BAB I PENDAHULUAN. Pertama, kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupakan pusat

dokumen-dokumen yang mirip
PERENCANAAN KELUARGA DAN FERTILITAS SUKU BAJO DI ERA PERUBAHAN (STUDI KASUS: SUKU BAJO

BAB I PENDAHULUAN. Delapan tujuan Millenium Development Goals (MDG s) telah disepakati

I. PENDAHULUAN. seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan. Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. 2010) dan laju pertumbuhan penduduk antara tahun sebesar 1,49% yang

BAB I PENDAHULUAN. seperti Negara Indonesia akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian yang

I. PENDAHULUAN. tinggi. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk pada bulan Agustus 2010 jumlah

I. PENDAHULUAN. di Indonesia tersebut, pada hakekatnya digolongkan menjadi dua yaitu laju

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Statistika, 2012). Berdasarkan gambar 1.1 terjadi peningkatan jumlah penduduk

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010 mencatat jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari penyediaan fasilitas pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan

I. PENDAHULUAN. dengan jumlah penduduk sebanyak juta jiwa penduduk (BPS, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), jumlah penduduk Indonesia akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISA PENURUNAN TFR DAN BONUS DEMOGRAFI DI PROPINSI BENGKULU

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FERTILITAS PASANGAN USIA SUBUR PESERTA KB DI KELURAHAN AUR KUNING KECAMATAN AUR BIRUGO TIGO BALEH

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya laju pertumbuhan penduduk merupakan salah satu masalah yang

I. PENDAHULUAN. dari tiga perempat penduduk dunia bertempat tinggal di negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu masalah kependudukan yang dihadapi

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan hingga saat ini juga masih mengalami hambatan hambatan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FERTILITAS PASANGAN USIA SUBUR PESERTA KB DI KELURAHAN AUR KUNING KECAMATAN AUR BIRUGO TIGO BALEH BUKITTINGGI

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. telah disepakati dalam Dokument Millennium Declaration yang dituangkan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini adalah keluarga.

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan telah, sedang dan akan dilaksanakan untuk mengatasi masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar di negara ini. Diketahui, pada 2012, Angka Kematian Ibu (AKI)

BAB 1 PENDAHULUAN. Upaya menurunkan hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui Millenium

Tingkat pertumbuhan sekitar 1,48% per tahun dan tingkat kelahiran atau Total

BAB 1 : PENDAHULUAN. dengan angka fertilitas atau total fertility rate (TFR) 2,6. Indonesia masih berada

BAB I PENDAHULUAN. masalah kependudukan. Berbagai program pembangunan digulirkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. menggalakkan program keluarga berencana dengan menggunakan metode

BAB I PENDAHULUAN. Aspek kependudukan merupakan hal paling mendasar dalam. pembangunan. Dalam nilai universal, penduduk merupakan pelaku dan sasaran


FERTILITAS MASYARAKAT NELAYAN DI DESA BANJARKEMUNING KABUPATEN SIDOARJO. Singgih Susilo 1.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Analisis Proyeksi Penduduk Jambi Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. (bkkbn.go.id 20 Agustus 2016 di akses jam WIB). besar pada jumlah penduduk dunia secara keseluruhan. Padahal, jumlah penduduk

Ambon, 20 Mei Drs. Djufry Assegaff Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Maluku. iii

BAB 1 PENDAHULUAN. 1970, kemudian dikukuhkan dan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun

BAB I PENDAHULUAN. berharga bagi setiap bangsa. Penduduk dengan demikian menjadi modal

I. PENDAHULUAN. tidak segera mendapatkan pemecahannya. Jumlah penduduk yang besar dapat. menimbulkan dampak terhadap kesejahteraan setiap keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. besar dan berkualitas serta dikelola dengan baik, akan menjadi aset yang besar dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TIGA PULUH DUA TAHUN PERJALANAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA NASIONAL DI PROPINSI BENGKULU (1972 SAMPAI DENGAN 2010)

BAB 1 PENDAHULUAN. dirasakan mengalami kemunduruan. Setelah program KB digalakkan pada tahun

hampir semua negara berkembang di dunia. Perubahan penduduk dipengaruhi oleh

Policy brieft FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UMUR KAWIN PERTAMA WANITA DI BALI

Policy Brief: Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan Anomali TFR dan CPR

