PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR,

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

BERITA DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 15 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan, karena didukung oleh sumber daya alam dan sumber daya

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 1<? TAHUN 2013 KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN BUPATI BENGKAYANG,

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI BURU SELATAN KEPUTUSAN BUPATI BURU SELATAN NOMOR 06 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas yang mendapat

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR : 11 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan pangan, pemasok bahan baku berbagai industri, penyerap tenaga kerja, hingga penyumbang devisa negara. Komoditas hortikultura juga memiliki nilai ekonomi tinggi yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi petani maupun masyarakat pada umumnya. Usaha agribisnis hortikultura yang mencakup buah-buahan, sayuran, florikultura dan tanaman obat sangat berpotensi menjadi sumber kegiatan ekonomi di masyarakat sebagai pemberantas kemiskinan dan penyedia lapangan pekerjaan di pedesaan. Pernyataan tersebut didukung dengan ketersediaan sumberdaya hayati yang melimpah serta lahan yang memadai. Sayangnya, keadaan ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga pembangunan subsektor hortikultura masih menemui banyak hambatan. Salah satu komoditas hortikultura unggulan di Indonesia adalah kentang. Dari data yang dikeluarkan oleh FAO hingga tahun 2012, Indonesia merupakan penghasil kentang terbesar di Asia Tenggara. Di Indonesia, kentang banyak dihasilkan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Salah satu kabupaten pemasok kentang terbesar di Jawa Tengah adalah Kabupaten Wonosobo. Di wilayah ini, tanaman kentang banyak diusahakan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng yang terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo dengan ketinggian sekitar m dpl. Di Kabupaten Wonosobo, sentra usahatani kentang terdapat di Kecamatan Kejajar yang juga terletak di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Jenis kentang yang umum dibudidayakan di kawasan ini adalah kentang varietas Granola. Nilai ekonomi kentang yang cukup tinggi membuat sebagian besar petani di daerah ini masih mengusahakan kentang sebagai sumber pendapatannya. Berdasarkan tabel 1.1, produktivitas kentang selama lima tahun terakhir di Kabupaten Wonosobo rata-rata sekitar 15,01 ton/ha dengan rerata produksi kentang mencapai 47.252,32 ton dan rerata luas panen 3.148,2 ha. Produktivitas kentang di Kabupaten Wonosobo tergolong belum optimal. Setiadi dan Nurulhuda (2008) menyatakan produktivitas potensial kentang Granola dapat mencapai 30 ton per/ha. Peningkatan produktivitas kentang dapat dilakukan melalui ekstensifikasi atau melalui 1

intensifikasi lahan. Upaya ekstensifikasi dilakukan dengan memperluas areal penanaman kentang dan upaya tersebut ditunjukkan tabel 1.1 dengan adanya pertambahan luas lahan kentang. Sayangnya, produktivitas kentang masih berfluktuasi. Menurut Sartika et al. (2013), tiga faktor dominan yang mempengaruhi hasil produksi kentang adalah pemeliharaan kentang, faktor modal dan luas lahan, serta pemupukan. Tabel 1.1. Luas Panen, Produksi, Produktivitas Kentang di Wonosobo Periode 20092013 Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) 2009 3.013,00 44.466,80 14,76 2010 3.187,00 48.166,10 15,11 2011 3.088,00 46.797,70 15,15 2012 3.190,00 47.390,50 14,86 2013 3.263,00 49.440,50 15,15 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Wonosobo cit. BPS Wonosobo, 2014 Pupuk merupakan salah satu input utama yang sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman budidaya, termasuk kentang. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pupuk Budidaya Tanaman, pupuk adalah bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak langsung. Pupuk yang sering digunakan oleh petani kentang di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo adalah pupuk CM, NPK Phonska dan SP-36. Pupuk CM (chicken manure) merupakan pupuk kandang ayam dengan kandungan nitrogen, fosfor, dan kalium yang lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang lainnya. Pupuk NPK Phonska merupakan pupuk majemuk yang mengandung nitrogen 15%, fosfat 15%, kalium 15%. Menurut Soelarso (1997), kandungan unsur N pada pupuk digunakan untuk mendorong pertumbuhan batang dan daun. Unsur P pada pertanaman dapat memacu pertumbuhan akar, sedangkan unsur K berfungsi untuk memacu pertumbuhan umbi dan mempertinggi kadar tepung dalam umbi. Sementara itu, pasokan unsur P dalam budidaya kentang di Kejajar biasanya juga diperoleh dari pupuk SP-36. Bila dilihat dari struktur biaya usahatani kentang, biaya pemupukan menjadi salah satu biaya pokok yang paling banyak dikeluarkan oleh petani. Dari tabel 1.2 dapat diketahui bahwa biaya produksi yang paling banyak dikeluarkan petani kentang adalah biaya pembelian bibit yaitu sekitar 41,85% disusul biaya sewa tanah 14,88%. Biaya 2

