BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah metafora sudah muncul dari hasil interpretasi terhadap Kejadian di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara tanda - tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dalam sebuah karya sastra, namun berkaitan dengan hal-hal yang dianggap sangat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. penggunaan gaya bahasa kiasan metafora yang disampaikan melalui ungkapanungkapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Sudah berabad-abad yang lalu manusia menggunakan bahasa, baik bahasa tubuh, tulisan,

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. benar. Ini ditujukan agar pembaca dapat memahami dan menyerap isi tulisan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan

MODEL GROUP MAPPING ACTIVITY (GMA) DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA

BAB I PENDAHULUAN. diterbitkan kurang begitu memperhatikan aspek gramatikal bahkan masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Pada awalnya, metafora muncul sebagai suatu gaya bahasa atau figure of

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia merupakan salah satu aset kebudayaan bagi bangsa

BAB I PENDAHULUAN. mampu berinteraksi dengan lingkungan dengan selayaknya. meningkatkan dan mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Kailani (2001:76) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang

BAB I PENDAHULUAN. kecamatan yang berbeda bisa ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahasa itu

22, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 dapat diungkapkan dengan makna sebagai representasi maksud emosional manusia yang tidak terbatas. Penggunaan bahas

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Realisasi sebuah bahasa dinyatakan dengan ujaran-ujaran yang bermakna.

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku.setiap suku memiliki

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini beranjak untuk memahami kontruksi nasionalisme dalam film,

BAB I PENDAHULUAN. Studi dalam penelitian ini berkonsentrasi pada kelas verba dalam kalimat

KESALAHAN EJAAN DAN KETIDAKBAKUAN KATA PADA KARANGAN ARGUMENTASI SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 SUKOHARJO Tahun Pelajaran 2008/2009 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat agar terjalin suatu kehidupan yang nyaman. komunitas selalu terlibat dalam pemakaian bahasa, baik dia bertindak

2015 METAFORA DALAM TUTURAN KOMENTATOR INDONESIA SUPER LEAGUE MUSIM : KAJIAN SEMANTIK KOGNITIF

ANALISIS PENGGUNAAN DIKSI PADA ARTIKEL SURAT KABAR SOLOPOS EDISI APRIL - MEI 2010

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan. Seperti yang sering

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Bahkan iklan memegang peran untuk menyampaikan pesan

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text

BAB I PENDAHULUAN. Risma Dwi Saraswati, SISWA SEKOLAH DASAR Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut KBBI kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan, yang

Analisis metaforis..., Widya, FIB, UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Interferensi terjadi pada masyarakat tutur yang memiliki dua bahasa atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tulisan yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan konseptual dan intelektual anak-anak. Memahami proses. perkembangan kognitif anak-anak secara menyeluruh.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

Mata Kuliah Persepsi Bentuk

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana dalam Chaer, 2003:

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan manusia

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Representasi Matematis. solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian mengenai representasi materialisme pada program Take Me Out

BAB I PENDAHULUAN. Metafora bagi sebagian besar orang merupakan sebuah sarana puitika dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Pengetahuan kebahasaan meliputi

BAB I PENDAHULUAN. membicarakan secara langsung, menyampaikan lewat media-media elektronik,

BAB I PENDAHULUAN. Verba gerakan, seperti pindah, datang, dan berlari dapat ditemukan pada

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang wajib

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi antar sesama. Kridalaksana (dalam Chaer, 2003: 32)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bagian ini digambarkan bagan alur penelitian dalam bentuk diagram berikut

BAB I PENDAHULUAN. yang terus meninggi, ragam inovasi media terus bermunculan. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagian alat komunikasi, baik komunikasi antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan penting dalam

BAB III METODE PENELITIAN

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

BAB I PENDAHULUAN. Penerjemahan merupakan suatu kegiatan pengalihan makna atau pengungkapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan siswa dalam membaca, merupakan salah satu faktor yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Astri Rahmayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan ide, maksud, pikiran, lain-lain. Sarana komunikasi tersebut. masyarakat dan bahasa tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. sarana mengungkapkan ide, gagasan, pikiran realitas, dan sebagainya. dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa tulis dalam komunikasi

Mata Kuliah Persepsi Bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. diucapkan dan tersampaikan oleh orang yang mendengarnya. Bahasa juga

II. LANDASAN TEORI. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang

BAB I PENDAHULUAN. keinginan dan sebagainya melalui bahasa, sehingga bahasa merupakan sarana