POINTERS KEYNOTE SPEECH MENTERI KESEHATAN RI PADA RAPAT KERJA NASIONAL PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN DAN KB TAHUN 2013 Jakarta, 30 Januari 2013

GAMBARAN KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN REPRODUKSI DI PROPINSI BENGKULU TAHUN 2007 (SURVEI DEMOGRAFI KESEHATAN INDONESIA 2007)

LATIHAN ANALISIS KEPENDUDUKAN

ANALISA DAMPAK PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI TERHADAP TOTAL ANGKA KELAHIRAN DI PROVINSI MALUKU

ABSTRACT PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN USIA KAWIN PERTAMA PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI TERHADAP JUMLAH ANAK

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Hasil penelitian UN-

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk

menikah di usia muda di Indonesia dengan usia tahun pada tahun 2010 lebih dari wanita muda berusia tahun di Indonesia sudah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakikatnya adalah upaya mewujudkan tujuan nasional

BAB I PENDAHULUAN. penduduk harus menjadi subjek sekaligus objek pembangunan. Kualitas

I. PENDAHULUAN. oleh masalah kependudukan dengan segala tata kaitan persoalan, karena

BAB I PENDAHULUAN. Kependudukan merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia,

BAB 1 PENDAHULUAN. kualitas pelayanan kesehatan. Kematian ibu masih merupakan masalah besar yang

BAB 1 PENDAHULUAN. berkesinambungan. Masalah reproduksi di Indonesia mempunyai dua dimensi,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak

BAB 1 PENDAHULUAN. setinggi-tingginya. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FERTILITAS DI KELURAHAN PEKAUMAN KECAMATAN BANJARMASIN SELATAN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BERWAWASAN KEPENDUDUKAN BAGI STAKEHOLDERS DAN MITRA KERJA DI PROVINSI BANTEN. Oleh. Riny Handayani

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 mencapai 231,4 juta

BAB I PENDAHULUAN. Negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah Cina,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang muda, dan arus urbanisasi ke kota-kota merupakan masalah-masalah pokok

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. jiwa. Menurut data Badan Pusat Statistik sosial didapatkan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. penduduk Indonesia sebanyak jiwa dan diproyeksikan bahwa jumlah ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap keluarga umumnya mendambakan anak, karena anak adalah harapan

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia setelah Republik Rakyat China, India, Amerika Serikat dan kemudian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 229 juta jiwa. Dimana terjadi peningkatan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam perencanaan pembangunan, data mengenai kependudukan memegang peranan

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas di perdesaan (Studi pada Desa Pelayangan Kecamatan Muara Tembesi Kabupaten Batanghari)

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Kota Bandar

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya pubertas, yaitu seseorang yang dulunya masih anak-anak menjadi mampu

BAB I PENDAHULUAN. bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan. terbentuknya keluarga kecil yang berkualitas (BkkbN, 2013)

BAB I PENDAHULUAN. kualitas penduduk dan pengarahan mobilitas penduduk kedepan. Berdasarkan hasil

1. Tren Nasional: Peningkatan Jumlah Penduduk Disertai LPP yang Menurun

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN PENGGUNAAN KONTRASEPSI DENGAN JUMLAH ANAK YANG DILAHIRKAN WANITA PUS. (Jurnal) Oleh AYU FITRI

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi kearah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Fertilitas. Andri Wijanarko,SE,ME.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk merupakan perubahan populasi sewaktu-waktu, dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 1982 dikatakan bahwa salah

BAB I PENDAHULUAN. Program Keluarga Berencana (KB) yang dimulai tahun 1970 telah

BAB I PENDAHULUAN. besar jiwa pada tahun 2010, laju pertumbuhan tinggi yaitu sebesar

BAB 1 PENDAHULUAN. (1969) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu di antara sejumlah daftar negaranegara

BAB I PENDAHULUAN. mengajarkan kepada orang bagaimana memanfaatkan pandangan yang begitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penurunan fertilitas (kelahiran) di Indonesia selama dua dekade

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling besar jumlah

5. FERTILITAS (KELAHIRAN)

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penduduk merupakan faktor yang strategis dalam pembangunan. Beberapa alasan yang melandasi pemikiran bahwa kependudukan merupakan faktor yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, antara lain adalah: Pertama, kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupakan pusat dari seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam RPJM/P dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya, pembangunan juga har us dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut sebagai beban bagi pembangunan. Ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang, sering kali peranan penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Dengan demikian, tidak 1

