RANGKUMAN. Bab 7. Rangkuman

dokumen-dokumen yang mirip
T O P E N G. Buku Pelajaran. Untuk SMA Kelas 1. PENULIS Endo Suanda. KONTRIBUTOR: I Wayan Dibia Halilintar Lathief FX. Widaryanto

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB V PEMBAHASAN. Pada bab V ini akan disajikan pembahasan pada produk final hasil

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Tari TonTonan Buku Pelajaran Kesenan nusantara Untuk Kelas Viii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mata pencaharian dengan hormat dan jujur. Dalam versi yang lain seni disebut. mempunyai unsur transendental atau spiritual.

54. Mata Pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunarungu (SDLB B) A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pikiran, pendapat, imajinasi, dan berhubungan dengan manusia lainnya.

KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA DAN PRAKARYA SEKOLAH DASAR KELAS I - VI

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip pendidikan seni dan budaya meliputi pengembangan dimensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

Bab 1. Hampir bisa dipastikan, kebanyakan dari Anda pernah melihat topeng. Pendahuluan

53. Mata Pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunanetra (SDLB A)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

C. Macam-Macam Metode Pembelajaran

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) Mata Pelajaran Seni Musik Sumber: KTSP 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembelajaran bahasa Indonesia pada dasarnya merupakan upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Musik merupakan salah satu cabang seni yang mempunyai fungsi melatih

56. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

55. Mata Pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB D) A. Latar Belakang

2015 TARI MAKALANGAN DI SANGGAR SAKATA ANTAPANI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia menjadi penghela ilmu pengetahuan (carrier of knowledge).

SILABUS. Kegiatan Pembelajaran Teknik

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan beraneka ragam seni dan budaya, hampir setiap suku

59. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunarungu (SMPLB B)

76. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)

SILABUS PEMBELAJARAN

78. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( R P P )

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA. A. Implementasi Teoritis

SILABUS PEMBELAJARAN

79. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunadaksa (SMALB D)

Kompetensi Materi Kegiatan. Dasar Pembelajaran Pembelajaran Teknik Bentuk Contoh Instrumen Waktu Belajar. Indikator SILABUS. Penilaian Alokasi Sumber

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya belajar berbahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Prakata. iii. Bandung, September Penulis

77. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunanetra (SMALB A)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

ILUSTRASI PENARI PADA DESIGN CLOTHING HANDMAD BALI. Oleh Nama: Dewa Nyoman Bayu Pramana

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan lemahnya kreativitas siswa dalam proses pembelajaran Seni Tari

KURIKULUM 2004 STANDAR KOMPETENSI. Mata Pelajaran

80. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari bahwasanya di. mengelola pembelajaran baik dalam menguasai

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN. Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni

Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

12. Mata Pelajaran Seni Budaya A. Latar Belakang Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut,


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Widdy Kusdinasary, 2013

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian wacana politik videografis tentang reklamasi Teluk Benoa ini

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran(RPP)

SILABUS PEMBELAJARAN. Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif. Kegiatan Pembelajaran. Sumber Belajar 1.1 Mengidentifikasi

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP No. 1.1) : SMP Negeri 2 Gerokgak

pergelaran wayang golek. Dalam setiap pergelaran wayang golek, Gending Karatagan berfungsi sebagai tanda dimulainya pergelaran.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rachmayanti Gustiani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

MODEL SILABUS MATA PELAJARAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTs) MATA PELAJARAN SENI BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. Nur Syarifah, 2013

56. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

Jurnal Pedagogika dan Dinamika Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Azzela Mega Saputri, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Riqoh Fariqoh, 2013

61. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E)

I. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran, teknik pembelajaran, taktik pembelajaran, dan model pembelajaran.

BAB III METODE PENELITIAN

48. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA SMA/MA/SMK/MAK

58. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunanetra (SMPLB-A)

60. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunadaksa (SMPLB D)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

PEMBELAJARAN SENI TARI MELALUI BASIC LEARNING DI SMP NEGERI 17 SURABAYA. Oleh: VINA NUR INDAH SARI NIM:

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. kepenerima pesan (2006:6). Dalam Accociation for education and communication

Munandar dalam Satriani (2011, hlm. 2) bahwa Kreativitas merupakan

SILABUS PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan seni budaya Indonesia merupakan warisan berharga bagi

