IDENT1FIKASI FLUKS MAGNETIK DARI GERAK PASANGAN BINTIK BIPOLAR,

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PERGERAKAN BINTIK MATAHARI Dl DAERAH AKTIF NOAA 0375

ANALISIS GERAK BINTIK MATAHARI BIPOLAR SEBELUM TERJADI FLARE PADA NOAA 0484 TANGGAL 21 DAN 22 OKTOBER 2003

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

HELISITAS MAGNETIK DAERAH AKTIF DI MATAHARI

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

ANALIS1S EVOLUSI GRUP SUNSPOTSPD WATUKOSEK UNTUK MEMPEROLEH INDIKATOR KEMUNCULAN FLARE

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

PENGUAPAN KROMOSFER YANG TERKAIT DENGAN FLARE TANGGAL 13 MEI 2013 (CHROMOSPHERIC EVAPORATION RELATED TO THE MAY 13, 2013 FLARE)

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010

PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT

KLASIFIKASI DAN PERUBAHAN JUMLAH SUNSPOT DIAMATI DARI LABORATORIUM ASTRONOMI JURUSAN FISIKA FMIPA UM PADA BULAN AGUSTUS OKTOBER 2012

SEGMENTASI BINTIK MATAHARI MENGGUNAKAN METODE WATERSHED

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE

TELAAH MODEL NUMERIK MEKANISME TERJADINYA FLARE DI MATAHARI

ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

SOAL UJIAN PRAKTEK ASTRONOMI OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2014 CALON PESERTA INTERNATIONAL EARTH SCIENCE OLYMPIAD (IESO) 2015

BAB III METODE PENELITIAN

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

Analisis Distribusi Temperatur Atmosfer Matahari saat Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 di Palu, Sulawesi Tengah

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

BAB III METODE PENELITIAN

ANCAMAN BADAI MATAHARI

Analisis Empirik Kejadian Flare Terkait dengan Perubahan Fisik Sunspot

KARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG

ANALISIS ASOSIASI SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE III DENGAN FLARE SINAR-X DAN FREKUENSI MINIMUM IONOSFER

DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )

GANGGUAN GEOMAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET YANG TERKAIT

PENGELOMPOKAN SUNSPOT PADA CITRA DIGITAL MAHATARI MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING DBSCAN

PENENTUAN INDEKS AKTIV1TAS MATAHARI EKSTRIM HARIAN

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB

ABSTRAK. Kata Kunci: Sunspot, Aktivitas Matahari, Klasifikasi Mcintosh, Flare

IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET

STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

ANAL1SIS EMPIRIK KEJADIAN FLARE TIRKAIT DENGAN PERUBAHAN FIS1K SUNSPOT

Perbandingan Model Linier Versus Analisis Vektor pada Gerak Grup Sunspot di Lintang Selatan dari Siklus Matahari Ke-23

APLIKASI VEKTOR UNTUK ANALISIS PERGERAKAN GRUP SUNSPOT MATAHARI DARI DATA SUNSPOT SIKLUS KE-23

PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK

STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA

MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23

MODUL PRAKTIKUM Perkuliahan Astrofisika (FI567)

BUKTI VISUAL PENEMUAN PLANET PADA BINTANG FOMALHAUT

STRUKTUR MATAHARI DAN FENOMENA SURIA

METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin

TRY OUT UJIAN NASIONAL SMA PROGRAM IPA AKSES PRIVATE. Mata pelajaran : MATEMATIKA Hari/Tanggal : / 2013

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

UM UGM 2017 Fisika. Soal

PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

Diterima: 28 April 2016; direvisi: 3 Juni 2016; disetujui: 14 Juni 2016 ABSTRACT

IDENTIFIKASI MODEL INDEKS K GEOMAGNET BERDASARKAN SIFAT STOKASTIK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini, data harian yang diambil merupakan data sekunder

PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM

PERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS)

OLIMPIADE SAINS NASIONAL TAHUN 2009 TINGKAT KABUPATEN/KOTA FISIKA SMP

CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015

1.2 Tujuan Makalah Makalah ini dibuat untuk membantu para taruna-taruni dalam hal memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan medan magnet Bumi.

