di antaranya anak ayam lesu dan mengantuk, bulu kusam dan bulu di sekitar dubur kotor, kotoran encer berlendir dan berwarna keputih-putihan seperti pasta, anak ayam sering mematuk dubur, tubuh ayam menjadi kering karena kehilangan cairan, serta apabila tidur, paruhnya diletakkan di lantai. Ayam yang telah mati bangkainya cepat membusuk. Selain itu, terjadi pembengkakan di daerah bursa Fabricius yang besarnya bisa mencapai 2-3 kali ukuran normal dan terjadi penurunan tingkat kekebalan (Sudaryani 2003). Pada kasus outbreak di lapangan sering terjadi perdarahan di bagian paha, otot pectoral, serta sambungan antara proventrikulus dengan ventriculus dan terjadi pembengkakan di bagian ginjal (Polana & Roni 2004). Ayam yang terserang virus IBD tipe very virulent asal lapangan menyerang ayam dengan umur kurang dari tiga minggu, cenderung akan timbul gumboro bersifat subklinis, walaupun pada kasus tertentu dapat muncul dan diamati bentuk klinisnya. Pada kelompok ayam yang terinfeksi walaupun tidak menunjukkan gejala klinis, tetap berpotensi menimbulkan dampak immunosupresi, berupa kelainan dan atau gangguan fungsi dari organ limfoid primer seperti bursa Fabricius dan sel timus.

Kasus infeksi virus Gumboro ganas (vv-ibd) asal lapangan yang menyerang ayam umur di atas 3 (tiga) minggu kecenderungannya menampakkan gejala klinis yang sangat jelas, mulai dari adanya kelesuan dan ayam nampak menggigil, bulu berdiri dan cenderung bergerombol serta disertai adanya diare warna keputihan. Akibat diare, ayam menjadi dehidrasi, ayam nampak tremor dan sangat lemah sehingga berakhir dengan kematian. Perubahan pada bursa Fabricius dapat dilihat pada Gambar 2. A B Gambar 2 Perubahan pada bursa Fabricius (Baxendale & Wit 2000) Keterangan A : Bursa Fabricius normal B : Bursa Fabricius yang mengalami atropi Bursa Fabricius akan mengalami kerusakan setelah masa inkubasi yang pendek yaitu sekitar 18-36 jam. Organ tersebut akan mengalami edema dan kongesti sehingga ukurannya menjadi lebih besar dan mencapai puncaknya pada hari keempat pasca-infeksi. Pada bentuk akut, akan terlihat adanya reaksi peradangan yang berat pada mukosa dan serosa yang ditutupi oleh transudat berwarna kekuningan. Pada stadium ini, bursa Fabricius akan meningkat ukurannyasekitar 2 kali ukuran normal. Perubahan tersebut akan diikuti nekrosis sel-sel limfosit yang disertai oleh infiltrasi heterofil, pada stadium akut akan menyebabkan nekrosis dan vakuolisasi folikel bursa. Pada hari ke-8 pasca-infeksi, bursa akan mengalami atrofi dan ukurannya akan menurun sampai sepertiga dari ukuran normal (Tabbu 2000). Perjalanan penyakit IBD dimulai dari infeksi virus peroral, virus akan menginfeksi makrofag pada usus dan sel-sel limfatik yang terdapat pada duodenum, jejunum, dan sekum. Replikasi virus pertama kali terjadi pada sel-sel

