Keanekaragaman Kepiting Biola (Uca spp.) di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat

dokumen-dokumen yang mirip
TUNGKAL I TANJUNG JABUNG BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi (ISBN: ), Juni 2018

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PANTAI KARTIKA JAYA KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL

2.2. Struktur Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI GASTROPODA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KECAMATAN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI KELURAHAN TONGKAINA MANADO

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

STUDI KELIMPAHAN DAN JENIS MAKROBENTHOS DI SUNGAI CANGAR DESA SUMBER BRANTAS KOTA BATU. *

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

Struktur Komunitas Uca Sp Di Kawasan Teluk Benoa Pada Karakteristik Substrat Yang Berbeda

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DINAMIKA NUTRIEN DENGAN SEBARAN MAKROZOOBENTOS DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

ANALISIS MAKROZOOBENTOS PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN BARRU

Struktur komunitas makrozoobenthos pada ekosistem mangrove di Perairan Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK BANTEN DAN PANTAI PENET LAMPUNG

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan waktu penelitian

ANWAR SADAT SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2004

PENGARUH UMUR REPLANTASI MANGROVE (Rhizophora sp.) SEBAGAI HABITAT Uca sp.

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SUNGAI SERAPUH KECAMATAN TANJUNG PURA KABUPATEN LANGKAT

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

STRUKTUR KOMUNITAS VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DI MUARA HARMIN DESA CANGKRING KECAMATAN CANTIGI KABUPATEN INDRAMAYU

Kondisi Lingkungan (Faktor Fisika-Kimia) Sungai Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

Morfologi Kepiting Biola (Uca spp.) di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat Jambi

Kelimpahan dan Distribusi Gastropoda Di Zona Intertidal Teluk Sikulo Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.

I. PENDAHULUAN. pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

BAB I PENDAHULUAN. muka bumi ini oleh karena itu di dalam Al-Qur an menyebutkan bukan hanya

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI ZONA INTERTIDAL PULAU TOPANG KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU. Oleh:

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: ISSN :

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL

PENDAHULUAN. seperti analisis fisika dan kimia air serta biologi. Analisis fisika dan kimia air

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Distribusi dan Kelimpahan Polychaeta di Kawasan Hutan Mangrove Klaces dan Sapuregel, Segara Anakan, Cilacap

BAB 1 PENDAHULUAN. Pantai Nanganiki merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi. Habitat berbagai organisme makrobentik. Polychaeta

KEANEKARAGAMAN GASTROPODA DI PERAIRAN PESISIR TANJUNG UNGGAT KECAMATAN BUKIT BESTARI KOTA TANJUNGPINANG

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

KANDUNGAN LOGAM BERAT TEMBAGA (Cu) PADA SIPUT MERAH (Cerithidea sp) DI PERAIRAN LAUT DUMAI PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

Indeks Keanekaragaman (H )

KOMPOSISI BUTIRAN PASIR SEDIMEN PERMUKAAN SELAT BENGKALIS PROPINSI RIAU

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015

METODE PENELITIAN di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara. penelitian dalam dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Identifikasi Keanekaragaman Molusca Di Pantai Bama

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah

Transkripsi:

Keanekaragaman Kepiting Biola (Uca spp.) di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat Diversity Violin crab (Uca spp.) in the village of Tungkal I Tanjung Jabung Barat Dawam SUPRAYGOGI 1), Jodion SIBURIAN, 2) dan Afreni HAMIDAH 2) 1) Alumni Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Jambi 2) Prodi Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Jambi E-mail: jdsiburian@gmail.com Abstract. Research has been conducted to identify the diversity of violin crabs (Uca spp.) in the village of Tungkal I Tanjung Jabung Barat. The study was conducted from March to June 2012 at three stations. Samples were taken by means of sampling transect. Environmental data taken include temperature, ph, type of substrate, and salinity. Data was analyzed by descriptive and analytical methods. Identification is done in crustacean Laboratory of Widyasatwaloka Cibinong LIPI Bogor. From 3 stations in the village of Tungkal I, we obtained 172 individuals from three crab violin species includes Sub Genus Tubuca, Uca forcipata ( Adams & White, 1848 ), U. rosea (Tweedie, 1937), and U. dussumieri (H. Milne Edwards, 1852). Violin crab species diversity index at three stations in the village of Tungkal I Tanjung Jabung Barat was low, range between 0 and 1.5. Violin crab habitat conditions on the third station is composed of a slightly acidic soil (ph 6.38 to 6.41), the temperature between 23 29 0 C, water salinity between 16.33 and 20.0 ppt, soil texture is clay at station 1, sandy loam at station 2, and dusty clay at station 3. Key word: Violin crab, Uca, diversity, Tanjung Jabung Barat Abstrak. Telah dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis kepiting biola (Uca spp.) di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2012, di Desa Tungkal I pada tiga stasiun. Sampel diambil dengan cara transec sampling. Data lingkungan yang diambil meliputi suhu, ph, jenis substrat, dan salinitas. Data dianalisis secara deskriptif analitik. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Crustacea Widyasatwaloka LIPI Cibinong Bogor. Dari 3 stasiun di Desa Tungkal I, diperoleh 172 individu dari 3 jenis kepiting biola yang termasuk Sub Genus Tubuca yaitu jenis Uca forcipata (Adams & White, 1848), U. rosea (Tweedie, 1937), dan U. dussumieri (H. Milne Edwards, 1852). Indeks keanekaragaman jenis kepiting biola pada ketiga stasiun di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat tergolong rendah karena berkisar antara 0-1,5. Kondisi habitat Kepiting Biola pada ketiga stasiun yaitu tersusun atas tanah agak asam (ph 6,38-6,41), suhu antara 23-29 o C, salinitas air 16,33-20,0 ppt, tekstur tanah pada stasiun 1 adalah liat, stasiun 2 adalah lempung berpasir, dan stasiun 3 adalah liat berdebu. Kata Kunci: kepiting biola, Uca, keanekaragaman, Tanjung Jabung Barat PENDAHULUAN Ekosistem mangrove dapat dijumpai hampir disetiap kepulauan di Indonesia. Provinsi Jambi juga memiliki kawasan mangrove, salah satunya di Desa Tungkal I Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Ekosistem mangrove di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat telah banyak mengalami perubahan, dengan adanya aktivitas manusia disekitarnya. Perubahan tersebut dapat menjadi ancaman terhadap keberadaan hewan dalam keberlangsungan rantai makanan di ekosistem mangrove. Produksi serasah tumbuhan penyusun ekosistem mangrove turut mempengaruhi kesuburan tanah dan jumlah bahan organik di dalamnya, yang diuraikan oleh detritus. Ekosistem mangrove menyediakan nutrisi bagi hewan yang hidup, seperti detritivor yang mendominasi ekosistem mangrove. Salah satu genus yang merupakan detritivor di ekosistem mangrove adalah Uca (kepiting biola). Hidup dengan membuat sarang berupa lubang pada 22

