BAHAN AJAR. MEKANIKA BATUAN (Semester 6 / 2 SKS / TKS 1607)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MEKANIKA TANAH (CIV -205)

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

MEKANIKA TANAH 2 KESTABILAN LERENG. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

GEOTEKNIK TAMBANG DASAR DASAR ANALISIS GEOTEKNIK. September 2011 SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL (STTNAS) YOGYAKARTA.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan

Bab IV STABILITAS LERENG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Tension Crack (Tegangan Retak) pada Analisis Stabilitas Lereng menggunakan Metode Elemen Hingga

Gambar 5.20 Bidang gelincir kritis dengan penambahan beban statis lereng keseluruhan Gambar 5.21 Bidang gelincir kritis dengan perubahan kadar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

BAB 2 LANDASAN TEORI

ANALISIS KESTABILAN LERENG DENGAN METODE FELLENIUS (Studi Kasus: Kawasan Citraland)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

WORKSHOP PENANGANAN BENCANA GERAKAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah Bagian 1: Tata cara pemeriksaan

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

ANALISIS STABILITAS LERENG DENGAN PERKUATAN GEOTEKSTIL

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

PENGGUNAAN BORED PILE SEBAGAI DINDING PENAHAN TANAH

ANALISA KESTABILAN LERENG METODE SLICE (METODE JANBU) (Studi Kasus: Jalan Manado By Pass I)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. penambangan batu bara dengan luas tanah sebesar hektar. Penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB III METODE KAJIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS STABILITAS LERENG TEBING SUNGAI GAJAHWONG DENGAN MEMANFAATKAN KURVA TAYLOR

EVALUASI KESTABILAN LERENG PADA TAMBANG TERBUKA DI TAMBANG BATUBARA ABSTRAK

MODUL 4: MANAJEMEN BENCANA BAHAYA GERAKAN TANAH

Alternatif Perbaikan Perkuatan Lereng Longsor Jalan Lintas Sumatra Ruas Jalan Lahat - Tebing tinggi Km

Mahasiswa, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional 2

PENGARUH BEBAN DINAMIS DAN KADAR AIR TANAH TERHADAP STABILITAS LERENG PADA TANAH LEMPUNG BERPASIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Dan Stabilitas Lereng Dengan Struktur Counter Weight Menggunakan program

1. 1. LATAR BELAKANG MASALAH

PENGARUH BIDANG DISKONTINU TERHADAP KESTABILAN LERENG TAMBANG STUDI KASUS LERENG PB9S4 TAMBANG TERBUKA GRASBERG

BAB II LANDASAN TEORI

GAYA PEMBENTUK GEOLOGI STRUKTUR

ANALISA STABILITAS LERENG PADA CAMPURAN PASIR DAN TANAH LEMPUNG DENGAN MENGGUNAKAN PERMODELAN DI LABORATORIUM ABSTRAK

KUAT GESER 5/26/2015 NORMA PUSPITA, ST. MT. 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DAFTAR ISI... RINGKASAN... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I. PENDAHULUAN

GEOTEKNIK dan GEOMEKANIK

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Analisis Stabilitas dan Penurunan pada Timbunan Mortar Busa Ringan Menggunakan Metode Elemen Hingga

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

INVESTIGASI GEOLOGI POTENSI LONGSOR BERDASARKAN ANALISIS SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

BAB IV KRITERIA DESAIN

BAB 1 PENDAHULUAN. PT. Berau Coal merupakan salah satu tambang batubara dengan sistim penambangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

STUDI KEKUATAN GESER TERHADAP PENGARUH KEKASARAN PERMUKAAN DIAKLAS BATU GAMPING

BAB IV STUDI LONGSORAN

TOPIK BAHASAN 8 KEKUATAN GESER TANAH PERTEMUAN 20 21

Untuk tanah terkonsolidasi normal, hubungan untuk K o (Jaky, 1944) :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KESTABILAN LERENG METODE MORGENSTERN-PRICE (STUDI KASUS : DIAMOND HILL CITRALAND)

REKAYASA GEOTEKNIK DALAM DISAIN DAM TIMBUNAN TANAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

Pemetaan Karakteristik Dinamik Tanah Panti

MEKANIKA TANAH KRITERIA KERUNTUHAN MOHR - COULOMB. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 DINAMIKA GERAK LURUS

ANALISIS STABILITAS LERENG PADA BENDUNGAN TITAB

TOPIK BAHASAN 10 STABILITAS LERENG PERTEMUAN 21 23

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung.

PENGARUH PENAMBAHAN PASIR PADA TANAH LEMPUNG TERHADAP KUAT GESER TANAH

ANALISIS STABILITAS BENDUNGAN SELOREJO AKIBAT RAPID DRAWDOWN BERDASARKAN HASIL SURVEY ELECTRICAL RESISTIVITY TOMOGRAPHY (ERT)

PENGARUH JENIS TANAH TERHADAP KESTABILAN DINDING MSE DENGAN PERKUATAN GEOTEKSTIL DI DAERAH REKLAMASI MALALAYANG

BAB 3 DINAMIKA. Tujuan Pembelajaran. Bab 3 Dinamika

DISASTER NURSING AND TRAUMA HEALING. Project Observasi Potensi Bencana di Kelurahan Pongangan. Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah.

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

BAB 4 PEMBAHASAN. memiliki tampilan input seperti pada gambar 4.1 berikut.

BAB I PENDAHULUAN. lereng, hidrologi dan hidrogeologi perlu dilakukan untuk mendapatkan desain

ANALISA KESTABILAN LERENG METODE LOWE-KARAFIATH (STUDI KASUS : GLORY HILL CITRALAND)

Mekanisme keruntuhan

PENGARUH PEMBASAHAN BERULANG TERHADAP PARAMETER KUAT GESER TANAH LONGSORAN RUAS JALAN TAWAELI TOBOLI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STUDI STABILITAS DINDING PENAHAN TANAH KANTILEVER PADA RUAS JALAN SILAING PADANG - BUKITTINGGI KM ABSTRAK

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Arsyad (dalam Ahmad Denil Efendi 1989 : 27) Mengemukakan bahwa tanah

