BAB 4 ANALISIS TEKNIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 REVERSE ENGINEERING GEARBOX

BAB III PEMBAHASAN, PERHITUNGAN DAN ANALISA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERANCANGAN GEARBOX TRAKTOR TANGAN BERDAYA 6 KW DENGAN METODE REVERSE ENGINEERING. Paskalis Bowo Aditia Oken

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Reverse Engineering Pengertian Umum Reverse Engineering

BAB II DASAR TEORI. c) Untuk mencari torsi dapat dirumuskan sebagai berikut:

BAB II TEORI DASAR. BAB II. Teori Dasar

BAB II LANDASAN TEORI

Toleransi& Implementasinya

BAB IV PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

Bab 4 Perancangan Perangkat Gerak Otomatis

IV. ANALISIS TEKNIK. Pd n. Besarnya tegangan geser yang diijinkan (τ a ) dapat dihitung dengan persamaan :

BAB II DASAR TEORI Sistem Transmisi

BAB IV PERHITUNGAN DAN PERANCANGAN ALAT. Data motor yang digunakan pada mesin pelipat kertas adalah:

BAB III PERANCANGAN DAN PERHITUNGAN

Presentasi Tugas Akhir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PERANCANGAN SISTEM TRANSMISI RODA GIGI DAN PERHITUNGAN. penelitian lapangan, dimana tujuan dari penelitian ini adalah :

BAB III PERENCAAN DAN GAMBAR

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB III PERANCANGAN. = 280 mm = 50,8 mm. = 100 mm mm. = 400 gram gram

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB IV PEMBUATAN DAN PENGUJIAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV PERHITUNGAN DIMENSI UTAMA ESKALATOR. Dari gambar 3.1 terlihat bahwa daerah kerja atau working point dalam arah

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

LAMPIRAN A-8 TABEL FAKTOR V, X DAN Y UNTUK BALL BEARING

BAB IV PERHITUNGAN PERANCANGAN

BAB II LANDASAN TEORI

Perencanaan Roda Gigi

TRANSMISI RANTAI ROL 12/15/2011

TUGAS AKHIR RANCANG BANGUN MESIN PEMBUAT TALI TAMPAR DARI BAHAN LIMBAH PLASTIK. Oleh:

BAB IV PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN TRANSMISI PADA MESIN PERAJANG TEMBAKAU DENGAN PENGGERAK KONVEYOR

Perhitungan Kapasitas Screw Conveyor perjam Menghitung Daya Screw Conveyor Menghitung Torsi Screw

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

ANALISA DESAIN STRUKTUR DAN KESTABILAN SUSPENSI PASSIVE PADA SMART PERSONAL VEHICLE 2 RODA

BAB IV PERHITUNGAN DAN HASIL PEMBAHASAN

BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Perencanaan 2.2 Motor 2.3 Reducer

PENDEKATAN RANCANGAN Kriteria Perancangan Rancangan Fungsional Fungsi Penyaluran Daya

PERANCANGAN POROS TRANSMISI DENGAN DAYA 100 HP

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III TEORI PERHITUNGAN. Data data ini diambil dari eskalator Line ( lampiran ) Adapun data data eskalator tersebut adalah sebagai berikut :

300 mm 900 mm. ΣF = 0 : Rv 20 kn + 10 kn 40 kn = 0 Rv = 50 kn. δ = P L / A E. Maka δ akan berbeda untuk P, L, A, atau E yang berbeda.

PENGARUH PARAMETER POTONG TERHADAP DIAMETER PITS ULIR METRIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS AKHIR. Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERENCANAAN MESIN BENDING HEAT EXCHANGER VERTICAL PIPA TEMBAGA 3/8 IN

BAB II LADASAN TEORI

TRANSMISI RANTAI ROL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. ANALISA PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Tujuan Tujuan dari tugas akhir ini adalah merancang mesin pemasta coklat dengan hasil perancangan sesuai kebutuhan.

RANCANG BANGUN MESIN POLES POROS ENGKOL PROYEK AKHIR

Redesain Gearbox Rotary Parkir Menggunakan Software Berbasis Elemen Hingga

BAB IV PROSES, HASIL, DAN PEMBAHASAN. panjang 750x lebar 750x tinggi 800 mm. mempermudah proses perbaikan mesin.

DOSEN PEMBIMBING: Prof.Dr. I NYOMAN SUTANTRA, M.Sc, Phd. YOHANES, ST, MSc. Eng

Mulai. Studi Literatur. Gambar Sketsa. Perhitungan. Gambar 2D dan 3D. Pembelian Komponen Dan Peralatan. Proses Pembuatan.

PERANCANGAN TEKNIS BAUT BATUAN BERDIAMETER 39 mm DENGAN KEKUATAN PENOPANGAN kn LOGO

Jumlah serasah di lapangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perancangan Sistem Transmisi Untuk Penerapan Energi Laut

PERHITUNGAN DAYA DAN KAPASITAS MESIN PRESS SERBUK KAYU SEBAGAI MEDIA PENANAMAN JAMUR TIRAM PUTIH RIKO PRIANDHANY

Perancangandanpembuatan Crane KapalIkanUntukDaerah BrondongKab. lamongan

BAB II DASAR TEORI. Mesin perajang singkong dengan penggerak motor listrik 0,5 Hp mempunyai

BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Transmisi 2.2 Motor Listrik

RANCANG BANGUN MESIN PENGHANCUR BONGGOL JAGUNG UNTUK CAMPURAN PAKAN TERNAK SAPI KAPASITAS PRODUKSI 30 kg/jam

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN BAGIAN BAGIAN CONVEYOR

PEGAS. Keberadaan pegas dalam suatu system mekanik, dapat memiliki fungsi yang berbeda-beda. Beberapa fungsi pegas adalah:

BAB III PERANCANGAN DAN PERHITUNGAN

PERANCANGAN MESIN PRESS BAGLOG JAMUR KAPASITAS 30 BAGLOG PER JAM. Oleh ARIEF HIDAYAT

III. METODE PENELITIAN. Penelitian sekaligus pengambilan data dilakukan di Laboratorium Produksi dan

BAB II DASAR TEORI. rokok dengan alasan kesehatan, tetapi tidak menyurutkan pihak industri maupun

