LAPORAN PELATIHAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI REMAJA DISABILITAS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari anggota masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengenai kekerasan seksual pada anak (KSA). Kekerasan seksual yang dialami oleh anakanak

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

perubahan-perubahan fisik itu (Sarwono, 2011).

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab ini penulis akan membuat kesimpulan berdasarkan hasil data dan kajian

BAB 1 : PENDAHULUAN. sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya pendidikan seks untuk anak dan remaja sangat perlu, peran

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Pada

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. goncangan dan stres karena masalah yang dialami terlihat begitu

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERKAWINAN USIA ANAK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. reproduksi adalah kesehatan yang sempurna baik fisik, mental, sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO remaja adalah tahapan individu yang mengalami pubertas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bereproduksi. Masa ini berkisar antara usia 12/13 hingga 21 tahun, dimana 13-14

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan individu yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik

FASE PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MANUSIA

Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja Pria di Provinsi Bengkulu Rendah

PETUN JUK PENGERJAAN

Kesehatan Reproduksi Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi. Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi melipui :

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 59 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN KELUARGA BERENCANA DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja Pria di Provinsi Bengkulu Rendah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN (INFORMED CONSENT) Pada penelitian: KUESIONER PENELITIAN

- SELAMAT MENGERJAKAN -

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan melakukan aktivitas secara mandiri. pembentukan pengertian dan belajar moral (Simanjuntak, 2007).

ANALISIS TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUAL KABUPATEN KULON PROGO PUSAT STUDI SEKSUALITAS PKBI DIY 2008

BAB I PENDAHULUAN. khusus (ABK) adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau. sosial dan emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya.

Pendidikan seksualitas remaja. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

KUESIONER PENELITIAN

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

KERANGKA ACUAN KEGIATAN Rangkaian Kegiatan Perayaan Hari Internasional Penyandang Disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang didalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini

RENCANA PELAKSANAAN LAYANAN ( RPL ) BIMBINGAN KLASIKAL

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. data Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) persennya merupakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

CATATAN PROSES & REKOMENDASI WORKSHOP PARALEL TEMU INKLUSI Aksesibilitas untuk Semua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN UKDW. gangguanberbicara. (Somantri,1996 cit; Tri, 2012).Komunikasi merupakan

FORMULIR PEMANTAUAN AKSES PEMILU BAGI PENYANDANG DISABILITAS PEMILUKADA TAHUN Nama Pemantau : [ L / P ] No. TPS : Alamat Lengkap : Kel :

Periodisasi Perkembangan Peserta Didik

KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PERILAKU SEKSUAL DI SMK PENCAWAN MEDAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. antara masa kanak-kanak dan dewasa. Menurut WHO (World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut, remaja cenderung untuk menerima tantangan atau coba-coba melakukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. remaja putri berusia <20 tahun. Kehamilan tersebut dapat disebabkan oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengalaman hidup sebagai

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB IV HASIL TINDAKAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun data susenas 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

EFEKTIVITAS PROMOSI KESEHATAN DENGAN METODE PEER EDUCATOR TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG HIV/AIDS

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beragam suku dan sebagian besar suku yang menghuni kabupaten Merangin

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah remaja usia tahun di Indonesia menurut data SUPAS 2005 yang

BAB I PENDAHULUAN. Data Pusat Informasi dan Layanan Remaja (PILAR) dan Perkumpulan. Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jateng tahun 2012 mengenai

mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas umum Pemerintahan dan pembangunan dibidang kesejahteraan sosial dan keagamaan.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

UPAYA PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS Tingkat Desa/Kelurahan

Aborsi dan Kegagalan Kontrasepsi IUD 1

SEMINAR MEWUJUDKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS

GAMBARAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PROPINSI BENGKULU TAHUN 2007 (HASIL SURVEI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA INDONESIA TAHUN 2007 DAN SURVER RPJM TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

Voluntary counseling and testing (VCT), konseling dilakukan pada saat sebelum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Disabilitas adalah suatu bentuk akibat dari keterbatasan seseorang pada

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Program For Appropriate Technology in Health (PATH, 2000)

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN SIKAP REMAJA TENTANG

PEDOMAM PELAYANAN KESPRO REMAJA oleh. dr. Yuliana Tjawan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASPEK SEXUALITAS DALAM KEPERAWATAN. Andan Firmansyah, S.Kep., Ns.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