tersebut. Viremia primer mengikuti replikasi dan virus akan mencapai hati melalui peredaran darah porta. Sebagian besar virus tersebut akan difagositosis oleh sel Kupffer dan sebagian lagi akan menyebar ke bursa Fabricius. Virus yang masuk ke dalam bursa Fabricius akan bereplikasi secara besar-besaran, kemudian virion yang dihasilkan akan dilepaskan ke peredaran darah dan menyebabkan terjadinya viremia sekunder yang berakibat terdisposisinya virus pada berbagai organ lain seperti timus, limpa, dan paru-paru (Weiss & Weiss 1994). Terdisposisinya virus pada berbagai organ menyebabkan perubahan pada organ tersebut dan perubahan biasanya mulai terlihat setelah virus melisiskan sel sasarannya. Virus IBD bersifat sitolitik membuat perubahan yang teramati secara makroskopik adalah mengecilnya organ sasaran akibat lisisnya sel parenkim organ tersebut. Namun hal tersebut tidak bersifat permanen karena proses persembuhan yang disertai dengan regenerasi organ segera terjadi (Adi & Berata 1998). Penyebaran penyakit Gumboro berlangsung sangat cepat, tetapi memiliki waktu penyerangan pendek. Penyebarannya dapat melalui makanan, air minum, kotoran ayam, alat peternakan, dan orang yang tercemar virus gumboro. Virus gumboro bersifat stabil dan tahan hidup sampai beberapa bulan. Penularan melalui telur jarang terjadi (Polana & Roni 2004). Vaksin dan Vaksinasi Infectious Bursal Disease (IBD) Sistem imun adalah mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan perlindungan tubuh terhadap serangan mikroorganisme patogen dan kanker. Sistem ini dapat membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang secara spesifik mampu mengenali dan mengeliminasi benda asing (Goldsby et al. 2007). Secara umum, kekebalan yang dibentuk oleh tubuh ayam dibagi menjadi dua yaitu kekebalan non spesifik/ dan kekebalan spesifik. Kekebalan non spesifik berupa pertahanan fisik, mekanik, dan kimiawi memberikan respon pada awal paparan. Kekebalan fisik-mekanik terdiri dari kulit dan selaput lendir yang merupakan bagian permukaan tubuh paling luar untuk mencegah masuknya bahan asing. Kekebalan spesifik terdiri dari kekebalan berperantara sel (seluler) dan humoral (Decker 2000).

Pada awal kehidupan anak ayam akan dibekali dengan maternal antibodi yang merupakan perolehan anak ayam dari induknya yang telah mendapatkan vaksinasi. Antibodi tersebut akan mengalir melalui aliran darah induk ke dalam kantung kuning telur dan secara otomatis akan masuk ke dalam tubuh anak ayam saat kuning telur tersebut diabsorbsi. Anak ayam yang ditangani secara baik, maka isi kuning telur akan diserap habis selama 6 hari pertama. Antibodi tersebut akan membantu melindungi anak ayam dari penyakit sampai akhirnya nanti ia mampu memproduksi sendiri kekebalan tubuhnya (Miller 1996). Vaksin merupakan mikroorganisme bibit penyakit yang telah dilemahkan virulensinya atau dimatikan dan bila diberikan pada ternak tidak menimbulkan penyakit melainkan dapat merangsang pembentukan zat kebal yang sesuai dengan jenis vaksinnya. Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen berupa virus atau agen penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh sehat dengan maksud merangsang pembentukan kekebalan (Miller 1996). Pada anak ayam, aplikasi vaksinasi biasanya dengan cara tetes mata atau tetes hidung, dan pemberiannya melalui injeksi bila vaksin yang digunakan inaktif. Vaksinasi melalui air minum tidak efektif dilakukan karena anak ayam umur 1-4 hari minumnya sedikit dan tidak teratur. Pada ayam dewasa, aplikasi vaksinasi biasanya dengan tetes mata, tetes hidung, air minum, dan injeksi. Tindakan paling tepat dalam pengendalian penyakit IBD adalah melakukan vaksinasi lebih awal dan kontinyu tergantung dengan titer antibodi yang ada dalam tubuh. Kekebalan seragam pada semua anggota kelompok ayam, dapat diperoleh dengan melakukan vaksinasi lebih dari satu kali karena masingmasing ayam memiliki tingkat antibodi asal induk yang berbeda-beda sehingga apabila dilakukan vaksinasi tunggal menyebabkan hanya sebagian dari kelompok ayam tersebut yang kebal terhadap IBD (Lukert & Goundry 1992 dalam Nurhidayah 2003). Vaksin inaktif berisi antigen yang dilemahkan/mati, biasanya berasal dari virus virulen yang kemudian diinaktifkan secara fisik maupun kimiawi tanpa merusak imunogenitas virus tersebut. Virus inaktif biasanya diformulasikan dengan adjuvan untuk meningkatkan imunogenitas (Baxendale & Wit 2000). Adjuvan merupakan bahan kimia yang memperlambat proses penghancuran

