I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ghia Giovani, 2015

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB I PENDAHULUAN. Mardiasmo (2004) mengatakan, instansi pemerintah wajib melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah selaku penyelenggara urusan pemerintahan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pengelolaan keuangan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan seiring

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. Pergantian pemerintahan dari orde baru kepada orde reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. hal pengelolaan keuangan dan aset daerah. Berdasarkan Permendagri No. 21 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kolusi, nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara. Keluhan birokrat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan keuangan, pemerintah melakukan reformasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini masyarakat Indonesia semakin menuntut pemerintahan untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 pasal 32 ayat 1 dan 2 tentang keuangan

BAB I PENDAHULUAN. atau memproduksi barang-barang publik. Organisasi sektor publik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mulai menerapkan otonomi daerah setelah berlakunya Undang-

BAB I PENDAHULUAN. informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. ini bukan hanya orang-orang dari bidang akuntansi yang dapat memahami laporan

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi di Indonesia setidaknya telah mengeluarkan dua undangundang

BAB I PENDAHULUAN. dengan Good Government Governance (GGG). Mekanisme. penyelenggaraan pemerintah berasaskan otonomi daerah tertuang dalam

AKUNTABILITAS PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN INSTANSI PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pemerintah daerah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu periode. Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No.1

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin maju dan terbukanya sistem informasi dewasa ini, isu-isu

BAB I PENDAHULUAN. menjadi isu yang sangat penting di pemerintahan Indonesia. Salah satu kunci

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance di Indonesia semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan adanya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. Akuntanbilitas publik merupakan kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan penyelenggaraan operasional pemerintahan. Bentuk laporan

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan adanya perubahan masa dari orde baru ke era

BAB I PENDAHULUAN. daerah merupakan tujuan penting dalam reformasi akuntansi dan administrasi

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Laporan keuangan pemerintah merupakan komponen penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum. Kualitas informasi dalam laporan

BAB I PENDAHULUAN. berupa laporan keuangan. Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap terselenggaranya

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang tepat, jelas, dan terukur sesuai dengan prinsip transparansi dan

BAB I PENDAHULUAN. 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mustikarini, 2012).

I. PENDAHULUAN. melakukan pengelolaan keuangan serta mempertanggungjawabkan pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance merupakan function of governing. Salah

BAB I PENDAHULUAN. telah direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 menyatakan bahwa setiap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Ditetapkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. bersih dan berwibawa. Paradigma baru tersebut mewajibkan setiap satuan kerja

BAB 1 PENDAHULUAN. disebut dengan Good Governance. Pemerintahan yang baik merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. mandiriurusan pemerintahannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka reformasi di bidang keuangan, pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan keuangan daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilakukan kepada masyarakat luas (Mardiasmo:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perhatian utama masyarakat pada sektor publik atau pemerintahan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir ini merupakan bagian dari adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih meningkatkan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. berlangsung secara terus menerus. Untuk bisa memenuhi ketentuan Pasal 3. Undang-Undang No.17 tahun 2003 tentang keuangan, negara

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah masih menemukan fenomena penyimpangan informasi laporan

BAB I PENDAHULUAN. melalui UU No. 22 Tahun Otonomi daerah memberikan Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk penyelenggaraan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Susilawati & Dwi Seftihani (2014) mengungkapkan bahwa perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang

Disampaikan dalam Kunjungan Kerja Badan Anggaran DPRD Kabupaten Banyumas Jakarta, 6 Februari 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. manusia, sistem pengendalian internal (Windiatuti, 2013). daerah adalah (1) komiten pimpinan (Management Commitment) yang kuat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola yang baik

BAB 1 PENDAHULUAN. Pergantian Pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi yang. dimulai pertengahan tahun 1998 menuntut pelaksanaan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan keuangan, pemerintah melakukan reformasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada sistem pemerintahan yang ada di Indonesia, setiap pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan bagi politik dan sistem pemerintahan maupun

BULETIN TEKNIS NOMOR 01 PELAPORAN HASIL PEMERIKSAAN ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan

BAB 1 PENDAHULUAN. menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat

BAB I PENDAHULUAN. organisasi, baik organisasi privat maupun organisasi publik. Governance) yang berbasis pada aspek akuntabilitas, value for money,

BAB I PENDAHULUAN. Konsep good governance memiliki arti yang luas dan sering dipahami

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik (good governance),

dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Sejak diberlakukannya otonomi desantralisasi mendorong perlunya perbaikan dalam pengelolaan dan

BAB I PENDAHULUAN. laporan pertanggungjawaban berupa Laporan Keuangan. Akuntansi sektor publik

BAB I PENDAHULUAN. semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah (Mahmudi, 2011). Laporan keuangan dalam lingkungan sektor publik

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsinya yang didasarkan pada perencanaan strategis yang telah ditetapkan.