ABSTRAK Kata Kunci : Nusa Penida, Tebing Pantai, Perda Klungkung, Kawasan Sempadan Jurang, RMR, Analisis Stabilias Tebing, Safety Factor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dengan cara menggunakan pendekatan Rock Mass Rating (RMR). RMR dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Menurut seorang ilmuwan kuno yang bernama Eratosthenes Geografi berasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. batuan, bahan rombakan, tanah, atau campuran material tersebut yang bergerak ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau tandus (Vera Sadarviana, 2008). Longsorlahan (landslides) merupakan

BAB IX PERENCANAAN TUBUH EMBUNG

Transkripsi:

UNIVERSITAS GADJAH MADA Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan BAHAN AJAR MATA KULIAH MEKANIKA BATUAN (Semester 6 / 2 SKS / TKS 1607) Bagian ke- 2 Oleh: 1. Dr. es. sc. tech. Ir. Ahmad Rifa i, MT. 2. Teuku Faisal Fathani, ST., MT., Ph.D. Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... ii TINJAUAN MATA KULIAH... 1 BAB I: PENYEBAB DAN MEKANISME LONGSORAN BATUAN... 2 1.1. Pendahuluan... 2 1.2. Klasifikasi Gerakan Massa Batuan... 2 1.2.1. Jatuhan (Fall)... 3 1.2.2. Jungkiran (Topple)... 3 1.2.3. Longsoran (Slide)... 4 1.2.4. Sebaran (Spread)... 4 1.3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Gerakan Batuan... 5 1.4. Mekanisme Pemicu Gerakan Longsoran... 6 BAB II: STABILITAS LERENG BATUAN... 7 2.1. Pendahuluan... 7 2.2. Rekayasa Lereng Batuan... 7 2.3. Kekuatan Geser Bidang Diskontinuitas... 8 2.3.1. Kuat Geser Permukaan Rata... 8 2.3.2. Kuat Geser Permukaan Kasar... 9 2.3.3. Kriteria Kuat Geser menurut Barton... 10 2.3.4. Estimasi Nilai JRC... 11 2.3.5. Estimasi Nilai JCS... 13 2.3.6. Pengaruh Skala terhadap Nilai JRC dan JCS... 13 2.4. Analisis Stabilitas Lereng Batuan... 14 2.4.1. Metode Keseimbangan Batas (Limit Equilibrium Method)... 14 2.4.2. Pengatuh Tekanan Air pada Bidang Diskontinuitas Batuan... 15 2.4.3. Analisis Stabilitas Mode Keruntuhan Bidang (Plane Sliding)... 16 2.4.4. Analisis Stabilitas Mode Keruntuhan Bidang dengan Retakan (Tension Crack)... 17 2.4.5. Pengaruh Beban Gempa... 19 2.5. Penutup... 19 BAB III: INVESTIGASI DAN PREDIKSI LONGSORAN BATUAN... 21 3.1. Pendahuluan... 21 3.2. Penyelidikan Lapangan... 21 3.2.1. Pemetaan Geologi... 21 3.2.2. Pemetaan Struktur Geologi... 22 JTSL FT UGM ii

3.2.3. Pengeboran... 23 3.2.4. Survey Geofisika... 24 3.3. Prediksi Jarak Luncur Longsoran Batuan... 24 3.4. Prediksi Volume, Luas Area, dan Kecepatan Longsoran Batuan... 25 3.5. Penutup... 27 PUSTAKA... 28 JTSL FT UGM iii

TINJAUAN MATA KULIAH Mata kuliah ini membahas tentang definisi batuan dan peran mekanika batuan dalam aplikasi, sifat teknis batuan, klasifikasi batuan, perilaku tegangan regangan: Initial, elastis dan plastis, uji laboratorium dan in-situ penentuan parameter teknis batuan, aplikasi mekanika batuan pada pekerjaan terowongan, stabilitas lereng batuan, investigasi dan prediksi longsoran batuan. Setelah mengikuti mata kuliah Mekanika Batuan, pada akhir semester mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan peran mekanika batuan dalam pekerjaan teknik sipil, mengenalkan sifat teknis batuan, klasifikasi, tegangan regangan, uji penentuan parameter baik di laboratorium maupun in situ, aplikasi mekanika batuan pada pekerjaan terowongan, stabilitas lereng batuan, serta investigasi dan prediksi gerakan longsoran batuan. JTSL FT UGM 1

BAB I: PENYEBAB DAN MEKANISME LONGSORAN BATUAN 1.1. Pendahuluan Bab ini memberikan penjelasan tentang klasifikasi gerakan massa batuan, faktorfaktor yang menyebabkan gerakan batuan, dan mekanisme gerakan longsoran. Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan membedakan jenis gerakan massa batuan, memahami faktor-faktor yang menyebabkan gerakan dan longsoran lereng batuan, dan memahami mekanisme gerakan longsoran. 1.2. Klasifikasi Gerakan Massa Batuan Varnes (1978) memberikan klasifikasi gerakan massa batuan menjadi enam macam, yaitu: Jatuhan (falls), jungkiran (topples), longsoran (slides), sebaran lateral (lateral spreads), aliran (flows), dan gerakan kompleks. Gerakan longsoran kemudian dibedakan menjadi dua, yaitu rotasi dan translasi. Formasi geologi dibagi menjadi: batuan keras (bedrock), debris, dan tanah (earth soil). Varnes (1978) kemudian memberikan klasifikasi pada gerakan massa longsoran berdasarkan tiga klasifikasi formasi geologi di atas menjadi 18 jenis (Tabel 1). Tabel 1 Klasifikasi gerakan massa batuan dan tanah (Varnes, 1978) Type of Movement Type of Material Bedrock Engineering Soils Predominantly coarse Predominantly fine Falls Rockfall Debris fall Earth fall Topples Rock topple Debris topple Earth topple Slides (Rotational) A few units Rock slump Debris slump Earth slump Slides (Translational) A few units Rock block slide Debris block slide Earth block slide Many units Rock slide Debris slide Earth slide Lateral spreads Rock spread Debris spread Earth spread Flows Rock flow (deep creep) Debris flow (soil creep) Earth flow (soil creep) Complex Combination of two or more principal types of movements JTSL FT UGM 2