RINGKASAN EKSEKUTIF. Ringkasan Eksekutif-1

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN

Standar Kompetensi 1. Memahami berbagai sistem dalam kehidupan manusia. Kompetensi Dasar 1.2. Mendeskripsikan tahapan perkembangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Remaja mengalami perkembangan begitu pesat, baik secara fisik maupun

BAB II PROFIL BADAN KELUARGA BERENCANA PEMBERDAYAAN PEREMBPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK KABUPATEN ACEH TENGAH

PETUNJUK PRAKTIS PEMICUAN

KEPALA DESA KALIBENING KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DESA KALIBENING KECAMATAN DUKUN NOMOR 07 TAHUN 2017 TENTANG

Transkripsi:

LAPORAN PELATIHAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI REMAJA DISABILITAS SENTRA ADVOKASI PEREMPUAN, DIFABEL DAN ANAK BRTPD PUNDONG, 30 31 AGUSTUS 2016..kesehatan reproduksi adalah keseluruhan rangkaian sistem dan fungsi reproduksi sehingga sehat secara fisik, mental dan sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan..

Latar Belakang Setiap orang, baik orang tua maupun anak dan remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi untuk lebih memahami pentingnya pengetahuan tersebut bagi dirinya. Kesehatan Reproduksi bukan hanya tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, alat kontrasepsi dan penyakit yang berkaitan dengan hubungan tersebut. Akan tetapi, kesehatan reproduksi adalah keseluruhan rangkaian sistem dan fungsi reproduksi sehingga sehat secara fisik, mental dan sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Banyak orang tua dan remaja non disabilitas belum memahami tentang pentingnya hal tersebut. Lalu, bagaimana dengan remaja dengan disabilitas? Apalagi disabilitas mereka bermacam-macam, antara lain disabilitas netra, disabilitas grahita, disabilitas daksa dan lain-lain. Tentu saja pemahaman mereka juga bermacam-macam, bagaimana cara mereka mengerti konsep kesehatan reproduksi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Sangat kompleks dan perlu kerja bersama seluruh komponen untuk melakukannya. SAPDA sebagai lembaga yang konsen terhadap masalah tersebut, mencoba melakukan transfer pengetahuan kesehatan reproduksi yang berguna untuk remaja dengan disabilitas. Bagaimana mereka memahami tentang organ reproduksi mereka, bagaimana merawatnya sehingga nantinya remaja tersebut mampu meningkatkan pertahanan diri mereka dengan baik dari pihak-pihak di luar diri mereka, baik berbentuk pelecehan ataupun kekerasan. Oleh sebab itu, untuk menjembatani transfer pengetahuan tersebut SAPDA akan melakukan Training Kesehatan Reproduksi untuk Remaja dengan Disabilitas di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas (BRTPD) Pundong pada tanggal 30-31 Agustus 2016. Pelatihan tersebut akan diikuti oleh remaja disabilitas yang bertempat tinggal di asrama BRTPD, dengan komposisi remaja disabilitas netra, disabilitas daksa, dan disabilitas runguwicara/tuli. Tujuan dari kegiatan ini adalah : Menggali pengetahuan remaja disabilitas tentang kesehatan reproduksi; dan Meningkatkan pemahaman remaja disabilitas terhadap pelecehan dan kekerasan seksual. Sedangkan hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan pelatihan ini adalah : Adanya pengetahuan remaja disabilitas tentang kesehatan reproduksi yang lebih mendalam; dan Adanya konsep pertahanan diri remaja disabilitas dari pelecehan dan kekerasan. Pelaksanaan kegiatan ini berlangsung selama 2 hari, yaitu Selasa dan Rabu, 30 dan 31 Agustus 2016 pukul 09.00-12.00 WIB bertempat di BRTPD Pundong, Srihardono, Pundong, Bantul.

Terimakasih kepada lembaga SAPDA atas kerjasamanya untuk memberikan pelatihan kepada siswa yang akan selesai mengikuti kursus di BRTPD Pundong. Setelah pelatihan ini nantinya akan dievaluasi oleh BRTPD. Harapannya dari hasil pelatihan menjadi masukan kepada BRTPD sehingga kegiatan pelatihan seperti ini dapat menjadi input Program yang ada di BRTPD. Saya juga berharap kerjasama dengan lembaga SAPDA dapat dilanjutkan dan ditingkatkan untuk pelatihan-pelatihan yang lainnya.