BABl PENDAHULUAN. Dewasa ini kebutuhan atas informasi keuangan yang informatif

II. TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori keagenan menyatakan bahwa perusahaan yang memisahkan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan sejak tahun 1981 sudah tidak dapat lagi mendukung kebutuhan Pemda

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Artinya bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang untuk

Bab 1 PENDAHULUAN. dilanjutkan dengan pertanyaan penelitian, tujuan, motivasi, dan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik yang disebut. dengan laporan keuangan (Mardiasmo, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) berupa Laporan Keuangan. Akuntansi

BABI PENDAHULUAN. Untuk terciptanya kemandirian pemerintah daerah, pemerintah pusat

BAB 1. Pendahuluan A. LATAR BELAKANG. Reformasi pada pemerintahan Indonesia mengakibatkan perubahan

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang selama ini menganut sistem sentralistik berubah menjadi sistem desentralistik yang lebih dikenal dengan sistem otonomi daerah. Perubahan ini ditandai dengan adanya Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang - undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999. Dalam sistem otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Kewenangan yang dilimpahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diikuti juga dengan pengalokasian dana kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan konsep uang mengikuti fungsi-fungsi (money follow function) (UU No. 33/2004). Selain kewenangan yang dimiliki, pemerintah daerah juga mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan kewenangannya dalam bentuk laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, Peraturan

2 Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 dan Permendagri 21 tahun 2011 sebagai perubahan dari Permendagri nomor 13 Tahun 2006. Laporan keuangan pemerintah daerah merupakan salah satu alat ukur kinerja finansial yang dapat digunakan sebagai alat untuk penilaian kinerja. Laporan keuangan pokok yang harus disusun oleh pemerintah daerah sesuai dengan standar akuntansi pemerintah yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan (Lamp II PP 71/2010). Laporan keuangan yang disusun harus memenuhi karakteristik kualitatif laporan keuangan yaitu relevan, andal, dapat dibandingkan dan dapat dipahami. Dalam penelitian Afrianti, 2011 disebutkan keandalan adalah kemampuan informasi untuk memberi keyakinan bahwa informasi tersebut benar atau valid. Informasi yang memiliki kualitas andal adalah apabila informasi tersebut bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur (faithful representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. Menurut Paragraf 38 PP 71 Tahun 2010 disebutkan informasi yang andal memenuhi karakteristik penyajian yang jujur, dapat diverifikasi (verifiability), dan netralitas. Penyajian yang jujur adalah informasi menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau secara wajar diharapkan untuk disajikan. Dapat diverifikasi dimaksudkan bahwa informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diuji dan apabila pengujian

3 dilakukan lebih dari sekali oleh pihak yang berbeda, hasilnya tetap menunjukkan simpulan yang tidak berbeda jauh. Netralitas dimaksudkan bahwa informasi diarahkan pada kebutuhan umum dan tidak berpihak pada kebutuhan pihak tertentu. Laporan keuangan pemerintah daerah yang andal tercermin dari opini. Semakin andal laporan keuangannya maka semakin baik opininya. Berdasarkan Peraturan BPKRI Nomor 1 Tahun 2007 terdapat empat tingkatan opini LKPD yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tanpa Menyatakan Pendapat (TMP). Data Ikhtisar hasil pemeriksaan BPKRI Semester I Tahun 2012 menunjukkan perkembangan rata-rata opini BPKRI atas LKPD dari tahun 2006 2011 dengan rincian opini WTP sebesar 5%. Tabel berikut ini yang menggambarkan perkembangan opini LKPD tahun 2006 2011. Tabel 1.1. Perkembangan Opini LKPD Kabupaten/kota Se- Indonesia Tahun 2006 2011 LKPD OPINI WTP % WDP % TW % TMP % JUMLAH 2006 3 1% 327 70% 28 6% 105 23% 463 2007 4 1% 283 60% 59 13% 123 26% 469 2008 13 3% 323 67% 31 6% 118 24% 485 2009 15 3% 330 65% 48 10% 111 22% 504 2010 34 6% 341 66% 26 5% 119 23% 520 2011 67 16% 316 74% 5 1% 38 9% 426**) Rata-rata 5% 67% 6.83% 21.17% **) Jumlah opini yang diberikan sampai dengan Semester I Tahun 2012 Berdasarkan data tabel 1.1. diatas menunjukkan kondisi yang memprihatinkan karena selama kurun waktu 6 tahun perolehan opini WTP rata-rata hanya 5% saja