antigen dalam tubuh serta merangsang pembentukan kekebalan (Malole 1988 dalam Hartati 2005). Pemakaian auto vaksin atau vaksin Gumboro dengan kandungan strain virus yang cukup keras (intermediat plus atau hot strain) seringkali dapat menimbulkan terjadinya deplesi (kelainan) pada bursa Fabricius, sehingga berdampak pada berkurangnya kemampuan bursa Fabricius untuk memproduksi zat kebal tubuh. Bursa Fabricius yang mengalami kelainan karena dampak dari pemakaian vaksin intermediat plus atau hot strain, menyebabkan ayam menjadi sensitif terhadap berbagai perlakuan manajemen dan stres serta infeksi agen penyakit lainnya. Kelainan pada bursa Fabricius akan berdampak pada keberhasilan program vaksinasi terhadap penyakit yang lainnya (seperti terhadap ND, IB, dan lain-lain) sehingga dapat berpengaruh pada performan ayam secara keseluruhan (Wiryawan 2007). Pemakaian Teknologi ELISA dalam Perhitungan Titer Antibodi Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan salah satu uji yang umum digunakan untuk mengidentifikasi antigen dan mengidentifikasi serta mengukur titer antibodi. Seperti halnya uji serologi lainnya ELISA juga menggunakan prinsip reaksi antigen-antibodi. ELISA yang digunakan untuk menguji antibodi, maka digunakan antigen standar sebagai pengujinya. ELISA merupakan uji serologi yang menggunakan plate polystyrhene sebagai matriks penguji. Matriks ini mampu mengikat protein sehingga protein yang dimasukkan tidak akan terlepas meskipun dilakukan pencucian. Metode ELISA dibagi menjadi 3 jenis yaitu ELISA langsung, ELISA tidak langsung, dan ELISA sandwich. ELISA tidak langsung (Gambar 3) merupakan metode paling sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau bermacam cairan tubuh lainnya. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai. Antibodi ini biasanya disebut sebagai konjugat. Hasil akan tampak bila ditambahkan substrat.

Gambar 3 ELISA tidak langsung (Burgess 1995) Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang berubah adalah antibodi primer. Kerapatan optik berhubungan dengan konsentrasi antibodi primer. Variasi sensitifitas dan spesifitas dapat diperoleh secara hati-hati mendeteksi antigen dan konjugat antibodi indikator (Burgess 1995).

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April sampai dengan Mei 2008 di peternakan ayam pedaging komersial di Bogor dan Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Hewan percobaan yang dipergunakan adalah 1500 ekor day old chick (DOC) ayam pedaging strain Cobb. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah vaksin ND aktif, vaksin ITA ND+IBD inaktif, vaksin AVI IBD aktif intermediate, serum darah ayam, kontrol negatif dan positif IBD, washing solution 300 µl, konjugat, larutan substrat, larutan stopping reaction, dan ELISA kit CIVTEST AVI IBD. Alat yang digunakan yaitu spoit volume 1 ml dan 3 ml, tray, mikropipet 10-100 µl, microplate U, inkubator, kertas tisu, refrigerator, dan mesin pembaca ELISA (ELISA reader). Metode Penelitian Rancangan Penelitian Ayam yang disiapkan adalah ayam day old chick (DOC) pedaging strain Cobb sebanyak 1500 ekor yang dibagi ke dalam 3 kelompok dengam masingmasing kelompok berisi 500 ekor. Masing-masing kelompok diberikan perlakuan seperti yang tersaji pada Tabel 1. Pengambilan sampel serum darah ayam dari masing-masing kelompok diambil dari 25 ekor dilakukan secara acak kecuali pada hari ke-0, darah diambil 25 ekor dari keseluruhan ayam. Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-4. Darah diambil dari vena brachialis sebanyak 1-2 ml, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang sampai darah membeku, selanjutnya darah disimpan dalam suhu 4 C agar serum terpisah dari darah selama semalam.