Modul Bahan Ajar Tabel 2 Skala pergerakan massa batuan/tanah (Varnes, 1978) Tingkat kecepatan > 3 m/s > 3 m/menit > 1,5 m/hari > 1,5 m/bulan > 1,5 m/tahun > 0,006 m/tahun < 0,006 m/tahun Definisi Luar biasa cepat Sangat cepat Cepat Sedang Lambat Sangat lambat Luar biasa lambat Berikut adalah bentuk-bentuk klasifikasi longsoran: 1.2.1. Jatuhan (Fall) Fenomena ini pada umumnya terjadi pada lereng batuan, yang berupa perpindahan suatu massa batuan dari sebuah lereng dan pada umumnya terjadi sangat cepat (dalam hitungan m/detik). Dalam peristiwa jatuhan, blok batuan yang jatuh dapat mengalami pantulan (bouncing), terguling (rolling), dan tergelincir (sliding). Gambar 1 Contoh kasus rock fall 1.2.2. Jungkiran (Topple) Topple atau jungkiran terjadi pada blok-blok batuan atau bongkahan batuan yang memiliki kemiringan hampir tegak (vertikal), dan blok-blok batuan tersebut berotasi searah dengan arah dari lereng. Mekanisme toppling terjadi karena gravitasi maupun tekanan air pada celah-celah retakan pada batuan. Gambar 2 (kiri) Contoh lereng batuan yang berpotensi mengalami jungkiran; (kanan) Ilustrasi toppling JTSL FT UGM 3

1.2.3. Longsoran (Slide) Longsoran (slides) adalah pergerakan massa batuan/tanah yang bidang gelincirnya dapat terlihat dengan jelas. Longsoran dapat diklasifikasikan menjadi longsoran rotasi dan translasi, tergantung dari bentuk geometri bidang gelincirnya. Pada lereng batuan, bentuk longsor translasi dapat berupa kegagalan bidang (planar failure) dan kegagalan baji (wedge failure), yang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut. 1.2.4. Sebaran (Spread) (a) (b) (c) Gambar 3 (a) Longsoran rotasi; (b) Planar failure; (c) Wedge failure Longsoran dengan mekanisme sebaran (spread) dapat terjadi ketika sebuah lereng tersusun dari formasi tanah/batuan keras yang terletak di atas lapisan lunak. Blok tanah/batuan keras yang terletak di atas lapisan tanah lunak dapat menyebabkan zona leleh pada lapisan yang terletak di sebelah hilir dari lereng tersebut. Retakan yang terjadi pada blok tanah/batuan tersebut dapat merambat ke bagian atas, sehingga terjadi kegagalan secara beruntun. Mekanisme spreading dapat dilihat pada ilustrasi berikut. Gambar 4 Ilustrasi longsoran dengan mekanisme sebaran (lateral spreading) berdasarkan Varnes (1978): (a) Sebaran lateral batuan; (b) Sebaran lateral tanah: (1) Lempung padat, (2) Lempung lunak, (3) Kerikil berlempung yang padat JTSL FT UGM 4

1.3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Gerakan Batuan Anagnostopoulos (2005) menyatakan ada enam faktor yang dapat mengakibatkan longsor, yaitu: 1. Kondisi iklim 2. Topografi 3. Kondisi geologi (sebaran formasi tanah dan batuan) 4. Aktivitas tektonik di masa lalu dan masa kini (aspek kegempaan) 5. Vegetasi 6. Aktivitas manusia Pada umumnya, terdapat empat hal yang menyebabkan kelongsoran, yaitu: 1. Curah hujan Nilai mutlak dari intensitas curah hujan yang terjadi di suatu tempat tidak selalu berpengaruh terhadap tingkat kejadian longsor, karena kejadian longsor juga berhubungan dengan faktor-faktor lainnya seperti kondisi geologi, topografi, vegetasi, pengaruh kegiatan manusia, dan durasi hujan. Banyak hasil penelitian yang berisi tentang keterkaitan antara intensitas curah hujan dengan ketinggian muka air tanah di lokasi longsor, dan hubungan antara ketinggian muka air tanah dengan pergerakan longsor. 2. Pekerjaan konstruksi Pada beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah kasus longsor di area pegunungan, yang disebabkan karena pekerjaan pemotongan lereng dalam skala besar untuk konstruksi jalan, terowongan, atau pengembangan lahan dalam skala besar. Kejadian longsor yang terjadi mengganggu proses konstruksi yang sedang berjalan, dan membutuhkan penanganan yang sesuai dalam keadaan mendesak, agar tidak merusak dan mengancam keselamatan dari rumah atau fasilitas-fasilitas lain di lingkungan sekitar. Sebagian besar longsor yang disebabkan oleh kegiatan konstruksi ini dapat dihindari apabila telah dilakukan studi mendetil sebelumnya dan telah dilakukan tindakan-tindakan penanganan yang tepat berdasarkan hasil studi tersebut. 3. Kenaikan muka air dan rapid drawdown pada waduk Kelongsoran dapat terjadi pada suatu lereng akibat kenaikan muka air maupun penurunan muka air waduk secara tiba-tiba (rapid drawdown), hal ini disebabkan karena meningkatnya tekanan air pori pada lereng dan karena berlansung secara cepat, sehingga air yang ada di tubuh lereng tersebut tidak memiliki cukup waktu untuk terdisipasi keluar, sehingga melemahkan bidang gelincir dan terjadilah longsor. 4. Gempa bumi JTSL FT UGM 5

1.4. Mekanisme Pemicu Gerakan Longsoran Guidicini dan Nieble (1984) dan Varnes (1978) merangkum mekanisme-mekanisme yang menjadi yang menjadi pemicu longsoran, dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 Mekanisme pemicu longsor (Guidicini dan Nieble, 1984) Faktor Kondisi eksisting Geologi, Morfologi, Iklim, Gravitasi, Temperatur, Vegetasi Penyebab Faktor yang memicu Internal Eksternal Campuran Sebelum Pemicu longsor Curah hujan, Curah hujan, Perubahan Perubahan Kenaikan Erosi, Pencairan salju, temperatur, geometri, muka air Pembekuan, Erosi, Penurunan Getaran tanah, Pencairan, Gempa bumi, kuat geser Penurunan Perubahan Ombak, karena suction, temperatur, Angin, pelapukan Pengisian air Perubahan Aktivitas pada rekahan muka air tanah, manusia batuan, Aktivitas Rapid manusia dan drawdown, hewan Piping Tabel 4 Mekanisme pemicu longsor (Varnes, 1978) Faktor Peningkatan beban Pemindahan massa tanah / batuan Beban permukaan Beban gempa Tekanan horisontal Fenomena Erosi, longsor Intensitas curah hujan, salju, es, timbunan tanah alami, berat dari vegetasi, keberadaan bangunan, tanggul Gempa bumi, gelombang, erupsi gunung berapi, getaran akibat lalu lintas Air yang mengisi pada retakan batuan, pembekuan, tanah ekspansif Penurunan kekuatan Karakteristik material Karakteristik geoteknik, tegangan Perubahan Pelapukan, kehilangan kuat geser, peningkatan muka air tanah JTSL FT UGM 6