Pelatihan kesehatan reproduksi bagi remaja disabilitas yang tinggal di asrama BRTPD Pundong dilakukan dalam 2 kelas : kelas laki-laki dan kelas perempuan dengan masingmasing kelas diampu oleh 2 orang fasilitator dan 1 orang penterjemah bahasa isyarat. Dikelas laki-laki, terdiri dari 19 peserta dengan 9 peserta Runguwicara/tuli, 4 orang disabilitas Daksa dan 6 disabilitas Netra, dengan fasilitator Sholih Muhdlor (low vision) dan Sutijono (daksa kaki) dan penterjemah bahasa isyarat Yudi Dede. Selain itu, ada juga beberapa pendamping yang mengikuti pelatihan tesebut. Sedangkan di kelas perempuan, dihadiri 14 peserta dengan 6 disabilitas fisik (daksa), 4 orang disabilitas sensorik (3 disabilitas netra dan 1 tuli), 4 orang disabilitas intelektual (grahita) dan didampingi oleh 2-3 orang guru. Fasilitator di kelas perempuan adala Rini RIndawati (disabilitas daksa) dan Nina Musruyati (non disabilitas) dengan Dian sebagai penterjemah bahasa isyarat. Dikelas perempuan juga dihadiri oleh 2-3 guru. Dalam pelatihan yang dilaksanakan selama 2 hari ini, berjalan cukup dinamis dengan susasan yang sangat cair diantara peserta dan fasilitator. Dalam konteks pelatihan dengan materi sensitive seperti kesehatan reproduksi seperti ini, kedekatan dan menghilangkan rasa canggung amat sangat diperlukan agar seiap peserta training dapat mengungkapkan pendapatnya dengan lugas tanpa rasa malu dan takut disalahkan. Fasilitator memberikan pelatihan dengan lebih banyak berdiskusi dan menggali pendapat dari para peserta sambil memasukkan / mengajarkan materi yang benar ketika menjumpai pemahaman peserta salah selama ini, sehingga peserta tetap dapat mendapatkan pengetahuan yang benar tanpa merasa digurui. Pada hari pertama, peserta belajar tentang disabilitas. Hal ini untuk mengurai lebih dulu tentang mengapa seseorang menjadi disabilitas, bahwa menjadi disabilitas bukanlah kutukan. Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang menjadi disabilitas. Sekaligus mengenalkan tentang perubahan pembagian/jenis-jenis penyandang disabilitas dalam Undang-undang Penyandang Disabilitas yang baru. Kemudian dilanjutkan dengan pentingnya kesehatan reproduksi, bedanya reproduksi antara disabilitas dan non disabilitas, organ reproduksi dan fungsinya. Sejak awal, peserta laki-laki sudah cukup berani dengan lugas menyebutkan apa saja organ reproduksi dan fungsinya tanpa rasa malu. Ini adalah hal yang positif, karena dengan begitu fasilitator menjadi lebih mudah untuk mengetahu apakah informasi dan pengetahuan yang dimiliki peserta sudah benar atau masih perlu diluruskan. Sedangkan dikelas perempuan, pada awalnya banyak peserta yang masih ragu dan malu untuk menyebutkan namanama organ reproduksi, dimana fasilitator harus memancing dan mengawali dengan menyebutkan lebih dahulu beberapa organ yang dimaksud. Namun setelah beberapa waktu, peserta perempuan pun mulai dapat lebih terbuka dan suasan menjadi lebih cair.