Serum dikumpulkan dalam tabung mikro dan disimpan pada suhu -20 C sampai saat pemeriksaan. Tabel 1 Rancangan Percobaan Minggu Kelompok ke- 1 2 3 Pengambilan serum darah sebelum divaksinasi 0 vaksin ND aktif rute tetes mata dan vaksin ITA ND+IBD inaktif ½ dosis rute sub cutan vaksin ND aktif rute tetes mata dan vaksin ITA ND+IBD inaktif 1 dosis rute sub cutan 2 Pengambilan serum darah vaksin ND aktif rute tetes mata dan ND inaktif vaksin AVI IBD inter (live vaccine) 4 Pengambilan serum darah Prosedur Pengukuran Titer Antibodi pada Serum dengan Uji ELISA Serum sampel diencerkan 1: 500. Penutup microplate dibuka, kemudian kontrol positif IBD dimasukkan ke dalam sumur A1 dan A2 dan kontrol negatif IBD dimasukkan ke dalam sumur B1 dan B2 masing-masing sebanyak 50 µl. Masing-masing serum sampel dimasukkan ke dalam sumur (well) sebanyak 50 µl dan diberi tanda. Microplate kemudian ditutup dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 0 C. Setelah diinkubasi, microplate dikeluarkan dan dibuka penutupnya. Microplate dicuci menggunakan larutan pencuci 300 µl sebanyak 3 kali. Proses ini disebut dengan proses pencucian microplate, kemudian microplate dikeringkan. Konjugat ditambahkan ke masing-masing sumur sebanyak 50 µl dan microplate ditutup kembali. Selanjutnya diinkubasikan kembali selama 30 menit pada suhu 37 0 C. Setelah diinkubasi, microplate dikeluarkan dan dibuka penutupnya. Dilakukan proses pencucian microplate dan dikeringkan. Ke dalam masing-masing sumur selanjutnya dimasukkan larutan substrat sebanyak 50 µl dan microplate digoyang-goyangkan selama 2 detik. Penambahan larutan substrat ini dilakukan dalam keadaan tanpa cahaya (gelap). Selanjutnya microplate ditutup

kembali dan diinkubasikan selama 30 menit pada suhu 37 0 C dengan kondisi gelap. Reaksi yang terjadi adalah perubahan warna dari kromogennya. Setelah diinkubasi, microplate dikeluarkan dan dibuka penutupnya. Kemudian ditambahkan larutan stopping reaction sebanyak 50 µl dan microplate digoyanggoyangkan agar larutan tercampur. Terakhir, permukaan microplate dibersihkan dari segala kotoran dan dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 405 nm. Untuk mengetahui hasil uji perlu diperoleh nilai S/Pnya. Nilai S/P adalah : S/P = OD sampel OD kontrol (-) OD kontrol (+) OD kontrol (-) OD= optical density S/P= sample value/ positive value Perhitungan titer : log 10 titer = 1,35 x log 10S/P + 3,425 Titer = antilog (log 10 titer) Tabel 2 Interpretasi hasil ELISA Nilai S/P Titer Status antibodi S/P 0.183 268 negatif 0.183 < S/P 0.226 268 < titer < suspect 357 S/P 0.226 357 positif S/P 0.484 1000 vaksinasi tidak dihambat MDA, tergantung penggunaan vaksin S/P > 0.484 > 1000 umumnya positif untuk vaksin primer Keterangan : MDA = Maternally Derived Antibody Pembacaan hasil berupa nilai titer antibodi dihitung rataannya dengan menggunakan Geometric Mean Titer (GMT). Hasil yang diperoleh dibandingkan menggunakan program T-test.

HASIL DAN PEMBAHASAN Infectious bursal disease (IBD) atau Gumboro ditemukan hampir di setiap daerah peternakan ayam intensif di seluruh pelosok dunia. Angka morbiditas IBD sangat tinggi yaitu bisa mencapai 100%, sedangkan angka kematian ayam pedaging bisa mencapai 30%. Jaringan limfoid merupakan target utama virus IBD dengan organ target utama bursa Fabricius yang bertanggung jawab dalam pembentukan antibodi. Selain itu, virus IBD juga menyerang organ limpa, timus, tonsil-sekum, dan kelenjar Harderian. Virus IBD bereplikasi di sel-sel yang sedang berproliferasi aktif seperti sel limfosit muda atau sel prekursor sehingga menyebabkan nekrosa pada bursa Fabricius dan lisisnya sel limfosit B (Wiryawan 2007). Antibodi pasif terhadap IBD yang diperoleh anak ayam dari induknya melalui kuning telur akan mengalami penurunan terus menerus sampai pada kondisi tidak protektif. Penurunan titer terjadi pada saat umur ayam mencapai 2 atau 4 minggu. Oleh karena itu anak ayam perlu divaksinasi untuk meningkatkan titer antibodi melalui induksi kekebalan aktif sehingga ayam akan terlindungi dari infeksi virus. Immunoglobulin yang secara umum akan meningkat setelah paparan antigen adalah IgM dan IgG. IgM akan terbentuk sebagai respon yang paling awal dan selanjutnya akan turun dengan cepat. Sementara IgG akan terus-menerus meningkat hingga level maksimum dalam periode yang relatif lama. Pengukuran titer antibodi sebelum melakukan vaksinasi bertujuan untuk melihat antibodi dalam tubuh ayam yang merupakan antibodi asal induk. Tabel 3 menunjukkan titer antibodi terhadap IBD di dalam serum ayam percobaan. Titer antibodi pada minggu ke-0 adalah antibodi asal induk. Pada pengamatan ini, titer antibodi tersebut positif yaitu lebih dari 1000. Penurunan titer antibodi terjadi pada minggu ke-2 pasca vaksinasi pada ayam percobaan, yaitu kelompok 1, 2, dan 3. Titer antibodi baik pada kelompok 1 maupun kelompok 2 pada minggu ke-4

menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) terhadap kelompok kontrol (kelompok 3). Tabel 3 Rataan Titer Antibodi pada Serum dengan Uji ELISA Waktu Kelompok Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-4 Kelompok 1 2876±1378.58 1255.28±1350.84 1648.16±3996.29 Kelompok 2 2876±1378.58 1278.16±777.67 2201.52±2804.95 Kelompok 3 2876±1378.58 1489.72±1258.73 141.02±449.93 Pada minggu ke-2, semua kelompok menunjukkan penurunan titer antibodi karena titer antibodi yang terukur merupakan titer antibodi asal induk. Pada minggu ke-2 kelompok 1 dan 2 belum menunjukkan peningkatan titer antibodi karena vaksin yang diberikan merupakan vaksin inaktif. Vaksin inaktif akan menunjukkan respon kekebalan pada 3-4 minggu setelah vaksinasi. Antibodi asal induk pada minggu ke-2 menunjukkan penurunan karena antibodi asal induk secara efektif akan mencegah keberhasilan vaksinasi sampai antibodinya habis sekitar 10 sampai 20 hari setelah menetas (Tizard 2000). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan penurunan pada minggu ke-2 karena antibodi asal induk mulai menurun namun masih dalam kisaran nilai positif. Ayam yang baru menetas akan terlindung dari virus tertentu jika IgG induk mengandung antibodi spesifik dan perlindungan mungkin bertahan lebih lama jika titer awal terhadap virus itu tinggi (Fenner et al. 1995). Pada ayam broiler, imunitas pasif atau antibodi asal induk penting untuk perlindungan anak ayam selama beberapa minggu dari mikroorganisme yang ada di lingkungan dan mempengaruhi imunisasi aktif ayam yang baru menetas sehingga harus diperhatikan saat vaksinasi (Fenner et al. 1995). Antibodi asal induk ada sampai ayam berumur 2 minggu. Ini berarti kekebalan pasif tersebut hanya bisa menimbulkan kekebalan dengan waktu yang sangat pendek yaitu 7-14 hari. Antibodi asal induk mulai turun pada hari ke-10, walau umumnya pada hari ke-9 sudah tidak protektif (Anonim 2002).

Pada minggu keempat, kelompok 1 dan 2 menunjukkan nilai titer antibodi positif, sementara pada kelompok 3 tidak menunjukkan adanya pembentukan antibodi. Pada minggu ke-4 tersebut, antibodi yang muncul bukan antibodi asal induk melainkan antibodi respon dari vaksinasi karena antibodi asal induk hanya akan menimbulkan kekebalan sampai minggu ke-2. Titer antibodi pada kelompok 1 dan 2 merupakan respon vaksinasi inaktif yang baru akan menimbulkan respon kekebalan pada minggu ke-4. Sementara respon antibodi yang timbul pada kelompok 3 merupakan respon kekebalan dari vaksin aktif. Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen berupa virus atau agen penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh sehat dengan maksud merangsang pembentukan kekebalan (Miller 1996). Saat terpapar suatu protein asing, tubuh akan melakukan respon kekebalan seluler dan humoral. Limfosit T memberikan respon kekebalan seluler dengan mengaktifkan berbagai macam limfosit T dan menghasilkan serta melepaskan berbagai macam limfokin. Selain itu, sel dari sistem imun humoral (limfosit B) memberikan respon terhadap rangsangan antigenik dengan jalan mengeluarkan antibodi. Antibodi tersebut akan dilepas ke dalam darah dan cairan tubuh lainnya (Fenner et al. 1995; Tizard 2000). Kekurangan dari penggunaan vaksin inaktif adalah tidak munculnya respon kekebalan seketika (memerlukan waktu lebih lama), namun respon kekebalan yang timbul bersifat lebih lama dan mampu distimulasi ulang. Hewan yang terpapar agen yang sama ataupun vaksinasi ulang akan membentuk respon kekebalan sekunder. Namun pemberian vaksinasi ulang dengan pemberian dosis berlipat ganda menambah resiko timbulnya reaksi hipersensitivitas maupun tingginya biaya yang diperlukan. Selain itu vaksin inaktif lambat memasuki sel inang dan memproduksi interferon sehingga memerlukan waktu lebih lama dalam memberikan perlindungan terhadap ayam yang rentan (Tizard 2000). Vaksin inaktif membutuhkan waktu 3-4 minggu untuk membentuk antibodi. Respon antibodi pada empat minggu setelah vaksinasi menunjukkan titer antibodi yang lebih tinggi dari kontrol dengan perbedaan yang nyata (P<0,05) (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa vaksin IBD inaktif yang diberikan baru memberikan respon yang positif terhadap kelompok 3 pada minggu keempat