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan materi agar pembelajaran berlangsung menyenangkan. Pada saat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB I PENDAHULUAN. SD Kristen Paulus Bandung merupakan lembaga pendidikan tingkat dasar

Transkripsi:

179 Bab 7 Rangkuman S etelah membaca buku Topeng ini, mungkin Anda akan bertanya: Apa sasaran buku ini? Tidak ada bab yang menguraikan secara menyeluruh tentang topeng Nusantara. Jika misalnya Anda ingin mendapatkan informasi lengkap tentang topeng Klana di Malang, jawabannya tidak terdapat dalam buku ini. Apalagi jika Anda membutuhkan petunjuk bagaimana cara membuat atau menarikan topeng, jelas tidak dapat dicari di sini. Buku yang cukup tebal ini pun hanya mengulas sedikit tentang topeng Nusantara, dan memang tujuannya bukan untuk mendeskripsikan setiap tradisi topeng secara terperinci. Jika semua materi tentang tradisi topeng Nusantara dibahas, akan menjadikan buku yang sangat tebal dan beberapa jilid, perlu waktu lama menulisnya, perlu lama pula mempelajarinya dan akhirnya para guru dan siswa pun tidak akan memiliki cukup waktu untuk mempergunakannya sebagai buku teks. Karena itulah, buku ini hanya menyampaikan permasalahan dasar mengenai topeng, dari berbagai wilayah dan dari berbagai sisi pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut mungkin terasa mengejutkan, aneh, atau sulit dipahami. Memang, buku topeng dalam kerangka seperti ini belum ada standar atau modelnya. Tujuannya adalah memberikan koridor-koridor pengamatan untuk tiga tingkatan pemahaman (konseptual): pertama mengenai topeng itu sendiri, kedua mengenai kesenian, dan ketiga mengenai kebudayaan. Jadi, walau fokus utamanya topeng, yang dibicarakan termasuk berbagai isu kesenian dan kebudayaan. Diskusi mengenai topeng, diharap dapat menjadi

180 TOPENG gerbang masuk untuk memahami kesenian atau kebudayaan pada umumnya yang sangat kompleks. Karena itu, buku ini diharapkan dapat menarik minat masyarakat pendidikan kesenian, walaupun di wilayah budaya sekitarnya tidak memiliki tradisi topeng. Namun demikian, meskipun buku ini lebih banyak mengetengahkan konsep daripada deskripsi teknis, semua fenomena yang ditampilkan adalah nyata, dan telah ada. Banyaknya foto-foto yang disampaikan dalam buku, dan demikian pula klip-klip video pendampingnya, adalah yang membuktikannya. Hal ini adalah yang menjadi prinsip dasar pendidikan Seni Nusantara LPSN, yakni untuk membicarakan fenomena, dan bukan untuk memberikan suatu ajaran bagaimana seharusnya membuat kesenian. Adapun jika buku seperti ini juga dapat menumbuhkan minat atau inspirasi dalam kegiatan berkesenian, itu merupakan perolehan ekstra dan itu bukan hal yang mustahil, dengan melihat banyak gambar topeng yang sangat beragam baik dari bentuk, gaya, dan mediumnya, semangat dan gagasan kreatif pun dapat tumbuh. 7.1. Sasaran Jika di atas dikatakan bahwa pedekatan metodologis buku ini eksperimental, karena belum ada, ini tidak berarti pemikiran teoretisnya benar-benar baru. Pendekatan-pendekatan antropologi (seni pertunjukan), misalnya, besar sekali pengaruhnya, terutama yang berhubungan dengan analisis konteks. Yang lebih penting untuk disampaikan adalah bahwa teori apa pun yang diambil, dalam buku ini bukan diarahkan untuk memberi jawaban yang tunggal, melainkan ditempatkan sebagai lensa-lensa untuk dapat memandang suatu kasus atau fenomena. 7.1.1 Kaca Pandang Lensa-lensa ini membantu menumbuhkan, memperjelas atau mempertajam pertanyaan, memahami konsep atau cara pandang (atau rumusnya dalam ilmu pasti), kami anggap lebih penting daripada menghafal datanya. Pertanyaan Apakah ondel-ondel itu termasuk topeng? Mengapa? Alasan dari mengapa lebih penting daripada mendapat jawaban ya atau bukan. Alasan yang diharapkan itu berkaitan dengan konsep-konsep atau lensa-lensa yang dapat melihat onde-londel sebagai topeng, boneka, atau patung, dalam hubungannya dengan alasan terhadap barong landung, sisingaan, dan gundala-gundala, seperti yang didiskusikan dalam Bab 1. Dengan demikian, kebenaran jawaban pun bisa dinamis, tergantung dari perkembangan persepsi atu pengetahuan kita. Jika yang dicari adalah