2 diindahkannya dimensi kependudukan dalam rangka pembangunan nasional sama artinya dengan menyengsarakan generasi berikutnya (Tjiptoherijanto, 1997). Pertumbuhan penduduk di suatu negara pada hakekatnya didasarkan oleh tiga elemen utama yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi (Mantra, 2000). Tingkat fertilitas memberikan pengaruh positif terhadap laju pertumbuhan penduduk. Sedangkan tingkat mortalitas memberikan pengaruh negatif atau faktor pengurang terhadap laju pertumbuhan penduduk. Tetapi untuk tingkat migrasi, pengaruhnya bisa positif maupun negatif tergantung pada besarnya jumlah penduduk yang masuk dan keluar suatu daerah. Terdapat beberapa ukuran tingkat kelahiran yang bisa digunakan, diantaranya: angka kelahiran kasar/crude Birth Rate (CBR), angka fertilitas umum/general Fertility Rate (GFR), angka kelahiran menurut umur/age Spesific Fertility Rate (ASFR), angka kelahiran total/total Fertility Rate (TFR), dan lain sebagainya. Dari beberapa ukuran tersebut, TFR merupakan ukuran yang paling sering dipakai untuk menggambarkan tingkat kelahiran di suatu wilayah karena TFR merefleksikan banyaknya kelahiran dari seorang wanita hingga akhir masa reproduksinya. Atau dengan kata lain TFR merupakan gambaran tingkat fertilitas suatu daerah/wilayah. Tingkat fertilitas merupakan produk dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor sosial budaya, ekonomi, maupun nilai tentang anak merupakan faktor yang penting dan berperan dalam mempengaruhi tingkat fertilitas. Beberapa teori menerangkan, pengaruh faktor-faktor terhadap fertilitas cukup banyak, seperti: teori ekonomi mikro, pengambilan keputusan rumahtangga

3 tentang pemilihan akan pemilikan anak oleh Becker (1995), teori supply dan demand anak (integrasi teori ekonomi dan sosiologi) serta biaya regulasi fertilitas. Richard (1983) dalam United Nation (2001) mengatakan bahwa tingkat fertilitas merupakan bagian dari sistem yang sangat kompleks dalam bidang sosial, biologi, dan interaksinya dengan faktor lingkungan. Dalam penentuan tinggi rendahnya tingkat fertilitas seseorang, keputusan diambil oleh isteri atau suami-isteri atau secara luas oleh keluarga. Penentuan keputusan ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang dan lingkungan, misalnya pendidikan, pendapatan, pekerjaan, norma keluarga besar, umur perkawinan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan fertilitas antar masyarakat maupun antar waktu dari suatu masyarakat baru dapat diketahui atau dipahami apabila telah memahami beragam faktor yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan fertilitas (Mantra, 2000). Jika merunut pada perjalanan sejarah kependudukan Indonesia, penurunan Total Fertility Rate (TFR) nasional antara tahun sensus ke tahun sensus berikutnya merupakan keberhasilan kebijaksanaan program Gerakan Keluarga Berencana Nasional (GKBN) yang telah di mulai sejak tahun 1967. Hal itu terlihat, dari hasil SP 1971 TFR Nasional adalah 5,61 kemudian SP 1980 menjadi 4,68 dan terus mengalami penurunan menjadi 2,26 pada SUPAS 2005, (Katalog BPS, 2005). Berkaitan dengan hal tersebut, jika mengacu pada target MDGs 2015 yang terdiri dari; 1), memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim, 2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, 3) mendorong kesetaraan gender dan