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki sejumlah verba yang bermakna dasar AMBIL

Konsep dan Model-Model Analisis Framing. Dewi Kartika Sari, S.Sos., M.I.Kom

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berkembangnya dunia pendidikan, pengajaran Bahasa

BAB VI PENUTUP. Tesis ini menguraikan analisis ciri semantis, konstruksi gramatikal, makna

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 Teori Metafora Klasik Istilah metafora sudah muncul dari hasil interpretasi terhadap Kejadian di Injil ketika Adam dan Eva memakan buah terlarang (Kövecses, Palmer, dan Dirven, 2003: 134). Peristiwa ini disebut metafora untuk memperoleh kesadaran. Secara teoretis konsep metafora diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles dalam bukunya Poetika (Verspoor, 1993: 8). Pandangan Aristoteles merupakan pandangan klasik tentang metafora. Pandangan klasik adalah pandangan pertama mengenai metafora. Dalam pandangan klasik, metafora dipahami sebagai sejenis tambahan dekoratif pada bahasa sederhana, yaitu alat retorika untuk memperoleh pengaruh tertentu (Saeed, 1997: 303). Metafora bukan bagian dari bahasa sehari-hari, melainkan bagian dari bahasa puitis atau kesusastraan. Pendengar atau pembaca harus menafsirkan maksud pembicara. Versi ancangan ini diadopsi pada teori bahasa harfiah. Metafora menjadi titik tolak bahasa harfiah, yang dideteksi oleh pendengar sebagai suatu anomali, yang kemudian menggunakan beberapa strategi berbahasa untuk membangun makna yang dimaksudkan oleh pembicara. Menurut Verspoor (1993: 8 9), metafora dalam pandangan Aristoteles memiliki kekuatan dalam menekankan persamaan yang halus tetapi eksplisit di antara dua hal yang umumnya tidak berkaitan. Seperti pada puisi, metafora yang baik mengimplikasikan ciri-ciri persamaan intuitif dalam perbedaan. Aristoteles

menganggap bahwa metafora adalah simile eliptis; artinya, metafora dari bentuk X adalah Y dapat dialihkan secara langsung dengan simile dari bentuk X adalah seperti Y. Pandangan Aristoteles tentang metafora ini berbasis pada ciri objektif. Jadi, pengalihan metafora kepada simile mensyaratkan bahwa metafora dapat mengurangi daftar persamaan di antara objek-objek. Pandangan kedua tentang metafora dinamai pandangan romantis sebab berhubungan dengan pandangan romantis tentang imajinasi pada Abad ke-18 dan pada Abad ke-19 (Saeed, 1997: 303). Dalam pandangan romantis, metafora berintegrasi dengan bahasa dan pikiran sebagai suatu cara untuk memahami dunia. Dalam pandangan ini, metafora menjadi bukti tentang peran imajinasi dalam membangun konseptualisasi dan pernalaran. Tegasnya, dalam metafora ini tidak ditemukan perbedaan yang jelas antara bahasa harfiah dan bahasa figuratif. Berdasarkan pendapat di atas, sekarang telah diterima secara luas bahwa metafora tidak ditafsirkan sebagai simile (lihat Lakoff dan Johnson, 1980; Croft dan Cruse, 2004; Kövecses, 2006; dan Sandström, 2006). Metafora mencakup suatu pemetaan yang lebih kompleks antara ranah sumber dan ranah sasaran. Ahli psikologi dan ahli bahasa berasumsi bahwa metafora merupakan alat yang penting pada kognisi dan komunikasi sebab menawarkan cara-cara yang kurang akrab dalam mengonseptualisasikan sesuatu yang akrab dan, sebaliknya, cara-cara yang akrab dalam mengonseptualisasikan sesuatu yang kurang akrab. Dalam linguistik kognitif, metafora ialah keadaan dua-arah (two-way affair): dari metafora bahasa ke metafora konseptual, atau dari metafora konseptual ke metafora bahasa. Contohnya, ahli bahasa kognitif menggunakan kehadiran metafora yang berlimpah dan sistematis dalam bahasa sebagai dasar