SUMBER Z DAN SUMBER ATOLL

LIMIT BAWAH BILANGAN SUNSPOT UNTUK SUNSPOT YANG BERPOTENSI MELEPASKAN FLARE : METODA PERINGATAN DINI ANTARIKSA

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

SELEKSI TINGKAT PROVINSI CALON PESERTA INTERNATIONAL ASTRONOMY OLYMPIAD (IAO) TAHUN 2009

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA KALA HIDUP SATELIT

Kata kunci: cermin Einstein, cermin Relativistik, foton, pemantulan cahaya.

Materi Pendalaman 03 GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK =================================================

BAB II DASAR TEORI. commit to user

Model Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang. Habirun. Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan No.

Nizam Ahmad 1 dan Neflia Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 6 Maret 2014; Disetujui 14 Mei 2014 ABSTRACT

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

PEKERJAAN RUMAH SAS PERTEMUAN-1 DAN PERTEMUAN-2 A.Pilihan Ganda

Macam-macam Waktu. Universal Time dan Dynamical Time

Keterkaitan Variasi Sinar Kosmik dengan Tutupan Awan Riza Adriat 1)

BAB VI Usaha dan Energi

ANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR KEMUNGKINAN TERJADINYA BADAI MAGNET BUMI

METODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW

ROOT LOCUS. Aturan-Aturan Penggambaran Root Locus. Root Locus Melalui MATLAB. Root Locus untuk Sistem dengan

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

TOPIK 8. Medan Magnetik. Fisika Dasar II TIP, TP, UGM 2009 Ikhsan Setiawan, M.Si.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SAINS BUMI DAN ANTARIKSA

Transkripsi:

IDENT1FIKASI FLUKS MAGNETIK DARI GERAK PASANGAN BINTIK BIPOLAR, Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN ABSTRACT Proper motion of a pair of bipolar spots is analyzed using TRACE white light data to find their relation with the emerging flux. These spots were located under flaring region of NOAA 0424, which ejected an M1.7/S N flare on August 5, 2003. As the result, it is found that the preceding moved westward of the following. We interpret this as the indicator of emerging magnetic flux triggering flare. AB8TRAK Gerak diri dua buah bintik yang berpasangan dengan polaritas berbeda yang terletak tepat di bawah kaki pita dianalisis dengan menggunakan data cahaya putih TRACE untuk mengetahui pertumbuhan fluks magnetik yang menghubungkan keduanya. Analisis dilakukan untuk flare kelas M1.7/SN yang terjadi tanggal 5 Agustus 2003 di NOAA 0424. Dari pengukuran pergerakannya terlihat bahwa bintik yang mendahului bergerak menjauh ke arah barat dari bintik yang mengjkuti. Gerakan ini dapat diinterpretasikan sebagi petunjuk adanya fluks magnetik yang naik ke atas, dan memicu terjadinya flare. Kata kunci: bintik bipolar, proper motion, flare, emerging, magnetic flux 1 PEND AHULU AN Flare merupakan fenomena energetik dari matahari yang didahului oleh konversi energi dari energi medan magnetik menjadi energi dalam bentuk lain. Proses konversi energi ini berlangsung dengan cepat, terutama pada saat awal terjadinya flare. Pada saat ini juga terjadi percepatan partikel menjadi energi tinggi. Kondisi ini membuat para peneliti menyimpulkan bahwa terjadinya flare dipicu oleh energi magnetik dan ketidakstabilan plasma, Kondisi utama yang diperlukan untuk terjadinya flare adalah adanya daerah aktif, sehingga pengetahuan mengenai karakteristik medan magnet dalam daerah aktif untuk memahami pemicu terjadinya flare (Sundara Raman et al., 1998). Beberapa faktor dapat mempengaruhi pembangkitan energi dalam daerah aktif, misalnya kompleksitas magnetik, konfigurasi 8, munculnya fluks, dan pergerakan di fotosfer. Penelitian mengenai kaitan antara flare dan bintik matahari telah lama dilakukan (misalnya Antalova, 1965; Gesztelyi, 1984). Pergerakan bintik matahari yang cepat seringkali merupakan pemicu terjadinya flare. Dezso et al. (1980) menemukan adanya spot yang berubah arah bergerak dengan sangat cepat pada saat terjadinya fasa maksimum pada flare. Perubahan posisi dan 56

