BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. susunannya akan mempengaruhi penampilan wajah secara keseluruhan, sebab

Gambar 1. Fotometri Profil 16. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Tugas Online 2 Fisika 2 Fotometri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tiga puluh orang menggunakan sefalogram lateral. Ditemukan adanya hubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SEFALOMETRI. Wayan Ardhana Bagian Ortodonsia FKG UGM

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan fotografi di bidang ortodonti telah ada sejak sekolah kedokteran

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi. syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh : MELISA NIM :

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi-gigi dengan wajah (Waldman, 1982). Moseling dan Woods (2004),

Nama: Tony Okta Wibowo Nrp : Dosen Pembimbing : Bp. Moch Hariadi, ST M.Sc PhD Bp. Dr. I ketut eddy Purnama, ST,MT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada berbagai pedoman, norma dan standar yang telah diajukan untuk

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan estetis yang baik dan kestabilan hasil perawatan (Graber dkk., 2012).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MATERI KULIAH ORTODONSIA I. Oleh Drg. Wayan Ardhana, MS, Sp Ort (K) Bagian Ortodonsia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

PERBANDINGAN LIMA GARIS REFERENSI DARI POSISI HORIZONTAL BIBIR ATAS DAN BIBIR BAWAH PADA MAHASISWA FKG DAN FT USU SUKU BATAK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal dengan

Penetapan Gigit pada Pembuatan Gigi Tiruan Lengkap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodontik bertujuan memperbaiki fungsi oklusi dan estetika

PERBANDINGAN KONSISTENSI GARIS E RICKETTS DAN GARIS S STEINER DALAM ANALISIS POSISI HORIZONTAL BIBIR PADA MAHASISWA FKG USU SUKU INDIA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

BAB 2 BEDAH ORTOGNATI PADA MAKSILA. akan terlihat jelas ketika masa tumbuh kembang ataupun juga akibat trauma. 7

HUBUNGAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN PROFIL JARINGAN LUNAK WAJAH MENURUT ANALISIS RICKETTS PADA MAHASISWA SUKU BATAK FKG DAN FT USU

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Soetjiningsih (1995)

Hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat. memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh: Ahmad Tommy Tantowi NIM:

PENGENALAN SEFALOMETRI RADIOGRAFIK

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan wajah dan gigi-geligi, serta diagnosis,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan serangkaian pulau besar-kecil dengan lingkungan

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME. Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

PERBEDAAN SUDUT MP-SN DENGAN KETEBALAN DAGU PADA PASIEN DEWASA YANG DIRAWAT DI KLINIK PPDGS ORTODONSIA FKG USU

EVALUASI PENEMPATAN TITIK-TITIK CEPHALOMETRY 3D PADA CITRA MRI

ANALISA KONVEKSITAS JARINGAN LUNAK WAJAH MENURUT SUBTELNY PADA MAHASISWA INDIA TAMIL FKG USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. sagital, vertikal dan transversal. Dimensi vertikal biasanya berkaitan dengan

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN JARINGAN LUNAK WAJAH BERDASARKAN ANALISIS STEINER PADA MAHASISWA FKG USU RAS DEUTRO MELAYU

BAB I PENDAHULUAN. Maloklusi adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang penting dalam perawatan ortodonti adalah diagnosis, prognosis dan

PERBEDAAN PROFIL LATERAL WAJAH BERDASARKAN JENIS KELAMIN PADA MAHASISWA USU RAS DEUTRO-MELAYU

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sampai CV7). Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas servikal yang memiliki

ANALISA PROFIL JARINGAN LUNAK MENURUT METODE HOLDAWAY PADA MAHASISWA FKG USU SUKU DEUTRO MELAYU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Volume 46, Number 4, December 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA KONVEKSITAS WAJAH JARINGAN LUNAK SECARA SEFALOMETRI LATERAL PADA MAHASISWA DEUTRO-MELAYU FKG USU USIA TAHUN (TAHUN )

BAB 1 PENDAHULUAN. dan harmonis.pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan perlu diketahui ada

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan pelayanan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Eksperimental kuasi dengan desain one group pre dan post. Tempat : Klinik Ortodonti RSGMP FKG USU

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

PERBANDINGAN PROFIL LATERAL WAJAH BERDASARKAN JENIS KELAMIN PADA MAHASISWA USU RAS DEUTROMELAYU.