untuk mendalilkan keberadaan metafora konseptual yang menerangkan peralihan dari bahasa ke pikiran. 2.1.2 Teori Metafora Konseptual Konsep metafora mulai berkembang sejak terbitnya buku Metaphor We Live By (1980) yang ditulis oleh George Lakoff bersama dengan koleganya, Mark Johnson. Buku ini berperan dalam menginspirasi pengembangan paradigma linguistik kognitif. Dalam buku ini diterangkan bahwa pemakaian bahasa metaforis dapat menjadi sama dengan pemakaian bahasa dalam pernalaran praktis. Ide keduanya diadopsi dan dielaborasi, antara lain, oleh Ronald W. Langacker, Charles J. Fillmore, Len Talmy, Gilles Fauconnier, dan Zlotan Kövecses. Lakoff dan Johnson (1980) dan para pengikutnya itu menunjukkan pentingnya metafora bahasa dalam menggambarkan aspek mentalitas manusia, cara manusia dalam memahami dan mengonseptualisasikan sesuatu (termasuk emosi). Salah satu prinsip dasar dalam linguistik kognitif ialah bahwa pemakaian bahasa dikuasai oleh suatu citra kompleks, gestalts, atau konfigurasi dan kognisi yang mendasari pemakaian bahasa metaforis dapat menjadi sama seperti pemakaian bahasa yang digunakan dalam pernalaran praktis (Palmer, 1996: 223). Dalam linguistik kognitif, pikiran dipahami bukan sebagai fenomena satuan (unitary phenomenon) (Kövecses, 2006: 5). Selain itu, kategori pikiran bukanlah gambaran dari kategori dunia, atau realitas objektif. Justru dunia diciptakan atau dibentuk oleh pikiran dengan cara-cara imajinatif. Hal ini meliputi proses kognitif sebagai kategorisasi yang berbasis pada prototipe, menata pengetahuan berbasis pada kerangka, dan memahami pengalaman melalui metafora (Kövecses, 2006:

9 11). Dengan kata lain, pikiran dalam linguistik kognitif pada pokoknya adalah harfiah dan figuratif. Perlu dicatat bahwa dalam linguistik kognitif terdapat tiga hipotesis dasar yang pada hakikatnya merupakan bentuk penolakan tokoh-tokoh linguistik kognitif terhadap ancangan sintaksis dan semantik yang berpengaruh kuat pada pada masa itu, yaitu tata bahasa generatif dan semantik keadaan-kebenaran. Ketiga hipotesis itu ialah (1) bahasa bukanlah piranti kognitif yang mandiri, (2) tata bahasa adalah konseptualisasi, dan (3) pengetahuan bahasa bersumber dari pemakaian bahasa (Croft dan Cruse, 2004: 1 4). Hipotesis pertama menerangkan bahwa representasi pengetahuan bahasa sejatinya adalah sama dengan representasi struktur konseptual lain, dan proses penggunaan pengetahuan itu tidak berbeda dengan kemampuan kognitif yang digunakan manusia di luar ranah bahasa. Pada hipotesis kedua, proses kognitif yang menguasai pemakaian bahasa, khususnya konstruksi dan komunikasi pada makna bahasa, pada prinsipnya adalah sama dengan kemampuan kognitif lainnya. Hipotesis yang ketiga menjelaskan bahwa kategori dan struktur dalam semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi dibentuk oleh kognisi manusia tentang ujaran khusus dalam kesempatan pemakaian yang khusus. Penelitian ini menggunakan teori Metafora Konseptual yang bersumber dari ancangan linguistik kognitif. Ciri penting dari teori ini ialah pemanfaatan aspek tertentu dari ranah sumber atau ranah sasaran yang berperan pada metafora. Artinya, jika disarankan bahwa metafora konseptual dapat dinyatakan dengan A ADALAH B, ini tidak berarti bahwa seluruh konsep A atau B tercakup yang dipilih hanyalah aspek tertentu. Lakoff dan Johnson (1980: 117) memberi ilustrasi