4 pemberdayaan perempuan, 4) menurunkan angka kematian anak, 5) meningkatkan kesehatan ibu hamil, 6) memerangi HIV/AIDs, malaria, dan penyakit lainnya, 7) memastikan kelestarian lingkungan, 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Dari delapan target tersebut, secara langsung program KB tidak termuat di dalamnya. Sementara telah diketahui bahwa program KB sudah terbukti mampu menekan pertumbuhan penduduk dan penurunan angka Total Fertility Rate (TFR) nasional. Seiring dengan perjalanan waktu dengan perubahan struktur pemerintahan ke otonomi daerah, segala kewenangan di limpahkan ke daerah. Harapan pemerintah pusat adalah dengan pelimpahan kewenangan tersebut pemerintah daerah dapat melanjutkan program yang ada dengan konsistensi pada penurunan TFR. Namun harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, pemerintah daerah justru terkosentrasi pada pertumbuhan ekonomi semata sementara pembangunan kependudukan seakan terlupakan. Kondisi ini bukan hanya terjadi di satu daerah namun hampir di setiap daerah. Hal ini dapat terlihat TFR Indonesia mengalami peningkatan dari 2,26 pada SUPAS 2005 menjadi 2,6 pada SDKI 2007 namun pada SP 2010 TFR Indonesia stagnan pada angka 2,6 (BPS, 2010). Sementara itu pertumbuhan penduduk 1,49% pada tahun 2010 pertahun. Jika memperhatikan penurunan yang di capai sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa perlu ada evaluasi kebijakan yang terkait dengan penurunan TFR. Kondisi peningkatan Total Fertility Rate (TFR) juga terjadi di Propinsi Sulawesi tenggara. Dari hasil SP 2000 Total Fertility Rate (TFR) Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 3,31 menjadi 3,24 pada SP 2010. Jumlah penduduk

5 Sulawesi tenggara pada SP 2010 adalah 2.232.586 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 2,09% pertahun (BPS Sulawesi Tenggara, 2010). Jika di bandingkan dengan TFR nasional maupun tingkat pertumbuhan nasional Provinsi Sulawesi Tenggara masih jauh di atas kondisi TFR nasional. Tentunya hal ini tidak terlepas dari input dari tingkat fertilitas penduduk di wilayah Sulawesi Tenggara yang tersebar pada 13 kabupaten/kota. Kabupaten Wakatobi adalah salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki jumlah penduduk sebesar 87.793 jiwa pada SP 2000 menjadi 10.3422 pada SP 2010, dengan laju pertumbuhan 1,92% pertahun pada SP 2010. Sementara TFR kabupaten Wakatobi pada SP 2010 adalah 3,1 dan ratarata ALH kabupaten Wakatobi 3,098 (BPS Kab. Wakatobi 2010). Data ini jika di banding dengan TFR nasional pun masih jauh melampaui. Kondisi ini tidak terlepas dari produk faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas penduduk setempat dengan latar belakang suku, budaya, agama, termasuk faktor demografi yang lain. Tabel 1.1 Profil Demografi Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara dan Indonesia Tahun 2000-2010 Tahun 2000 Tahun 2010 No. Profil Demografi Wktb Sultra Ind. Wktb Sultra Ind. 1. Jml. Penduduk 87.793 1.776.292 206.264.595 103.422 2.232.586 237.641.326 2. Pert. Penduduk * 3,15% 1,49% 1,92% 2,09% 1,49% 3. Komposisi Umur : 0-14 * 669.335 61.250.199 30.230 782.541 68.603.263 15-64 * 1.056.078 112.220.068 64.513 1.365.772 157.053.112 65+ * 50.879 9.130.795 8.679 84.273 11.984.951 4. TFR * 3,31 2,34 3,10 3,24 2,605 5. Rata-rata ALH * 3,305 2,341 3,098 3,244 2,61 Sumber : diolah dari BPS * Wakatobi belum pemekaran jadi kabupaten

6 Salah satu suku bangsa yang terdapat di Kabupaten Wakatobi adalah suku Bajo dimana suku bangsa ini mendiami wilayah pesisir Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Suku Bajo biasa juga disebut suku Sama atau Bajau yaitu pelaut tangguh. Laut adalah hidupnya. Pada umumnya mereka memilih hidup atau bermukim di lautan baik secara nomaden maupun menetap dengan membangun rumah-rumah tiang di atas lautan yang terpisah dari daratan. Menurut Mahmud (1980) suku Bajo diidentikkan dengan suku pelaut yang memiliki banyak anak. Sebahagian besar suku Bajo mempertahankan hidupnya dengan menjadi nelayan. Sehingga untuk mendapatkan kebutuhan pangan dari hasil pertanian, keluarga Bajo menukarkan hasil tangkapan ikannya dengan masyarakat daratan di pasar-pasar. Namun sejalan dengan perkembangan sistem barter sudah jarang dilakukan, mereka memilih menjual hasil tangkapannya dalam bentuk uang. Sebagai masyarakat nelayan, suku Bajo menganggap anak laki-laki adalah tulang punggung keluarga dimana sejak kecil sudah digunakan tenaganya. Anak laki-laki ikut melaut dan mencari ikan bergelut dengan kerasnya ombak, sedangkan anak perempuan membantu ibunya di rumah. Suku Bajo di perkampungan Mola adalah suku Bajo yang berbeda dengan suku Bajo pada umumnya. Ada beberapa hal yang membedakan suku Bajo di perkampungan Mola dengan suku Bajo yang lain; pertama, dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi (otonomi), Wakatobi mengalami pemekaran menjadi kabupaten pada tahun 2002 yang menjadikan permukiman suku Bajo di perkampungan Mola ke dalam wilayah administratif ibu kota kabupaten Wakatobi. Tentunya hal ini sedikit memudahkan