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III PERANCANGAN DAN PERHITUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA KEGAGALAN POROS DENGAN PENDEKATAN METODE ELEMEN HINGGA

BAB IV ANALISA DESAIN MEKANIK CRUISE CONTROL

BAB III. Metode Rancang Bangun

MESIN PEMINDAH BAHAN PERANCANGAN HOISTING CRANE DENGAN KAPASITAS ANGKAT 5 TON PADA PABRIK PENGECORAN LOGAM

BAB IV ANALISA & PERHITUNGAN ALAT

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Skema Dinamometer (Martyr & Plint, 2007)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA PERHITUNGAN TEGANGAN DAN SIMULASI SOFTWARE

BAB VI POROS DAN PASAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk mencacah akan menghasikan serpihan. Alat pencacah ini

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Konsep Perencanaan Sistem Transmisi Motor

Perancangan Belt Conveyor Pengangkut Bubuk Detergent Dengan Kapasitas 25 Ton/Jam BAB III PERHITUNGAN BAGIAN-BAGIAN UTAMA CONVEYOR

Rancang Bangun Sistem Chassis Kendaraan Pengais Garam

BAB III PERANCANGAN Perencanaan Kapasitas Penghancuran. Diameter Gerinda (D3) Diameter Puli Motor (D1) Tebal Permukaan (t)

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOPLING. Kopling ditinjau dari cara kerjanya dapat dibedakan atas dua jenis: 1. Kopling Tetap 2. Kopling Tak Tetap

BAB II DASAR TEORI 2.1 Traktor 2.2 Kekuatan Bahan Definisi

III. METODOLOGI PENELITIAN. waktu pada bulan Oktober hingga bulan Maret Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini :

Studi Kekuatan Spur Gear Dengan Profil Gigi Cycloid dan Involute

Transkripsi:

BAB 4 ANALISIS TEKNIK 4.1 Pendahuluan Analisis teknik ini merupakan bagian dari langkah RE yang ketiga, yaitu pemodelan dan analisis teknik. Setelah pemodelan selesai dilakukan, selanjutnya komponen-komponen tersebut perlu dianalisis baik dari segi materialnya, kekuatannya, maupun toleransi dimensinya. Hal ini dimaksudkan agar hasil rancangan RE yang telah dimodelkan akan bekerja sesuai harapan. Di samping itu, perlu juga dirancang proses pembuatannya. Hal ini berkaitan dengan pembuatan prototype untuk pengujian hasil RE. Namun karena penulis membatasi hanya pada bagian perancangan RE, maka proses pembuatan komponen hanya dibahas secara ringkas, yaitu hanya sebagai saran-saran saja. Selanjutnya kegiatan RE dilanjutkan dengan pengujian dan evaluasi. Ada beberapa tahap dalam pelaksanaan pengujian ini, seperti penentuan prosedur pengujian, pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pengujian, dan pembuatan proposal pengembangan atau peningkatan produk (improvement). Namun penulis hanya membatasi pada pembuatan rencana prosedur dan lembar pengujian (inspeksi) saja. Tahapan terakhir, yaitu pengembangan dan peningkatan produk tidak dilakukan penulis karena berada di luar batasan masalah. Berikut beberapa penjelasan tentang tahapan lanjutan RE. 4.2 Analisis Material dan Kekuatan 4.2.1 Roda Gigi Untuk perhitungan analisis kekuatan dan material roda gigi, digunakan bantuan sotware komputer MITCalc. Dengan bantuan sotware ini, perhitungan menjadi lebih cepat dan mudah. Input yang diperlukan antara lain daya yang diteruskan, kecepatan putar roda gigi, rasio transmisi, material roda gigi pinion dan gear, jenis mesin 49

penggerak dan jenis beban yang digerakkan, jenis tumpuan, angka kualitas roda gigi yang dipilih, umur yang diinginkan (dalam jam), jumlah roda gigi pinion, sudut tekan, sudut helix, module roda gigi, lebar gigi, koeisien modiikasi addendum dan pemilihan pahat pemotong bila diperlukan. Karena dimensi-dimensi roda gigi telah dipilih, maka hasil pilihan tersebut tinggal dimasukkan ke dalam program MITCalc. Yang perlu dihitung adalah daya yang diteruskan serta kecepatan putar untuk masing-masing roda gigi (untuk gear 1, 2,, dan 4). Selain itu, perlu juga menghitung umur pakai yang diharapkan, yaitu dipilih 10 tahun dengan asumsi 4 kali panen per tahun. Penggunaan traktor tangan untuk membajak lahan diasumsikan selama 14 hari setiap kali panen dengan pengoperasian rata-rata 10 jam per hari, maka didapat jumlah umur yang diharapkan: umur = 10 tahun 4 panen 14 hari 10 jam = 5600 jam tahun panen hari Pertama-tama perlu diketahui daya yang dihasilkan motor bensin sebagai mesin penggerak. Dari data produsen motor bensin diketahui bahwa daya output maksimum adalah 6 kw dengan putaran 2400 rpm. Namun keadaan ini sangat jarang tercapai karena pada pengoperasian traktor tangan, gas tidak pernah dibuka 100%. Maka keadaan yang diambil untuk perhitungan adalah keadaan output continuous maksimum, dimana daya yang dihasilkan sebesar 5,2 kw dengan putaran 2200 rpm. Daya serta kecepatan putar ini langsung diteruskan ke puli_tensioner. Dari data tersebut, dapat diketahui daya serta kecepatan putar pada puli_input dengan menggunakan rasio reduksi puli (,677) serta asumsi eisiensi puli (95%). Kemudian perhitungan diteruskan untuk mencari daya dan kecepatan putar pada sproket_pinion dan sproket_gear dengan menggunakan rasio reduksi sproket (2,727) serta asumsi eisiensi sproket (97%). Selanjutnya perhitungan diteruskan sampai ke roda gigi terakhir (gear 4) dengan cara yang sama, hanya saja daya yang diteruskan dari sproket_gear ke gear 1 dibagi dua, sebagian diteruskan ke gear 1 sebelah kiri, sebagian lagi diteruskan ke gear 1 sebelah kanan. Namun untuk roda gigi-roda gigi selanjutnya daya yang diteruskan tetap sama, hanya berkurang akibat adanya asumsi eisiensi (98,5%). Untuk lebih jelasnya, hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Setelah dilakukan perhitungan dengan MITCalc, hasilnya menunjukkan bahwa desain RE roda gigi cukup aman dipakai. Keempatnya memiliki saety actor 50