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Saat ini bidang ilmu ortodonti mengalami kemajuan begitu pesat sehingga dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja tetapi juga pada estetis jaringan lunak wajah. 1,4,5,7,8 Banyak pemeriksaan yang memungkinkan untuk menganalisis wajah dengan menggunakan titik-titik, garis, bidang dan sudut pada jaringan lunak wajah. Dalam membangun konsep estetik dan harmoni wajah, analisis dilakukan melalui pengukuran terhadap garis-garis imajiner yang ditarik melalui titik-titik pada wajah. 10 Ada dua metode pengukuran yang dapat digunakan untuk menganalisis wajah yaitu fotometri dan sefalometri. 16 2.1 Fotometri Para ahli bedah plastik menyukai metode fotometri dalam menganalisis proporsi jaringan lunak, menentukan perbandingan preoperatif dan hasil postoperatif. 16 Dalam bidang ilmu kedokteran gigi, metode fotometri juga sering digunakan untuk mengevaluasi konfigurasi fasial baik dalam arah frontal dan lateral. 8,17 Kita dapat menganalisis proporsi wajah, simetri wajah, konveksivitas jaringan lunak wajah, bentuk wajah dengan menggunakan metode ini. 10,13 2.5.5 Pandangan Frontal Evaluasi terhadap fotografi frontal adalah penting dalam menganalisis disproporsi dan asimetri wajah terhadap bidang transversal dan vertikal. Sebelum menganalisis, harus ditentukan terlebih dahulu dua titik pada orbital dan garis nasion

perpendikuler. 17 Dari pandangan frontal, dapat dianalisis proporsi wajah secara frontal, simetri wajah dan bentuk wajah. Proporsi wajah secara frontal dapat dianalisis dengan menggunakan bidang vertikal dan horizontal (Gambar 1). Dengan menggunakan bidang vertikal, wajah dapat dibagi menjadi tiga bagian, bagian atas dari batas garis rambut ke titik glabella, bagian tengah dari titik glabella ke titik subnasal dan bagian bawah dari titik subnasal ke titik menton. Cara mengevaluasi lebar dari wajah dapat dilakukan dengan menggunakan garis-garis vertikal yang membagi wajah menjadi lima bagian yang sama. 18,19 Simetri wajah dapat dianalisis dengan cara wajah dibagi dua dengan menggunakan garis simetri wajah yang melalui titik glabella, puncak hidung, titik tengah bibir atas dan titik tengah dagu (Gambar 2). 10 Bentuk wajah dapat dievaluasi berdasarkan indeks morfologi wajah (Gambar 3). Bentuk morfologi wajah mempunyai hubungan terhadap lengkung gigi geligi, walaupun hubungan secara langsung tidak dapat dipastikan. Titik yang menjadi pedoman adalah nasion, zygoma, dan gnathion. 17 2.1.2 Pandangan Lateral Analisis wajah dengan metode fotometri pada pandangan lateral dapat menganalisis profil wajah (konveksitas), proporsi wajah dan analisis hidung. Evaluasi yang dilakukan pada pandangan lateral ini menggunakan bidang Horizontal Frankfurt sebagai pedomannya. 17

Proporsi wajah secara lateral dapat dianalisis menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga atas (trichion - glabella), sepertiga tengah (glabella - subnasal) dan sepertiga bawah (subnasal menton) (Gambar 4). 19 Analisis terhadap hidung dapat dilakukan dengan menggunakan sudut nasofasial dan sudut nasofrontal. 4 Sudut nasofasial digunakan untuk mengevaluasi secara tidak langsung derajat proyeksi hidung. Sudut ini berkisar 36 o (Gambar 5a). Dalam menganalisis hubungan hidung dan dahi, sudut yang digunakan adalah sudut nasofrontal. Sudut ini berkisar 115-130 o (Gambar 5b). 16 Analisis konveksitas wajah pada metode fotometri ini menggunakan dua garis penuntun, yaitu garis yang menghubungkan antara dahi dan batas terluar bibir atas dan garis yang menghubungkan batas terluar dari bibir atas dengan titik pogonion jaringan lunak (Gambar 6). 17 Tiga profil wajah yang dibedakan berdasarkan hubungan antara kedua garis penuntun tersebut, yaitu profil lurus (kedua garis cenderung membentuk garis lurus), profil konveks (kedua garis membentuk sudut yang cembung, yaitu posisi dagu cenderung ke posterior wajah yang disebut divergen posterior) dan profil konkaf (kedua garis membentuk sudut yang cekung, yaitu posisi dagu cenderung ke anterior wajah yang disebut divergen anterior). 17