Biospecies Vol. 7 No.1 Januari 2014, hal. 22-28. tanah. Aktivitas kepiting biola membuat lubang, dapat meningkatkan sirkulasi udara sedimen sehingga dapat mencegah pembentukan phytotoxin seperti H 2 S pada (Kochl dan Wolff dalam Murniati, 2010: 23). Kepiting biola juga berperan dalam siklus karbon, nitrogen, dan sulfur (Kristensen, dkk, dalam Taqwa, 2010:22). Uca spp. (kepiting biola) sebagai salah satu fauna pesisir, kurang mendapatkan perhatian dalam upaya perlindungan karena kurang dimanfaatkan oleh manusia. Meskipun kondisi kepiting biola sekarang masih banyak, namun dengan meningkatnya aktivitas manusia pada ekosistem mangrove akan berdampak langsung terhadap jumlah dan keanekaragaman jenisnya. Diperlukan data mengenai keanekaragaman kepiting biola, sehingga dilakukan penelitian keanekaragaman kepiting biola di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juni 2012 di Desa Tungkal I Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, pada 3 stasiun dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan metode observasi langsung. Stasiun 1 merupakan kawasan tempat pelelangan ikan (TPI) yang paling dekat dengan air laut yang banyak ditumbuhi vegetasi paku laut. Stasiun 2 merupakan daerah yang lebih ke arah daratan, terpengaruh pasang surut dan kondisinya lebih terbuka disebabkan pemangkasan mangrove untuk pergudangan. Stasiun 3 merupakan daerah mangrove yang telah dijadikan pemukiman, terpengaruh pasang surut air laut. Masing-masing stasiun dibuat 1 buah transek dengan panjang garis 500 m terdiri dari 10 plot dengan ukuran 1 1 m. Sampel kepiting biola difiksasi dengan alkohol 40% dan diawetkan pada alkohol 70%. Hasil awetan diidentifikasi di Laboratorium Crustacea Widyasatwaloka LIPI Cibinong Bogor. Kelimpahan kepiting biola (Uca spp.) didapat dengan cara menghitung jumlah Uca spp.tanpa membedakan jenis kelamin yang ditemukan di stasiun. Data lingkungan yang diamati meliputi suhu substrat, ph substrat, dan salinitas air. Substrat dianalisis berdasarkan segitiga tekstur tanah Millar di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Setelah diidentifikasi, ditentukan kelimpahan jenis dan indeks keanekaragaman jenis. Rumus yang digunakan adalah: Kelimpahan jenis (Taqwa, 2010:35) Keterangan: X i : kelimpahan jenis i n i : jumlah jenis ke i A : luas wilayah pengambilan sampel (m 2 ) Indeks keanekaragaman jenis (Magurran, 1988:35) Keterangan: H = indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener S = jumlah spesies yang menyusun komunitas Pi = rasio antara jumlah individu spesies-i (ni) dengan jumlah individu dalam komunitas (N) dengan kriteria sebagai berikut: Jika : nilai H < 1,5 maka keanekaragaman jenis rendah; nilai 1,5 < H < 3,5 maka keanekaragaman jenis sedang; serta nilai H > 3,5 maka keanekaragaman jenis tinggi HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian komposisi, kelimpahan dan indeks keanekaragaman jenis (H ) kepiting biola (Uca spp.) di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat (Tabel 1). 23

Tabel 1. Komposisi, kelimpahan jenis dan indeks keanekaragaman jenis (H ) kepiting biola hasil penelitian di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat Jumlah Kelimpahan Jenis Indeks Keanekaragaman No Jenis (individu) Total (ind/m 2 ) Jenis (H ) St 1 St 2 St 3 St 1 St 2 St 3 St 1 St 2 St 3 1. U. forcipata 56 54 38 148 5,6 5,4 3,8 2. U. rosea 3 8 2 13 0,3 0,8 0,2 0,201 0,750 0,198 3. U. dussumieri 0 11 0 11 0 1,1 0 Total 59 73 40 172 Komposisi dan Keanekaragaman Kepiting Biola. Kepiting biola dari 3 stasiun didapatkan 172 individu dari 3 jenis yaitu Uca forcipata (Adams & White, 1848), Uca rosea (Tweedie, 1937), dan Uca dussumieri (H. Milne Edwards, 1852) yang memiliki kesamaan subgenus yaitu Tubuca (Tabel 1). Jumlah jenis yang paling banyak adalah U. forcipata (Gambar a1 dan a2). Menurut Murniati (2010:21) jenis U. forcipata biasa ditemukan pada substrat berlumpur. Di Desa Tungkal I, jenis U. forcipata mendominasi setiap stasiun meskipun substrat berbeda. Jenis U. rosea (Gambar b1 dan b2) ditemukan di semua stasiun, walaupun jumlahnya tidak banyak, namun tergolong memiliki adaptasi toleransi yang lebih tinggi terhadap perbedaan substrat. U. rosea biasa ditemukan pada substrat lumpur dekat perairan yang terdapat vegetasi (Murniati, 2010:21). U. dussumieri (Gambar c1 dan c2) hanya ditemukan di stasiun 2, dengan jumlah paling sedikit, yaitu 11 individu. Substrat lempung berpasir merupakan habitatnya, diduga karena struktur chellipednya pipih, mendukung adaptasi pada substrat dengan kepadatan lebih rendah. Jenis U. dussumieri merupakan kepiting biola yang hidup pada substrat berpasir (Murniati, 2010:21). Kelimpahan Jenis Jumlah total individu yang ditemukan di ketiga stasiun adalah sebesar 172, dengan jumlah tertinggi terdapat pada stasiun 2 (73 individu), diikuti stasiun 1 dan 3 masingmasing sebesar 59 dan 40 individu. Kelimpahan jenis tertinggi adalah jenis U. forcipata di stasiun 1 yaitu sebesar 5,6 ind/m 2 (Tabel 1). Kondisi lingkungannya memungkinkan produksi serasah lebih banyak, sehingga memiliki jumlah detritus yang tinggi. Kelimpahan jenis terendah adalah jenis U. dussumieri pada stasiun 1 dan 3 (tidak ditemukan=jumlah 0). Jenis ini lebih selektif terhadap substrat, karena hanya dapat hidup pada substrat yang dominan dari fraksi pasir (68,95%), seperti yang ada pada stasiun 2. Murniati (2010:21) menjelaskan U. dussumieri hidup pada substrat berpasir. Jenis kepiting biola yang didapat lebih rendah dari hasil penelitian Hamidy (2010:87) di ekosistem Mangrove Desa Purnama Dumai Riau. Hamidy (2010:87) menemukan 5 jenis yaitu U. vocans, U. annulipes, U. rosea, U. dussumieri, dan U. pugilator. Kepadatan kepiting biola U. rosea dan U. dussumieri yang didapatkan selama penelitian juga lebih rendah dibandingkan hasil penelitian.hamidy (2010:87), kepadatan U. vocans 16 ind/m 2, U. annulipes 21 ind/m 2, U. rosea 9 ind/m 2, U. dussumieri 8 ind/m 2, dan U. pugilator 7 ind/m 2. Kepiting biola sebagai makrobenthos sangat peka terhadap perbedaan kondisi habitat, sehingga berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya. Keanekaragaman Jenis Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa keanekaragaman jenis pada 3 stasiun tergolong rendah (H <1,5), menunjukkan komunitas memiliki kompleksitas rendah, karena dalam komunitas tidak banyak terjadi interaksi antar jenis. Komunitas dengan keanekaragaman jenis rendah, sedikit interaksi antar jenis yang melibatkan transfer energi, predasi, dan kompetisi. Odum (1971:184) menjelaskan keanekaragaman jenis cenderung rendah dalam ekosistem yang secara fisik terkendali (sasaran faktor pembatas fisikakimia yang kuat). 24