7 mereka menjangkau fasilitas publik seperti, fasilitas pendidikan, kesehatan, perekonomian dan lain sebagainya yang diharapkan dapat meningkatkan status sosial, ekonomi, tingkat kesehatan, dan lain sebagainya. Kedua, Suku Bajo di perkampungan Mola merupakan suku Bajo yang sebagian besar sudah mendarat dan membaur dengan masyarakat yang ada di darat. Dengan demikian dari dua hal tersebut dapat diasumsikan bahwa dengan perubahan ke arah moderenisasi yaitu dengan peningkatan status sosial, ekonomi, dan keterbukaan dengan masyarakat di darat seyogyanya dapat merubah pola pikir mereka diantaranya adalah perencanaan keluarga dan fertilitas. Namun hal itu bertentangan dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Manan, sang presiden suku Bajo Indonesia yang menuturkan bahwa betapa sulitnya suku Bajo menghadapi kehidupan sosial dimana pendidikan belum dipandang sebagai prioritas hidup mereka. Juga menurut laporan COREMAP Kabupaten Wakatobi kondisi sanitasi masyarakat Bajo masih kurang baik. Sampah rumah tangga di buang ke laut. Akan tetapi pada saat air laut pasang sampah-sampah kembali hanyut ke lokasi pemukiman mereka, sehingga terkesan kotor. Sedangkan angka kematian bayi cukup tinggi yaitu rata-rata 12 kematian pertahun. COREMAP juga melaporkan bahwa angka kelahiran bayi masih tinggi yaitu rata-rata 10 kelahiran setiap bulan. Hal itu diduga banyak pasangan usia subur yang tidak ber-kb serta faktor-faktor lain yang belum diketahui (COREMAP Wakatobi, 2009). Berdasarkan hasil pengamatan, setiap keluarga suku Bajo di perkampungan Mola memiliki anak yang masih hidup rata-rata lebih dari 2 orang. Sementara dari

8 hasil observasi awal yang dilakukan peneliti yaitu dengan wawancara dengan beberapa tokoh suku Bajo, peneliti memperoleh data bahwa pada umumnya suku Bajo Mola menginginkan anak lebih dari 2 orang. Adapun alasan klasik yang mendasari mereka adalah sebagai berikut: (1) adanya pandangan dari mereka bahwa anak merupakan aset masa depan bagi orang tua terutama anak laki-laki, (2) adanya kekhawatiran akan adanya serangan wabah penyakit yang menimpa anak, sehingga jika satu atau dua yang meninggal masih ada anak yang lain (3) banyak anak banyak rezeki. Menurut Becker (1995) jika dilihat dari aspek permintaan bahwa harga anak lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan income. Disamping itu nilai anak dipandang aspek produksi. Berdasarkan aspek produksi, utilitas anak berbeda dengan aspek konsumsi. Karena utilitas anak lebih dilihat dari aspek kuantitas dan bukan kualitas. Artinya semakin memandang bahwa anak adalah merupakan modal maka permintaan akan anak akan meningkat. Dengan demikian jika permintaan akan anak tinggi diduga tingkat fertilitas dalam hal ini Total Fertility Rate (TFR) ikut meningkat. Tabel 1.2 Anak Lahir Hidup Perkecamatan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2010 No. Kecamatan Anak Lahir Hidup Jumlah penduduk usia 0-5 1. Wangi-wangi 503 2.623 2. Wangi-wangi Selatan 482 3.277 3. Kaledupa 151 592 4. Kaledupa Selatan 112 506 5. Tomia 156 773 6. Tomia Timur 162 942 7. Binongko 171 768 8. Togo Binongko 115 481 Jumlah 1.852 9. 962 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi, 2010