BAB II: STABILITAS LERENG BATUAN 2.1. Pendahuluan Bab ini memberikan penjelasan tentang model keruntuhan lereng pada batuan keras, kriteria keruntuhan, kriteria kuat geser bidang diskontinuitas, analisis stabilitas lereng dengan satu blok. Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep bentuk-bentuk model keruntuhan pada lereng batuan, memahami konsep kriteria keruntuhan, memahami konsep kuat geser bidang diskontinuitas, dan memahami konsep stabilitas blok batuan dalam kondisi statis, dinamis, dan kondisi pengaruh air tanah dalam stabilitas lereng. 2.2. Rekayasa Lereng Batuan Pada umumnya, fenomena-fenomena ketidakstabilan lereng dalam skala besar ditinjau dalam lingkup geologi teknik, sedangkan analisis stabilitas dalam skala kecil masuk ke dalam ruang lingkup mekanika tanah dan mekanika batuan, meskipun kedua bidang ilmu tersebut dibutuhkan untuk mempelajari semua bentuk ketidakstabilan lereng dalam skala besar maupun kecil. Menurut Piteau dan Peckover (1978), ilmu rekayasa lereng batuan tidak memperhitungkan kasus longsor dalam skala besar ke dalam ruang lingkupnya, tetapi lebih fokus kepada kejadian-kejadian jatuhan blok batuan dan translasi massa batuan. Tujuan utama dari ilmu rekayasa lereng batuan adalah untuk menentukan kondisi stabilitas lereng batuan, untuk menstabilisasi lereng batuan alam yang tidak aman, dan untuk merancang galian lereng batuan dengan memperhitungkan aspek-aspek keamanan dan ekonomis. Dari sudut pandang ilmu keteknikan, batuan adalah kumpulan massa dari berbagai jenis mineral yang keras dan padat. Semua hal yang mempengaruhi kekuatan dan karakteristik deformasi dari suatu masa batuan, mulai dari skala ultra mikroskopik hingga makroskopik, dapat disebut dengan cacat pada batuan ( defects ). Cacat pada batuan tersebut mempengaruhi turunnya kemampuan batuan dalam menahan beban dan menyebabkan perubahan konsentrasi tegangan pada arah tertentu. Cacat pada batuan seperti lipatan (folds), patahan (faults), dan rekahan (joints) disebabkan karena tegangan tektonik yang dialami oleh batuan sejak masa lampau. Pada umumnya, cacat pada batuan dapat disebut juga dengan istilah diskontinuitas, yang merupakan permasalahan utama dalam ilmu rekayasa lereng batuan. Stabilitas suatu lereng batuan sangat bergantung kepada kekuatan dari batuan itu sendiri, bentuk geometri dan kekuatan dari bidang-bidang diskontinuitas, dan peristiwa pelapukan dari batuan. Karakteristik kuat geser dan berat jenis dari batuan intact menentukan kondisi stabilitas dari lereng homogen. Karena garis kegagalan kuat geser batuan intact berbentuk non linear, maka kekuatannya bergantung kepada tingkat tegangan normal yang terjadi. Fokus utama dalam ilmu rekayasa lereng batuan adalah analisis lereng batuan dengan bidang-bidang diskontinuitas. Bidang gelincir dari suatu blok batuan yang tidak JTSL FT UGM 7

stabil pada umumnya mengikuti bidang-bidang diskontinuitas yang ada pada massa batuan tersebut dan tidak memotong batuan intact, kecuali batuan tersebut adalah batuan lunak. Kekuatan geser dari suatu massa batuan sebagian besar ditentukan dari keberadaan bidang-bidang diskontinuitas dan menghasilkan perilaku massa batuan yang tidak sama ke semua arah (anisotropis) dalam hal kekuatan dan deformasi. Aspek pergerakan (movement) lebih mempengaruhi kondisi stabilitas lereng batuan dibandingkan dengan kondisi stabilitas lereng tanah. Pergerakan yang kecil dapat menyebabkan penurunan kuat geser yang drastis dan menghasilkan penurunan angka aman yang besar. Oleh karena itu, risiko dari penggalian lereng batuan lebih besar daripada lereng tanah, meskipun keduanya memiliki angka aman yang sama. 2.3. Kekuatan Geser Bidang Diskontinuitas Semua massa batuan memiliki bidang diskontinuitas seperti lipatan, patahan, rekahan. Pada kedalaman dangkal, dimana tegangan yang terjadi sangat rendah, kemungkinan kegagalan pada bahan batuan intact sangat kecil dan perilaku massa batuan dikendalikan oleh gesekan antar bidang diskontinuitas. Untuk melakukan analisis lebih jauh tentang stabilitas blok-blok batuan, perlu dipahami sebelumnya mengenai faktorfaktor yang mengendalikan kekuatan geser bidang diskontinuitas yang memisahkan blokblok batuan. 2.3.1. Kuat Geser Permukaan Rata Beberapa sampel batuan diperoleh untuk kemudian dilakukan uji geser. Setiap sampel memiliki bidang diskontinuitas yang rata, sehingga dalam uji geser tersebut, setiap sampel diberikan gaya tarik untuk memisahkan kedua blok batuan. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 5, pada uji geser setiap sampel diberikan tegangan normal (σ n ) dan tegangan geser (τ) dan nilai pergeseran yang terjadi (δ) diukur. Tegangan geser akan semakin meningkat hingga mencapai tegangan puncak. Hal ini merupakan kekuatan dari gesekan antar blok batuan pada bidang diskontinuitas tersebut. Seiring dengan bertambahnya pergeseran, nilai tegangan geser akan turun menjadi nilai residu (residual value) yang pada akhirnya menjadi konstan. Hasil dari uji tersebut dapat dilihat pada Gambar 5, dimana garis kegagalan pada saat tercapai kondisi puncak memiliki sudut kemiringan ϕ dan memotong sumbu tegangan geser pada titik c. Garis kegagalan pada kondisi residual memiliki sudut kemiringan ϕ r. Hubungan antara tegangan geser puncak τ p dan tegangan normal σ n dapat diberikan dalam persamaan Mohr-Coulomb: τ p = c + σ n tan φ (2.1) Dimana: c = kohesi dari permukaan bidang diskontinuitas ϕ = sudut gesek internal JTSL FT UGM 8