Biospecies Vol. 7 No.1 Januari 2014, hal. 22-28. Gambar 1. U. forcipata: (a1) Jantan, (a2) Betina. U. rosea: (b1) Jantan, (b2) Betina. U. dussumieri: (c1) Jantan, (c2) Betina Tingkat keanekaragaman yang rendah pada penelitian menunjukkan hanya jenis tertentu yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Nilai H juga menunjukkan kondisi lingkungan yang tercemar. Kondisi seluruh stasiun sudah terpengaruh aktivitas manusia, sehingga berdampak pada rendahnya nilai H. Wilhm (1970:223) menjelaskan, nilai H pada kondisi lingkungan yang tidak tercemar berkisar 3 sampai 4, sedangkan pada kondisi lingkungan tercemar nilainya di bawah 1. Dengan demikian, secara umum kondisi ketiga stasiun telah mengalami pencemaran dan stasiun 2 merupakan yang paling rendah tingkat pencemarannya. Kondisi Lingkungan Penelitian Tipe tekstur tanah pada stasiun 1 adalah liat, ph rata-rata 6,41 dan suhu rata-rata 26,5 o C, serta salinitas air antara 16,33-18,00 ppt. Tumbuhan yang mendominasi adalah jenis paku laut (Acrostichum sp.). Stasiun 1 juga menjadi habitat bagi hewan dari Subfilum Crustacea dan Kelas Gastropoda. Disekitar stasiun 1 terdapat jalan akses menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Tipe tekstur tanah pada stasiun 2 adalah lempung berpasir, ph rata-rata 6,38 dan suhu rata-rata 26 o C, serta salinitas air antara 18,00-19,67 ppt. Tumbuhan pada stasiun 2 lebih variatif, diantaranya jenis paku laut (Acrostichum 25