bentuk sunspot selama fasa impulsif juga dikemukakan oleh Anwar et. al. (1993). Gerak diri (proper motion) bintik matahari pada umumnya dianggap sebagai akibat dari adanya interaksi yang kompleks pada rotasi matahari, medan magnet, dan proses konveksi. Gerak diri yang sistematis dalam bujur (longitude) matahari telah diketahui dengan baik. Komponen yang lebih dahulu (disebut sebagai preceeding) bergerak searah dengan rotasi matahari (ke arah tepi barat matahari) selama beberapa hari berturut-turut dengan kecepatan yang makin lambat, sementara bintik pasangannya (disebut sebagai folloming) bergerak sebaliknya, yaitu ke tepi timur atau diam (Kiepenheuer, 1953). Pergerakan relatif antara bintik preceding dan folloming dengan polaritas berbeda diinterpretasikan sebagai akibat dari naiknya fluks magnetik di fotosfer (Gesztelyi, 1984; Mazzucconi, et al., 1990, van Driel-Gesztelyi & Petrovay, 1990). Munculnya fluks ini juga dapat memicu terjadinya flare bila terjadi rekoneksi dengan medan magnetik yang sudah ada di atasnya (Gambar 1-1). Bila gerak diri dari kedua bintik bipolar diinterpretasikan sebagai hasil dari tabung fluks magnetik di bawah fotosfer yang sedang naik akibat gaya apung magnetik, maka informasi dari sifat-sifat tabung ini dapat diketahui. Untuk keperluan penelitian mengenai kaitan bintik matahari dengan flare ini, maka diambil satu contoh daerah aktif yang memunculkan flare. Dalam hal ini sebagai daerah aktif yang diamati adalah NOAA 0424 yang melontarkan banyak flare, salah satunya adalah flare pada tanggal 5 Agustus 2003. Yang diamati dari daerah aktif ini adalah pergerakan bintik yang terletak di bawah pita flare jauh sebelum flare tersebut terjadi. Dari pergerakan pasangan bintik ini diharapkan dapat diketahui juga sifat-sifat tabung fluks magnetik yang menyebabkan rekoneksi dan kemudian memicu terjadinya flare. Gambarl-1: Kiri: Naiknya fluks yang berkaitan dengan gerak pasangan bintik bipolar; p menyatakan bintik preceeding, f adalah bintik following. W menunjukkan barat, dan E menunjukkan timur (van-driel Gesztelyi & Leka, 1994). Kanan: Fluks yang naik terus pada suatu saat akan bertemu dengan medan magnetik yang sudah ada di atasnya, dan kemudian bisa mengakibatkan rekoneksi yang memicu terjadinya flare (Priest, 1982). 57