Gambar 5 Uji geser bidang diskontinuitas Pada kondisi residual, kohesi c menjadi nol dan Persamaan (2.1) menjadi: τ r = σ tanφ (2.2) n r Dimana: ϕ r = sudut gesek internal pada kondisi residual Sudut gesek internal dasar (basic friction angle) ϕ b merupakan istilah yang penting dalam pengertian kuat geser bidang diskontinuitas. Sudut gesek internal dasar ϕ b pada dasarnya sama dengan nilai sudut gesek internal residual ϕ r tetapi pada umumnya diperoleh dengan menguji sampel batuan dengan skala laboratorium, sehingga permukaan bidang diskontinuitas pada sampel merupakan buatan, tidak alami (sawn surface). Uji geser yang dilakukan pada sampel berukuran 50 mm x 50 mm ini menghasilkan persamaan: τ r = σ tanφ (2.3) n b 2.3.2. Kuat Geser Permukaan Kasar Permukaan bidang diskontinuitas alami pada suatu massa batuan tidak sehalus dengan permukaan bidang diskontinuitas yang diperoleh pada sampel laboratorium (sawn surface) yang digunakan untuk menentukan sudut gesek internal dasar. Kekasaran dari permukaan bidang diskontinuitas memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku kuat gesernya. Pada umumnya, permukaan yang kasar akan menambah kuat geser dari permukaan. Patton (1966) menguji perilaku tersebut dengan melakukan penelitian dimana ia melakukan uji geser dengan sampel yang memiliki bidang diskontinuitas seperti gerigi (Gambar 6). Perpindahan geser pada sampel terjadi sebagai hasil dari permukaan bidang JTSL FT UGM 9

kontak yang bergerak naik searah sudut kemiringan, menyebabkan kenaikan volume dari sampel. Berikut adalah persamaan dari uji kuat geser yang dilakukan oleh Patton: τ = σ tan( φ i) (2.4) n b + Dimana: ϕ b = sudut gesek internal dasar i = sudut kemiringan permukaan bidang kontak Gambar 6 Uji geser pada sampel dengan bidang diskontinuitas yang tidak rata 2.3.3. Kriteria Kuat Geser menurut Barton Persamaan (2.4) hanya berlaku pada kondisi tegangan normal yang rendah dimana perpindahan geser yang terjadi adalah karena dua blok yang saling bergesekan di sepanjang bidang kontak. Pada kondisi dimana tegangan normal sangat tinggi, kekuatan dari bahan batuan intact terlampaui dan gerigi pada bidang permukaan akan hancur, yang berakibat pada bidang diskontinuitas memiliki perilaku kuat geser yang lebih mirip dengan kuat geser batuan intact. Oleh karena itu, Barton (1973, 1976) meneliti perilaku joint pada batuan alam dan mengusulkan agar Persamaan (2.4) diubah menjadi persamaan berikut: JCS τ = σ n tan φb + JRC log (2.5) σ n Dimana: JRC = Koefisien kekasaran joint (joint roughness coefficient) JCS = Kekuatan tekan joint (joint wall compressive strength) Barton dan Choubey (1977) merevisi Persamaan (2.5) menjadi: JCS τ = σ n tan φr + JRC log (2.6) σ n Dimana: ϕ r = sudut gesek internal residual JTSL FT UGM 10

Barton dan Choubey menyarankan estimasi nilai ϕ r didapat dari persamaan berikut: φ = ( φ 20) 20( r / R) (2.7) r b + Dimana r adalah nilai hasil uji Schmidt hammer pada permukaan patahan yang lapuk dan basah, dan R adalah nilai hasil uji Schmidt hammer pada permukaan buatan (sawn surfaces) yang kering dan tidak lapuk. 2.3.4. Estimasi Nilai JRC Koefisien kekasaran joint JRC dapat diestimasi secara visual dengan menggunakan profil standard berikut (Gambar 7). Alternatif lain untuk mendapatkan nilai JRC adalah dengan membandingkan panjang profil joint dengan jarak perbedaan tekstur pada joint (asperity amplitude) dengan menggunakan grafik pada Gambar 8. Gambar 7 Profil kekasaran permukaan joint dan nilai JRC (Barton dan Choubey, 1977) JTSL FT UGM 11

Gambar 8 Metode alternatif untuk estimasi nilai JRC (Barton, 1982) JTSL FT UGM 12

2.3.5. Estimasi Nilai JCS Deere dan Miller (1966) menyarankan penggunaan Schmidt hammer untuk menentukan nilai JCS, seperti dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Metode untuk estimasi kekuatan tekan permukaan joint berdasarkan uji Schmidt hammer 2.3.6. Pengaruh Skala terhadap Nilai JRC dan JCS Barton dan Bandis (1982) mengusulkan penggunaan faktor koreksi skala untuk penentuan nilai JRC yang diberikan dalam persamaan: JRC n 0.02JRC0 Ln = JRC0 L (2.8) 0 Dimana JRC 0 merupakan nilai JRC dari suatu sampel laboratorium dengan panjang (L 0 ) 100 mm. Sementara JRC n dan L n adalah nilai JRC dan panjang blok batuan pada kondisi lapangan. JTSL FT UGM 13