Pada materi body mapping, di kelas laki-laki fasilitator harus sedikit berimprovisasi karena ada cukup banyak peserta yang tunanetra. Sehingga peserta tunanetra dan non tunanetra dipisahkan, karena tunanetra tidak memungkinkan menggambar. Kelomok tunanetra akhirnya melakukan body mapping dengan belajar melakukan pemetaan anggota tubuh, letak dan namanya, fungsinya, serta bagaimana menjaga privasi bagian tubuh tertentu dengan berdiskusi, sementara peserta lain menggambar dan mempresentasikanya. Di kelas perempuan, proses body mapping menggunakan metode menggambar dengan mengikutsertakan peserta tunanetra ke dalam kelompok dan rekan kelompoknya membantu memahamkan proses yang sedang dilakukan. Pada akhir sesi hari pertama, beberapa peserta laki-laki mulai mendapatkan kesadaran bahwa ternyata pada laki-lakipun juga penting untuk menjaga privasi mereka masing-masing. Sementara pada kelas perempuan, beberapa peserta mulai bercerita bahwa mereka pernah mendapatkan pelecehan seksual tanpa mereka sadari. Dilanjutkan pada materi dorongan dan perilaku seksual, dan Infeksi Menular Seksual pada hari kedua pelatihan. Di materi ini, peserta belajar tentang dorongan dan perilaku seksual pada manusia. Bahwa dorongan seksual mulai ada sejak kita lahir, dan dorongan tersebut akan terwujud menjadi perilaku seksual meskipun tidak selalu berhungunan dengan libido / rangsanga kenikmatan / hubungan seksual. Pada materi ini dijelaskan bahwa dorongan seksual dibagi dalam 3 fase : fase oral yang dialami oleh bayi (1-3 tahun), fase genital yang dialami oleh anak-anak (5-12 tahun), fase pubertas yang terjadi pada remaja (13-18tahun),dan fase dewasa / akil baligh (20 tahun -~). Baik pada kelas laki-laki maupu perempuan, dijelaskan tentang bagaimana mengelola dorongan seksual dengan sehat dan tidak berisiko untuk masa depan mereka. Hubungan seksual pranikah, jika dilakukan akan membawa dampak yang buruk ke depan, onani / masturbasi yang dilakukan secara berlebihan juga akan membawa efek psikologis buruk untuk kesehatan mereka. Apalagi jika masturasi dilakukan tanpa memperhatikan kebersihan dapat menimbulkan risiko penyakit, selain perasaan bersalah /berdosa. Salah satu peserta lakilaki bertanya : apa akibatnya jika onani terlalu sering? fasilitator menjelaskan bahwa onani yang dilakukan terlalu sering akan menimbulkan dampak kecanduan. Nanti jika sudah menikah, maka sangat bisa jadi dia tidak akan mampu memuaskan pasangan / dipuaskan oleh pasangan karena lebih mendapatkan kenikmatan dari onani dan juga mengalami ejakulasi dini. Pada kelas perempuan, menitikberatkan bagaimana kita menjaga diri dari kemungkinan-kemungkinan tindakan pelecehan seksual. Setelah sesi pelatihan selesai, ada salah satu peserta perempuan yang meminta waktu kepada salah satu fasilitator untuk bertanya lebih jauh terkait hal-hal pribadi yang lebih spesifik.

Kalau onani terlalu sering, apa akibatnya?? Onani yang dilakukan terlalu sering akan menimbulkan dampak kecanduan. Nanti jika sudah menikah, maka sangat bisa jadi dia tidak akan mampu memuaskan pasangan / dipuaskan oleh pasangan karena lebih mendapatkan kenikmatan dari onani dan juga mengalami ejakulasi dini.

Memberikan pelatihan kesehatan reproduksi kepada kelompok / kelas lain di BRTPD secara berkala. Pelatihan khusus untuk guru / pengasuh / pembimbing agar informasi ini dapat lebih tersebarluaskan ke lebih banyak orang. Melakukan diskusi rutin lebih mendalam dengan formasi kelompok yang lebih kecil, agar dapat lebih dapat menangkap dan mengurai permasalahan yang dialami. Mengkader peer facilitator/ counselor (Fasilitator / konselor sebaya) di antara mereka sendiri, karena biasanya remaja akan lebih nyaman bercerita dengan teman sebayanya sendiri. Dari peer fasilitator inilah, nantinya para pengasuh dapat lebih mengetahui permasalahan yang terjadi dan memberikan solusi yang lebih tepat / mengena. SAPDA memiliki sumberdaya lain yang dapat dikontribusikan ke BRTPD Pundong jika memang dibutuhkan. (pelatihan kepemimpinan / organisasi, pencegahan kekerasan, konsultasi hukum, Pengurangan Risiko Bencana, dll)