untuk beban atigue di atas 1. Tabel hasil perhitungan saety actor dapat dilihat pada Tabel 4.2, sedangkan contoh simulasi perhitungan kekuatan untuk gear 1 dan 2 dapat dilihat pada Gambar 4.1. Untuk simulasi perhitungan kekuatan gear dan 4 dapat dilihat pada Lampiran C-1. Tabel 4.1 Hasil perhitungan daya dan kecepatan putar komponen sistem transmisi Komponen Daya [kw] Kecepatan Putar [rpm] Puli_Tensioner 5,200 2200 Puli_input 4,940 598, Sproket_Pinion 4,940 598, Sproket_Gear 4,792 219,4 Gear 1 2,96 219,4 Gear 2 2,60 79,8 Gear 2,60 79,8 Gear 4 2,25 29,0 Tabel 4.2 Hasil perhitungan saety actor roda gigi untuk beban atigue Gear S b S c 1 2,77 1,57 2 2,40 1,75 1,18 1,08 4 1,15 1,21 Gambar 4.1a Simulasi perhitungan kekuatan roda gigi untuk gear 1 dan 2 51

Gambar 4.1b Simulasi perhitungan kekuatan roda gigi untuk gear 1 dan 2 (lanjutan) Gambar 4.1c Simulasi perhitungan kekuatan roda gigi untuk gear 1 dan 2 (lanjutan) 52

Gambar 4.1d Simulasi perhitungan kekuatan roda gigi untuk gear 1 dan 2 (lanjutan) Gambar 4.1e Simulasi perhitungan kekuatan roda gigi untuk gear 1 dan 2 (lanjutan) 5

Gambar 4.1 Simulasi perhitungan kekuatan roda gigi untuk gear 1 dan 2 (lanjutan) 4.2.2 Poros Untuk perhitungan poros hanya dicantumkan contoh perhitungan analisis untuk poros input, sedangkan analisis untuk poros lain dapat dilihat pada Lampiran C-2. Hasil perhitungan gaya-gaya pada poros input menghasilkan DBB pada bidang X-Y seperti yang terlihat pada Gambar 4.2 dan DBB pada bidang X-Z seperti pada Gambar 4. berikut. Y FBy X A Tsp B Tpi W605 Wsp Ws W606 FAy Gambar 4.2 DBB poros input pada bidang X-Y Wpi 54

X A Tsp B Tpi Z FAz Fspz FBz Fpiz Gambar 4. DBB poros input pada bidang X-Z F A adalah gaya reaksi pada ball bearing 605, W605 adalah gaya berat bearing 605, Wsp adalah gaya berat sproket_pinion, Fspz adalah gaya reaksi tumpuan dari sproket_pinion pada arah sumbu Z, Ws adalah gaya berat poros input, F B adalah gaya reaksi pada ball bearing 606, W606 adalah gaya berat bearing 606, Wpi adalah gaya berat puli_input, Fpiz adalah gaya reaksi tumpuan dari puli_input pada arah sumbu Z, Tsp adalah torsi dari sproket_pinion, dan Tpi adalah torsi dari puli_input. Dari perhitungan gaya berat didapat hasil bahwa W605 = 2, N, Wsp = 2 N, Fspz = 4462,98 N, Ws = 15 N, W606 =,5 N, Fpiz = 107,44 N, dan Wpi = 57, N. Sedangkan dari perhitungan torsi didapat Tsp = 78,85 N.m dan Tpi = 78,85 N.m. Semua gaya dan torsi diasumsikan terpusat dan bekerja pada pusat masa di tengah-tengah komponen. Dengan persamaan kesetimbangan momen pada bidang X-Y didapat: ΣM A = 0 Wsp 6 Ws 15,95 + FBy 182 Wpi 262,7 = 0 2 6 15 15,95 + FBy 182 57. 262,7 = 0 FBy = 98,1 N Sedangkan dari persamaan kesetimbangan momen pada bidang X-Z didapat: ΣM A = 0 Fspz 6 + FBz 182 Fpiz 262,7 = 0 4462,98 6 + FBz 182 107,44 262,7 = 0 FBz = 042, N Selanjutnya, dari persamaan kesetimbangan gaya pada bidang X-Y didapat: ΣFy = 0 FAy Wsp Ws + FBy Wpi = 0 FAy 2 15 + 94,6 57. = 0 FAy = 18 N 55

Terkahir, dari persamaan kesetimbangan gaya pada bidang X-Z didapat: ΣFy = 0 FAz Fspz + FBz Fpiz = 0 FAz 4462,98 + 107,44 042, = 0 FAz = 2458,12 N Dari semua persamaan kesetimbangan di atas, dapat dibuat diagram gaya geser, diagram momen bending dan diagram torsi. Gambar diagram-diagram ini dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5. Selanjutnya perlu dibuat diagram momen magnitude-nya untuk mengetahui daerah kritisnya. Diagram momen magnitude ini didapat dengan menggunakan persamaan: magnitude 2 XY M = M + M dengan M magnitude adalah momen bending total (magnitude), M XY adalah besar momen bending pada bidang X-Y, sedangkan M XZ adalah besar momen bending pada bidang X-Z. Maka didapat diagram momen magnitude seperti pada Gambar 4.6. 2 XZ Y FBy X A Tsp B Tpi W605 FAy Wsp Ws W606 Wpi V (N) 57, 0-20, -22, -7, X M (N.m) 0-1,28-2,91-4,6 X T (N.m) 0-78,85 X Gambar 4.4 Diagram gaya geser, momen bending dan torsi poros input pada bidang X-Y 56