4 dari jumlah pemerintah kabupaten / kota se-indonesia, sebaliknya yang memperoleh Opini TW sebesar 6,83% dan opini TMP sebesar 21,17% jauh lebih banyak apabila dibandingkan opini WTP. Kondisi ini menunjukkan bahwa laporan keuangan pemerintah daerah belum memenuhi karakteristik kualitatif yaitu relevan dan andal. Keseimbangan antar karakteristik kualitatif diperlukan untuk mencapai suatu keseimbangan yang tepat diantara berbagai tujuan normatif yang diharapkan dipenuhi oleh laporan keuangan pemerintah. Penentuan tingkat kepentingan antara dua karakteristik (relevan dan keandalan) merupakan masalah pertimbangan profesional (Paragraf 59 PP 71 Tahun 2010). Laporan keuangan keuangan yang andal sangat ditentukan oleh pengelolaan keuangan daerah yang baik. Pengelolaan keuangan daerah yang baik memiliki kriteria dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat (PP 58 Tahun 2005). Menurut Mardiasmo (2004) pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu pengelolaan penerimaan daerah dan pengelolaan pengeluaran daerah. Evaluasi terhadap pengelolaan keuangan daerah dan pembiayaan pembangunan daerah mempunyai implikasi yang sangat luas. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.

5 Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebabkan adanya perubahan manajemen keuangan daerah antara lain adalah perlunya dilakukan reformasi anggaran (budgeting reform). Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban anggaran. Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan publik. Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran ersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik. Efisiensi berarti penggunaan dana masyarakat (publik money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal. (Mardiasmo, 2004). Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. Efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk keluaran tertentu (PP 58/2005). Dalam penelitian Wahyuni, 2008 disebutkan bahwa efektifitas pemerintah daerah dirasakan masih terlalu lemah. Pengalaman masa lalu menunjukan bahwa pada umumnya unit kerja pemerintah daerah belum menjalankan fungsi dan perannya secara efisien. Pemborosan adalah fenomena umum yang terjadi di berbagai unit kerja Pemerintah Daerah. Kondisi seperti ini muncul karena pendekatan umum yang digunakan dalam penentuan besar alokasi dana untuk tiap kegiatan adalah pendekatan incrementalism, yang didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Bila

6 tingkat inflasi dan jumlah penduduk meningkat maka besar alokasi dana untuk tiap kegiatan yang sudah tertentu akan meningkat lebih besar dari alokasi semula. Dilihat dari efektifitasnya, metode penentuan prioritas untuk tiap kegiatan pemerintahan di daerah masih belum baik. Pemerintah daerah umumnya belum melakukan identifikasi kegiatan untuk penyusunan prioritas tetapi lebih banyak menyesuaikan dengan arahan prioritas kebijakan pemerintah pusat, sehingga tuntutan dan kebutuhan masyarakat setempat akan cenderung terabaikan. Kondisi ini mengakibatkan layanan publik dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik, sementara itu dana yang tersedia dalam APBD yang merupakan dana publik, habis dibelanjakan seluruhnya. Dalam jangka panjang, cenderung akan memperlemah peran pemerintah daerah sebagai stimulator, dan fasilitator dalam proses pembangunan. Penelitian yang terkait dengan efektifitas dan efisiensi dilakukan oleh Supratman (2001), yang meneliti tentang efisiensi dan efektivitas sistem pengelolaan keuangan Di Propinsi DKI Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengelolaan keuangan di Pemda DKI Jakarta tergolong efisien, sedangkan tingkat efektivitas dari pengelolaan keuangan pemerintah daerah berkisar antara 92 persen sampai dengan 135 persen. Menurut Alie (2012) kendala dalam mencapai pengelolaan keuangan daerah yang efektif antara lain ; Pertama, kurangnya efektivitas dalam penyusunan APBD. Terdapat kesulitan penyusunan APBD secara tepat waktu yang disebabkan sulitnya mencapai kesepakatan pembahasan dengan DPRD. Selain itu, sering