2 DATA DAN METODE ANALISIS Daerah aktif NOAA 0424 mulai tampak di permukaan matahari pada saat daerah ini muncul di tepi timur pada tanggal 2 Agustus 2003. Pada saat kemunculannya daerah ini sudah aktif dan melontarkan beberapa flare yang tidak terlalu kuat (kelas B dan C dalam klasifikasi sinar X nya, yaitu dengan energi sinar X maksimum berturut-turut 10-7 dan 10-6 Watt/m 2 ). Pada tanggal 5 Agustus 2003 jam 12:46 UT daerah aktif ini kembali melontarkan flare yang merupakan flare yang kompak dengan kelas M1.7/SN. Artinya, energi sinar X maksimumnya adalah 1.7 x 10 5 Watt/m 2 (Gambar 2-1) dan tergolong flare yang kecil [subflare). Pada saat ini daerah aktif terletak pada koordinat S16 E33 atau terletak di belahan selatan matahari pada 16 derajat dan timur pada 33 derajat. Data citra yang diperoleh adalah dalam panjang gelombang 171A dan white light, seperti pada Gambar 2-2. Kedua gambar ini mempunyai ukuran 1024 x 1024 piksel. Dengan melakukan superposisi kedua gambar yang diambil pada waktu yang sama (Gambar 2-2 kiri) dapat diketahui bintik yang berkaitan langsung dengan flare. Pada gambar sebelah kanan diperlihatkan bintik yang terkait langsung dengan flare, yaitu bintik A dan B, dengan A adalah bintik negatif dan B adalah bintik dengan polaritas positif. Sehingga dalam hal ini kedua bintik ini merupakan pasangan bintik bipolar. GOES 10 X-Rays: 00:00 03:00 06:00 09:00 Start Time (05-Aug-03 00:00:00) 12:00 Gambar 2-1: Plot sinar X pada tanggal 5 Agustus 2003. Flare yang berasal dari NOAA 0424 adalah flare yang terjadi pada jam 12.46 UT (tanda panah). Kurva atas adalah pada panjang gelombang 1-8 A, bawah pada 0.5-4 A. Flare sinar X pada sekitar jam 09 UT tidak berasal dari daerah ini, tetapi dari NOAA 0421. (sumber: Yohkoh Solar Observatory, http://www.lmsal.com/sxt/) 58

Gambar 2-2: Flare X1.7/SN yang terjadi di daerah aktif 0424 pada jam 12:46 UT. Tanda panah pada panel sebelah kanan menunjukkan bintik matahari (A dan B) yang terkait langsung dengan flare. Dalam gambar ini Utara ke arah atas, dan Barat ke arah kanan. Ukuran gambar adalah 1024 x 1024 piksel dengan 1 piksel mewakili 0.5 detik busur (arcsec) atau 360 km (sumber: Transition Region and Coronal Explorer) Data yang digunakan merupakan data TRACE (Transition Region and Coronal Explorer) yang diperoleh dari http://vestige.lmsal.com/trace/. TRACE merupakan misi yang diluncurkan NASA untuk mengamati korona matahari dan daerah transisi dengan resolusi ruang dan waktu yang tinggi. Data yang dianalisis merupakan data dalam panjang gelombang 171 A untuk melihat posisi flare, dan data white light, untuk melihat bintik matahari pada daerah aktif tersebut. Citra bintik matahari yang diperoleh sangat bagus karena tidak terpengaruh oleh seeing effect. Ukuran gambar daerah aktif NOAA 0424 yang dianalisis adalah citra white light yang mempunyai ukuran 768 x 768 piksel, dengan 1 piksel mewakili 0.5 detik busur atau sekitar 360 km. Rentang waktu yang dianalisa adalah dari jam 01.00 UT sampai 13.30 UT. Dengan selang waktu tiap gambar sekitar 1 menit, diperoleh data white light sebanyak 622 gambar. Analisa dilakukan dengan mengukur posisi bintik matahari yang terletak di bawah flare untuk setiap gambar. Pengukuran gerak diri bintik matahari ini dilakukan dengan metoda cross correlation yang pada awalnya dilakukan oleh von der Luhe (1983), November (1986), dan November & Simon (1988) untuk mengukur pergerakan granulasi di matahari. Metode ini kemudian digunakan untuk mengukur pergerakan bintik dengan beberapa modifikasi. Dengan metode ini maka kesalahan pengukuran akibat gerakan teleskop yang tidak tepat mengikuti gerak matahari atau gerak acak teleskop itu sendiri (telescope jitter) dapat dihilangkan. 59

