I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas

dokumen-dokumen yang mirip
KEBIJAKAN UMUM PENGENDALIAN FLU BURUNG DI INDONESIA DIREKTUR PANGAN DAN PERTANIAN BOGOR, 25 FEBRUARI 2009

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

LAPORAN PENELITIAN: Bahasa Indonesia

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PENGENDALIAN FLU BURUNG DI JAWA BARAT. oleh : Ir. Koesmajadi TP Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan

PENGANTAR. Latar Belakang. Peternakan merupakan salah satu subsektor yang berperan penting dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROPINSI SULAWESI TENGAH DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA) PADA AYAM RAS

PIDATO PENGANTAR MENTERI PERTANIAN PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IV DPR-RI TANGGAL 1 FEBRUARI 2007

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

MENYIKAPI MASALAH FLU BURUNG DI INDONESIA

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2

Yusmichad Yusdja, Nyak Ilham dan Edi Basuno PSE-KP BOGOR PENDAHULUAN. Latar Belakang dan Pemasalahan

Perkembangan Kasus AI pada Itik dan Unggas serta Tindakan Pengendaliannya

MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Peternakan merupakan sektor andalan bagi perekonomian nasional Indonesia.

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan banyaknya berdiri

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2007

II. TINJAUAN PUSTAKA. Industri Peternakan unggas dibagi menjadi 4 sektor yaitu sektor 1 merupakan

Situasi AI dan Refocus Rencana Kerja Strategis Nasional Pengendalian AI pada Unggas Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

1 BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Indonesia dengan populasi mencapai lebih dari 110 juta ekor (Data Direktorat

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Sub sektor peternakan mempunyai peranan penting dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Peternakan adalah bagian dari agribisnis yang mencakup usaha-usaha atau

BAB I PENDAHULUAN. Industri peternakan di Indonesia saat ini sedang mengalami kelesuan. Berbagai

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang

I. PENDAHULUAN. potensi sumber daya alam yang besar untuk dikembangkan terutama dalam

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peternakan puyuh merupakan suatu kegiatan usaha di bidang budidaya

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

GUBERNUR MALUKU UTARA

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam menopang perekononiam masyarakat. Pembangunan sektor

ABSTRAK. Elisabet Risubekti Lestari, 2007.Pembimbing I : Donny Pangemanan, drg., SKM. Pembimbing II : Budi Widyarto, dr.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Penyebaran Avian Flu Di Cikelet

RESISTENSI AYAM LOKAL JAWA BARAT: AYAM SENTUL

Wahai Burungku, Ada Apa Denganmu (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi)

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat, harga yang

BAB I PENDAHULUAN. Budidaya ayam ras khususnya ayam broiler sebagai ayam pedaging,

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA. Achmad Syaichu *)

I. PENDAHULUAN. Biro Pusat Statistik (1997) dan Biro Analisis dan Pengembangan. Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein

PENDAHULUAN. ( Populasi Ternak (000) Ekor Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menular kepada manusia dan menyebabkan kematian (Zoonosis) (KOMNAS

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN PENDANAAN INDIKATIF

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

PENGEMBANGAN USAHA DAN INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN 1)

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS UNGGAS. Edisi Kedua

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Peternakan Ayam Broiler di Indonesia

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN. penyedia protein, energi, vitamin, dan mineral semakin meningkat seiring

Tinjauan Mengenai Flu Burung

RENSTRA BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF D I N A S P E R T A N I A N

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa melaksanakan produksi, perdagangan dan distribusi produk

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Karya Ilmiah Bisnis ayam jawa super online

PROFIL PETERNAK AYAM PETELUR BERDASARKAN SKALA USAHA DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG, SULAWESI SELATAN. St. Rohani 1 dan Irma susanti 2 ABSTRAK

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

Bab 4 P E T E R N A K A N

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas kesadaran itu, Departemen Pertanian (2011) mengarahkan pengembangan subsektor peternakan sebagai bagian dari sektor pertanian dalam empat capaian. Pertama, meningkatkan produksi ternak dan produk peternakan dan kesehatan hewan yang berdaya saing. Kedua, mengendalikan penyakit hewan menular strategis dan zoonosis. Ketiga, menyediakan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal. Keempat, meningkakan pendapatan dan kesejahteraan peternak. Kebijakan peternakan unggas diarahkan pada visi pemberdayaan peternak dan usaha agribisnis peternakan, peningkatan nilai tambah serta peningkatan daya saing. Sedangkan misinya adalah mendorong pembangunan peternakan unggas yang tangguh dan berkelanjutan. Untuk mencapai visi, misi dan tujuan program pembangunan peternakan diperlukan beberapa kebijakan pendukung. Pertama, kebijakan pendukung dalam membentuk lingkungan investasi yang kondusif, terutama dalam hal pelayanan investasi. Kedua, kebijakan dalam hal mempromosikan produk unggas. Ketiga, dukungan kebijakan dan inovasi dalam hal tata ruang, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, serta penegakan aturan yang terkait dengan lalu lintas ternak yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan perdagangan global. Keempat, kebijakan pendukung dalam rangka pencegahan penyakit, dan kebijakan mengenai kemitraan agribisnis perunggasan yang adil baik mitra maupun bagi inti melalui pembagian risiko dan keuntungan yang adil (Deptan, 2005).