181 kebenaran penalaran (logika), yaitu cocoknya penalaran dengan realita, maka ketika penalaran berubah, kebenaran pun berubah pula. Karena itu, target pemahaman buku ini pun kontekstual, tergantung penggunanya. Pendalaman pengetahuan, tingkatan minat atau semangat berpikir, akan ditentukan oleh masing-masing pengguna buku ini. Mungkin ada yang dapat menyerap isinya hanya 60%, atau kurang, atau bahkan bisa melebihi 100% (dengan mengembangkan sendiri). Jika umpamanya tercapai 75%, kami pikir sudah cukup baik untuk tahap pertama ini (sistem pendidikan di mana pun mestinya memiliki target minimal, atau rata-rata). Pelajaran seperti buku ini, yang lebih merangsang bertanya, atau memperjelas pertanyaan, daripada memberikan jawaban-jawaban. Lahirnya pertanyaan-pertanyaan yang baik (dengan kejelasan alasan mengapa lahirnya pertanyaan tersebut), lebih penting daripada jawaban tanpa berpikir. Lahirnya banyak pertanyaan, berarti juga meningkatnya minat, keingintahuan, dan kepekaan peserta didik. Kaca-pandang atau lensa-lensa tersebut di atas untuk mempertajam daya lihat terhadap budaya topeng, untuk menumbuhkan minat tersebut. Jika setelah membaca buku ini, Anda tertarik pada budaya topeng tertentu, yang baru sedikit atau bahkan belum sama sekali disinggung di sini, berarti suatu keberhasilan.

182 TOPENG 7.1.2 Kepekaan dan Minat Apresiasi yang kami harapkan, tentu saja, tidak terbatas pada yang disampaikan dalam buku. Jika dari pelajaran buku ini kemudian para siswa terdorong untuk mengadakan penelusuran lebih dalam tentang budaya topeng tertentu, di dalam ataupun di luar budaya setempat, menemui seniman-seniman, menonton pertunjukan, turut menari atau membuat topeng sendiri, itu justru yang sangat diharapkan. Demikian pula, jika di lingkungan tempat Anda tinggal terdapat tradisi topeng, mempelajari buku ini akan lebih menarik, karena isinya relevan, dan bisa secara langsung mengamati kasusnya. Namun jika tradisi topeng tidak dijumpai, Anda bisa pula mencari kesenian lain yang berhubungan dengan aspek yang dibicarakan dalam buku ini, seperti patung, rias, kostum, atau teater. Cobalah kaji, apakah pandangan yang disampaikan dalam buku ini cocok atau tidak dengan fenomena yang ada. Jika cocok, syukurlah. Jika tidak, bukan fenomenanya yang salah, melainkan yang dikatakan dalam buku ini, atau cara Anda menginterpretasikannya yang keliru. Sebaliknya, jika di lingkungan Anda terdapat tradisi topeng, namun tidak dibahas dalam buku ini, itu tidak berarti penulis mengesampingkannya. Keterbatasan pengetahuan dan sumber pustaka merupakan kendala utama untuk menyajikan semua tradisi topeng Nusantara. Karena itu, penulis berharap untuk mendapatkan berbagai referensi dan informasinya dari para siswa, guru, dan pemerhati kesenian, untuk kemudian menjadi bahan pelajaran juga di wilayah-wilayah lain. Dengan cara itu pula maka bahan ajar kesenian kita akan tumbuh makin luas, makin lengkap. 7.2. Sari Materi Walaupun di atas dikatakan bahawa dalam buku ini utamanya memberikan gagasan-gagasan konseptual, melalui kaca pandang tersebut, dari sisi materi topengnya pun sangat banyak. Berikut ini, kita akan coba menyarikan butirbutir utamanya. Namun demikian, setiap pengguna buku dapat membuat inti sarinya berdasarkan pemahaman masing-masing, atau berdasar pada hal tertentu yang dianggap paling menarik. Jadi, seandainya saja, para siswa diharuskan membuat rangkuman buku, sebaiknya tidak menyingkatnya bab demi bab, melainkan bermulalah dari gagasan yang paling menarik itu. Rangkuman berikut pun lebih berupa epilog daripada ikhtisar, karena hanya menguraikan gagasan intinya karena itu, tidak akan berdasar pada urutan bab-babnya, seperti biasanya sebuah rangkuman.