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam menerapkan metoda ini, dalam pengukuran besarnya pergeseran bintik (gerak dirinya) di permukaan matahari. Yang pertama adalah dengan menggeser setiap gambar terhadap acuan tertentu sehingga diperoleh koefisien korelasi yang maksimum (Gambar 2-3). Kemudian, seperti pada Gambar 2-4, mengukur pergeseran setiap bintik untuk mengetahui posisinya dalam gambar pada setiap saat (Yatini et. al., 2003). Karen a gambar daerah aktif hanya mencakup sebagian daerah di piringan matahari, maka besarnya pergeseran yang diukur adalah pergerakannya relatif terhadap suatu acuan, yang dalam hal ini yang digunakan sebagai acuan adalah kelompok bintik di mana kedua bintik yang berpasangan tersebut berada di dalamnya. Gambar 2-3: Sketsa superposisi gambar A dan gambar B untuk menentukan besarnya pergeseran gambar (x offset dan y offset) terhadap gambar acuan (gambar A). Sebagai bintik acuan adalah bintik nomor 1 4 60

Gambar 2-4: Gambar daerah aktif di mana bintik yang akan dihitung pergerakannya adalah bintik 2 dan 3 (dalam Gambar 2-2 disebut sebagai bintik B dan A), di mana sebagai acuan adalah konfigurasi bintik dalam kotak no 1 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan menggunakan metode seperti di atas, maka diperoleh gerak bintik 2 dan 3 terhadap konfigurasi bintik no 1. Pada Gambar 3-1 diperlihatkan gerak bintik no 2 di dalam konfigurasi bintik di sekitarnya (gambar kiri). Sumbu horisontal menunjukkan waktu dalam Universal Time (UT), sedangkan sumbu horisontal menunjukkan besarnya pergerakan dalam piksel. Gambar atas adalah pergerakan dalam sumbu x (arah bujur/longitudinal), gambar arah adalah pergerakan dalam sumbu y (arah lintang/latitudinal). Pergerakan dengan garis yang turun (x atau y makin kecil) menunjukkan bahwa gerakannya adalah ke kiri atau ke bawah (ke arah timur atau selatan) terhadap referensinya, sedangkan garis yang naik berarti sebaliknya. Garis putus-putus pada gambar sebelah kiri merupakan fitting polinomial menggunakan orde (derajat) 5. Pemilihan polinom orde lima ini berdasarkan kesesuaiannya dengan data. Dari fitting ini kemudian dihitung kecepatan pergerakannya terhadap waktu, yang merupakan kecepatan bintik tersebut bergerak di dalam grupnya (gambar kanan). Pada gambar ini terlihat bahwa pada awalnya (sebelum jam 2 UT) bintik no 2 bergerak ke arah timur-selatan dari acuannya dengan kecepatan yang makin lambat. Kemudian bintik ini bergerak ke arah barat dengan 61

kecepatan yang hampir sama dengan acuannya. Kira-kira 2 jam sebelum munculnya flare (±10 UT) bintik berubah arah menuju ke barat-utara dengan kecepatan yang sedikit lebih besar. Setelah flare dilontarkan, bintik bergerak dengan cepat ke arah timur selatan dengan kecepatan lebih dari 500 m per detik pada akhir pengukuran. Berbeda dengan bintik 2, bintik 3 tampak bergerak dengan kecepatan yang hampir konstan ke arah barat (kira-kira 200 m per detik), dan pada arah utara-selatan bintik ini tampak diam terhadap acuannya Gambar 3-2. Akan tetapi kira-kira 2 jam sebelum flare terjadi bintik ini bergerak ke arah selatan dengan kecepatan yang bertambah besar (kira-kira mencapai lebih dari 50 m per detik saat terjadi flare), sedangkan dalam arah x (arah bujur) kecepatannya melambat. Relotive Motion: spot 2-spot 1 Relotive Velocity: spot 2-spot 1 4 6 8 time (hour] 10 12 14 6 8 lime (hour) 10 12 14 6 8 time (Hour) 10 12 14 Gambar 3-1: Pergerakan bintik no 2 (bintik positif) terhadap konfigurasi bintik di sekitarnya (gambar kiri). Gambar kanan adalah kecepatannya yang diturunkan dari fitting pada pergerakannya (garis putusputus pada gambar kiri). 62