Seiring dengan semakin besar skala suatu massa batuan, kemungkinan keberadaan dari bidang lemah (diskontinuitas) menjadi semakin besar, yang berakibat pada nilai kekuatan tekan (JCS) semakin kecil seiring dengan skala yang semakin meningkat. Barton dan Bandis (1982) mengusulkan penggunaan faktor koreksi skala untuk penentuan nilai JCS sebagai berikut: JCS n 0.03JRC0 Ln = JCS0 L (2.9) 0 Dimana JCS 0 merupakan nilai JCS dari suatu sampel laboratorium dengan panjang (L 0 ) 100 mm. Sementara JCS n dan L n adalah nilai JCS dan panjang blok batuan pada kondisi lapangan. 2.4. Analisis Stabilitas Lereng Batuan 2.4.1. Metode Keseimbangan Batas (Limit Equilibrium Method) Gambar 10 Ilustrasi metode keseimbangan batas Ilustrasi konsep metode keseimbangan batas dapat dilihat pada Gambar 10. Satusatunya gaya yang bekerja adalah berat sendiri blok batuan tersebut (W). Komponen gaya W yang mendorong blok batuan tergelincir ke bawah adalah W sin α, sedangkan komponen gaya W yang bekerja tegak lurus bidang kontak adalah W cos α. Tegangan normal σ yang bekerja di sepanjang bidang kontak: σ = ( W cosα) / A (2.10) Dimana A adalah luas area pertemuan antara blok batuan dengan bidang gelincir. Dengan mengasumsikan kekuatan geser τ pada bidang gelincir mengacu kepada kriteria Coulomb dengan τ = c + σ tan ϕ, dimana c dan ϕ adalah kohesi dan sudut gesek internal, maka kuat geser blok batuan dapat dilihat pada persamaan berikut: τ = c +W cosα / A tan φ (2.11) Kemudian, gaya geser R (R = τ A) yang menahan blok tersebut adalah: R = ca + W cosα tanϕ (2.12) JTSL FT UGM 14

Untuk mencapai kondisi keseimbangan, maka: gaya yang mendorong = gaya yang menahan, oleh karena itu: W sin α = ca + W cosα tan ϕ (2.13) ca + W cosα tan φ SF = (2.14) W sin α 2.4.2. Pengatuh Tekanan Air pada Bidang Diskontinuitas Batuan Gambar 11 Pengaruh tekanan air pada bidang lemah batuan Air yang mengisi bidang lemah pada batuan dapat menambah gaya yang mendorong blok batuan dan mengurangi tegangan normal yang bekerja di sepanjang bidang kontak. Pada Gambar 11, air yang berada di dalam bidang lemah mengakibatkan gaya V di belakang blok batuan. Selain itu, tekanan air U di bagian bawah blok batuan (uplift pressure) mengurangi tegangan normal, sehingga kestabilan blok batuan secara keseluruhan berkurang. σ = ( W cosα U) / A (2.15) ca + ( W cosα U ) tan φ SF = W sin α + V (2.16) JTSL FT UGM 15

2.4.3. Analisis Stabilitas Mode Keruntuhan Bidang (Plane Sliding) Gambar 12 Analisis stabilitas plane sliding Untuk melakukan analisis stabilitas lereng batuan seperti pada gambar di atas, konsepnya sama dengan analisis stabilitas metode keseimbangan batas, dimana angka aman diperoleh dari perbandingan jumlah gaya yang menahan blok batuan dengan jumlah gaya yang mendorong. Apabila berat blok batuan adalah W, maka T = W sin α adalah komponen gaya W yang bekerja sejajar dengan arah keruntuhan, dan N = W cos α adalah gaya normal yang terjadi di sepanjang bidang diskontinuitas. Oleh karena itu, gaya yang mendorong adalah: F D = T = W sinα (2.17) Dan gaya yang menahan adalah: F R = N tan φ + C = W cosα tan φ + C (2.18) Dimana C = c x (panjang A-A 1 ) x (1 m) Maka: FR W cosα tan φ + C SF = = (2.19) F W sin α D Apabila ada tekanan air di sepanjang bidang lemah batuan, maka tekanan air pori (U) diperhitungkan dalam Persamaan (2.19) menjadi: FR ( W cosα U) tan φ + C SF = = (2.20) F W sin α D JTSL FT UGM 16

2.4.4. Analisis Stabilitas Mode Keruntuhan Bidang dengan Retakan (Tension Crack) Gambar 13 Analisis stabilitas lereng batuan dengan retakan (tension crack) Kasus analisis stabilitas dengan adanya retakan di bagian atas lereng seperti pada gambar di atas mengasumsikan bahwa air mengisi penuh bidang retakan, sehingga menimbulkan gaya hidrostatis H dan gaya uplift U yang bekerja di sepanjang bidang lemah batuan. Panjang bidang diskontinuitas (L) dapat dicari dengan: h z L = (2.21) sinα Tahanan geser (T) bekerja pada bidang diskontinuitas sepanjang bidang AK (L), sehingga: T = N eff tan φ + C = ( N U ) tan φ + C (2.22) Dimana N eff = N U, dan N = W cos α Berat blok batuan (W) dapat diberikan dengan: 2 z 1 1 h W = γ 2 tan α 1 tanϑ (2.23) JTSL FT UGM 17

Tekanan uplift (U) dapat dicari dengan: 1/ 2. γ w. z( h z) U = (2.24) sin α Dimana: α = Sudut kemiringan bidang diskontinuitas dengan garis horisontal U = Tekanan uplift ϕ = Sudut gesek internal batuan C = c.a = c x L x (1 m) A = Luas bidang kontak antara blok batuan dengan bidang diskontinuitas L = Panjang bidang diskontinuitas γ = Berat jenis batuan z = Kedalaman retakan θ = Sudut kemiringan lereng Resultan dari tahanan geser (F R ) dapat dicari dengan: F R = T (H sin α) tanφ = tan φ + C H sin α tan φ N eff [( N U) H sinα ] tan + C [ W cosα U H sin α] tan + C = φ = ( φ (2.25) Resultan dari gaya dorong (F D ) dapat dicari dengan: F D = W sin α + H cosα (2.26) Angka aman (SF) diberikan dengan: ( W cosα H sin α U) tan φ + C SF = (2.27) W sin α + H cosα JTSL FT UGM 18