pemupukan menjadi biaya yang relatif banyak dikeluarkan petani kentang selain biaya pembelian bibit dan biaya sewa tanah yakni 13,58% dari total biaya usahatani kentang. Tabel 1.2 Analisis Usahatani Kentang Tanpa Mulsa No. Uraian I Biaya Produksi 1 Sewa lahan (musim) 2 Biaya Saprotan a. Benih (kg) Jumlah Harga (Rp) 1 Biaya (Rp) Persentase (%) 8.000.000 14,88 1.500 15.000 22.500.000 41,85 Pupuk kimia (kg) 600 2.170 1.300.000 2.42 Organik CM (kg) 15.000 400 6.000.000 11,16 b. Pupuk (kg) c. Pestisida 3 Insektisida (L) 1,5 1.500.000 2,79 Fungisida (kg) 5 2.500.000 4,65 3.000.000 5,58 800.000 1,49 Tenaga Kerja Olah tanah dan tanam borongan 4 II Pembumbuman I (HKO) 40 20.000 Pembumbuman II (HKO) 25 20.000 500.000 0,93 Aplikasi pestisida (HKO) 54 30.000 1.620.000 3,01 Jaga malam (HKO) 20 50.000 1.000.000 1,86 Panen (HKO) 60 20.000 1.200.000 2,23 Angkut (HKO) Jumlah biaya lain (bensin, oli, penyusutan alat, dll.) Jumlah 68 30.000 2.059.700 3,83 1.720.000 3,20 53.759.700 100,00 Penerimaan Kentang kualitas ABC (kg) Kentang kualitas DN (kg) Kentang kualitas Rindil (kg) 12.286 5.300 65.115.800 2.310 3.200 7.39 605 1.700 1.028.500 Jumlah 73.536.300 III Pendapatan usahatani (II-I) 19.776.600 IV R/C Ratio 1,37 Sumber: Balai Penyuluhan Pertanian Kejajar, 2014 Berdasarkan tabel 1.2, pupuk CM merupakan pupuk organik non-subsidi sekaligus menjadi pupuk yang paling banyak digunakan oleh petani kentang. Penggunaan pupuk CM yang relatif lebih banyak dikarenakan kandungan hara pupuk ini lebih rendah dibandingkan pupuk kimia pada dosis yang sama. Meskipun demikian, pupuk CM tergolong pupuk organik sehingga penggunaannya sangat berguna bagi perbaikan kadar hara dalam tanah serta memiliki sifat yang lebih ramah lingkungan 3

dibandingkan pupuk kimia. Selain itu, harga pupuk CM yang lebih murah juga mendorong petani kentang menggunakan pupuk ini dalam jumlah besar. Biasanya pupuk CM diperoleh petani dari pedagang yang langsung menawarkan pupuk ke rumahrumah dengan harga pupuk mengikuti mekanisme harga pasar. Selain menggunakan pupuk CM sebagai faktor produksi usahatani kentang, para petani juga mengimbangi penggunaan pupuk organik tersebut dengan pupuk kimia. Pupuk kimia yang biasa digunakan adalah pupuk NPK Phonska dan pupuk SP-36 yang merupakan pupuk bersubsidi. Pupuk bersubsidi menurut Permendag No. 15 Tahun 2013 didefinisikan sebagai barang dalam pengawasan yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan kelompok tani dan/atau petani di sektor pertanian meliputi pupuk Urea, pupuk SP 36, pupuk ZA, pupuk NPK dan jenis pupuk bersubsidi lainnya yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian. Sejak tahun 2006 hingga saat ini, sistem subsidi pupuk yang berlaku di Indonesia adalah sistem subsidi harga. Perhitungan subsidi harga dihasilkan melalui selisih antara harga pokok penjualan (HPP) dengan harga eceran tertinggi (HET) dikalikan volume produksi. Harga eceran tertinggi (HET) adalah harga pupuk bersubsidi yang dibeli oleh petani/kelompok tani di penyalur Lini IV yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian. HET pupuk bersubsidi dapat mengalami perubahan setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku pada tahun bersangkutan, maka setiap tahun selalu dikeluarkan peraturan Menteri Pertanian yang mengatur masalah HET. Perkembangan HET pupuk bersubsidi dapat dilihat pada tabel 1.3 berikut. Tabel 1.3. Perkembangan HET Pupuk Bersubsidi Harga Pupuk (Rp) Tahun Urea SP-36 ZA 2010 1.600 2011 1.600 2012 1.800 2013 1.800 2014 1.800 2015 1.800 Sumber: Kementerian Pertanian, 2010-2014 NPK Organik 700 700 500 500 500 500 Meskipun harga pupuk bersubsidi telah ditetapkan melalui HET, tapi salah satu permasalahan yang masih sering dijumpai oleh para petani adalah penjualan pupuk 4