Gambar 3-2: Pergerakan bintik no 3 (bintik negatif) terhadap konfigurasi bintik di sekitarnya (gambar kiri). Gambar kanan adalah kecepatannya yang diturunkan dari fitting pada pergerakannya (garis putusputus pada gambar kiri). Untuk melihat pergerakan dari bintik bipolar, maka dibandingkan pergerakan kedua bintik ini. Dalam Gambar 3-3 diperlihatkan pergerakan bintik 3 dilihat dari bintik 2. Dilihat dari bintik 2, dalam arah longitudinal, bintik 3 tampak bergerak ke arah barat dengan kecepatan yang berubah-ubah. Hal ini terjadi sejak awal pengamatan. Akan tetapi pada sekitar 2 jam sebelum flare terjadi, geraknya berubah ka arah timur, walaupun kemudian setelah flare terjadi geraknya kembali ke arah barat dengan percepatan yang cukup besar. Pada akhir pengamatan kecepatannya mencapai 700 m per detik. Pada arah latitudinal (arah y) tidak ada pergeseran yang berarti pada kedua bintik ini, tetapi seperti halnya pada arah x, pada arah y ini sekitar 2 jam sebelum flare bintik 3 tampak bergerak ke arah selatan, dan kemudian kembali lagi ke utara, dengan kecepatan yang makin besar dibandingkan dengan sebelum flare terjadi. Dari gerak kedua bintik bipolar ini terlihat bahwa kedua bintik bergerak menjauh terutama pada arah longitudinalnya dengan kecepatan yang bervariasi. Dari sini dapat dinterpretasikan bahwa fluks magnetik yang menghubungkan kedua bintik ini juga terus naik. Gangguan atau ketidakstabilan fluks tampak beberapa saat sebelum flare yang ditandai dengan perubahan arah gerak bintik. Mungkin saja gangguan inilah yang memicu terjadinya flare. Setelah flare terjadi kedua bintik bergerak dengan kecepatan yang makin besar dalam arah longitudinal. Menurut Anwar et. al. (1993) naiknya kecepatan bintik setelah terjadi flare berkaitan dengan distorsi medan magnet fotosfer yang berkaitan dengan flare itu sendiri. 63

Gambaran umum mengenai pembentukan daerah aktif yang telah diterima sampai saat ini adalah bahwa tabung fluks yang berbentuk Q, bergerak naik dari dasar daerah konveksi sampai akhirnya berpotongan dengan fotosfer matahari untuk membentuk daerah bipolar (Fan, 2001). Kemudian fluks ini akan terus naik ke atas, membentuk garis-garis medan magnetik yang menghubungkan kedua bintik bipolar tersebut. Munculnya fluks magnetik yang naik ke atas karena gaya apung magnetiknya berkaitan erat dengan munculnya flare. Ishii et al. (2000) mendapatkan bahwa terjadinya aktivitas flare yang tinggi terjadi di lokasi dan pada saat fluks magnetik yang terpuntir muncul ke fotosfer. Relative Motion Spot 3 - Spot 2 Relative Velocity Spot 3 - Spot 2 4 6 8 lime (hour) Gambar 3-3: Pergerakan bintik negatif no 3 terhadap bintik no 2 yang positif (gambar kiri). Kurva naik berarti bahwa bintik bergerak ke kanan (barat) untuk arah longitudinal atau ke atas (utara) untuk arah latitudinal. Gambar kanan adalah kecepatannya yang diturunkan dari fitting polinomial derajat 5 pada pergerakannya (garis putusputus pada gambar kiri). 4 KESIMPULAN Gerak bintik dan interaksi fluks magnetik merupakan indikator yang baik untuk mengetahui proses penyimpanan energi (Priest dan Raadu, 1975). Dalam penelitian ini telah ditunjukkan bahwa ada korelasi antara gerak bintik dan terjadinya flare. Di sini terlihat bahwa pada flare ini terlihat adanya gerakan bintik bipolar yang saling menjauh. Bila gerak diri dari kedua bintik bipolar diinterpretasikan sebagai hasil dari tabung fluks magnetik di bawah fotosfer 64