7 terjadi hambatan teknis dalam proses penyusunan APBD, karena kompleksitas proses penganggaran berbasis kinerja. Kedua, kurangnya efektivitas pengeluaran APBD. APBD mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah. Efektivitas pengeluaran APBD akan berpengaruh langsung terhadap efektivitas pelayanan publik, yang pada gilirannya akan menentukan keberhasilan pembangunan daerah. Menjaga kesinambungan antara program dan kegiatan melalui pola APBD akan menjadi tantangan tersendiri bagi pencapaian efektivitas pengeluaran APBD. Ketiga, kurangnya akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan 524 Pemda di seluruh Indonesia tahun 2010, hanya 6% yang mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan pada tahun 2011 sebesar 16%. Sistem pengendalian intern sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan laporan keuangan. Oleh sebab itu diperlukan penataan sistem pengendalian, pengawasan, monitoring dan pemeriksaan yang efektif dan efisien (UU No.1/2004). Dalam penelitian Martani dan Zaelani (2011) disebutkan bahwa kecurangan dalam organisasi baik di sektor pemerintahan maupun di sektor swasta biasanya disebabkan oleh lemahnya pengendalian intern. Data KPMG Fraud Survey 2006 menemukan lemahnya pengendalian intern menjadi faktor utama penyebab terjadinya kecurangan sebesar 33% dari total kasus kecurangan yang terjadi dan faktor kedua disebabkan oleh diabaikannya sistem pengendalian intern yang telah ada sebesar 24%. Hasil penelitian Coe dan Curtis

8 (1991) menemukan dari total 127 kasus kelemahan pengendalian intern di Carolina Utara AS sebagian besar (42%) terjadi di lembaga pemerintah. Kecurangan atau penyimpangan juga terjadi pada instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. BPKRI berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, melakukan pemeriksaan keuangan yang bertujuan memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pemeriksaan laporan keuangan dilakukan dalam rangka memberikan opini atas kewajaran informasi laporan keuangan. Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern (Pasal 16 ayat 1 UU 15/2004). Sesuai dengan Peraturan BPKRI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) tim pemeriksa harus mengungkapkan kelemahan sistem pengendalian intern atas laporan keuangan ke dalam laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan. Berdasarkan Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaaan (IHP) BPKRI Semester I 2012 disebutkan bahwa LKPD yang memperoleh opini WTP dan WDP pada umumnya memiliki sistem pengendalian intern yang memadai akan tetapi masih perlu perbaikan. Namun LKPD yang memperoleh opini TMP dan TW sistem

9 pengendalian internnya belum memadai dan sangat perlu melakukan perbaikan dalam hal penilaian risiko, kegiatan pengendalian, dan pemantauan LKPD. Selain itu juga, laporan IHP BPKRI Semester I tahun 2012 menunjukkan hasil evaluasi atas 426 LKPD tahun anggaran 2011 terjadi 4.369 kasus kelemahan SPI yang meliputi kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan sebanyak 1,791 kasus, kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja sebanyak 1.739 kasus, dan kelemahan struktur pengendalian intern sebanyak 839 kasus. Tabel 1.2. Perkembangan Temuan Sistem Pengendalian Intern atas Pemeriksaan LKPD Tahun 2010-2011 NO 1 2 3 KELOMPOK KELEMAHAN SPI Kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi dan Pelaporan Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kelemahan Struktur Pengendalian Intern JUMLAH KASUS 2010 2011 Kenaikan/ penurunan (%) 805 1,791 122.48 683 1,739 154.61 308 839 172.40 JUMLAH 1,796 4,369 143.26 Sumber : IHP BPKRI, 2011-2012 Tabel 1.2. menunjukkan terjadinya kenaikan yang signifikan pada jumlah kasus kelemahan sistem pengendalian intern dalam LKPD tahun anggaran 2011 yaitu sebanyak 2.573 kasus atau 143,26% dari tahun 2010. Secara rinci kelemahan SPI pada tahun 2010-2011 yang dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :

10 1. Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan tahun anggaran 2011 sebanyak 1.791 kasus atau mengalami kenaikan 122,48% dari tahun 2010, dengan rincian antara lain : 1.005 kasus pencatatan tidak / belum dilakukan atau tidak akurat, 603 kasus proses penyusunan laporan tidak sesuai ketentuan, 13 kasus entitas terlambat menyampaikan laporan, 147 kasus sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai, dan 23 kasus sistem informasi akuntansi dan pelaporan belum didukung SDM yang memadai. 2. Kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan APBD tahun anggaran 2011 sebanyak 1.739 kasus atau mengalami kenaikan sebesar 154.61% dari tahun 2010 yang terdiri dari 577 kasus perencanaan kegiatan tidak memadai ; 249 kasus mekanisme pemungutan, penyetoran pelaporan dan penggunaan penerimaan daerah dan hibah tidak sesuai ketentuan;494 kasus penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan bidang teknis tertentu atau ketentuan intern organisasi yang diperiksa tentang pendapatan dan belanja; 97 kasus pelaksanaan belanja di luar mekanisme APBD; 237 kasus penetapan / pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat hilangnya potensi penerimaan/pendapatan; 80 kasus penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat peningkatan biaya/belanja; dan 5 kasus kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja lainnya, di antaranya pengelolaan dan pengamanan fisik aset yang tidak memadai.