183 7.2.1. Bentuk, Karakter dan Bahan Bab 3 dan 4 membicarakan berbagai bentuk karakter dan bahan topeng. Akan tetapi, dari gambar-gambarnya, keragaman topeng terdapat dalam hampir seluruh bab buku ini. Berbagai ilustrasi itu berfungsi sebagai penegas topik-topik yang dibicarakan. Selain itu, ilustrasi itu pun gambaran, yakni informasi visual, yang sangat sulit disampaikan dengan kata-kata. Bahasa gambar berbeda dengan bahasa kata. Ekspresi gambar akan terbaca lebih personal, karena tidak verbal, tergantung pada daya tangkap masing-masing. Bahasa gambar mungkin bisa saja lebih melekat pada ingatan. Selain dengan gambar-gambar, buku ini diperkaya oleh klip-klip video yang menyertai pembelajaran. Fungsinya adalah untuk mempermudah penjelasan isi buku, yang tidak mungkin hanya dijelaskan dengan kalimat. Jika gambar memperlihatkan bentuk visual yang diam, video memperlihatkan gerak dan suaranya. Bagi Anda yang tinggal jauh dari wilayah masyarakat Dayak di Kalimantan, yang tidak memiliki akses untuk melihat pertunjukannya secara langsung, video ini akan sangat membantu. Dengan itu, kita dapat menyaksikan bagaimana ekspresinya, gerakan tariannya, suara musik iringannya, arena pertunjukannya, sambutan penontonnya, dan sebagainya. Jika itu diuraikan dengan kata-kata, akan membutuhkan puluhan halaman, waktu yang lama untuk menulis dan membacanya dengan tetap juga tidak terlihat. Klip-klip video ini diharap dapat memperjelas, mempermudah, dan mempercepat proses belajar, dengan tampilan yang menyenangkan, yang dapat lebih tertanam dalam ingatan. Jangan lupa, yang ditonton dan didengar pun adalah pengetahuan berharga, yang tidak kalah pentingnya daripada yang dibaca. Bab 3 memberikan beberapa macam pendekatan atau lensa-lensa untuk melihat keragaman topeng, terutama dari bentuk, ornamen, dan karakter ungkapannya, yang juga berkaitan dengan kekhasan gaya (style) dari budaya tertentu. Dari situ, kita dapat melihat bahwa yang berbeda bukan hanya bentuk-bentuknya, melainkan juga idiom atau bahasa ungkap yang berbeda dari suatu tradisi dengan yang lainnya. Untuk tujuan itulah, maka ditampilkan suatu tema (misalnya orang tua, burung ) dari berbagai tradisi agar kekayaan idiom tersebut bisa terlihat lebih jelas. Tema-tema atau simbol-simbol yang diungkapkan melalui topeng tidak semata merupakan ekspresi artistik, melainkan mungkin pula berhubungan dengan simbol-simbol tertentu dalam budaya atau mitologi setempat. Hal ini kembali menegaskan bahwa kesenian bukan suatu sektor yang berdiri sendiri, melainkan bertalian dengan sektor-sektor kehidupan lainnya.