X A Tsp B Tpi Z FAz Fspz FBz Fpiz V (N) 2458,12 107,44 0 X -2004,86 M (N.m) 154,86 8,61 0 X -8,72 Gambar 4.5 Diagram gaya geser dan momen bending poros input pada bidang X-Z M magnitude (N.m) 154,87 8,85 9,09 0 7,8 146,75 192,8 27,5 10,8 X Gambar 4.6 Diagram momen bending magnitude poros input Maka dapat ditentukan bahwa daerah kritis terletak pada posisi x = 7,8 mm dimana momen bending yang terjadi adalah sebesar 154,87 N.m dan torsinya sebesar 78,85 N.m. Namun, perlu juga diperiksa daerah-daerah lainnya terutama pada daerah yang terdapat perubahan diameter atau alur. Daerah-daerah ini memiliki konsentrasi tegangan sehingga dapat menyebabkan kegagalan. Perhitungan pada daerah seperti ini harus menggunakan aktor koreksi seperti notch sensitivity (q) dan aktor konsentrasi tegangan (k t ). Dari tabel notch sensitivity untuk baja [], nilai q untuk material AISI 440 (S ut = 965 MPa) adalah sebesar 0,65. Untuk nilai k t, digunakan tabel k t untuk poros dengan perubahan diameter dan poros beralur pada beban bending dan torsi [] berdasarkan nilai r/d dan D/d. 57

Maka daerah kritis yang perlu diperhatikan pada poros menjadi bertambah, yaitu pada x = 19, mm, x = 58,8 mm, x = 88,8, x = 181,6 mm, x = 227, mm, dan x = 25, mm. Contoh perhitungan dilakukan untuk x = 19, mm. Pada daerah ini terdapat perubahan diameter dari 24 mm (d) menjadi 28 mm (D) dengan jari-jari notch (r) diasumsikan 0,1 mm. Untuk mendapatkan nilai k t, digunakan tabel k t untuk poros dengan perubahan diameter pada beban bending dan torsi. [] Untuk nilai D/d ( D / d = 28 / 24 ) sebesar 1,17 dan nilai r/d ( r / d = 0,1 / 24 ) sebesar 0,0042, didapat nilai k t untuk beban bending sebesar,28 dan k t untuk beban torsi sebesar 2,46. Perhitungan seharusnya dilanjutkan dengan perhitungan diameter minimum poros dengan beban ully-reversed bending dan steady torsion. Namun akan tampak lebih baik bila diubah menjadi perhitungan saety actor, sehingga rumusnya menjadi: N = 2 k M S a 2 d + π k 4 Dimana N adalah saety actor, k adalah aktor konsentrasi tegangan bending atigue, k sm adalah aktor konsentrasi tegangan puntir atigue, M a adalah momen bending yang dialami poros, T m adalah torsi yang dialami poros, S adalah kekuatan atigue material poros, dan S y adalah kekuatan luluh material poros. sm T S Nilai k dan k sm didapat dengan menggunakan persamaan: k k k = 1 + q (k = 1 + 0,65 (,28 1) = 2,482 t 1) k k k sm sm sm = 1,949 m y = 1 + q (k 2 1 2 1) = 1 + 0,65 (2,46 1) Kekuatan atigue material didapat dengan mengalikan beberapa aktor dengan kekuatan endurance-nya (S e ). Faktor pengali tersebut berupa aktor beban (C load ) sebesar 1 (untuk beban bending), aktor ukuran (C size ) sebesar 0,855 (untuk diameter poros antara 8 250 mm), aktor permukaan (C sur ) sebesar 0,77 (untuk manuaktur dengan proses pemesinan), aktor temperatur (C temp ) sebesar 1 (untuk temperatur operasi di bawah 450 o C), dan aktor ketahanan (C reliab ) sebesar 0,75 (untuk ketahanan 99,9%). Kekuatan endurance material sendiri didapat dengan mengalikan setengah kekuatan tariknya, sehingga bila kekuatan tarik AISI 440 t 58

adalah 965 MPa, maka kekuatan endurance-nya adalah 482,5 MPa. Maka kekuatan atigue material menjadi: S S S = S e = C load C = 1 0,855 0,77 1 0,75 482,5 = 228,94 MPa size C sur C temp C reliab Sedangkan kekuatan luluh AISI 440 adalah sebesar 760 MPa. Maka dapat dihitung besarnya saety actor adalah: N N = 2 2,482 = 5,99 20,89 228,94.10 (0,024) 6 2 + π 4 1,949 S e ' 0 760.10 Karena nilai N lebih besar dari satu, maka daerah ini aman. Selanjutnya dilakukan perhitungan yang sama pada daerah kritis lainnya sehingga didapat semua saety actor pada daerah kritis. Kemudian hal yang sama dilakukan untuk poros penumpu lainnya. Hasil nilai saety actor untuk daerah kritis pada poros input serta poros-poros lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.. Sedangkan untuk perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran C-2. 6 2 1 2 Tabel 4. Hasil perhitungan saety actor diameter poros penumpu Poros Daerah Kritis (pada x = mm) Saety Factor Input 19, 5,99 Input 58,8 1,9 Input 7,8,16 Input 88,8 1,44 Input 181,6 4,0 Input 227, 2,8 Input 25, 4,5 Intermediate 1 18,1 1,95 Intermediate 1 77,1 1,02 Intermediate 1 8,1 4,24 Intermediate 1 89,1 1,02 Intermediate 1 148,1 1,95 Intermediate 2 88 1,45 Output 14,4 1,95 Output 112,5 6,1 Output 141,5 5,07 Output 168 4,7 Output 24 2,2 Output 27,5 1,48 Output 251,5 4,17 59