bersubsidi dengan harga di atas HET. Abdullah dan Hakim (2011) mengungkapkan salah satu penyebabnya menurut temuan BPK, masih ada pengecer yang membebankan biaya pengangkutan dari distributor ke pengecer. Hal ini dikarenakan pengecer kadangkadang harus mengambil sendiri pupuk yang ditebus dari distributor ke gudang distributor serta adanya biaya bongkar truk di depan gudang sendiri ke dalam gudang sendiri atau adanya penambahan ongkos kirim dari pengecer ke kelompok tani. Padahal dalam Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) dari produsen ke semua distributor telah diatur secara jelas marjin distributor, harga jual distributor ke pengecer, biaya sewa gudang, ongkos angkut maupun margin pengecer. Fenomena penyimpangan HET pupuk mengindikasikan adanya ketidakefektifan harga pupuk. Andriati dan Sudana (2011) menyatakan efektivitas diukur melalui perbandingan antara harga pupuk yang dibeli pada tingkat petani dengan HET dan dinyatakan dalam bentuk persentase. Kebijakan HET dikatakan efektif bila nilai efektivitas kurang dari atau sama dengan 100%. Bila harga pupuk yang dibeli petani lebih dari HET yang ditetapkan, nilai efektivitasnya akan melebihi 100%. Artinya, HET sebagai parameter dari pemasaran pupuk belum efektif. Muhaimin et al. (2004) berpendapat pemberian subsidi harga pupuk seharusnya dapat menyediakan pupuk dengan harga beli yang lebih murah sehingga rasio harga pupuk terhadap harga output menurun. Rasio harga yang menurun diharapkan dapat mendorong petani untuk menggunakan input lebih banyak. Selain itu, harga pupuk juga berpengaruh nyata terhadap permintaan pupuk. Jika harga pupuk naik, jumlah pupuk yang diminta akan mengalami penurunan. Permintaan pupuk atau permintaan input merupakan permintaan turunan dari permintaan output, dalam hal ini permintaan kentang. Debertin (1986) menyatakan permintaan input dipengaruhi oleh harga output atau output sedang diproduksi, harga input, harga input lain yang mensubstitusi atau melengkapi input, dan parameter fungsi produksi yang menjelaskan teknis transformasi dari input menjadi output. Dengan demikian, permintaan pupuk tidak hanya dipengaruhi oleh harga pupuk itu sendiri melainkan juga harga kentang serta harga input-input lain yang digunakan dalam usahatani kentang. Harga input lain yang harus dibayar petani kentang berdasarkan analisis usahatani tabel 1.2 antara lain: harga pupuk lain, harga benih, harga pestisida, upah tenaga kerja serta input lahan.variabel-variabel tersebut akan digunakan dalam 5