(a) (b) Gambar 1. Proporsi wajah secara frontal. (a) Pembagian wajah berdasarkan bidang vertikal, (b) Pembagian wajah berdasarkan bidang horizontal 19 Gambar 2. Garis simetri wajah. Wajah dapat dibagi sepanjang bidang sagital dengan menggunakan garis simetri wajah 18

NA NA ZY ZY ZY ZY GN GN Gambar 3. Bentuk wajah. Gambar 4. Proporsi wajah secara lateral 20

(a) (b) Gambar 5. Sudut yang menganalisis hidung. (a) sudut nasofasial, (b) Sudut nasofrontal 16 Gambar 6. Konveksitas wajah dengan metode fotometri 20 Metode fotometri ini dalam menganalisis konveksitas jaringan lunak wajah mempunyai kelemahan yang disebabkan posisi tragus kartilago yang terlalu tinggi

atau rendah pada saat pengambilan gambar sehingga gambaran wajah pasien kurang akurat. Namun secara klinis gambaran fotografi menghasilkan gambaran yang lebih realistis dan lebih nyata dalam membandingkan perubahan konveksitas jaringan lunak wajah sebelum dan sesudah perawatan. Analisis terhadap konveksitas jaringan lunak ini dapat juga dilakukan dengan metode sefalometri yang lebih akurat karena adanya titik-titik pedoman pada jaringan keras dan menggunakan titik meatus auditori eksternal sebagai pedoman saat pengambilan gambaran radiografi sefalometri. 17 2.6 Sefalometri Radiografi sefalometri merupakan sarana penunjang yang penting di dalam bidang ortodonti untuk menganalisis kelainan kraniofasial, menegakkan diagnosa, mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial serta menentukan rencana perawatan. 8 Pada radiografi sefalometri, jarak dari sumber sinar-x ke subjek telah ditentukan dan menghasilkan gambaran yang jelas dari skeletal dan jaringan lunak wajah dengan hasil pembesaran dan distorsi yang sangat minimum. Analisis pada radiografi sefalometri dilakukan dengan menetapkan lokasi titik-titik referensi pada bagian-bagian skeletal dan jaringan lunak kraniofasial yang akan menghasilkan garis, bidang dan sudut. 17 Sefalometri dibagi menjadi dua menurut analisisnya (Gambar 7): 1 1. Sefalogram frontal (gambaran frontal atau antero-posterior dari tengkorak kepala) 2. Sefalogram lateral (gambaran lateral dari tengkorak kepala). Profil jaringan lunak aspek lateral dapat dianalisis menggunakan sefalogram lateral.

(a) (b) G Gambar 7. Sefalogram. (a) sefalogram frontal, (b) sefalogram lateral 10 2.6.1 Analisis Jaringan Keras dan Jaringan Lunak Wajah dengan Sefalogram Lateral Analisis terhadap jaringan keras dan lunak wajah dapat dilakukan pada sefalogram lateral. Titik-titik yang digunakan dalam analisis jaringan keras (Gambar 8) : 3,4,6,10,16 a. Sella (S) : titik ditengah-tengah fossa pituitary (sella turcica) b. Nasion (N/Na) : titik perpotongan sutura frontonasalis c. Orbitale (Or) : titik paling rendah pada tepi bawah tulang orbita d. Sub-spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion e. Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion f. Pogonion (Pog) : titik paling depan dari tulang dagu g. Gnathion (Gn) : titik di antara pogonion dan menton

h. Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu i. Articulare (Ar) : titik perpotongan antara tepi bawah dari basis kranium dan permukaan posterior kondilus mandibula. j. Gonion (Go) : titik bagi yang dibentuk oleh garis dari sudut yang dibentuk oleh bidang mandibula dan ramus mandibula k. Porion (Po) : titik paling superior dari porus accusticus externus l. Pterygomaxilary Fissure (PTM) : Bayangan radiolusen yang menyerupai tetes air mata,bagian anterior dari bayangan tersebut adalah permukaan poterior dari tuber maksilaris m. Spina Nasalis Posterior (PNS) : Titik paling posterior dari palatum durum. Gambar 8. Titik-titik dalam analisis jaringan keras 20

Titik-titik yang digunakan dalam analisis jaringan lunak (Gambar 9): 3,4,6,10,16 a. Glabella (G) : titik paling anterior dari dahi pada dataran midsagital. b. Nasion kulit (N ) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung. c. Pronasale (Pr) : titik paling anterior dari hidung. d. Subnasale (Sn) : titik dimana septum nasal berbatasan dengan bibir atas. e. Labrale superius (Ls) : titik perbatasan mukokutaneus dari bibir atas. f. Superior labial sulkus (SLS) : titik tercekung di antara Sn dan Ls. g. Stomion superius (Stm s ) : titik paling bawah dari vermilion bibir atas. h. Stomion inferius (Stm i ) : titik paling atas dari vermilion bibir bawah. i. Labrale inferius (Li) : titik perbatasan dari membran bibir bawah. j. Inferior labial sulkus (ILS) : titik paling cekung di antara Li dan Pog. k. Pogonion kulit (Pog ) : titik paling anterior jaringan lunak dagu. l. Menton kulit (Me ) : titik paling inferior dari jaringan lunak dagu. Dengan menggunakan titik-titik diatas, berbagai analisis terhadap jaringan keras dan jaringan lunak wajah dapat dilakukan. 3,4,6,10,16 Yang tergolong dalam analisis jaringan lunak secara lateral antara lain 1/3 tengah-bawah wajah, perbandingan tinggi bibir atas dan bibir bawah, penilaian terhadap hidung, sudut nasomental, sudut nasolabial, prognasi maksila dan mandibula, tebal bibir atas dan bibir bawah, celah antara bibir atas dan bibir bawah, tebal dagu, kontur dagu-leher, sudut konveksitas wajah, bidang Estetis (Garis-E), garis-s dan sudut-z Merrifield. 4,10

Gambar 9. Titik-titik dalam analisis jaringan lunak 20 2.4 Analisis Konveksitas Skeletal Analisis konveksitas skeletal yang ideal telah dilakukan oleh ahli ortodonti dan telah diterapkan pada analisis-analisis perawatan ortodonti antara lain analisis yang dikemukakan oleh Downs, Ricketts dan Holdaway. Konveksitas skeletal merupakan salah satu sudut yang dapat dianalisis dari profil wajah pada pandangan anteroposterior dan juga menyatakan relasi skeletal rahang atas dan rahang bawah. Analisis terhadap konveksitas skeletal diperoleh dari titik A dan bidang fasial (N-Pog). 10,2

2.4.1 Analisis Downs Menurut Downs, konveksitas skeletal diperoleh dari sudut yang dibentuk oleh garis Nasion-A ke garis A-Pogonion (Gambar 10). Jika garis A-Pogonion berada di anterior garis Nasion- A, sudut ini bernilai positif yaitu maksila berada di anterior mandibula. Dan sebaliknya, sudut ini bernilai negatif yaitu mandibula berada di anterior maksila. Nilai interval dari sudut N-A-Pog ini adalah -8,5 o - +10 o, dengan nilai ideal 0 o jika kedua garis berimpit. 10,23 Gambar 10. Konveksitas skeletal. Menurut Downs, diperoleh dari sudut yang dibentuk oleh garis Nasion-A ke garis A-Pogonion 10,23