4.2. Bantalan Ball bearing SKF tipe 605, 606, dan 608 dipilih karena merupakan bearing explorer dari SKF yang memiliki kelebihan pada kekuatan material serta bentuk geometrinya yang lebih baik. Ketiganya memiliki batas kecepatan putar yang disarankan di atas 10000 rpm. Pada aplikasi gearbox rancangan RE, kecepatan putar maksimum hanya 2400 rpm, maka ketiganya dapat digunakan. Namun untuk memastikan, perlu dihitung juga umur atigue dari bearing yang kita pilih. Untuk menghitung umur atigue ini kita perlu menentukan beban yang diterima oleh bearing. Contoh perhitungan adalah untuk bearing 605 pada poros intermediate 1 karena terkena beban radial dan beban aksial (dari pegas helix tekan). Bearing ini mengalami gaya radial sebesar 4606,66, N dan gaya aksial sebesar 71,17 N. Untuk perhitungan umur, diperlukan perhitungan beberapa aktor seperti aktor perbandingan gaya aksial (F a ) dengan basic static load rating (C o ), perbandingan gaya aksial (F a ) dan gaya radial (F r ), aktor rotasi (V), aktor gaya radial (X), dan aktor gaya aksial (Y). Faktor perbandingan F a dengan C o dapat langsung dihitung karena spesiikasi dari SKF telah memberikan nilai C o, yaitu untuk 605 sebesar 11,6 kn. Maka aktor perbandingan ini adalah sebesar: F C a o = 71,17 11600 = 0,0061 Untuk menghitung nilai X dan Y perlu dihitung terlebih dahulu nilai perbandingan F a dengan F r yang telah menyertakan aktor rotasi (V) pada F r. Nilai perbandingan ini dibandingkan dengan nilai eksentrisitas (e) bearing untuk mendapatkan nilai X dan Y. Nilai V didapat dari tabel standar SKF (Lampiran A-8), yaitu sebesar 1 untuk cincin dalam bearing yang berputar (bukan cincin luar yang berputar). Nilai e bergantung pada nilai perbandingan F a dengan C o, dan didapat juga dari tabel standar SKF. Untuk nilai F a /C o = 0,0061, didapat nilai e sebesar 0,17 (dengan ekstrapolasi). Nilai perbandingan F a dengan F r adalah: Fa V F r 71,17 = = 0,0154 1 4606,66 60

Nilai perbandingan tersebut lebih kecil dibandingkan nilai e, sehingga dipakai nilai X dan Y rekomendasi standar SKF, yaitu X sebesar 1 serta Y sebesar 0. Selanjutnya dihitung besarnya beban ekivalen dengan persamaan: P = X V F + Y F P = 1 1 4606,66 + 0 71,17 P = 4606,66 r N Langkah terakhir adalah menghitung umur putaran ball bearing (dalam satuan juta putaran), yaitu dengan menggunakan persamaan: C L = P dengan nilai C didapat langsung dari spesiikasi produsen. Untuk bearing 605, nilai C adalah sebesar 2,4 kn. Maka umur putaran (dalam satuan juta putaran) adalah sebesar: L = 2400 4606,66 = 11,0657.10 a 6 juta putaran Umur putaran bearing ini kemudian dikonversi ke jumlah umur tahun pakai. Untuk itu, jumlah putaran harus dibagi dengan kecepatan putar (dalam rad/menit), kemudian dibagi dengan jumlah menit operasi per tahun. Bila kecepatan putar 291,4 rpm dan setahun diasumsikan traktor beoperasi selama 560 jam atau 600 menit, maka umur tahun pakai bearing menjadi: L 6 L 11,0657.1 0 = n menit operasi (219,4 2 π ) 600 tahun = = 2,829 tahun Untuk perhitungan bearing lainnya, dapat dilihat pada Lampiran C-, sedangkan hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.4. Ball Bearing Tabel 4.4 Hasil perhitungan jumlah umur tahun pakai ball bearing Pada Poros F a [N] F r [N] Umur Tahun Pakai [Tahun] 605 Input 0 2458,18 6,829 606 Input 0 04,88 7,28 606 Intermediate 2 0 12240,9 0,84 608 Output 0 2986,68 > 100 608 Output 0 12199,81 6,8 61

Untuk semua ball bearing yang dipilih, umurnya cukup memuaskan, kecuali bearing 605 pada poros intermediate 1 dan bearing 606 pada poros intermediate 2 tidak memuaskan, namun pada kenyataannya kedua bearing ini tidak ikut berputar karena poros yang ditumpunya hanya berperan sebagai as. Maka umurnya diyakini cukup memuaskan karena as tidak akan sering berputar selama operasi. 4.2.4 Pegas Helix Tekan Pegas helix hasil rancangan RE memiliki spesiikasi: o Material ASTM A227 o D = 4 mm, D o = 7 mm, D i = 1 mm, d = mm o L = 4 mm, L a = 2,75 mm, L m = 27,25 mm o N t = 4, N a = o Pitch = 16, mm Untuk analisis pegas, perlu dihitung indeks pegas (C). C didapat dari D / d, untuk kasus ini didapat C = 11,. Nilai C ini cukup baik karena berada di antar 4 12. Selanjutnya dihitung pula konstanta pegas dengan persamaan: F F = k y = k y 4 d G k = 8 D n a 4 (0,00) 80,8 10 k = 8 (0,04) k = 698,22 N/m Setelah itu perlu dihitung gaya perakitan (F a ) dan gaya kerja maksimum (F w ) untuk menghitung tegangan yang terjadi pada pegas. Perhitungan gaya: F = k y a w initial working (4 2,75) = 698,22 = 71,12 N 1000 (2,75 27,25) = 698,22 = 8,16 N 1000 Saety actor pegas dihitung dengan persamaan N s = S ys / τ, dimana N s adalah saety actor, S ys adalah kekuatan luluh torsional material, dan τ adalah tegangan geser torsional. S ys didapat dengan mengalikan 0,6 dengan kekuatan tarik (S ut ). Namun kekuatan tarik ini perlu dihitung dengan persamaan S ut = A.d b dimana 9 62

untuk material ASTM A227 nilai A = 175, MPa dan b = -0,1822. Maka untuk kawat pegas dengan diameter mm, dapat dihitung kekuatan tariknya yaitu sebesar 175, x () -0,1822 MPa, atau sebesar 145,24 MPa. Dari sini didapat kekuatan luluh torsional-nya sebesar 0,6 x 145,24 MPa atau sebesar 861,14 MPa. Tegangan geser torsional dihitung dengan persamaan: 8.F D 0,5 τ = K s, dengan K s = 1 + π d C 0,5 K s = 1 + = 1,044 11, 8.(71,12 + 8,16) (0,04) τ = 1,044 = 65,84 MPa π (0,00) Maka saety actor dapat dihitung sebesar 861,14 / 65,84 atau sebesar 2,5. Di samping itu, perlu juga dilakukan perhitungan saety actor untuk keadaan solid / shut. Untuk mendapatkan saety actor ini, perlu dicari gaya shut (F shut ). F shut bisa didapat setelah kita mengetahui y shut, yang dicari dengan mengurangkan L dengan L s. L s didapat dengan mengalikan jumlah lilitan total dengan diameter kawat, yaitu 4 x mm atau sebesar 12 mm. Maka y shut adalah sebesar 4-12 mm atau sebesar 1 mm. Maka F shut, τ shut, dan N s shut didapat sebesar: F τ N shut shut s shut 1 = k y shut = 698,22 = 215,08 N 1000 8.F D 8.215,08 (0,04) = K s = 1,044 π d π (0,00) = τ S ys shut = 861,14 689,69 = 1,25 = 689,69 MPa Setelah nilai saety actor yang didapat cukup memuaskan, selanjutnya perlu diperiksa kemungkinan terjadi buckling. Perlu dihitung rasio L / D dan y max / L. Nilai L / D adalah sebesar 4 / 4 atau sebesar 1,265. Sedangkan nilai y max / L adalah sebesar (4-27,75) / 4 atau sebesar 0,55. Dari kurva kondisi kritis buckling [], dapat dilihat bahwa untuk kedua nilai ini, pegas dalam keadaan stabil dan tidak akan terganggu peristiwa buckling. Maka hasil rancangan ini aman untuk digunakan. 6