9 Data kuantitatif menunjukkan di kecamatan Wangi-Wangi Selatan jumlah anak Lahir Hidup (ALH) mencapai 482 dengan jumlah penduduk 24.534 jiwa. Sementara jumlah anak pada kelompok umur 0-5 menunjukkan 3.277 jiwa. Angka ini merupkan angka yang tertinggi jika di bandingkan dengan wilayah kecamatan lain. Data ini menunjukkan bahwa di kecamatan Wangi-Wangi Selatan (daerah penelitian) di duga memiliki tingkat fertilitas yang tinggi. Data lain yang menjadi acuan adalah adanya tren peningkatan Pasangan Usia Subur (PUS). Pasangan Usia Subur (PUS) di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi pada tahun 2007 menunjukkan 3.100, meningkat menjadi 4.241 pada tahun 2008, selanjutnya meningkat lagi menjadi 5.015 pada tahun 2010. Fenomena ini merupakan peningkatan yang paling tinggi jika di bandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Wakatobi. Tabel 1.3 Data Pasangan Usia Subur (PUS) Kabupaten Wakatobi Perkecamatan No. Nama Kecamatan Jumlah PUS Thn 2007 Thn 2008 Thn 2010 1. Wangi-Wangi 3.707 4.259 4.997 2. Wangi-Wangi Selatan 3.100 4.241 5.015 3. Kaledupa 1.436 1.498 1.938 4. Kaledupa Selatan 287 1.511 2.077 5. Tomia 1.740 1.463 1.298 6. Tomia Timur 665 1.802 1.781 7. Binongko 1.835 1.680 1.346 8. Togo Binongko - 1.207 912 Jumlah 12.770 17.661 19.364 Sumber : BKKBN Kabupaten Wakatobi Fertilitas merupakan produk dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Davis dan Blake dalam Mantra (2000) mengemukakan bahwa faktor sosial mempengaruhi fertilitas melalui variabel antara. Menurut Davis dan Blake faktor-faktor itu tidak berpengaruh secara langsung namun melalui 11 variabel antara. Sedangkan menurut Mantra (2000), faktor-faktor yang

10 mempengaruhi tinggi rendah fertilitas adalah faktor-faktor demografi dan faktor non demografi. Faktor demografi diantaranya, struktur umur, status perkawinan, paritas, dan proporsi yang kawin sedangkan faktor non demografi antara lain keadaan ekonomi, tingkat pendidikan, perbaikan status wanita, urbanisasi dan industrialisasi. Menagacu pada beberapa konsep di atas jika dihubungkan dengan data yang mendeskripsikan lokasi penelitian, maka penulis tertarik untuk meneliti faktorfaktor apa yang menentukan perencanaan keluarga suku Bajo dalam kaitannya dengan fertilitas dimana suku Bajo sudah mulai mendarat dan menjadi masyarakat perkotaan. Adapun judul dari penelitian ini adalah Perencanaan Keluarga dan Fertilitas Suku Bajo di Era Perubahan. Penelitian ini difokuskan pada masyarakat suku Bajo di perkampungan Mola, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas relatif banyak, maka pada penelitian ini dibatasi hanya pada ekonomi (status pekerjaan, penghasilan), status sosial (pendidikan) perencanaan keluarga (jumlah anak idel, preferensi anak), penggunaan KB, demografi (umur, umur kawin pertama) sosial budaya (upacara adat, nilai anak, mata pencaharian, religi dan kepercayaan-kepercayaan, pola perkawinan, sistem pengetahuan, dan sistem kekerabatan). 1.2. Rumusan Masalah Adanya peningkatan Total Fertility Rate (TFR) nasional sudah barang tentu merupakan fenomena kependudukan yang menarik untuk di kaji. Pada SP 2000 TFR nasional menunjukkan 2,34 menurun pada SUPAS 2005 menjadi 2,26