2 Pembangunan peternakan sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan perekonomian Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan berdasarkan harga konstan pada tahun 2009-2010, sebesar 15,29 persen dan pada tahun 2011-2012 sebesar 14,70 persen. Persentase sumbangan subsektor peternakan terhadap sektor pertanain sebesar 12 persen (BPS, 2013). Di Indonesia, peternakan unggas memegang peranan penting bagi masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dipelihara baik secara tradisional sebagai usaha sampingan maupun diusahakan secara komersial. Unggas tersebut antara lain ayam, itik, burung puyuh, dan merpati. Diantara berbagai jenis unggas, ayam merupakan ternak yang paling banyak dibudidayakan. Berdasarkan tujuan pemeliharaannya, usaha peternakan ayam dibedakan menjadi dua yaitu peternakan ayam pedaging dan ayam petelur. Perbedaan ini tidak hanya menyangkut pemilihan jenis ayam yang dipelihara, tetapi juga pada manajemen pemeliharaan. Ayam petelur memiliki dua periode pemeliharaan yaitu periode sebelum produksi dan periode produksi. Periode sebelum produksi dimulai pada umur 0 hingga 20 minggu, dan periode produksi dimulai dari umur 20 minggu hingga ternak diafkir pada umur 72 minggu. Pada ayam pedaging, periode pemeliharaan dibagi menjadi dua fase. Pertama, fase awal, dimulai dari umur 0 minggu hingga 3 minggu. Kedua, fase akhir, dimulai dari umur 3 minggu hingga ternak siap panen pada umur 6 minggu.

3 Secara teoritis, produksi unggas, baik daging maupun telur merupakan hasil interaksi antara faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen, sebagai faktor kemampuan biologis, baru dapat ditampilkan jika faktor eksogen sebagai faktor kesempatan, memungkinkan faktor endogen berkembang. Tidak kalah penting adalah faktor eksogen. Faktor ini sering disebut dengan faktor lingkungan terdiri atas tiga faktor yaitu iklim, pakan dan manajemen. Faktor manajemen terdiri atas teknis pemeliharaan, bentuk kandang dan peralatan yang digunakan, kepadatan kandang dan lain-lain. Kemampuan manajerial peternak yang beragam seringkali mengakibatkan penggunaan input produksi tidak efisien sehingga menyebabkan produksi menjadi tidak optimum. Menurut Food and Agriculture Organization (2006), berdasarkan skala dan tingkat biosekuriti, peternakan ayam dikelompokkan menjadi empat sektor. Sektor I adalah peternakan dengan sistem yang terintegrasi, melaksanakan biosekuriti sangat ketat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan beroperasi secara komersial seperti breeding farm. Sektor II adalah peternakan yang beroperasi secara komersial. Pada sektor ini tingkat biosekuriti menengah. Ternak ditempatkan pada tempat tertutup dan terpisah sehingga ayam dan unggas liar tidak bisa kontak secara langsung. Sektor III merupakan peternakan yang umum ada di Indonesia, dengan produksi semi komersial. Jumlah pemeliharaan ternak di sektor ini berkisar antara 50 hingga 150 ekor. Manajemen pemeliharaan pada sektor ini masih sangat sederhana. Penerapan biosekuriti dilakukan dengan meminimalkan kontak dengan unggas lain dan membatasi orang yang masuk peternakan. Jenis ayam yang dipelihara umumnya ayam kampung. Kebutuhan