sp.), nipah (Nypa sp.), gedangan (Aegiceras sp.), dan juga jeruju (Acanthus sp.). Kelompok hewan pada stasiun 2 didominasi oleh Subfilum Crustacea. Stasiun 3 merupakan daerah tempat tinggal masyarakat dan juga terdapat sekolah. Tipe tekstur tanah stasiun 3 adalah liat berdebu, ph rata-rata 6,40 dan suhu rata-rata 25 o C, serta salinitas air antara 15,00 19,00 ppt. Tidak terlalu banyak tumbuhan yang terdapat pada stasiun 3, sebagian kecil masih ditumbuhi tumbuhan jenis paku laut (Acrostichum sp.), nipah (Nypa sp.), dan jeruju (Acanthus sp.). Kelompok hewannya didominasi Subfilum Crustacea. Kondisi lingkungan memiliki ph yang relatif sama. Tanah pada ketiga stasiun merupakan tanah dengan kriteria agak asam dengan nilai ph 6,1-6,5 (Sutanto, 2005:112). Kondisi ph tanah demikian sesuai dengan pernyataan English, dkk, dalam Pamungkas (2012:9), kebanyakan ph tanah hutan mangrove berada pada kisaran 6-7, meskipun ada beberapa nilai ph tanahnya dibawah 5. Kondisi lingkungan penelitian sesuai dengan toleransi tumbuhan penyusun ekosistem mangrove, sehingga serasah yang dihasilkan dapat mencukupi kebutuhan hidup kepiting biola. Menurut Hardjowigeno (2007:63) bakteri berkembang dengan baik pada ph 5,5 atau lebih, sehingga pada lingkungan tersebut, penguraian serasah mangrove dapat berjalan dengan baik dan mendukung kehidupan kepiting biola. Mangrove adalah ekosistem yang memiliki salinitas lebih tinggi dari ekosistem darat umumnya. Tumbuhan dan hewan didalamnya mampu bertahan dalam kondisi salinitas yang agak tinggi. Kebanyakan spesies mangrove dapat hidup dalam salinitas 1-3% (Kathiresan dalam Pamungkas, 2012: 8). Salinitasnya berkisar 16,33-20,00 ppt atau setara dengan 1,63-2,00%. Dengan kondisi tersebut, flora dan fauna dapat hidup dengan baik di lokasi tersebut. Menurut Hutabarat dan Evans dalam Taqwa (2010: 16) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme makrobenthos adalah 15-35 ppt. Suhu tanah stasiun penelitian berkisar 23-29 o C, dengan kondisi yang basah, menunjukkan kondisi yang mendukung kehidupan kepiting biola. Suhu ekosistem mangrove berkisar 24,4-27,9 o C (Kusmana, dkk, 2003: 7). Menurut Saparinto (2010:140) secara umum kepiting hidup pada ekosistem mangrove, dapat bertahan pada suhu 23-32 o C, dan menurut Kuntinyo, dkk. dalam Aslamyah dan Fujaya (2012: 7) untuk pertumbuhan yang optimal diperlukan suhu 26-32 o C. Tekstur tanah ekosistem mangrove yang berbeda mempengaruhi fauna makrobentos didalamnya. Ketiga stasiun penelitian memiliki tekstur tanah yang berbeda. Pada stasiun 1 tergolong liat. Menurut Wasley dalam Holqi (2011:4) fraksi liat memiliki luas permukaan yang besar. Molekul-molekul air mengelilingi partikel-partikel liat di dalam tanah berbentuk selaput tipis, sehingga jumlah liat menentukan kapasitas menahan air. Permukaan liat dapat mengadsorpsi unsur-unsur hara dalam tanah, sehingga dapat menyimpan air dan unsur hara lebih lama. Tanah pada stasiun 2 merupakan jenis lempung berpasir, dengan persentase pasir yang cukup besar (68,95%). Sifat tanahnya cenderung berpasir. Menurut Sinulingga dan Darmanti (2007:33) tanah berpasir terdiri atas partikel besar, kurang dapat menahan air. Air tanah akan berinfiltrasi, bergerak ke bawah melalui rongga tanah. Namun, karena tanahnya memiliki karakteristik lempung, maka tanah agak melekat, agak lembab dan tidak terlalu padat. Tanah stasiun 3 merupakan jenis liat berdebu. Tanah jenis ini mirip dengan tanah pada stasiun 1, namun sedikit lebih licin karena adanya partikel-partikel debu. Tanah yang mengandung fraksi debu dapat menahan air sehingga cenderung basah. Perbedaan kondisi ketiga stasiun mempengaruhi jumlah jenis dan individu kepiting biola yang didapat. Ditemukan 2 jenis kepiting biola pada stasiun 1 dan 3. Kedua stasiun memiliki kondisi yang terganggu dan jenis tanah tersusun atas fraksi liat yang lebih tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan hanya jenis dengan toleransi adaptasi lebih baik yang dapat bertahan. Jumlah individu pada stasiun 1 lebih banyak dari stasiun 3, karena vegetasi yang lebih banyak, memungkinkan produksi detritus lebih tinggi. Stasiun 2, paling baik bagi kepiting biola, karena lebih sedikit dipengaruhi aktivitas manusia. Ditemukan 3 jenis kepiting biola pada stasiun 2 dan jumlahnya paling banyak. Hal tersebut 26