karena vaksin inaktif membutuhkan waktu lama untuk memunculkan respon kekebalan. Gambar 4 Gambaran Grafik Rataan Titer Antibodi Serum Pembentukan antibodi pada kelompok 2 bila dibandingkan dengan kelompok 1 tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan dosis untuk vaksinasi IBD inaktif baik untuk dosis setengah maupun dosis tunggal mampu menginduksi kekebalan humoral dengan baik. Penggunaan dosis yang berbeda tidak terlalu mempengaruhi perbedaan pembentukan antibodi pada serum ayam. Penggunaan vaksin IBD intermediet biasa diaplikasikan pada anak ayam dengan titer antibodi asal induk yang tinggi karena vaksin ini mampu menjaga titer dalam jumlah tinggi tanpa merusak bursa Fabricius (Mazariegos et al. 1990). Vaksin ini membutuhkan waktu untuk merangsang kekebalan pada ayam lebih cepat daripada vaksin inaktif yaitu sekitar satu minggu setelah vaksinasi sehingga titer antibodi yang terbentuk lebih cepat turun.

KESIMPULAN Pada penelitian ini, vaksinasi ayam menggunakan vaksin IBD inaktif baik dosis setengah maupun dosis penuh mampu menginduksi respon kekebalan humoral lebih tinggi dibandingkan vaksin aktif.

DAFTAR PUSTAKA Adi AAAM, Berata K. 1998. Gambaran Patologik bursa Fabricius Ayam Pasca Inokulasi dengan IBDV Isolat Lapang. Bull Sains Vet. XIV;16: 6-13. Anonim. 2001. Mampukah Broiler. http://www.ciptapangan.com/cupbuletin/. [28 Desember 2008].. April 2002. Kunci Atasi Infeksi Dini. Poultry Indonesia. 4 : 36-38.. 2004. Beternak Ayam Pedaging (Broiler) dengan Vital. Jakarta: Mitra Tani Nusantara. Baxendal W, (Sjaak) de Wit JJ. 2000. Vaccine Classification. http://www.gumboro.com/control/vaccination/vaccine-classification.asp. [17 Februari 2009]. Burgess GW. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya. Didalam:Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta : UGM Press. Fakultas Kedokteran Hewan. Decker JM. 2000. Introduction to Immunology. Departement of Veterinary Science and Microbilogy. University of Arizona Tucson. Arizona : Blackwell Scientific. Fenner FJ et al. 1995. Virologi Veteriner. Putra, Harya, dan Suryana KG, penerjemah. Semarang : IKIP Semarang Press. Terjemahan dari : Veterinary Virology. Goldsby RA, Barbara AO, Kindt TJ. 2007. Kuby Immunology. 6 th Ed. USA : W.H. Freeman. Hartati Y. 2005. Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Strain Hubbard [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Lastiati A. 2008. Biosekuriti dan Sanitasi Kunci Pengendalian Penyakit Gumboro. http://www.disnak-jatim.go.id/web/biosekuriti dan Sanitasi Kunci Pengendalian Penyakit Gumboro. [17 Desember 2008].