2.4.2 Analisis Ricketts Analisis Ricketts terhadap konveksitas skeletal diperoleh dari jarak titik A terhadap bidang fasial (N-Pog) dalam mm. Nilai ideal jarak titik A terhadap bidang fasial (N-Pog) adalah 2 ± 2 mm (Gambar 11). Jika nilainya positif dan lebih besar dari 2 mm, maka diperoleh relasi Kelas II skeletal dan jika bernilai negatif, maka diperoleh relasi Kelas III skeletal. Nilai ideal yang dinyatakan Ricketts adalah 2 mm. 10,23 A 2±2mm Gambar 11. Konveksitas skeletal. Menurut Ricketts, nilai ideal jarak titik A terhadap bidang fasial (N-Pog) adalah 2 ± 2 mm 10 2.4.3 Analisis Holdaway Menurut Holdaway, konveksitas skeletal diukur jarak dari titik A ke garis Nasion-Pogonion skeletal (N-Pog) (Gambar 15). Analisis ini sangat berguna dalam penentuan konveksitas wajah skeletal dalam hubungannya dengan konveksitas

jaringan lunak (sudut-h). Konveksitas skeletal wajah ideal jika jarak antara garis N- Pog ke titik A -3 mm sampai +4 mm. 10 2.5 Analisis Konveksitas Jaringan Lunak Analisis konveksitas jaringan lunak wajah dengan posisi bibir yang ideal telah dilakukan penelitian oleh ahli-ahli ortodonti antara lain Steiner, Ricketts, Merrifeld dan Holdaway yang merupakan penentuan bentuk profil jaringan lunak cembung, lurus atau cekung. Untuk analisis konveksitas jaringan lunak Steiner menggunakan garis S, Ricketts garis estetis (garis E), Merrifeld sudut-z dan Holdaway garis- Harmoni (garis-h). 10,23 2.5.1 Garis-S (Steiner) Garis-S merupakan garis yang ditarik dari titik Pog ke pertengahan kurva S (Pronasal (Pr) ke titik Subnasalis (Sn)) (Gambar 12). Menurut Steiner, idealnya titik Labrale superior dan Labrale inferior menyinggung garis S. Jika bibir berada dibelakang garis-s dinyatakan profil wajahnya datar. Sedangkan jika berada di depan garis-s, profil wajahnya terlalu tebal atau cembung. 10,23 2.5.2 Garis-E (Ricketts) Menurut Ricketts analisis konveksitas jaringan lunak wajah seseorang, dipengaruhi oleh garis E. Garis E merupakan garis yang ditarik dari titik dagu kulit (Pog ) ke puncak hidung (Pr) (Gambar 13). Seseorang mempunyai profil yang harmonis jika titik Labrale superior (Ls) terletak 2-4 mm di belakang garis-e sedangkan titik Labrale inferior (Li) 1-2 mm di belakang garis-e. Apabila letak titik

Ls lebih 4 mm di belakang garis E maka profil wajah tampak cekung sebaliknya tampak cembung jika terletak di depan garis E. Namun demikian menurut Ricketts nilai ideal tersebut dapat bervariasi tergantung pada umur dan jenis kelamin. 10,23 Gambar 12. Garis-S atau garis Steiner, dibentuk dengan menarik garis dari titik pogonion kulit (Pg ) ke tengah kurva-s 21 Gambar 13. Garis-E, ditarik dari titik dagu kulit (Pog ) ke Puncak hidung (Pr) 21

2.5.3 Sudut-Z Merrifield Sebuah garis profil wajah dibentuk oleh garis yang ditarik dari tangensial jaringan lunak dagu (Pog ) dan titik paling depan dari bibir atas dan bibir bawah (Gambar 14). Sudut-Z dibentuk oleh perpotongan antara bidang horizontal Frankfurt dan garis profil tersebut. Nilai ideal sudut ini berkisar 80 ± 9 o. 10,23 Gambar 14. Sudut-Z Merrifield, sebuah garis profil wajah yang dibentuk oleh garis yang ditarik dari tangensial jaringan lunak dagu (Pog ) dan titik paling depan dari bibir atas dan bibir bawah 21 2.5.4 Sudut-H (Holdaway) Holdaway menggunakan garis-h untuk analisis keseimbangan dan keharmonisan profil jaringan lunak sebagai singkatan dari garis-harmoni atau nama keluarganya sendiri yaitu Holdaway. Garis-H ini diperoleh dengan menarik garis dari titik pogonion kulit (Pog ) ke titik labial superior (Ls) (Gambar 15). 3,6,9,10,12