pada metafora hipotesis seperti CINTA sebagai PERJALANAN, WAKTU sebagai UANG, dan ALASAN sebagai PERANG. Pada metafora itu, fokus definisi ialah tingkat ranah pengalaman dasar seperti cinta, waktu, dan alasan. Pengalaman ini kemudian dikonseptualisasikan dan dibatasi dengan bertumpu pada ranah pengalaman dasar seperti perjalanan, uang, dan perang. Untuk memahami sebuah metafora, metafora itu hendaknya tidak dibaca secara harfiah, tetapi dibaca secara figuratif. Kalau dipahami secara harfiah, metafora dinilai melanggar norma interpretasi dan menghasilkan anomali semantis sebab sebuah kalimat harus relevan dengan konteks. Begitu metafora sudah dikenali akan tampak persamaan makna umum di antara kedua tipe makna ini, yaitu makna harfiah dan makna figuratif. Relasi metaforis dibentuk oleh pemetaan pada ranah sumber dan pada ranah sasaran. Makna yang baru, atau makna figuratif, pada ranah sumber dapat dipahami dengan baik karena makna ini dipetakan ke dalam ranah sasaran (makna harfiah). Singkatnya, peralihan sifat sasaran kepada sumber telah menciptakan perspektif baru pada sumber. Lebih jauh, metafora memiliki ciri kekovensionalan, kesistematisan, asimetri, dan abstraksi (Saeed, 1997: 305 307; Sandström, 2006: 6 9). Ciri kekonvensionalan memunculkan isu kebaruan pada metafora. Ciri kesistematisan mengacu pada cara bahwa metafora tidak hanya menata butir perbandingan tunggal; ciri ranah sumber dan ranah sasaran bergabung sehingga sebuah metafora dapat diperluas, atau mempunyai logika internalnya sendiri. Ciri asimetri mengacu pada cara bahwa metafora bersifat langsung. Metafora tidak membuat perbandingan simetris antara dua konsep dalam menetapkan butir persamaan. Metafora memancing pendengar untuk mengalihkan ciri sumber kepada ciri

sasaran. Ciri abstraksi dikaitkan dengan asimetri. Metafora menggunakan sumber yang lebih konkret. Dalam penelitian ini, metafora cinta dianalisis dengan menggunakan skema-citra. Tanpa penggunaan skema-citra sukar bagi siapa pun untuk memahami pengalaman. Alasannya, karena pengalaman fisik manusia hadir dan bertindak pada dunia karena mencerap pengalaman, memindahkan tubuh, mengerahkan dan mengalami daya, dan lain-lain manusia membentuk struktur konseptual dasar yang digunakan untuk menata pikiran melintasi rentang ranah yang lebih abstrak. Johnson (1987), seperti dikutip oleh Saeed (1997: 308), mengusulkan skema-citra sebagai suatu level struktur kognitif yang lebih primitif yang mendasari metafora dan menyajikan hubungan sistematis antara pengalaman badani dan ranah kognitif yang lebih tinggi seperti bahasa. Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa skema-citra perseptual yang diterapkan pada metafora cinta, yaitu skema WADAH, skema HUBUNGAN, skema DAYA, dan skema SUMBER-JALUR-TUJUAN (Kövecses, 2006: 209 211). Sebagai contoh, skema WADAH memiliki elemen struktural interior, batas, dan eksterior. Logika dasar pada skema ini ialah bahwa segala sesuatunya berada di dalam atau berada di luar wadah. Lebih jauh, jika B ada pada A dan C ada pada B dapat disimpulkan bahwa C ada pada A. Misalnya, metafora KEADAAN sebagai WADAH, HUBUNGAN PERSONAL sebagai WADAH, dan BIDANG VISUAL sebagai WADAH. Elemen struktural pada skema HUBUNGAN mencakup dua entitas dan hubungan yang menyambungnya. Logika dasar skema ini meliputi keselarasan. Maksudnya, jika A dihubungkan dengan B, B dihubungkan dengan A atau jika A

dihubungkan dengan B, A dibatasi oleh B. Skema HUBUNGAN berguna sebagai ranah sumber pada beberapa metafora. Misalnya, pada HUBUNGAN sebagai SAMBUNGAN, kedua entitasnya dihubungkan dengan sambungan. Skema SUMBER-JALUR-TUJUAN memiliki elemen struktural sumber, jalur, tujuan, dan arah. Logika dasarnya ialah apabila seseorang pergi dari A ke B, dia harus melewati setiap titik persimpangan yang menghubungkan A dengan B. Metafora HIDUP sebagai PERJALANAN mengasumsikan skema SUMBER-JALUR-TUJUAN. Pemetaan dan submetafora pada metafora kompleks ini ialah MAKSUD sebagai TUJUAN. Peristiwa kompleks juga umumnya dipandang melibatkan keadaan awal (SUMBER), tahap tengahan (JALUR), dan tahap akhir (TUJUAN). Jelaslah bahwa skema-citra menyediakan pemahaman tentang dunia, baik secara harfiah maupun secara figuratif. Dasar untuk konstruksi metaforis ini terletak pada pengalaman dasar manusia yang membentuk skema citra dan menyajikan hubungan pengalaman badani dengan ranah kognitif yang lebih tinggi seperti bahasa (Saeed 2003: 353). Namun, dalam penggolongan makna kata adakalanya diperlukan lebih dari satu skema (Kövecses, 2006: 211). 2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan Pada bagian ini ditinjau secara ringkas hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Tinjauan ini bertujuan untuk (1) mengetahui model, arah, dan temuan yang telah dicapai dan (2) memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang ada, baik metode, model, konsep, maupun teori.