yang sedang naik akibat gaya apung magnetik, maka dapat disimpulkan bahwa tabung fluks magnetik yang menghubungkan kedua polaritas ini juga naik. Naiknya fluks magnetik ini akan mengakibatkan terjadinya rekoneksi dengan garis medan magnetik yang sudah ada di atasnya, dan rekoneksi ini menyebabkan terjadinya flare (Svestka, 1976; Priest 1982). Akan tetapi interpretasi ini mungkin bukan satu-satunya kondisi yang menimbulkan flare, karena mungkin masih ada beberapa faktor lain yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan yang mengakibatkan rekoneksi medan magnetik dan lepasnya medan magnetik dalam bentuk energi flare. DAFTAR RUJUKAN Antalova, A., 1965. Bull. Astron. Inst, of Czech. 16, 32. Anwar, B., Acton, L.W., Hudson, H.S., Makita, M., McClymont, A.N., Tsuneta, S., 1993. Solar Phys. 147, 287. Dezso, L., Gesztelyi, L., Kondas, L., Kovacs, A., Rostas, S, 1980. Solar Phys. 67, 317. Fan, Y., 2001. Astrophys. J. 554, LI 11 Gesztelyi, L., 1984. Adv. Space Res. 4, No.7, 19. Ishii, T.T., Kurokawa, H., Takeuchi, T., 2000. Publ. Astron. Soc. Japan 52, 337. Kiepenheuer, K.O., 1953. in The Sun, ed. G.P. Kuiper (University of Chicago Press, Chicago), p.322. Mazzucconi, F., Coveri, C, Godoli, G., 1990. Solar Phys. 125, 269. November L.J., 1986. Applied Optics 25, 392. November.L.J., Simon, G.W., 1988. Astrophys. J. 333, 427. Priest, E.R., Raadu, M.A., 1975. Solar Phys. 43, 177. Priest, E.R., 1982. in Solar Magnetohydrodynamics, D. Reidel Publ. Co., Dordrecht, Holland. Sundara Raman, K., Selvendran, R., Thiagarajan, R., 1998. Solar Phys.180, 331. Svestka, Z., 1976. in Solar Flares, D. Reidel Publ. Co., Dordrecht, Holland. Transition Region and Coronal Explorer NASA, http://vestige.lmsal.com/ TRACE/. Van-Driel Gesztelyi, L., Petrovay, K., 1990. Solar Phys. 126, 285. Van-Driel Gesztelyi, L., Leka, K.D., 1994. in K.S. Balasubramaniam and George W. Simon (eds), Solar Active Region Evolution: Comparing Models with Observations, ASP Conference Series, Vol 68, 138. Von der Liihe, O., 1983. Astron & Astrophys. 119, 85. Yatini, C.Y., Suematsu, Y., Mumpuni, E.S., 2003. Jurnal Matematika dan Sains, Vol 8 No. 3, 97 Yohkoh Solar Observatory, http://www.lmsal.com/sxt/ 65