4 bibit biasa dipenuhi dari produksi sendiri atau dari tetangga dan produk yang dihasilkan dijual di pasar lokal dalam keadaan masih hidup. Sektor IV merupakan peternakan tradisional yang diusahakan sebagai sampingan (backyard). Jumlah pemeliharaan unggas rata-rata berkisar antara 10 sampai 20 ekor atau di bawah 50 ekor. Ayam yang dipelihara umumnya ayam kampung. Pemeliharaan lebih sering diumbar, dan hanya dikandangkan pada malam hari. Pemberian pakan tidak teratur dan kebanyakan memanfaatkan sisa dapur. Biosekuriti pada sektor ini sangat minimal bahkan kadangkala tidak ada sama sekali. Hal ini ditandai dengan tingkat mortalitas tinggi dan produktivitas yang rendah. Produk hanya dikonsumsi sendiri atau jika dijual hanya di pasar lokal. Enam puluh persen ternak ayam di Indonesia dipelihara secara tradisional atau termasuk dalam sektor III dan IV. Dengan sistem pemeliharaan yang masih sederhana dan biosekuriti yang minim, mengakibatkan kontrol terhadap penyakit sangat rendah. Ketika satu kelompok peternakan di sektor ini terkena penyakit, maka dengan cepat akan menyebar ke peternakan lain di sekitarnya. Penyakit yang sering menyerang ayam antara lain ND (New Castle Dissease), Gumboro (ngorok), Salmonella, E coli, dan yang terakhir merebak adalah avian influenza. Avian influenza (AI), lazim disebut flu burung, merupakan infeksi virus influenza A subtipe H5N1 (H=hemaglutinin; N=neuraminidase). Flu ini pada umumnya menyerang unggas, burung dan ayam yang kemudian dapat menyerang manusia (penyakit zoonosis). AI dapat menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan kematian yang tinggi, bahkan dapat menyebar antar peternakan dari suatu daerah ke daerah lain.

5 Di Indonesia virus AI dilaporkan mulai menginfeksi ayam pada Oktober 2003. Daerah yang terjangkit AI pada waktu itu adalah seluruh Jawa, Lampung, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Serangan AI pada waktu itu mengakibatkan 14,7 juta ayam mati. Tercatat sebanyak 291 Kabupaten/Kota dari 445 kabupaten/kota di 31 Propinsi telah tertular (Siregar, 2008 a ; Yusdja dkk, 2008). Daerah yang dilaporkan menjadi daerah endemis Avian Influenza terdiri atas 18 propinsi yang ada di Jawa, Sumatra, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Tiga belas propinsi yang ada di Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi dan Bali masuk dalam kategori daerah dengan kejadian AI rendah (low incidence). Di beberapa daerah tersebut sempat terjadi fluktuasi produksi. Propinsi yang masih bebas dari serangan AI adalah Gorontalo dan Maluku Utara (Siregar, 2008 b ) Dilansir oleh Bank dkk (2001) dan Swayne dan Suarez (2000), AI mengakibatkan 70-100 persen kematian pada peternakan yang terserang AI. Selain itu, AI juga mengakibatkan harga ditingkat peternak jatuh, sehingga peternak menanggung kerugian sebesar 1 triliun (versi pemerintah) sampai dengan 5 triliun (versi peternak) (Arifin, 2007). Pada saat AI merebak, harga daging ayam ditingkat peternak hanya Rp 3.900/kg sementara biaya produksi mencapai Rp 6.800/kg. Hal yang sama juga terjadi pada harga telur yaitu sebesar Rp 6.950/kg dengan biaya produksi Rp 8.200/kg. Dampak lain tidak hanya dirasakan oleh peternak saja tetapi juga oleh industri yang berkaitan dengan budidaya ternak seperti industri pakan dan industri pangan olahan. Dampak AI terhadap industri perunggasan antara lain permintaan

6 terhadap DOC di daerah tertular AI turun sebesar 57,9% untuk ternak broiler dan 40,4% untuk layer. Permintaan terhadap pakan turun 45% untuk semua jenis pakan unggas serta supplai produksi untuk broiler turun 40,7% dan layer 52,6%. Sementara itu, peluang kerja di daerah tertular AI turun 39,5% (Deptan, 2005) Berikut gambar grafik populasi ayam nasional tahun 2002-2011 berdasarkan sumber dari data statistik peternakan yang dirilis Dirjen Peternakan Departemen Pertanian tahun 2012. Populasi (000 ekor) tahun Gambar 1.1 Grafik populasi ayam nasional tahun 2000-2011. Berdasarkan data statistik peternakan tahun 2011, populasi ayam dalam 10 tahun terakhir mengalami peningkatan, dan diantara kurun waktu tersebut terjadi fluktuasi jumlah produksi. Meskipun belum ada penelitian komprehensif mengenai hal ini, tetapi penurunan populasi pada tahun-tahun ini disinyalir karena adanya serangan AI secara sporadis di berbagai daerah. Tabel berikut menyajikan jumlah kematian ternak dari tahun 2002 hingga tahun 2013 berdasarkan dari data