4. Analisis Toleransi 4..1 Toleransi Dimensi dan Geometri 4..1.1 Roda Gigi Untuk penentuan toleransi yang diperlukan roda gigi, maka pertama-tama harus dipilih angka kualitasnya. Untuk memilih angka kualitas ini kita harus menentukan terlebih dahulu kecepatan linear pitch-nya, tujuan penggunaan, serta proses pembuatan yang diinginkan. Kemudian dengan menggunakan tabel kualitas dari ISO 128, angka kualitas roda gigi dapat dipilih. Tabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut. Tabel 4.5 Tabel kualitas roda gigi menurut ISO 128 Quality Number 1 2 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Pitch Line Velocity [m/min] Application 1 - X X X - 6 X X X 6-20 X X X X > 20 X X X General Machine X X X X X X Automotive X X X X X Measurement Device X X X X X Master Gear X X X Manuacture Process Form Milling X X X X X Shapping / Hobbing X X X X X Shaving X X X X X Grinding X X X X X X X X Maka perlu dihitung kecepatan pitch setiap roda gigi. Berikut perhitungan kecepatan linear pitch untuk keempat roda gigi yang dirancang. π d1 n 1 Gear 1 = Gear 2 = 1000 π d n Gear = Gear 4 = 1000 π 64 219,4 = 1000 π 64 79,8 = 1000 = 44,11 m/min = 16,04 m/min Dari perhitungan tersebut didapat bahwa untuk gear 1 dan 2, angka kualitas yang cocok adalah antara 2-4, sedangkan untuk gear dan 4 adalah 5-8. Traktor tangan termasuk mesin umum, maka angka kualitas yang cocok adalah antara 5-10. Proses pembuatan yang direncanakan adalah proses orm milling agar biaya 64

pembuatan tidak terlalu mahal, maka angka kualitas yang dipilih sebaiknya antara 8-12. Dari ketiga kriteria tersebut, proses pembuatan sangat ditekankan untuk menekan harga produksi roda gigi, maka dipilihlah gear 1, 2,, dan 4 dari angka kualitas yang sama, yaitu 8. Standar AGMA menentukan bahwa roda gigi dengan angka kualitas 8 termasuk kelas menengah (medium), sehingga toleransi yang perlu diperhatikan adalah toleransi kesalahan pitch tunggal ( ptt ), toleransi kesalahan pitch kumulati total (F pt ), toleransi tebal gigi, toleransi proil total (F αt ), dan toleransi sudut helix total (F βt ). Persamaan yang diperlukan untuk menghitung semua toleransi tersebut telah dicantumkan oleh AGMA. [4] Berikut contoh perhitungan toleransi untuk gear 1. Diameter t oleransi = d d = (0, m + 0,0 d F F αt F pt pt βt = (0, 4 + 0,0 64 + 5,2) ( = (0, m + 0,0 d + 20) ( = (0, 4 + 0,0 64 + 20) ( 2) = (,2 m + 0,22 d + 0,7) ( = (,2 = (0,1 = (0,1 4 + 0,22 d + 0,6 T T T T T 64 + 0,6 = D o - 2 m = 72 2 4 = 64 mm (A-5) + 5,2) ( 2) T 2) 2) 64 + 0,7) ( b + 4,2) ( 18 + 4,2) ( (8-5) (A-5) (8-5) = 65 μm (A-5) 2) 2) 2) 2) = 25 μm (8-5) (A-5) (8-5) = 25 μm = 21μm Di samping toleransi-toleransi tersebut, roda gigi juga perlu diberi toleransi kesalahan putar. Untuk menentukan besarnya toleransi kesalahan putar ini, digunakan tabel dari ISO berdasarkan angka kualitas dan diameternya. Tabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Tabel toleransi kesalahan putar bidang reerensi (radial / aksial) Pitch Diameter (mm) Quality (Tolerance in μm) > to 1 & 2 & 4 5 & 6 7 & 8 9 12 125 2.8 7 11 18 28 125 400.6 9 14 22 6 400 800 5.0 12 20 2 50 800 1600 7.0 18 28 45 71 1600 2500 10.0 25 40 6 100 2500 4000 16.0 40 6 100 160 65

Maka didapat toleransi kesalahan putar untuk gear 1 dan (pitch diameter 64 mm dengan kualitas 8) adalah 18 μm. Sedangkan untuk gear 2 dan 4 (pitch diameter 176 mm dengan kualitas 8), toleransi kesalahan putarnya adalah 22 μm. Untuk mencapai toleransi-toleransi tersebut, roda gigi perlu diproduksi dengan seksama. Metode dari AGMA menyarankan untuk membuat gear blanks terlebih dahulu dengan toleransi yang lebih ketat. Hal ini dikarenakan biaya untuk membuat gear blanks dengan toleransi ketat lebih murah dibandingkan membuat gigi pada roda gigi dengan akurasi tinggi. Untuk membuat gear blanks diperlukan reerensi sumbu datum untuk mengukur toleransi. Penulis memilih menggunakan sumbu datum yang dideinisikan oleh satu permukaan silinder dan satu end-ace. Kedua permukaan ini dapat dilihat pada Gambar 4.4. Menurut AGMA, dengan menggunakan metode ini, toleransi yang diperlukan adalah toleransi kebulatan (circularity) dan kerataan (latness). Toleransi ini dihitung dengan persamaan: Kebulatan = 0,06 F = 0,06 65 = μm p D Kerataan = 0,06 b 0 = 0,06 18 = 2 μm Semua perhitungan toleransi di atas dihitung juga untuk semua gear yang lain. Hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 4.7. Sedangkan Untuk perhitungan gear lainnya tersebut dapat dilihat pada Lampiran C-4. d F 21 β A circ. tol. latness tol. B Gambar 4.7 Sumbu datum dideinisikan oleh satu permukaan silinder dan satu end-ace 66