2.4.5. Pengaruh Beban Gempa Gambar 14 Beban gempa Pada kasus stabilitas lereng batuan dengan beban gempa, blok batuan menerima gaya horisontal F 1, yang dapat dicari dengan: W F1 = m a = a g (2.28) Dimana: m g a k g = massa blok batuan = percepatan gravitasi = percepatan gempa = k g. g = koefisien gempa Sehingga faktor aman (Persamaan 2.27) berubah menjadi: ( W cosα F1 sin α H sin α U) tan φ + C SF = (2.29) W sin α + F cosα + H cosα 2.5. Penutup Kuis 1 (Pertemuan 2): 1 Bentuk kekasaran permukaan untuk sampel 100 mm: Diketahui suatu blok batuan dengan panjang L = 2 m berada pada bidang diskontinuitas dengan kemiringan α = 30 0. Sampel pada laboratorium memiliki panjang Lo = 100 mm. Apabila JCS 0 = 50 MPa, ϕ b = 30 0, r/r = 0.75, berat jenis batuan = 24 KN/m 3, maka JTSL FT UGM 19

hitunglah angka aman stabilitas blok batuan tersebut dengan kriteria kuat geser bidang diskontinuitas menurut Barton dengan memperhitungkan pengaruh faktor skala. Kuis 2 (Pertemuan 3): Diketahui lereng batuan dengan retakan seperti pada gambar di atas. Kohesi sepanjang bidang gelincir adalah 80 kn/m 2 dan sudut gesek internal 35 0. Berat jenis batuan 24 KN/m 3. Berdasarkan RSNI 03-1726-2010, lereng tersebut terletak pada zona seismik dengan percepatan puncak batuan dasar sebesar 0,25g. Hitunglah angka aman. Bobot penilaian untuk kedua tes formatif di atas adalah 10% dari nilai akhir. JTSL FT UGM 20

BAB III: INVESTIGASI DAN PREDIKSI LONGSORAN BATUAN 3.1. Pendahuluan Bab ini memberikan penjelasan tentang tahapan penyelidikan lapangan yang diperlukan dalam analisis lereng batuan, seperti pemetaan geologi, pemetaan struktur geologi, pengeboran, survey geofisika, prediksi jarak luncur longsoran batuan, prediksi volume, luas area, dan kecepatan longsoran batuan. Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami konsep penyelidikan lapangan untuk menangani kasus stabilitas lereng batuan, untuk memperoleh data-data yang dapat digunakan dalam analisis stabilitas lereng batuan, serta dapat memperkirakan akibat kelongsoran yang dapat terjadi, sehingga dapat merancang bentuk penanganan yang sesuai. 3.2. Penyelidikan Lapangan Sebelum dilakukan analisis stabilitas lereng batuan, proses pengumpulan data (baik primer maupun sekunder) merupakan tahapan yang sangat penting. Berikut adalah penjelasan dari langkah-langkah penyelidikan lapangan, mulai dari penyelidikan awal (preliminary investigation) hingga penyelidikan yang lebih mendetail. Kegiatan penyelidikan awal mencakup studi untuk mempelajari data-data yang ada, seperti peta geologi, yang dapat dilanjutkan dengan inspeksi lapangan untuk kegiatan pemetaan geologi dan karakterisasi lahan. Pada tahap penyelidikan awal, kondisi struktur geologi dan kondisi massa batuan dapat ditinjau untuk mengidentifikasi keberadaan dan arah dari bidang lemah. Hasil dari penyelidikan awal dapat digunakan untuk merancang kegiatan penyelidikan selanjutnya yang lebih mendetail. Kegiatan inspeksi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data-data berikut: 1.Formasi geologi 2.Geometri lereng 3.Formasi tanah dan profil pelapukan 4.Struktur batuan: lipatan dan bidang geser 5.Hidrogeologi 6.Pengamatan pergerakan tanah/batuan seperti retakan, blok-blok jatuhan 7.Vegetasi 8.Konstruksi seperti timbunan dan galian, sistem drainase Tahap penyelidikan yang lebih mendetail (detailed investigation) dapat diuraikan sebagai berikut: 3.2.1. Pemetaan Geologi Hal yang mendasar dalam analisis mekanika batuan adalah model geologi dan database geologi yang berisi tentang jenis batuan, bidang diskontinuitas, dan property dari batuan. Bahkan analisis yang paling canggih pun dapat menjadi tidak berarti apabila dalam JTSL FT UGM 21

analisis menggunakan data geologi yang tidak akurat. Pada umumnya, tujuan dari kegiatan pemetaan geologi adalah: 1. Untuk memberi informasi mengenai kondisi geologi di lapangan dan faktor-faktor pendukung lain yang ada terkait dengan kondisi lapisan batuan untuk menentukan lokasi uji bor 2. Menentukan tipe bidang diskontinuitas yang dapat mempengaruhi keberlangsungan dari pekerjaan 3. Menggunakan data informasi geologi yang ada terhadap karakteristik batuan untuk analisis yang dilakukan pada tahap berikutnya 3.2.2. Pemetaan Struktur Geologi Pemetaan struktur geologi dilakukan untuk mengidentifikasi jumlah, arah, dan dimensi bidang diskontinuitas, serta karakteristik dari bidang diskontinuitas pada massa batuan. Metode untuk melakukan pemetaan struktur geologi yang umum dilakukan oleh para praktisi adalah dengan pemetaan langsung di lapangan dan dengan melakukan pemboran. Selain itu, penemuan alat bernama electronic geological compass memudahkan para ahli geologi dalam melakukan pemetaan struktur geologi di lapangan. Gambar 15 Electronic geological compass Dalam beberapa tahun terakhir, metode untuk memetakan struktur geologi secara cepat menggunakan teknologi 3D laser scanning seperti LiDAR (FHWA, 2006) yang dapat memetakan semua karakteristik bidang diskontinuitas (arah, jumlah, dimensi) pada suatu massa batuan dalam suatu area tertentu secara cepat (Gambar 16). Teknologi ini juga mampu mengukur nilai indeks JRC pada suatu permukaan bidang diskontinuitas secara akurat. JTSL FT UGM 22

(a) (b) (c) Gambar 16 Pemetaan struktur geologi dengan teknologi 3D laser scanning; (a) Struktur geologi yang akan dipetakan, (b) Proses pengolahan data hasil scanning, (c) Proyeksi stereografi dari bidangbidang diskontinuitas hasil proses scanning 3.2.3. Pengeboran Kegiatan pengeboran (drilling) dilakukan untuk: 1. Penyelidikan kondisi struktur geologi untuk karakterisasi massa batuan 2. Mengevaluasi kondisi bidang diskontinuitas di bawah permukaan 3. Mendapatkan data tambahan terkait bidang diskontinuitas dengan melakukan survey menggunakan kamera yang dipasang pada alat bor 4. Memasang alat-alat instrumentasi, contoh: piezometer JTSL FT UGM 23