7 penelitian Siregar (2008 a ), Yusdja, dkk (2008) dan data dari Direktorat Jenderal Peternakan (2013). Tabel. 1.1 Jumlah kematian unggas akibat AI tahun 2002-2013 Tahun Jumlah unggas (ekor) 2002 4.737.115 2003 6.476.841 2004 1.031.513 2005 1.156.440 2006 437.441 2007 2.751 2008 1.413 2009 2.293 2010 1.502 2011 1.390 2012 546 2013 272 Sumber: Siregar (2008 a ), Yusdja dkk, (2008) dan Ditjennak (2013) Soejoedono dan Handharyani (2006) mensinyalir pada periode Agustus 2003 hingga Juli 2004 saja jumlah kematian ayam mencapai 16,32 juta ekor. Propinsi Jawa Tengah, berdasar sejumlah kematian tersebut, berada pada peringkat teratas dengan jumlah kematian mencapai 8,17 juta ekor, disusul Lampung 2,37 juta ekor, Jawa Timur 2,26 ekor, Jawa Barat 1,62 juta ekor dan Bali sebesar 930.029 ekor. Berkaitan dengan terjangkitnya AI, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan 9 langkah strategis pencegahan dan penanggulangan AI yang tertuang dalam SK Dirjen No 17 tahun 2004, yaitu: 1). Peningkatan biosekuriti; 2). Vaksinasi daerah tertular dan tersangka; 3). Depopulasi terbatas dan kompensasi; 4). Pengendalian lalu-lintas unggas dan produknya; 5). Surveilans dan penelusuran kembali; 6). Pengisian kandang kembali; 7). Stamping out di daerah tertular baru; 8). Public awareness; 9). Monitoring dan evaluasi. Target yang

8 ditetapkan oleh pemerintah dalam penanganan AI pada tahun 2007 adalah (a) mempertahankan daerah bebas, (b) tidak adanya kasus AI di sektor I dan II di daerah endemik, (c) mencegah kasus di sektor III dan IV di daerah endemik, (d) mencegah penyebaran / kasus pada hewan rentan AI lainnya, (e) tidak adanya penyebaran AI kepada manusia. Akan tetapi, pada kenyataannya hingga awal tahun 2011 masih muncul kejadian AI pada peternakan unggas. B. Perumusan Masalah Pembangunan peternakan ayam di Indonesia erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi protein hewani di dalam negeri. Serangan AI diprediksi memberi dampak yang cukup besar terutama terhadap kemampuan produksi guna memenuhi kebutuhan konsumsi. AI menyebabkan kematian yang tinggi pada ayam yang terinfeksi. Persepsi negatif masyarakat terhadap AI juga berdampak terhadap industri perunggasan. Dampak AI ini dirasakan merata pada semua sektor perunggasan, baik sektor I, II, III, dan IV. Jika tidak segera ditangani, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap ketersediaan produksi nasional. Pemerintah telah menetapkan target penanganan AI untuk tahun 2007. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa masalah dan hambatan antara lain kurangnya koordinasi antar sektor dalam perencanaan dan pengendalian AI dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza. Kurangnya kapasitas peringatan dini dan belum adanya jejaring sistem surveilans terpadu pada hewan dan manusia. Terbatasnya kemampuan memberikan kompensasi

9 keuangan kepada peternak dalam rangka pemusnahan selektif (depopulasi) dan pemusnahan total (stamping out). Keterbatasan vaksin dan rendahnya cakupan vaksinasi pada unggas. Terbatasnya persediaan obat dan belum adanya vaksin untuk manusia. Kurangnya pemahaman dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat terhadap AI dan kemungkinan risikonya. Keterbatasan sumber daya pendukung (SDM, biaya, teknologi dan sarana pendukung). Keterbatasan kemampuan penelitian dan pengembangan. Adanya distorsi informasi yang diterima oleh masyarakat. Kurangnya pengawasan lalu lintas hewan dan produknya dan belum diketahui dengan pasti waktu terjadinya pandemi influenza (Bappenas, 2005). Hal ini terlihat dari munculnya kasus AI baik pada ternak dan manusia. Seperti yang dilansir oleh media massa, pada tahun 2007 AI menyerang di Jawa Timur (Situbondo, Ngawi, Jember, Jombang), Jawa Tengah (Temanggung, Magelang, Boyolali, Grobogan, Banyumas, Purbalingga) dan Jawa Barat tepatnya di daerah Indramayu. Pada periode Januari hingga April 2008 kematian ayam masih tinggi dan masih ada kasus yang menyerang manusia (Yusdja dkk, 2008). Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah endemis AI dengan populasi ternak ayam terbesar kedua dan ketiga di Indonesia. Tingkat kematian ayam akibat AI di Jawa Tengah menempati peringkat pertama terbesar di Indonesia. Berdasarkan pemikiran tersebut, propinsi ini diambil sebagai daerah penelitian. Sebagai daerah endemis, seharusnya program penanganan AI telah berjalan dengan baik. Akan tetapi, merebaknya kembali kasus AI di Indonesia setidaknya memberikan gambaran ragam tingkat penerapan program penanganan AI oleh peternak.