Tabel 4.7 Hasil perhitungan toleransi roda gigi Gear pt [μm] F pt [μm] F αt [μm] F βt [μm] Kesalahan Putar [μm] Kebulatan Gear Blanks [μm] Kerataan Gear Blanks [μm] 1 25 65 25 21 18 2 2 74 28 22 22 4 2 25 65 25 22 18 2 4 74 28 2 22 4 4..1.2 Poros Untuk toleransi poros, sebenarnya ada dua toleransi, yaitu toleransi poroslubang dan toleransi kekasaran permukaan. Toleransi poros-lubang akan dibahas pada bagian toleransi assembling, sehingga sekarang hanya dibahas toleransi kekasaran permukaan poros. Dari tabel pada Lampiran A-7 didapat nilai toleransi kekasaran permukaan untuk hasil proses mesin bubut yang umum dan sering digunakan adalah sebesar antara,2 6,4 μm. Diambil,2 μm agar permukaan yang dihasilkan cukup baik sehingga dapat menunjang ungsi poros dengan baik. 4..1. Bantalan Toleransi ball bearing (bantalan) sebenarnya merupakan toleransi lubangporos. Namun karena ball bearing dipilih dan dibeli, tidak diproduksi sendiri, maka toleransi lubang pada bearing telah ditentukan ari produsen. Nilai toleransi ini dalam bentuk nilai ISO yang nantinya perlu dikoreksi ke dalam angka metrik. Dari standar SKF, toleransi lubang pada ball bearing ditentukan berdasarkan diameter cincin luarnya (D), untuk single row yaitu sebagai berikut: o D 52 mm, gunakan toleransi P5 o 52 mm < D 110 mm, gunakan toleransi P6 o 110 < D, gunakan toleransi normal Sedangkan untuk toleransi poros tempat pemasangan ball bearing ditentukan berdasarkan diameter porosnya atau diameter cincin dalamnya (d), untuk single row yaitu sebagai berikut: o 10 mm < d 17 mm, gunakan toleransi k4 o 17 mm < d 25 mm, gunakan toleransi k5 o 25 mm < d 140 mm, gunakan toleransi m5 67

o 140 mm < d 00 mm, gunakan toleransi n6 o 00 mm < d 500 mm, gunakan toleransi p6 Maka toleransi lubang pada semua ball bearing yang dipilih yaitu P6, karena diameter cincin luar ball bearing 605 adalah 62 mm, ball bearing 606 adalah 72 mm, dan ball bearing 608 adalah 90 mm, semuanya berada di antara 52-110 mm. Untuk toleransi porosnya akan dibahas pada bagian toleransi assembling. Sedangkan untuk toleransi rumah bearing, SKF menganjurkan untuk menggunakan toleransi H7 untuk berbagai beban pada mesin umum. Maka dipilih toleransi rumah bearing H7. 4..2 Toleransi Assembling Toleransi assembling dimulai dengan toleransi pemasangan poros pada komponen-komponennya, seperti roda gigi dan ball bearing. Selanjutnya toleransi assembling dilanjutkan dengan pemasangan poros pada casing gearbox. Keduaduanya akan dibahas di sini. Pertama untuk pemasangan roda gigi. Pemasangan ini berdasarkan pada toleransi poros dan lubang. Basis yang dipakai adalah basis lubang. Dari standar ISO, untuk alat transmisi biasa dipilih kualitas suaian agak cermat atau suaian cermat (untuk komponen mesin umum).selanjutnya dipilih jenis suaian. Untuk pemasangan roda gigi, umumnya dipilih suaian jalan teliti (untuk komponen yang dapat bergerak tanpa adanya goyangan). Maka toleransi yang dipilih adalah H7/g6. Untuk pemasangan puli dan sproket, diperlukan jenis suaian yang lebih ketat agar pergerakan puli dan sproket terhadap poros lebih kaku, dan diambil dari jenis suaian lepas, yaitu H8/h7. Khusus untuk poros intermediate 2, digunakan basis poros. Hal ini dikarenakan tidak ada perubahan diameter pada poros untuk pemasangan komponen lain, sementara poros harus menyesuaikan dengan toleransi suaian lubang pada ball bearing (sulit untuk membuat dua jenis toleransi pada satu permukaan yang sama). Toleransi poros intermediate 2 ini adalah m5. Maka untuk pemasangan pada roda gigi lain perlu penyesuaian toleransi. Untuk diameter 0, toleransi m5 adalah sebesar +8 μm dan +17 μm. Dari toleransi g6 (-20 μm dan -7 μm), untuk mencapai toleransi m5 diperlukan 68

penyesuaian penambahan toleransi sebesar 28 μm untuk penyimpangan bawah dan penambahan 4 μm untuk penyimpangan atas. Maka untuk menyesuaikan toleransi H7 (0 μm dan +21 μm), tinggal menambah toleransi sebesar 4 μm untuk penyimpangan atas dan 28 μm untuk penyimpangan bawah. Maka toleransi baru yang sesuai untuk lubang adalah +28 μm dan +55 μm. Dari tabel pada Lampiran A-5, didapat angka toleransi ISO yang paling mendekati adalah F8 (+20 μm dan +5 μm). Maka toleransi inilah yang dipakai pada lubang roda gigi. Untuk pemasangan ball bearing, pada poros yang dipasangkan bearing 605 memiliki diameter 25 mm sehingga dipilih toleransi k5. Sedangkan pada poros yang dipasangkan bearing 606 yang memiliki diameter 0 mm dan poros yang dipasangkan bearing 608 yang memiliki diameter 40 mm dipilih toleransi m5. Setelah pemasangan komponen-komponen tersebut pada poros, selanjutnya perlu membuat toleransi pemasangan poros pada casing gearbox. Toleransi pemasangan ini berdasarkan penyimpangan kesejajaran antar poros. Penyimpangan kesejajaran ini ada dua jenis, yaitu penyimpangan in-plane ( βδ ) dan penyimpangan out-o-plane ( Σβ ). Keduanya dapat dilihat pada Gambar 4.8 Perhitungan penyimpangan maksimum yang diperbolehkan menurut AGMA menggunakan persamaan: Σβ Σδ L = 0,5 F b = 2 dimana L adalah jarak antar bantalan penumpu poros dan b adalah lebar gigi yang saling berkontak. Σβ β Gambar 4.8 Penyimpangan kesejajaran poros Untuk menghitung penyimpangan maksimum setiap poros digunakan panjang jarak tumpuan sebesar 144 mm (jarak antara casing kiri dalam dan kanan 69