11 kemudian meningkat pada SDKI 2007 menjadi 2,6 dan stagnan pada SP 2010 pada angka 2,6. Yang menarik di sini adalah pada tahun 1997 kondisi perekonomian nasional yang tidak stabil (krisis) angka TFR nasional justru mengalami penurunan yaitu 2,8 pada SUPAS 1995 menjadi 2,34 pada SP 2000. Kondisi tersebut ternyata juga di alami oleh Propinsi Sulawesi Tenggara. Data SP 2000 TFR Sulawesi Tenggara adalah 3,31 turun menjadi 3,16 pada SUPAS 2005 namun meningkat menjadi 3,24 pada SP 2010. Sementara itu TFR kabupaten Wakatobi masih jauh melampaui TFR nasional yaitu 3,2. Hal ini menunjukkan perlu ada evaluasi terutama program-program yang terkait dengan penurunan tingkat fertilitas baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Disamping itu dari data yang ada, terlihat bahwa ada ketimpangan antara angka TFR nasional dengan TFR daerah penelitian. Dari analisa sederhana peneliti ingin menyatakan bahwa keberhasilan program nasional yang menurunkan angka TFR nasional tidak diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tenggara terutama Kabupaten Wakatobi yang mana penduduknya terdapat suku Bajo. Tingginya angka fertilitas bukan hanya disebabkan tingkat pendidikan yang rendah saja ataupun tingkat perekonomian yang rendah, hal yang sebaliknya bisa saja terjadi di daerah yang mempunyai tingkat perekonomian yang tinggi. Dengan adanya pembangunan dan perkembangan pembatasan keluarga, maka kemungkinan terjadi fertilitas pada beragam kondisi sosial-ekonomi, budaya dan demografi maupun geografi. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah aspek-aspek apa sajakah yang menentukan fertilitas dikalangan suku

12 Bajo di Perkampunagn Mola. Selanjutnya, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pandangan pasangan suami-istri terhadap perencanaan keluarga (jumlah anak ideal yang diinginkan, preferensi anak) 2. Bagaimana keterkaitan antara kondisi sosial (pendidikan), ekonomi (status pekerjaan, penghasilan) demografi (umur, umur kawin pertama) dan sosial budaya (upacara adat, nilai anak, mata pencaharian, pola perkawinan, religi dan kepercayaan-kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem kekerabatan) dengan perencanaan keluarga (jumlah anak ideal, preferensi anak) suku Bajo? 3. Bagaimana kondisi-kondisi di atas (pertanyaan 1 dan 2) terwujud dalam penggunaan alat kontrasepsi KB dan fertilitas (anak lahir hidup) suku Bajo? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pandangan suami-istri terhadap perencanaan keluarga (jumlah anak ideal yang diinginkan, preferensi anak) 2. Untuk mengidentifikasi kondisi sosial (pendidikan), ekonomi (status pekerjaan, penghasilan), demografi (umur, umur kawin pertama) dan sosial budaya (upacara adat, nilai anak, mata pencaharian, pola perkawinan, religi dan kepercayaan-kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem kekerabatan) dan kaitannya dengan perencanaan keluarga. 3. Untuk menganalisis penggunaan kontrasepsi KB dan fertilitas (anak lahir hidup) suku Bajo.

13 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada semua pihak, baik pada tataran akademisi maupun tataran praktisi. Adapun manfaat yang dimaksud adalah: 1. Memberikan informasi pengetahuan tentang perencanaan keluarga dan fertilitas yang berlaku pada suku Bajo di perkampungan Mola 2. Sebagai rekomendasi dalam rangka perumusan kebijakan pemerintah daerah setempat dalam upaya menurunkan tingkat fertilitas dan meningkatkan keberhasilan keluarga berencana. 3. Memberikan masukan bagi kegiatan penelitian sejenis di masa yang akan datang. 1.5 Keaslian Penelitian Keaslian penelitian dalam tesis ini disajikan dengan membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang menurut penilis memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan. Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang perencanaan keluarga dan fertilitas suku Bajo yang mengulas tentang faktor-faktor yang menentukan fertilitas suku Bajo disaat suku Bajo telah mendarat dan menjadi bagian dari masyarakat kota (di era perubahan) belum pernah dilakukan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel 1.4 berikut.