10 Program pencegahan AI yang telah dirancang dengan baik belum tentu dapat diterapkan sepenuhnya oleh peternak. Pengetahuan peternak terhadap gejala klinis penyakit AI masih sangat rendah. Hal ini terungkap dalam penelitian Santosa (2008) yang mengungkapkan bahwa sebagan besar peternak menilai penyakit AI yang menyerang ternak adalah penyakit ND (New Castle Dissease) dan penyakit IBD (Infectious Bursal Dissease). Pengetahuan peternak yang kurang memadai mengenai penyakit AI menyebabkan peternak tidak selalu menerapkan biosekuritas pada usahanya. Pengetahuan peternak yang beragam, tidak hanya pada pemahaman mengenai penyakit AI, tetapi juga berhubungan dengan alokasi input produksi. Sebagai produsen, peternak harusnya berorientasi memaksimalkan keuntungan dengan melakukan perbaikan manajemen sehingga input digunakan secara efisien, juga mempertimbangkan faktor risiko usaha. Seperti yang diketahui, usaha peternakan ayam ras baik ayam pedaging maupun petelur memiliki tingkat risiko yang tinggi. Hal ini disebabkan karakteristik ternak ayam ras yang mudah stress terhadap perubahan lingkungan baik suara dan suhu dan lebih peka terhadap penyakit. Adanya faktor efisiensi dan risiko usaha ini sangat berpengaruh terhadap produksi maupun keuntungan. Oleh karena itu, perlu diketahui tingkat produksi, risiko, efisiensi produksi dan faktorfaktor yang mempengaruhinya pada usaha peternakan ayam pedaging maupun ayam petelur. Dari analisis ini nantinya akan terlihat faktor apa yang paling dominan berpengaruh terhadap produksi. Juga akan terlihat apakah pelaksanaan biosekuritas berupa pemakaian desinfektan dan vaksinasi AI serta pemagaran

11 kandang akan menurunkan risiko produksi. Demikian halnya dengan efisiensi penggunaan faktor produksi. Jika belum atau tidak efisien, tentu harus dilakukan perbaikan manajemen untuk meningkatkan efisiensi. Hal yang sama juga menjadi alasan mengapa perlu dilakukan analisis keuntungan, risiko keuntungan, efisiensi alokatif, dan faktor yang mempengaruh pada usaha ternak ayam pedaging dan ayam petelur. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah produksi dan keuntungan pada usaha ternak ayam pedaging dan petelur? 2. Adakah pengaruh pencegahan AI terhadap produksi, risiko produksi dan efisiensi pada usaha ternak ayam pedaging dan petelur? 3. Bagaimanakah preferensi risiko peternak ayam pedaging dan petelur dan faktor apa yang mempengaruhi preferensi risiko? 4. Adakah pengaruh pencegahan AI terhadap keuntungan usaha ternak ayam pedaging dan petelur? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui produksi dan keuntungan pada usaha ternak ayam pedaging dan petelur.

12 2. Mengetahui pengaruh usaha pencegahan AI terhadap produksi, risiko, dan efisiensi pada usaha ternak ayam pedaging dan petelur. 3. Mengetahui preferensi risiko peternak ayam pedaging dan petelur serta faktor-faktor yang memengaruhi preferensi risiko. 4. Mengetahui pengaruh pencegahan AI terhadap keuntungan usaha ayam pedaging dan petelur. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah, hasil penelitian sebagai bahan pertimbangan bagi perumusan program dan evaluasi penerapan program pencegahan AI. Bahan pertimbangan untuk meningkatkan keberhasilan program dengan menelaah faktor yang memengaruhi minat peternak untuk menerapkan program. 2. Bagi peneliti lain yang berminat hasil penelitian ini sebagai sumbangan pengetahuan untuk melakukan penelitian lanjutan sesuai dengan kondisi yang berkembang. 3. Bagi pelaku agribisnis, hasil penelitian ini sebagai bahan informasi dalam bidang produksi dan penanganan AI.