dalam) dan lebar gigi adalah lebar gigi total roda gigi pinion. Perhitungannya dilakukan pada poros pinion, yaitu sebagai berikut: Poros input : Poros Intermedia te 1: Poros Intermedia te 2 : Σβ Σδ 144 = 0,5 17 = 244,8 μm 5 = 2 244,8 = 489,6 μm Σβ Σδ Σβ Σδ 144 = 0,5 21 = 42 μm 6 = 2 42 = 84 μm 144 = 0,5 22 = 8 μm 41 = 2 8 = 76 μm Dari semua penyimpangan maksimum tersebut, diambil yang terkecil sebagai acuan untuk toleransi assembling pada casing gearbox (agar tidak melewati nilai maksimum yang lain). Maka, yang menjadi acuan adalah penyimpangan sebesar 8 μm. Nilai ini dijadikan toleransi posisi untuk penempatan lubang pada casing tempat penyimpanan rumah bearing. Berarti sumbu lubang untuk rumah bearing harus terletak dalam silinder dengan diameter 8 μm yang mempunyai sumbu dengan posisi yang benar. Contoh pemberian toleransi ini dapat dilihat pada Gambar 4.9 berikut. φ 0,0 Gambar 4.9 Contoh pemberian toleransi posisi 4.4 Analisis Proses Pembuatan Komponen Karena tidak termasuk dalam batasan penulis, maka proses pembuatan komponen tidak dianalisis secara rinci dan lengkap. Dalam hal ini penulis lebih tepat dikatakan memberikan saran-saran untuk proses pembuatan komponen secara singkat (sekilas). 70

Untuk komponen casing, pemotongan bahan dasar dilakukan dengan metode las. Kemudian untuk membuat proil dan konturnya dilakukan dengan proses milling. Terakhir, pembentukan lubang-lubang pada casing untuk pemasangan komponen lain juga dapat dilakukan dengan proses milling. Untuk mendapatkan hasil optimum, pencekaman dan pengaturan benda kerja perlu diperhatikan dengan seksama agar hasil pembuatannya dapat memenuhi toleransi yang telah dipilih. Untuk pembuatan komponen roda gigi, gear blanks sebaiknya dibeli dari produsen yang telah memiliki pengalaman yang cukup karena toleransinya sangat ketat. Hal ini dimaksudkan agar hasil pembuatan roda gigi dapat memenuhi toleransi yang telah dipilih. Bila roda gigi memiliki kontur tambahan yang perlu dibuat (seperti lubang tambahan, bentuk key, alur, dan lain sebagainya), maka kontur tambahan tersebut harus dibuat terlebih dahulu sebelum proses pembuatan giginya. Hal ini bertujuan agar gigi yang telah terbentuk tidak akan rusak akibat pencekaman atau gangguan saat pembuatan kontur tambahan. Pembuatan komponen roda gigi untuk gearbox traktor tangan ini sebaiknya menggunakan proses orm milling agar biaya pembuatan tidak terlalu mahal namun kualitasnya cukup memadai. Untuk komponen poros, proses pembuatannya menggunakan proses bubut. Pencekaman dan proses pemesinan harus dilakukan dengan seksama agar toleransi yang dipilih dapat tercapai dengan baik. Pembuatan kontur lain (seperti keyway, lubang baut, dan lain sebagainya) dapat menggunakan proses milling. 4.5 Analisis Proses Pengujian Gearbox Seperti halnya dengan proses pembuatan gearbox, proses pengujian gearbox juga tidak termasuk dalam batasan penulis, maka proses pengujian ini tidak dianalisis secara rinci dan lengkap. Dalam hal ini penulis lebih tepat dikatakan memberikan saran-saran untuk proses pengujian gearbox. Pertama-tama perlu diperiksa dimensi semua komponen-komponen yang telah dirakit. Bila sudah sesuai dengan rancangan, komponen-komponen tersebut dapat dirakit. Selanjutnya gearbox perlu diperiksa saat beroperasi. Untuk 71

mengujinya, gearbox perlu dipasangkan terlebih dahulu ke traktor tangan. Berikut prosedur pengujiannya secara ringkas. Traktor dipasang pada axle dynamometer dan diikat pada posisi yang kuat. Semua instrumen pengukur dipasang dengan baik setelah dikalibrasi. Selanjutnya motor penggerak dihidupkan pada posisi putaran roda penerus (lywheel) maksimum sesuai spesiikasi. Tingkat kecepatan gigi transmisi dioperasikan pada posisi kecepatan yang sesuai dengan kondisi pada saat dipakai untuk pengolahan tanah. Sebelum diuji, sebaiknya dilakukan pemanasan terhadap traktor terlebih dahulu selama ±15-0 menit. Pengukuran dilakukan dengan memberi beban torsi pada poros roda secara bertahap meningkat dari beban minimum sampai beban maksimum. Pada setiap penambahan beban (torsi) pada poros roda dilakukan pengamatan / pengukuran terhadap paramater-parameter berikut: o Kecepatan putar motor penggerak. o Kecepatan putar poros roda. o Torsi pada masing-masing poros roda. o Pemakaian bahan bakar. o Temperatur. o Daya keluaran pada poros roda. Setelah pengukuran selesai, selanjutnya perlu dihitung besarnya torsi maksimum, daya maksimum, dan eisiensi penerusan daya pada poros roda. Semua ini dicatat dan hasilnya dievaluasi apakah sudah cukup atau belum. Lembar untuk pengujian ini dapat dilihat pada Lampiran C-5. 72