184 TOPENG Pengamatan terhadap pembuatannya, akan menambah kedalaman pengetahuan kita bukan hanya mengenai bahan, alat, dan caranya, melainkan juga pada sistem atau pola kesenian dan kebudayaannya secara umum. Ada budaya yang memiliki seniman khusus pembuat topeng, yang dapat menjadikan pekerjaannya sebagai mata pencaharian, tapi banyak juga yang tidak. Untuk membuat sebuah topeng, ada yang sampai berminggu-minggu, dengan peralatan rumit, tapi juga banyak yang hanya memakan waktu beberapa jam atau bahkan menit, dan setelah dipakai bisa dibuang. Jika Anda berminat untuk membuat topeng, buatlah yang juga sesuai dengan tujuan dan kemampuan masing-masing. Anda dapat membuatnya dari berbagai bahan, seperti karton, kain, atau daun-daunan, bahkan dari kayu, kaleng, tanah-liat, bubur-kertas, dan sebagainya. Gambar-gambar berbagai bentuk topeng dalam buku ini pun diharapkan dapat memberi seribu-satu gagasan untuk memacu kreativitas. Pengalaman praktek akan menambah tingkat pengenalan (apresiasi) dengan lebih mendalam, karena akan lebih menyentuh wilayah empiris. Melalui cara itu Anda akan merasakan langsung dari mulai tumbuhnya gagasan, mencari bahannya, proses pengerjaannya, sampai terwujudnya menjadi sebuah karya seni. 7.2.2. Konteks Di atas disebutkan bahwa kesenian bukan sektor yang berdiri sendiri, melainkan bertalian erat dengan sektor-sektor lain dalam suatu lingkup budaya. Maka dari itu pengetahuan kita terhadap konteks sangatlah penting, untuk memahami maknanya sesuai dengan kaidah masyarakatnya masing-masing. Bab 5 menunjukkan bahwa ada 3 hal utama yang perlu dilihat mengenai konteks, yaitu fungsi, praktik (pelaksanaan), dan hubungan antarbagian. Dalam Bab 5 telah diuraikan apa maksud dari masing-masing subtopik ini. Yang penting dikatakan lagi di sini adalah uraian berikutnya tidak mengacu pada ketiga subtopik, melainkan diuraikan pendekatan lain, yang terdiri dari 5 subtopik berbeda: (1) Sosial dan Personal, (2) Individual dan Komunal, (3) Sakral dan Sekular, (4) Panggung dan Forum: Tertutup dan Terbuka, dan (5) Idealisme dan Ekonomi. Hal ini untuk menunjukkan bahwa suatu hal berkaitan dengan hal lainnya, cara memandangnya bisa dari beberapa sisi, dan antara satu pandangan dengan yang lainnya pun bisa tumpang tindih. Jika dirumuskan dengan bagan, tampak seperti berikut: Memang hal ini menjadi tampak rumit sekali, akan tetapi demikianlah adanya. Anda jelas tidak diharapkan untuk dapat mengadakan analisis rinci.

185 Tapi, yang juga jelas, kita tidak bisa memandangnya secara sederhana pula. Seperti itulah pula yang dimaksud dengan kompleksitas yang ditemukan berkalikali dalam buku ini. Paling sedikit, kini cukup jelas bahwa kesenian mempunyai logika tersendiri, yang berbeda dengan logika lain. Jika kesenian bisa (bahkan kadang-kadang harus) dipandang dari aspek ekonomi, tapi kesenian tidak bisa hanya dipandang dari aspek ekonomi. Demikian pula jika aspek estetika (keindahan) merupakan unsur yang sangat penting dalam kesenian, tapi kesenian tidak bisa dipandang hanya dari sudut estetika. Kajian kita tentang topeng telah menunjukkan kerumitan tersebut. Bab 1 menunjukkan adanya kesulitan untuk membuat definisi topeng. Kerumitan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah realitas batasan antara topeng dengan patung, boneka, dan rias. Kedua adalah perbedaan definisi tentang topeng antara budaya yang satu dengan lainnya. Contohnya, ada pertunjukan drama-tari (wayang wong di Yogyakarta dan Bali) yang memakai topeng tapi pertunjukan itu tidak disebut topeng, dan sebaliknya ada pertunjukan yang tidak memakai topeng tapi pertunjukannya disebut topeng (topeng banjet dari Krawang, Jawa Barat). Hal ini, tentu saja, tidak bisa dipandang sebagai suatu yang absurd atau apalagi ngawur, melainkan justru sesuatu yang menarik untuk menjadi bahan pertanyaan. Pertama, pengertian topeng bukan sekedar topeng (benda), melainkan juga suatu pertunjukan. Kedua, mungkin ada suatu sejarah dan hubungan dengan pertunjukan lain yang bertopeng yang belum diketahui. Uraian konteks (Bab 5), yang jelas memakai pendekatan sosial budaya, menampilkan pasangan-pasangan topik bertentangan, misalnya komunal