Biospecies Vol. 7 No.1 Januari 2014, hal. 22-28. disebabkan jumlah vegetasinya masih banyak dan jenis tanah lebih mendukung kehidupan ketiga jenis kepiting biola. KESIMPULAN DAN SARAN Pada ekosistem mangrove di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat ditemukan 3 jenis kepiting biola yaitu U. forcipata, U. rosea, dan U. dussumieri. Indeks keanekaragamannya tergolong rendah (berkisar 0-1,5). Kondisi habitat tersusun atas tanah agak asam (ph 6,38-6,41), suhu antara 23-29 o C, salinitas air 16,33-20,0 ppt, tekstur tanah pada stasiun 1 adalah liat, stasiun 2 adalah lempung berpasir dan stasiun 3 adalah liat berdebu. Perlu dilakukan kebijakan pemeliharaan ekosistem mangrove dengan memperhatikan berbagai kondisi sekarang, sehingga dapat melindungi keanekaragaman jenis kepiting biola dan hewan lain pada ekosistem tersebut. Selatan, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusmana C, Onrizal dan Sudarmadji. 2003. Diakses tanggal 29 Agustus 2012. Jenis-jenis Pohon Mangrove di Teluk Bintuni, Papua. http:// onrizal. files. wordpress.com/2008/10/ mangrovebintuni.pdf Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Measurement. New Jersey: Princetown University Press. Murniati DC. 2010. Keanekaragaman Uca spp. dari Segara-anakan, Cilacap, Jawa Tengah Sebagai Pemakan Deposit. Fauna Indonesia, 9(1): 19-23. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology, Third Edition. Philadelphia: W. B. Saunders Company. DAFTAR PUSTAKA Aslamyah S dan Fujaya Y. 2012. Diakses tanggal 30 Agustus 2012. Respon Molting, Pertumbuhan, dan Komposisi Kimia Tubuh Kepiting Bakau pada Berbagai Kadar Karbohidrat-Lemak Pakan Buatan yang Diperkaya dengan Vitomolt. http://repository.unhas.ac.id/bitstream /handle/123456789/1788/ Draf % 20 artikel % 20yogya.docx?sequence=1 Hamidy R. 2010. Struktur Keragaman Komunitas Kepiting di Kawasan Hutan Mangrove Stasiun Kelautan Universitas Riau, Desa Purnama Dumai. Jurnal Ilmu Lingkungan, 4(2): 81-91. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Holqi TA. 2011. Analisis Hubungan Sifat Fisik dan Mekanik Tanah pada Kegiatan Pengolahan Tanah di PT Laju Perdana Indah, Sumatera Pamungkas AS. 2012. Keaneka-ragaman Tumbuhan Mangrove di Kawasan Cagar Alam Hutan Mangrove Leuweung Sancang Kec. Cibalong Kab. Garut. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Saparinto C. 2010. Usaha Ikan Konsumsi di Lahan 100 m 2. Jakarta: Penebar Swadaya Sinulingga M dan Darmanti S. 2007. Kemampuan Mengikat Air oleh Tanah Pasir yang Diperlakukan dengan Tepung Rumput Laut Gracilaria verrucosa. Anatomi Fisiologi, XV (2): 32-38. Sutanto R. 2005., Dasar-dasar Ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius Taqwa A. 2010, Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Struktur Komunitas Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan, Kalimantan 27

Timur, Tesis, Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Wilhm JL. 1970. Range of Diversity Index in Benthic Macro-invertebrate Populations. Water Pollution Control Federation, 42(5): 221-224. 28