Pertama, Siregar (2004), dalam penelitiannya yang berjudul Metafora Kekuasaan dan Metafora melalui Kekuasaan: Melacak Perubahan Kemasyarakatan melalui Perilaku Bahasa, membicarakan relasi kekuasaan dan metafora secara terperinci. Boleh dikatakan bahwa penelitiannya merupakan penelitian awal tentang metafora politik dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan teori Metafora Konseptual. Data penelitiannya secara umum adalah data tulis, tetapi korpusnya sangat kaya, luas, dan variatif. Siregar mengungkapkan kategorisasi metafora kekuasaan dalam bahasa Indonesia; misalnya, POLITIK sebagai CAIRAN, POLITIK sebagai API, POLITIK sebagai PERANG, dan sebagainya. Tak dapat dibantah bahwa penelitian Siregar berhasil memperlihatkan cara kerja teori Metafora Konseptual dalam menelaah fenomena kebahasaan. Model penelitiannya diadopsi dan dikembangkan dalam penelitian ini. Di samping itu, analisisnya yang sangat mendalam dan tuntas telah mengilhami penelitian yang dilakukan, khususnya dalam penetapan kategorisasi MCBA dan pemetaannya pada ranah sumber dan ranah sasaran. Kedua, Silalahi (2005), dalam artikelnya yang bertajuk Metafora dalam Bahasa Batak Toba, menyelidiki metafora KATA dalam bahasa Batak Toba. Korpus datanya berasal dari bahasa lisan yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara dan di Kabupaten Toba Samosir. Sebagai acuan analisis, dia menerapkan teori semantik kognitif. Dalam penelitian ini, Silalahi berpendapat bahwa metafora KATA dalam bahasa Batak Toba terdiri atas delapan tipe semantis, yaitu (1) KATA sebagai BENDA, (2) KATA sebagai CAIRAN, (3) KATA sebagai HEWAN, (4) KATA

sebagai MAKANAN, (5) KATA sebagai MANUSIA, (6) KATA sebagai PERJALANAN, (7) KATA sebagai SENJATA, dan (8) KATA sebagai TUMBUHAN. Silalahi tidak menyinggung pemetaan metafora untuk menunjukkan korespondensi sistematis antara KATA dan berbagai acuannya dalam bahasa Batak Toba. Dia menggunakan teori semantik kognitif sehingga penelitiannya kurang relevan dengan penelitian MCBA mengingat perbedaan pada objek kajian. Kontribusi penelitiannya terletak pada model analisis dan konsep metafora dalam kerangka semantik kognitif. Hasil penelitiannya memperkaya wawasan dalam mengkaji metafora cinta dalam bahasa Angkola. Ketiga, Rajeg (2009), dalam artikelnya yang berjudul Cintanya Bertepuk Sebelah Tangan: Metaphoric and Metonymic Conceptualisation of LOVE in Indonesian, membicarakan konsep cinta dalam bahasa Indonesia. Untuk menganalisis konsep cinta, dia menggunakan teori Metafora Konseptual yang bersumber dari linguistik kognitif. Ada dua masalah yang menjadi fokus pembahasannya, yakni (1) tipe-tipe metafora dan metonimi konseptual yang membangun struktur konsep cinta dalam bahasa Indonesia dan (2) kaitan metafora dan metonimi pada konsep cinta. Pada bagian hasil penelitian dikemukakan bahwa tipe-tipe metafora konseptual yang menandai cinta adalah sebagai berikut: CINTA ADALAH CAIRAN (PANAS) PADA SUATU WADAH; CINTA ADALAH KESATUAN BAGIAN; CINTA ADALAH IKATAN; CINTA ADALAH API; CINTA ADALAH KEGILAAN; CINTA ADALAH MABUK; CINTA ADALAH KEKUATAN (ALAM dan FISIK);