186 TOPENG dan individual, tertutup dan terbuka. Dalam istilah kultural, hal itu disebut paradoks, yakni kedua hal yang tampak bertentangan tersebut diperlukan, dan bukan hanya salah satunya yang benar. Umpamanya antara peran individu dan masyarakat, yang keduanya penting (atau benar). Adalah penting setiap individu dapat mandiri, dapat bekerja dan hidup sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Tapi juga adalah penting peran individu itu untuk membangun sistem sosial. Individu dikembangkan dalam sistem sosial, dan sistem sosial ditentukan oleh peranan individu. Dalam keseninan, tarik-menariknya (mungkin lebih tepat dikatakan dinamikanya ) antara kreativitas individu dengan norma-norma sosial, berjalan seperti sebuah percakapan budaya sepanjang masa. Peranan individu sangat pokok dalam melahirkan kreativitas. Namun peranan sosial yang mewadahi dan mendukungnya juga sangatlah penting. Dengan lain kata: dua hal yang sangat berbeda itu sama pentingnya. 7.3. Persamaan dan Perbedaan Dari buku ini kita telah melihat perbedaan dan persamaan topeng yang tersebar di berbagai pelosok, baik bentuk maupun maknanya. Perbedaan itulah pula yang memberi keragaman dan kekayaan tradisi topeng Nusantara. Persamaan antartopeng juga sangat penting. Persamaan itu menunjukkan dan membantu untuk melihat keterkaitan antara tradisi topeng antara yang satu dengan lainnya. Mengacu pada terminologi kita di atas, persamaan dan perbedaan merupakan dua hal paradokksal. Persamaan dan perbedaan itu keduanya bisa jadi memacu reaksi Anda. Reaksi tersebut, bisa positif ataupun negatif terhadap keduanya. Ketika misalnya Anda menemukan persamaan antara tradisi topeng yang berasal dari daerah Anda dengan daerah lain, Anda mungkin tertarik karena bertemu dengan tradisi yang seolah sealiran. Penikmatan estetis pun mungkin akan muncul, karena Anda telah mengerti bahasa-ungkapnya. Anda juga kemudian mungkin terpicu untuk mengetahui lebih dalam di mana dan mengapa terjadinya persamaan tersebut. Dengan mengetahui orang lain yang sama, dapat menumbuhkan keyakinan yang lebih kuat pada kebaikan dari tradisi sendiri. Sebaliknya, ketika Anda menemukan tradisi topeng yang berbeda dengan daerah sendiri, mungkin Anda merasa asing, dan keasingan itulah yang membuat Anda sulit untuk memahaminya, menerimanya, atau apalagi menikmatinya. Tapi juga sebaliknya, banyak orang (termasuk seniman dan mungkin sebagian dari Anda) yang suka pada keanehan dan kebaruan, dan tidak begitu tertarik pada yang sama karena diangap biasa-biasa saja. Ketika melihat sesuatu yang berbeda, yang aneh, yang tidak terbayangkan sebelumnya, justru ia tertarik atau bahkan terpacu untuk mengetahui lebih dalam di mana

187 bedanya. Keanehan dan kebaruan bagi mereka dapat memberi pemahaman baru yang tidak mustahil menumbuhkan rangsangan, gagasan, atau konsepkonsep pemikiran baru. Tertarik atau tidaknya, kepada persamaan ataukah pada perbedaan, bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan. Setiap orang memiliki kebebasan, sesuai dengan cita-rasanya masing-masing, dan kedua keompok di atas pun memiliki kebenarannya masing-masing. Yang perlu dikemukakan adalah bahwa perbedaan dan persamaan itu keduanya merupakan hal yang bermakna penting, sama halnya dengan yang asli dan yang campuran, yang lama dan yang baru, atau yang tradisi dan yang modern, serta yang jelas dan yang tidak-jelas. Keduanya memiliki kekuatan. Namun demikian, persamaan dan perbedaan bukanlah tujuan, bukan keharusan, dan bukan pula persoalan. Persamaan dan perbedaan itu adalah realitas yang harus dipahami. Apresiasi multikultur, seperti buku Topeng ini, adalah untuk meningkatkan pemahaman terhadap banyak budaya, untuk membuat yang asing (eksotis) menjadi kenal (familiar), dan untuk menjadikan yang telah dikenal, atau budaya di lingkungan sendiri, menjadi lebih dipahami leagi, lebih disenangi, dan lebih dirasakan kepentingannya: dengan melihat kaitannya terhadap budaya lain atau dengan melihatnya dalam perspektif yang lebih luas, dari pandangan multidimensi. Apresiasi multikultur bukan untuk mengajak kita menjadi orang lain, atau meminta orang lain menjadi kita. Bakan justru bisa memperteguh agar kita menjadi dan sebagai kita sendiri, bersamaan dengan mengerti mereka menjadi mereka. Dengan lain kata, konsep kita dan mereka juga merupakan dua hal paradoksal.