penelitian ini untuk mengetahui pengaruhnya terhadap permintaan pupuk oleh petani kentang di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Tingkat penggunaan pupuk akan mempengaruhi hasil produksi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan petani. Adanya kenaikan atau penurunan harga pupuk akan mempengaruhi keputusan petani terhadap jumlah pupuk yang akan dibeli. Meskipun harga pupuk bersubsidi telah ditetapkan melalui HET, adanya fakta harga pupuk yang dibeli petani seringkali melebihi HET mendorong penelitian ini untuk mengkaji keefektifan subsidi harga pupuk dengan indikator tepat harga. Selain dipengaruhi oleh harga pupuk itu sendiri, permintaan pupuk juga dipengaruhi faktor lain, seperti output dan input lain. Pengetahuan mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan pupuk dapat menjadi acuan agar penggunaan pupuk di tingkat petani menjadi optimal serta menjadi referensi bagi pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan masalah pupuk. Oleh karena itu, analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pupuk oleh petani kentang menjadi penting untuk dikaji dalam penelitian ini. B. Rumusan Masalah Saat ini, pertanian kentang di Kabupaten Wonosobo, khususnya di Kecamatan Kejajar tengah menjadi sorotan berkaitan dengan tingkat residu kimia yang tinggi di area lahan kentang. Penggunaan pupuk menjadi salah satu penyumbang residu kimia selain penggunaan pestisida. Tingginya kandungan zat-zat kimia dalam tanah justru akan menurunkan kesuburan tanah yang akhirnya akan berdampak pula pada produktivitas kentang. Hal ini didukung pula dengan data yang menyatakan rerata produktivitas kentang di Wonosobo sekarang ini hanya sekitar 15,01 ton/ha, padahal produktivitas potensial kentang Granola yang banyak dibudidayakan di daerah ini dapat mencapai 30 ton/ha. Penggunaan pupuk secara berimbang merupakan hal yang sudah sepatutnya diterapkan oleh petani untuk meningkatkan produksi kentang. Petani kentang di Kecamatan Kejajar menggunakan dua jenis pupuk, yakni pupuk organik serta pupuk anorganik. Penggunaan kedua jenis pupuk ini dimaksudkan agar kandungan unsur hara di dalam tanah tidak hanya dipenuhi oleh pupuk anorganik yang semakin lama dapat menurunkan kesuburan tanah tetapi juga didukung oleh penggunaaan pupuk organik 6

yang lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, penggunaan pupuk secara berimbang sangat perlu diperhatikan oleh petani agar dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kentang. Sementara itu, penggunaan pupuk secara tepat dan berimbang masih menjadi salah satu problema petani. Murahnya harga pupuk organik terkadang dapat membuat petani mengonsumsi pupuk tersebut dalam dosis yang berlebihan. Di sisi lain, pupuk kimia seperti NPK Phonska dan SP-36 seringkali dijumpai petani dengan harga yang lebih mahal dibanding dengan HET yang telah ditetapkan pemerintah. BPK dalam Abdullah dan Hakim (2011) menyebutkan peningkatan HET disebabkan pengecer harus mengambil sendiri pupuk yang ditebus dari distributor ke gudang distributor serta adanya biaya bongkar truk di depan gudang sendiri ke dalam gudang sendiri atau adanya penambahan ongkos kirim dari pengecer ke kelompok tani. Harga pupuk yang lebih mahal tentu saja dapat mempengaruhi petani terhadap penggunaan pupuk. Di samping faktor harga pupuk sendiri, terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat penggunaan pupuk oleh petani. Faktor lain seperti fluktuasi harga kentang akan mempengaruhi permintaan pupuk yang juga merupakan permintaan turunan dari permintaan kentang. Pupuk bukanlah satu-satunya input dalam usahatani kentang. Petani juga memerlukan input lain, seperti benih, pestisida, lahan, dan tenaga kerja. Oleh sebab itu, harga input lain juga akan mempengaruhi petani dalam mempertimbangkan jumlah pupuk yang akan dibeli. Pupuk merupakan salah satu input penting dalam usahatani kentang. Akan tetapi, masih terdapat beberapa kendala berkaitan dengan penggunaan pupuk yang tepat dan berimbang. Oleh karena itu, penelitian ini akan memfokuskan pada permasalahan berikut. 1. Bagaimana keefektifan HET di tingkat petani saat berbagai musim tanam? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan pupuk pada berbagai musim tanam? 3. Bagaimana elastisitas harga dan elastisitas harga silang terhadap permintaan pupuk pada berbagai musim tanam? 7

C. Tujuan 1. Menganalisis keefektifan HET pupuk NPK dan SP-36 di tingkat petani pada berbagai musim tanam. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pupuk, yakni faktor harga pupuk, harga benih, harga pestisida, harga kentang, luas lahan, dan upah tenaga kerja pada berbagai musim tanam. 3. Menganalisis elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang dari permintaan pupuk pada berbagai musim tanam. D. Kegunaan Penelitian 1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan syarat guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada serta bagi mahasiswa lain, penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan terutama berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pupuk petani kentang. 2. Bagi pemerintah dan pihak terkait, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan informasi dan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, khususnya tentang kebijakan yang berkaitan dengan pupuk. 3. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber referensi untuk penelitian lebih lanjut. 8