Lukert PD, Saif YM. 1997. IBD. Di dalam: MS Hofsttad, HJ Barnes, BW Calnek, WM Reid, HW Yoder, editor. Disease of Poultry. Ed ke-9. Iowa : Iowa University Press, Ames. Mazariegos LA, Lukert PD, Brown J. 1990. Pathogenicity and Immunosuppresive Properties of Infectious Bursal Disease Intermediate Strains. Avian Diseases. 34: 203 208. Miller G. 1996. Critical Periode of Chicken. Di dalam: NO Mark, DB Donald, editor. Commercial Chicken Production. 4 th Ed. Wilkesboro : Tyson Food Inc. Nurhidayah. 2003. Tanggap Kebal Ayam Pedaging yang Divaksinasi dengan Vaksin IBD Aktif Ganda [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Polana A, Roni F. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Jakarta : Agromedia Pustaka. Soejoedono RD, Partadiredja HM, Malole MBM. 1996. Penyakit Gumboro dan Akibat yang Ditimbulkan baik pada Ayam Pedaging maupun Petelur. Hemera Zoa. 78 : 42-57. Soejoedono RD. 2004. Pengaruh Vaksin Gumboro Aktif pada Ayam yang Diinfeksi dengan Isolat Lapang. Jurnal Veteriner. 5 : 20-24. Sudaryani T. 2003. Teknik Vaksinasi dan Pengendalian Penyakit Ayam. Edisi ke- 5. Jakarta : Penebar Swadaya. Summers JD, Lesson S. 2000. Broiler Breeder Production. Kanada : Univ. Books. Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta : Kanisius. Tizard IR. 2000. An Introduction to Veterinary Immunology. ED ke-6. USA : W.B. Saunders. Weiss E, Weiss IK. 1994. Pathology and Pathogenesis of Infectious Bursal Disease. In Proc. International Symposium on Infectious Bursal Disease and Chicken Infectious Anemia. Ravischholzhausen. Jerman. 21-24 Juni 1994. Wiryawan W. 2007. Pengebalan terhadap Gumboro dengan Vaksin yang Tidak Menimbulkan Dampak Immunosupresi. Infovet. 9 : 38-41.

LAMPIRAN Perhitungan Titer Antibodi dengan T-Test untuk Perlakuan Minggu ke-2 Paired T-Test dan CI: kelompok 1, kelompok 2 Paired T for kelompok 1 - kelompok 2 N Mean StDev SE Mean kelompok 1 25 1255.28 1350.84 270.17 kelompok 2 25 1278.16 1378.51 275.70 Difference 25-22.8800 1439.3945 287.8789 90% CI for mean difference: (-515.4068, 469.6468) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.08 P-Value = 0.937 Paired T-Test and CI: kelompok 1, kelompok 3 Paired T for kelompok 1 - kelompok 3 N Mean StDev SE Mean kelompok 1 25 1255.28 1350.84 270.17 kelompok 3 25 1489.72 1258.73 251.75 Difference 25-234.436 1465.941 293.188 95% CI for mean difference: (-839.547, 370.674) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.80 P-Value = 0.432 Paired T-Test and CI: kelompok 2, kelompok 3 Paired T for kelompok 2 - kelompok 3 N Mean StDev SE Mean kelompok 2 25 1278.16 1378.51 275.70 kelompok 3 25 1489.72 1258.73 251.75 Difference 25-211.556 1539.797 307.959 95% CI for mean difference: (-847.154, 424.041) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.69 P-Value = 0.499

Perhitungan Titer Antibodi dengan T-Test untuk Perlakuan Minggu ke-4 Paired T-Test and CI: kelompok 1, kelompok 2 Paired T for kelompok 1 - kelompok 2 N Mean StDev SE Mean kelompok 1 25 1648.16 3996.29 799.26 kelompok 2 25 2201.52 2956.30 591.26 Difference 25-553.356 5352.979 1070.596 90% CI for mean difference: (-2385.019, 1278.307) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.52 P-Value = 0.610 Paired T-Test and CI: kelompok 1, kelompok 3 Paired T for kelompok 1 - kelompok 3 N Mean StDev SE Mean kelompok 1 25 1648.16 3996.29 799.26 kelompok 3 25 46.83 83.65 16.73 Difference 25 1601.33 4001.66 800.33 95% CI for mean difference: (-50.47, 3253.14) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 2.00 P-Value = 0.057 Paired T-Test and CI: kelompok 2, kelompok 3 Paired T for kelompok 2 - kelompok 3 N Mean StDev SE Mean kelompok 2 25 2201.52 2956.30 591.26 kelompok 3 25 46.83 83.65 16.73 Difference 25 2154.69 2942.67 588.53 95% CI for mean difference: (940.01, 3369.36) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 3.66 P-Value = 0.001