Menurut Jacobson dan Vlachos, analisis Holdaway lebih berani, terperinci, jelas dan luas dalam pembahasannya tentang profil jaringan lunak yang seimbang dan harmonis, yaitu terdiri dari jarak puncak hidung (Pr) terhadap garis-h, kedalaman sulkus labialis superior, kedalaman sulkus labialis inferior, jarak bibir bawah ke garis-h, tebal bibir atas, kurvatura bibir atas, besar sudut fasial, tebal dagu, strain bibir atas, besar sudut-h dan konveksitas skeletal. Oleh karena itu penelitian ini secara khusus akan membahas mengenai konveksitas skletal dan konveksitas jaringan lunak wajah berdasarkan sudut-h. 10,12 Yang dimaksud dengan sudut-h adalah sebuah sudut yang dibentuk oleh perpotongan garis-h dengan garis N -Pog (Gambar 15). Sudut-H juga digunakan dalam penentuan konveksitas jaringan lunak adalah cembung, lurus atau cekung. Besar sudut-h yang harmonis dan seimbang berkisar 7 o - 15 o. Apabila sudut-h lebih besar dari 15 o maka konveksitas bentuk profil menunjukkan cembung sedangkan lebih kecil dari 7 o menunjukkan konveksitas bentuk profil yang cekung karena letak Pog lebih ke posterior atau letak titik Ls lebih ke anterior. 10 Berdasarkan analisis Holdaway, 10 o merupakan sudut-h yang paling ideal dengan nilai konveksitas wajah 0 mm. Profil yang harmoni dapat dilihat jika nilai konveksitas skeletal dan sudut-h seimbang. Apabila konveksitas skeletal lebih besar dari besar sudut-h atau tidak sesuai maka kemungkinan yang terjadi adalah pertumbuhan fasial yang tidak seimbang. 3,6,10

Gambar 15. Garis-H. Garis-H ini diperoleh dengan menarik garis dari titik Pogonion kulit (Pog ) ke Labial superior (Ls); sudut-h, dibentuk oleh perpotongan garis-h dengan garis N -Pog 10 2.6 Suku Batak Analisis wajah dimulai dengan memeriksa faktor individu yang dapat secara signifikan memberi efek pada perawatan ortodonti nantinya. 4 Ada 5 komponen individu yang mempengaruhi analisis wajah, yaitu umur, jenis kelamin, ras (etnis), bentuk tubuh dan kepribadian. 16 Penduduk Indonesia terdiri dari kelompok Proto-Melayu (Melayu Tua) dan Deutro-Melayu (Melayu Muda). Kelompok Proto-Melayu pada 2000 S.M. datang ke Indonesia sedangkan Deutro-Melayu pada 1500 S.M. Pada mulanya kelompok Proto- Melayu menempati pantai-pantai Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat yang kemudian pindah ke pedalaman karena terdesak oleh kelompok Deutro- Melayu. 17

Suku Batak merupakan bagian dari ras Proto-Melayu yang menempati pulau Sumatra. Sifat dominan dari suku ini adalah kebiasaan hidup dalam Splendid isolation di lembah-lembah sungai dan puncak-puncak pegunungan. Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang digunakan untuk pertanian. Maka perpindahan terpaksa dilakukan. Perpindahan diarahkan ke segala arah, sebagian membuka pemukiman baru di daerah hutan belukar di arah pantai selatan yang kemudian bernama Rao, sekarang di Sumatera Barat. Beberapa kelompok diantaranya turun ke Timur, menetap dan membuka tanah, sekarang dikenal sebagai Tanjung Morawa, daerah di pinggir kota Medan. 16 Dari pengamatan yang telah dilakukan di Klinik Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi USU sebelum penelitian dimulai diperoleh data yang diambil secara random bahwa pada tahun 2005 dan 2006 lebih dari 60% penderita yang berobat berasal dari suku Batak. Maka pengambilan sampel dalam penelitian ini, ditujukan pada suku Batak.