11 3. Kelemahan struktur pengendalian intern pada tahun 2011 sebanyak 839 kasus atau mengalami kenaikan sebesar 172.40% dari tahun 2010, dengan rincian; 509 kasus entitas tidak memiliki SOP yang formal untuk suatu prosedur atau keseluruhan prosedur, 247 kasus SOP yang ada pada entitas tidak berjalan secara optimal atau tidak ditaati, 1 kasus entitas tidak memiliki satuan pengawas intern, 55 kasus satuan pengawas intern yang ada tidak memadai atau tidak berjalan optimal, 25 kasus tidak ada pemisahan tugas dan fungsi yang memadai, dan 2 kasus kelemahan struktur pengendalian intern lainnya, di antaranya pembatasan ruang lingkup pemeriksaan pengelolaan kas daerah. Berdasarkan uraian diatas, sistem pengendalian intern memiliki fungsi untuk memberikan keyakinan yang memadai agar tercapainya efektivitas dan efisiensi dalam tujuan penyelenggaraan pemerintahan, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset, dan ketaatan terhadap peraturan perundang- undangan. Untuk memperoleh predikat opini WTP sangat dipengaruhi oleh bagaimana sistem pengendalian intern dilaksanakan secara efektif dan efisien (Agindawati, 2012). Fenomena penelitian ini adalah masih sedikitnya pemerintah kabupaten/kota yang memperoleh opini WTP. Dari tahun ke tahun memang terjadi kenaikan LKPD yang memperoleh opini WTP namun tidak signifikan sehingga pertumbuhan perolehan opini yang baik relatif sangat kecil. Kinerja keuangan yang diukur melalui efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah masih belum menjadi perhatian dan adanya peningkatan kelemahan sistem pengendalian intern dari tahun ke tahun.

12 Berdasarkan fenomena diatas, peneliti ingin mengetahui apakah ada pengaruh efektifitas dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah serta sistem pengendalian intern pemerintah daerah terhadap keandalan laporan keuangan. Penelitian ini mengacu pada penelitian Wahyuni (2008) dengan mengambil variabel independen yaitu efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah, serta variabel independen sistem pengendalian intern yang diproksikan dengan internal control weakness mengacu pada penelitian Martani dan Zaelani (2011) dengan perbedaan pada penelitian Martani dan Zaelani (2011) sistem pengendalian intern sebagai variabel dependen, namun dalam penelitian ini dijadikan variabel independen. Sedangkan variabel dependennya adalah keandalan laporan keuangan yang diproksikan dengan opini LKPD mengacu pada beberapa penelitian seperti penelitian Rosalin 2011, Sipatuhar dan Khairani, 2012. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pemerintah kabupaten / kota se- Indonesia. Pemerintah propinsi walaupun memiliki kesamaan struktur APBD dengan kabupaten/kota, namun tidak menjadi bagian dalam penelitian ini. 1.2 Perumasan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Apakah efektivitas pengelolaan keuangan daerah berpengaruh terhadap keandalan laporan keuangan pemerintah daerah? b. Apakah efisiensi pengelolaan keuangan daerah berpengaruh terhadap keandalan laporan keuangan pemerintah daerah?

13 c. Apakah sistem pengendalian intern berpengaruh terhadap keandalan laporan keuangan pemerintah daerah? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini untuk memperoleh bukti empiris bahwa : a. Efektivitas pengelolaan keuangan daerah berpengaruh terhadap keandalan laporan keuangan pemerintah daerah. b. Efisiensi pengelolaan keuangan daerah berpengaruh terhadap keandalan laporan keuangan pemerintah daerah c. Sistem pengendalian intern berpengaruh terhadap keandalan laporan keuangan pemerintah daerah 1.4 Manfaat Penelitian a. Implikasi Teoritis Penelitian ini dapat menjadi sumber referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya karena masih terbatasnya penelitian di sektor publik di Indonesia. b. Implikasi Praktis 1) Pihak Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberi masukan dan bahan pertimbangan dalam menyempurnakan pengelolaan keuangan daerah dalam meningkatkan akuntabilitas keuangan melalui

14 penyusunan laporan keuangan yang andal. 2) Pihak Masyarakat Penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi masyarakat (stake holders) untuk mengetahui akuntabilitas pemerintah daerah yang dapat dipergunakan sebagai alat pengawasan.