3.2.4. Survey Geofisika Kegiatan penyelidikan lapangan pada lereng batuan yang ramah lingkungan (nondestructive) adalah dengan mengukur anomali-anomali fisika pada lapisan batuan dekat permukaan dengan menggunakan teknik-teknik geofisika. Teknik ini mencakup survey seismik dan sonik untuk mengukur kecepatan getaran atau gelombang suara yang menembus batuan, survey magnetik dan gravitasi yang mengukur tingkat anomali dari bahan material dengan kadar besi yang tinggi dan bahan material dengan kepadatan yang rendah atau tinggi. Metode geofisika lainnya seperti metode elektro-magnetik menggunakan medan elektromagnetik seperti georadar yang memiliki tingkat resolusi yang sangat tinggi. Aplikasi dari metode survey geofisika untuk penyelidikan lereng batuan pada umumnya lebih memberikan hasil yang signifikan pada kondisi massa batuan yang tidak beraturan (blocky) dibandingkan dengan kondisi massa batuan yang homogen. Metode refraksi seismik digunakan untuk mengetahui material batuan dengan karakteristik cepat rambat gelombang yang tinggi, dan dapat menentukan permukaan potensi bidang gelincir. Teknik tomografi dapat digunakan untuk mengevaluasi zona lemah di dalam massa batuan. Metode resistivitas dapat mengidentifikasi tingkat konsentrasi air yang dapat berkaitan dengan keberadaan bidang gelincir. Gambar 17 Contoh aplikasi survey geofisika dalam penyelidikan lereng batuan 3.3. Prediksi Jarak Luncur Longsoran Batuan Moriwaki (1987) mengusulkan sebuah persamaan yang memberikan hubungan antara perbandingan tinggi jatuh blok longsoran (H) dan jarak luncur longsoran (L) dengan besar sudut kemiringan lereng (θ) berdasarkan 33 data longsor, yang diberikan dengan persamaan berikut ini: H / L = 0.73 tanθ 0.07 (3.1) Persamaan tersebut memberi arti bahwa semakin landai kemiringan lereng, semakin jauh jarak longsoran yang terjadi. Jarak longsoran dapat dihitung dengan nilai kemiringan lereng yang akurat. Nilai H/L dapat diestimasi secara kasar, sekitar 0,5-0,6 kali dari kemiringan lereng pada daerah sumber longsor. Ilustrasi dan grafik hubungan antara kemiringan lereng dengan perbandingan H/L dapat dilihat pada Gambar 18. JTSL FT UGM 24

Moriwaki (1987) juga memberikan persamaan yang lebih aman untuk memprediksikan jarak longsoran batuan, seperti dalam persamaan berikut. H / L = 0.73 tanθ 0.21 (3.2) Gambar 18 Hubungan antara sudut kemiringan lereng dengan nilai H/L (Moriwaki, 1987) 3.4. Prediksi Volume, Luas Area, dan Kecepatan Longsoran Batuan Scheidegger (1973) menganalisa secara statistik terhadap data bencana longsor dan menyatakan bahwa nilai perbandingan dari ketinggian longsor (H) dan jarak longsor (L) menurun sebanding dengan meningkatnya jumlah volume longsoran, berdasarkan data longsor dengan volume lebih dari 10 5 m 3 di seluruh dunia. Kemudian, Oyagi (1984) mengumpulkan dan menganalisis data longsor dengan volume kurang dari 10 5 m 3, yang disebabkan oleh curah hujan dan gempa, dan mendapatkan hasil yang kurang lebih sama terhadap hasil dari Sheidegger. Sementara itu, Moriwaki (1987) menganalisis data longsor dengan volume yang berkisar antara 10 0 hingga 10 9 m 3. Gambar 19 menunjukkan grafik hubungan antara nilai perbandingan H/L dengan volume longsoran berdasarkan penelitian oleh Scheidegger (1973), Oyagi (1984), dan Moriwaki (1987). Pada grafik tersebut, persamaan yang diberikan oleh Moriwaki (garis 4) berada di antara persamaan yang diberikan oleh Scheidegger dan Oyagi (garis 2 dan 3), dan diberikan dalam persamaan berikut. log( H / L) = 0.094logV + 0.1 (3.3) JTSL FT UGM 25

Gambar 19 Hubungan antara nilai perbandingan H/L dengan volume longsoran Penentuan metode untuk memprediksi luasan area yang terkena longsor sangat penting untuk menentukan metode penanganan yang sesuai. Li (1983) memberikan sebuah persamaan untuk menentukan luasan area yang terkena longsor dengan menggunakan model matematika berdasarkan analisis statistik dari 76 kasus longsoran batuan di Eropa dan diberikan dalam persamaan berikut. 1.76 V = 0.00048A (3.4) Dimana V adalah volume longsoran batuan, dan A adalah luas area yang berpotensi terkena longsor. Nakamura dan Fathani (2005) melakukan penelitian terhadap kecepatan maksimum dari sebuah blok longsoran dengan menggunakan model numerik. Seperti dapat dilihat pada Gambar 20, kejadian longsor dengan volume yang kecil terjadi dengan kecepatan yang rendah, sedangkan longsor dengan volume yang besar terjadi dengan kecepatan maksimum yang tinggi, karena massa longsoran dengan volume yang besar memiliki koefisien gesekan dinamis yang lebih rendah daripada massa longsoran dengan volume yang kecil. JTSL FT UGM 26

Gambar 20 Hubungan antara kecepatan maksimum dengan volume longsoran 3.5. Penutup Tugas (Pertemuan 4): Masing-masing mahasiswa membuat makalah dengan memilih salah satu tema di antara tiga tema berikut: 1. Bentuk-bentuk proteksi lereng dan perkuatan lereng batuan 2. Perkembangan aplikasi program komputer dalam analisis lereng batuan 3. Contoh kasus longsoran batuan / ketidakstabilan lereng batuan beserta analisis dan bentuk penanganannya Tugas akan dikumpulkan pada pertemuan terakhir (Pertemuan 5) dan empat/lima mahasiswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan makalah yang sudah disusun. Bobot penilaian untuk tugas adalah 15% dari nilai akhir. JTSL FT UGM 27

PUSTAKA Giani, G.P. (1992), Rock Slope Stability Analysis, A.A. Balkema, Rotterdam. Goodman, R.E. (1980), Introduction to Rock Mechanics, John Wiley and Sons. Hoek, E., (2009), Fundamentals of Slope Design, Keynote address at Slope Stability 2009, Santiago, Chile Ortigao, J.A.R. dan Sayao, A.S.F.J., (2004), Handbook of Slope Stabilisation, Springer JTSL FT UGM 28