14 Tabel 1.4 Penelitian Terdahulu Terkait Dengan Penelitian Yang Akan Dilakukan Judul, Nama No. Peneliti,Tahun 1 Fertilitas dan Praktek KB Suku Batak Toba Di Perkotaan dan Pedesaan Sumatera Utara (Laurentina Pangarimbuan, 1991) Tujuan Penelitian 1) untuk mengetahui ALH suku Batak Toba yang tinggal di perkotaan dan pedesaan, 2) untuk mengetahui jumlah anak yang diinginkan, 3) untuk mengetahui tingkat pemakaian kontrasepsi, 4) untuk mengetahui pengaruh faktor demografi dan sosial ekonomi terhadap fertilitas Metode dan Teknik Analisis Pengumpulan data dilakukan dengan survey dan wawancara. Analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif regresi linear. Hasil Penelitian (1) rata-rata ALH di perkotaan lebih rendah (3,4 anak) sedangkan di pedesaan lebih tinggi yaitu (4,7 anak), (2) rata anak yang diinginkan pada umur (15-34 tahun) di pedesaan lebih tinggi yaitu 4,7 sedangkan perkotaan lebih rendah yaitu 3,7 anak. Sementara anak yang diinginkan pada umur (35-49 tahun) lebih tinggi di daerah pedesaan yaitu 5,9 anak sedangkan di daerah perkotaan lebih rendah yaitu 4,9 anak, (3) tingkat pemakaian alat kontrasepsi lebih tinggi di daerah perkotaan sedangkan di pedesaan lebih rendah, (4) variasi umur kawin pertama merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap ALH. Variabel AMH merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah anak yang diinginkan. Usia kawin pertama, AMH, pendidikan dan status ekonomi istri tidak selalu mempengaruhi tingkat pemakaian alat kontrasepsi. 2 Pengaruh Faktor Non Contraceptive Terhadap Peningkatan Fertilitas (Studi Kasus di Propinsi Nusa Tenggara Barat), (Wahyu Hidayat Yusuf, 2011). Untuk mengetahui dan menguji hubungan antara variabel-variabel penentu fertilitas di luar variabel pemakaian alat kontrasepsi Menggunakan data sekunder yaitu data SDKI 2007. Analisis yang dilakukan adalah kuantitatif regresi linear. 1) tidak ditemukan efek mediasi pada variabel jumlah anak ideal dan preferensi anak. Hanya sebagian variabel sosio demografi dan ekonomi yang berpengaruh karena faktor intermediate ditentukan bukan hanya dari jumlah anak ideal dan preferensi anak, tetapi ada faktor lain seperti penggunaan kontrasepsi, proporsi wanita yang belum kawin, dan angka aborsi.

15 Lanjutan Tabel Judul, Nama No. Peneliti,Tahun 3 Perilaku Fertilitas Penduduk Pedesaan Dalam Menuju Norma Keluarga Kecil (Studi Kasus Di Kelurahan Margodadi, Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman), (Sujalai, 1985). 4 Penelitian Penulis: Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan (Studi Kasus: Suku Bajo di Perkampungan Mola Kec. Wangi-wangi Selatan, Kab. Wakatobi), (Subardjan, 2013). Tujuan Penelitian 1) untuk mengetahui pengaruh tingkat sosial ekonomi terhadap fertilitas, 2) untuk mengetahui peran dan keuntungan dari anak terhadap jumlah anak yang diinginkan, 3) untuk mengetahui pengaruh dari pekerjaan istri terhadap jumlah anak yang diinginkan. 1) Untu mengetahui pandangan suamiistri terhadap perencanaan keluarga, 2) untuk mengidentifikasi kondisi sosial, ekonomi, demografi dan sosial budaya dan kaitannya dengan perencanaan keluarga, 3) untuk menganalisis penggunaan alat kontrasepsi KB dan fertilitas. Metode dan Teknik Analisis Menggunakan data primer dengan survey dan wawancara mendalam. Analisis dilakukan dengan kuantitatif crosstab dan korelasi. Menggunakan metode gabungan (mix metode) yaitu survey dan wawancara mendalam dan parsipatory. Analisis yang digunakan adalah crosstab dan analisis kualitatif Miller dan Hubermen. Hasil Penelitian 1) Tingkat sosial ekonomi berkorelasi negative dengan ALH. Dengan peningkatan sosial ekonomi keluarga cenderung memperkecil jumlah anak, 2) anak dalam keluarga bukan sebagai faktor produksi utama(tenaga kerja) atau anak tidak berperan ekonomi. Sehingga keluarga tidak menghendekai untuk memiliki jumlah anak yang banyak, 3) Pekerjaan istri berpengaruh terhadap fertilitas. Deskripsi daerah penelitian; pandangan suami istri terkait perencanaan keluarga di era perubahan (mendarat dan menjadi bagian dari orang kota); kondisi sosial, ekonomi, demografi serta budaya dalam kaitannya dengan perencanaan keluarga; pemakaian alat kontasepsi dan tingkat fertilitas.