CINTA ADALAH ATASAN SOSIAL; CINTA ADALAH LAWAN; CINTA ADALAH PERJALANAN; OBJEK CINTA ADALAH DEWA/DEWI; OBJEK CINTA ADALAH KEPEMILIKAN, RASIONAL ADALAH (KE) ATAS, EMOSIONAL ADALAH (KE) BAWAH; SADAR ADALAH (KE) ATAS, TIDAK SADAR ADALAH (KE) BAWAH. Rajeg juga mengusulkan bahwa metonimi konseptual untuk konsep emosi umumnya terdiri atas tipe dasar, yaitu (1) PENYEBAB EMOSI BAGI EMOSI dan (2) DAMPAK EMOSI BAGI EMOSI. Dari kedua tipe dasar ini, yang paling umum ialah DAMPAK EMOSI BAGI EMOSI. Tipe metonimi ini kemudian dibedakannya atas dua jenis respon, yaitu (1) respon fisiologis (misalnya, MUKA MEMERAH BERARTI CINTA) dan (2) respon tindakan/tingkah laku (misalnya, KEDEKATAN SECARA FISIK BERARTI CINTA). Penelitian Rajeg sangat menarik dan memberi inspirasi. Meskipun banyak datanya kurang alamiah sebab umumnya bersumber dari data tulis, Rajeg menganalisis tipe-tipe metafora cinta secara mendalam. Namun, dia tidak membicarakan pemetaan metafora cinta pada ranah sumber dan ranah sasaran. Akibatnya, tipe-tipe metafora cinta yang diusulkannya kurang didukung oleh bukti-bukti teoretis yang memadai. Sebagai suatu kajian awal tentang metafora cinta dalam bahasa Indonesia, tipe-tipe metaforanya dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk menganalisis metafora cinta dalam bahasa Angkola. Keempat, Mulyadi (2010a), dalam artikelnya yang berjudul Metafora Emosi dalam Bahasa Indonesia, membahas dua masalah pokok, yaitu (1) tipetipe metafora emosi dalam bahasa Indonesia yang dihasilkan dari operasi verba

gerakan dan (2) pemetaan elemen EMOSI dan elemen GERAKAN. Kedua masalah itu kemudian dianalisisnya dengan menggunakan teori Metafora Konseptual. Sebagian besar datanya diperoleh dari surat kabar dan majalah. Dalam penelitiannya, Mulyadi menyimpulkan bahwa konseptualisasi emosi dalam bahasa Indonesia pada dasarnya bersumber dari sembilan citra metaforis, yaitu CAIRAN, BENDA, LAWAN, BINATANG BUAS, MUSUH TERSEMBUNYI, BEBAN, TEMPAT, DAYA ALAMI, dan DAYA FISIK. Pemetaan ranah-ranah pengalaman gerakan dan emosi pada metafora emosi ditata atas dua skema dasar, yaitu skema WADAH dan skema RUANG. Dalam pemetaan itu, persesuaian yang sistematis antara ranah sumber dan ranah sasaran melibatkan gagasan daya dan gagasan kendali. Penelitian Mulyadi menggunakan korpus data yang terbatas. Mungkin karena luasnya cakupan metafora emosi, ia membatasi kajiannya pada verba gerakan dan hanya mengacu pada lima jenis emosi dasar, yaitu gembira, sedih, marah, takut, dan malu. Implikasinya ialah bahwa generalisasi yang dihasilkannya tentang metafora emosi bahasa Indonesia masih bersifat tentatif. Meskipun demikian, tipe-tipe metafora emosi dan pemetaan metafora emosi yang menjadi objek penelitiannya sejalan dengan penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, model dan metode analisisnya bermanfaat dalam penelitian ini. Kelima, penelitian Nurismilida (2010) yang berjudul Metafora Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan pada pokoknya menelaah bentuk, fungsi, dan makna metafora dalam bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan Banjai, Kecamatan Medan Denai. Dalam penelitian ini, beberapa konsep semantik struktural digunakannya

secara eklektik untuk menganalisis masalah penelitian. Data penelitiannya bersumber dari bahasa lisan. Kajian Nurismilida memiliki perbedaan yang mendasar dengan penelitian yang dilakukan. Konsep metafora dalam penelitian Nurismilida tidak bertalian sama sekali dengan konsep metafora dalam penelitian ini. Penelitian Nurismilida bertolak dari metafora struktural atau metafora klasik, dan bukan dari metafora konseptual sebagaimana yang dianut dalam linguistik kognitif. Sekalipun demikian, uraiannya tentang metafora struktural bermanfaat untuk menjelaskan perkembangan metafora, khususnya pada fase klasik.